Home / Romansa / Karma Pedas Sang Mantan / Tujuh - Ayam Penyet

Share

Tujuh - Ayam Penyet

Author: ohhyundo
last update Last Updated: 2025-04-20 21:13:05

Malam telah larut saat Dira tiba di kos-kosannya. Lampu kamar menyala redup, menyambut keheningan yang terasa asing tapi akrab. Ia meletakkan tas dengan pelan, membuka jendela kecil di sudut kamar, dan duduk di tepi ranjang.

Semua kejadian hari ini menumpuk seperti sampah yang telat dibuang.

Proyek desain mendadak yang menyeret nama usaha masa lalunya. Pertemuan dengan Adrian yang penuh sindiran dan tensi. Dan yang paling menghantam: Satria, berdiri gagah di depan warung mahalnya, bersama istri dan anak yang tampak sempurna—mewakili semua yang dulu Dira impikan… tapi tidak ia miliki.

Dira memeluk lututnya, membiarkan diam melingkupi kamar. Tapi hatinya terlalu gaduh.

Ia meraih ponsel dan men-scroll kontak. Jarinya berhenti di satu nama: Buk Lik Ratna. Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol telepon.

Satu dering. Dua dering. Lalu suara renyah yang begitu familiar menjawab, "Halo, le… wis tekan kosan?” suara Buk Lik terdengar cerah dari seberang telepon.

Dira menghela napas, suaranya lelah. “Baru aja, Bu Lik.”

“Lha suaramu kok lesu?"

Dira menghela napas. “Bu Lik… aku capek banget hari ini.”

“Capek kerja, atau capek mikir mantan?” sahut Buk Lik dengan nada jenaka.

Satu kalimat itu cukup bikin Dira akhirnya mengeluarkan suara yang tertahan. Campuran tawa kecil dan isak yang nyaris tak terdengar.

“Bu Lik… aku hari ini ketemu semuanya sekaligus.”

“Kabeh? Maksude?”

“Adrian. Dia yang punya warung tempat aku makan tadi.”

“Lha, itu mantanmu juga?”

“Bukan. Saingan waktu aku masih bareng Satria. Dulu kita buka bareng, bersaing ketat. Tapi… ternyata dia yang nyelametin aku dari harus makan di tempat Satria.”

“Halah. Dunia ki sempit banget yo,” gumam Buk Lik. “Terus, kamu kuat? Ketemu Satria maksude?”

“Nggak. Tapi sebelum pulang… aku lihat dia. Sama istrinya. Sama anak mereka.” Suara Dira mulai goyah. “Mereka keliatan bahagia banget, Bu Lik. Mobil bagus. Tawa anaknya. Lengkap. Dan aku cuma bisa berdiri di seberang jalan… kayak orang yang bahkan gak punya hak buat marah.”

Sejenak, di ujung telepon, hanya terdengar suara napas dari Buk Lik. Lalu, dengan nada lembut, ia berkata, “Le… kamu itu bukan kalah. Kamu cuma belum waktunya menang. Dan kadang, menang itu bukan berarti harus punya semuanya. Tapi bisa liat semua itu, tanpa sakit lagi.”

Dira diam. Menelan nasihat itu pelan-pelan.

“Tapi kenapa sakitnya masih ada?” lirihnya.

“Karena hatimu masih inget rasa. Masih inget janji-janji. Dan kecewa itu rasane lebih perih dari luka jatuh, Le. Tapi percayalah, rasa itu gak akan tinggal selamanya. Ditinggal wong sing mbok tresnani itu pait. Tapi kamu masih punya akal, punya hati, punya masa depan. Satria? Cuma masa lalu.”

Dira mengusap matanya.

“Trus, kalo suatu hari aku harus ketemu dia langsung? Hadap-hadapan? Di tempat kerja, misal?”

“Nafas sing jero, Diraku. Ditegesi. Anggep aja dia klien, bukan mantan. Tapi… kalo dia mulai ngelantur, tandain. Nggak usah diladenin. Wong sing ninggalin kamu di pemakaman ayahmu itu… ora pantes diajak diskusi soal perasaan.”

Dira terdiam. Kata-kata itu menancap dalam. Ayahnya. Hari pemakaman itu. Satria tak datang. Bahkan tak mengirim kabar. Seolah semua kenangan mereka bisa dikubur tanpa doa.

“Le…” suara Buk Lik melunak, “kamu boleh sedih. Tapi ojo lali, kamu masih punya aku. Wong tuamu emang wis ora ono, tapi kamu tak anggep anak kandungku dhewe. Kowe kuat, Dira.”

Tangis Dira akhirnya pecah—senyap, tapi melegakan.

“Terima kasih, Bu Lik…”

“Sama-sama, Le. Wis yo… sikat gigi, cuci muka, trus turu. Besok kudu melek, siapa tahu dapat rejeki ganteng-ganteng lagi.”

Dira tertawa kecil. “Yakin masih laku?”

“Yakin. Sing laku itu sing waras, bukan sing modal mobil doang.”

Telepon ditutup. Dan malam itu, Dira tertidur dengan mata sembab, tapi hati sedikit lebih lapang. Meskipun Dira tahu, hidup kadang tak semudah itu.

**

Dira datang ke kantor lebih awal dari biasanya. Rambutnya dikuncir asal, wajah tanpa riasan, tapi hatinya… setidaknya lebih tenang dibanding semalam.

Ia membuat kopi sachet dari pantry, lalu duduk di meja kerjanya. Belum lima menit membuka layar, Lala datang dengan langkah tergesa.

“Dir! Kamu dipanggil Pak Bos ke ruang meeting sekarang.”

Dira menoleh. “Meeting soal apa?”

“Klien. Proyek Ayam Penyet itu. Kayaknya urgent.”

Dira mengangguk dan berdiri. Pikirannya masih tenang. Mungkin bosnya mau revisi konsep atau finalisasi layout. Ia masuk ke ruang meeting bersama Lala, lalu duduk di kursi sisi kanan meja.

Tak lama kemudian, Pak Bos masuk sambil membuka laptopnya.

“Sebentar ya, kliennya juga mau join langsung hari ini.”

Dan saat pintu terbuka lagi, Dira menoleh refleks.

Waktu berhenti.

Satria masuk dengan langkah ringan, senyum tipis di wajahnya. Mengenakan kemeja biru muda yang disetrika rapi, rambut tersisir licin. Tidak berubah. Bahkan senyum itu pun… masih sama seperti dulu.

“Pagi,” ucapnya santai. “Maaf telat dikit.”

Dira menegang.

Lala menoleh ke arah Dira yang mendadak kaku, lalu ke Satria. Tampak bingung, tapi belum curiga.

“Senang akhirnya bisa ketemu tim desainnya langsung,” lanjut Satria sembari menarik kursi.

Dan kemudian… matanya bertemu dengan mata Dira.

“Dira?” tanyanya pelan. “Kamu kerja di sini?”

Dira menegang di tempat duduknya, tapi tetap diam.

Lala yang duduk di samping ikut menoleh ke Satria, lalu ke Dira. “Wah, beneran ya… dari kemarin Dira terus ketemu orang-orang lama.”

Satria tersenyum kecil, seolah menanggapi lelucon itu, lalu menatap Dira lagi. Kali ini suaranya lebih tenang.

“Lama nggak ketemu.”

Kalimat itu seperti pisau kecil. Dingin. Terlalu ringan untuk seseorang yang pernah meninggalkan luka begitu dalam. Terlalu wajar, seolah mereka tak pernah punya masa lalu.

Seolah Dira hanyalah siapa saja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Karma Pedas Sang Mantan   Delapan - Ayam Penyet

    Dira menatap layar presentasinya dengan pandangan kosong. Poin-poin tentang brand identity Ayam Penyet Satria tertera rapi di slide ketiga, tapi pikirannya sama sekali tak bisa fokus. Di kursi sebelah, Lala membolak-balik map cetakan sambil bersiul kecil, tak menyadari bahwa jantung Dira berdetak terlalu cepat untuk ukuran pagi hari.Ruang meeting kantor hari itu dingin—bukan hanya karena AC, tapi karena keberadaan satu orang yang seharusnya sudah lama lenyap dari hidupnya.Satria duduk tepat di hadapan Dira. Menghadap langsung. Lengannya tersilang santai, tubuhnya bersandar ke kursi seperti biasa—percaya diri, sedikit angkuh, dan terlalu nyaman di tempat yang bukan miliknya. Senyumnya sesekali mampir, tapi hanya ke Lala atau Pak Bos. Kepada Dira, tatapannya datar. Jarak. Seolah mereka tak pernah berbagi masa lalu.“Secara garis besar, konsepnya menarik,” ucap Satria setelah Dira mempresentasikan ide desain. “Tapi… ya, jujur aja, aku masih belum nemu ‘greget’ khas brand-ku di sini.”N

    Last Updated : 2025-04-25
  • Karma Pedas Sang Mantan   Sembilan - Ayam Penyet

    Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika Dira masih duduk di depan layar komputernya. Kantor sudah mulai sepi, hanya suara AC dan detik jam yang jadi pengingat bahwa dunia di luar sedang beristirahat. Tapi tidak untuk Dira. Ia masih memelototi file desain yang baru saja dikirimkan ulang oleh Pak Bos—tentu saja dengan tambahan catatan: “Revisi sesuai feedback Mas Satria ya. Maaf, dia masih belum puas.”Sudah revisi kelima.Dan setiap kali, komentar Satria terdengar lebih sok tahu, lebih meremehkan, lebih menyebalkan. Seolah ia masih punya hak untuk mengarahkan Dira, menyuruh ini-itu, tanpa mengingat bagaimana dulu ia sendiri yang pernah pergi meninggalkan segalanya.Lala lewat di belakang meja Dira sambil membawa tas dan map dokumen.“Dir, aku sama Rendy pulang duluan ya. Kamu nggak bareng?”Dira mengangkat wajah, menyembunyikan letihnya dengan senyum tipis. “Aku kelarin dulu revisi yang ini. Takut besok pagi udah ditagih lagi.”Lala mendesah pelan. “Aku kasihan liat kamu akhir-a

    Last Updated : 2025-04-26
  • Karma Pedas Sang Mantan   Sepuluh - Ayam Penyet

    Dira masih mengunyah sisa terakhir nasi ayam penyetnya saat pertanyaan itu keluar dari mulut Adrian—pelan, tapi langsung menohok.“Jadi bener kalian udah putus?”Dira menghela napas, malas menjawab. Awalnya ia ingin mengabaikan saja, seperti biasa. Tapi malam itu, entah kenapa, lelahnya terasa terlalu dalam. Kepalanya berat. Hatinya penuh. Dan rasanya… ia butuh seseorang yang bisa dengar. Tanpa banyak komentar. Tanpa kasihani.Maka ia menoleh pelan ke arah Adrian. Bibirnya tersenyum tipis, tapi nadanya terdengar sinis.“Loh? Kamu baru tahu aku putus sama Satria?”Adrian mengangkat alis. “Ya, cuma nebak-nebak. Soalnya aneh aja. Kamu dulu bangun tempat makan bareng dia, tapi tiba-tiba makan di tempatku. Nggak pernah kelihatan bareng dia lagi. Terus… beberapa tahun terakhir aku lihat Satria kemana-mana sendiri.”Ia jeda sebentar, suaranya makin pelan, “Kupikir kamu di rumah, jaga anak. Atau… mungkin kalian udah nikah, tapi kamu milih di balik layar. Tapi waktu dia buka cabang baru di depa

    Last Updated : 2025-04-27
  • Karma Pedas Sang Mantan   Sebelas - Ayam Penyet

    Kantor masih sepi ketika Dira tiba pagi itu. Ruang kerja masih setengah gelap, hanya cahaya dari luar jendela yang menyelusup pelan. Ia meletakkan tas di atas meja, lalu berjalan menuju pantry dengan langkah malas. Tangannya membuka toples kopi sachet, mengambil satu, dan mulai menuang air panas ke dalam gelas.Baru satu adukan, matanya melirik ponsel yang tergeletak di meja.Masih tak ada pesan yang masuk.Dira mendesah. Ponselnya diaangkat, lalu ditatap sejenak.Dia nyimpen nomerku bener nggak sih? Jangan-jangan kurang satu angka…? Atau dia ngelupain aku langsung pas udah nganterin?Pikiran Dira mulai liar.Sialnya lagi, kopi yang dia aduk malah tumpah sedikit ke atas meja. Dira buru-buru mengelapnya dengan tisu. Saat itulah Lala muncul dari pintu belakang, dengan rambut yang belum sepenuhnya rapi dan ekspresi penuh selidik.“Tumben kamu pagi-pagi nongkrongin HP. Kayak anak ABG nunggu pacarnya bales chat.”Dira melirik tajam, tapi wajahnya tak bisa dibohongi rasa canggung.“Lagi nun

    Last Updated : 2025-04-28
  • Karma Pedas Sang Mantan   Dua Belas - Ayam Penyet

    Belum sempat Dira membalas pesan Adrian tentang tempat pertemuan, langkah berat terdengar dari arah pintu depan.Begitu ia mengangkat wajah, ia mendapati sosok yang membuat napasnya terasa berat.Satria. Dengan senyum santai yang segera membuat perut Dira terasa bergejolak.“Eh, Nadira. Aku mau lihat progres desain yang tadi, sekalian mau revisi sedikit,” kata Satria sembari melangkah santai, membawa aroma parfum mahal yang begitu dikenalnya di masa lalu.Dira menarik napas dalam-dalam. “Kan bisa aku kirim ke email. Nanti kalau ada koreksi bisa dibalas lewat—”“Nggak usah, aku mau lihat langsung saja. Lebih enak ngobrol.”Satria menarik kursi di samping meja Dira dan duduk tanpa dipersilakan. Dira hampir saja menghela napas keras, namun ia tahan.Lala yang melintas sambil membawa berkas, menghentikan langkahnya sejenak. Ia memandang ke arah mereka dengan alis mengernyit, nalurinya segera terpicu.Ada sesuatu yang tidak biasa.Bukan hanya karena Satria tampak terlalu antusias untuk uku

    Last Updated : 2025-04-29
  • Karma Pedas Sang Mantan   Satu - Ayam penyet

    Rumah nenek Nadira Kamari hari itu penuh dengan kehangatan. Aroma rendang yang baru matang, ketupat yang baru saja diangkat dari rebusan, dan suara gelak tawa sanak saudara yang memenuhi ruang tengah membuat suasana terasa meriah. Dira duduk di antara sepupu-sepupunya, sesekali ikut tertawa saat mereka membicarakan hal-hal lucu. Namun, pikirannya sesekali melayang pada ponsel yang sejak tadi tak ada tanda-tanda kehidupan dari Satria - kekasihnya. “Tante denger abis lebaran kalian rencana mau nikah, ya?” suara salah satu tante tiba-tiba menarik perhatian. Dira tersentak, lalu tersenyum malu-malu. “Iya, Tante. InsyaAllah.” Serempak keluarganya langsung bersorak. Ada yang menepuk punggungnya, ada yang ikut menggoda. Dira hanya bisa tersenyum, meskipun di dalam hatinya ada sedikit rasa tak nyaman. “Terus Satria mana, kok nggak ke sini?” “Nggak tahu nih, udah dua hari nggak bisa dihubungi,” Dira akhirnya mengaku, suaranya terdengar sedikit lesu. Tante Rina, salah satu saudara

    Last Updated : 2025-04-15
  • Karma Pedas Sang Mantan   Dua - Ayam penyet

    Langit Surabaya mendung, seperti tahu ada hati yang sebentar lagi akan disayat. Di teras rumah mewah itu, Satria berdiri gagah dengan batik mahal membalut tubuhnya, seolah tak ada beban di pundaknya. Senyum kecil menghias bibirnya, tenang, nyaris tak berdosa. Di sampingnya, seorang perempuan berdiri dengan anggun, wajahnya dihias riasan tipis yang justru memperjelas kecantikannya. Tangan perempuan itu menggantung manja di lengan Satria, seolah menggenggam sesuatu yang sepenuhnya miliknya. Dira berdiri terpaku di ambang pintu, kakinya seperti tertancap tanah. Tubuhnya menegang, napasnya tercekat. Ia tak percaya apa yang dilihatnya. Satria menyapanya, seolah mereka baru saja bertemu setelah liburan panjang. “Hei, Dira. Kamu datang juga.” Nada suaranya santai, ringan. Seakan-akan tak ada luka yang menunggu untuk disayat. Suara Dira pecah, tak bisa ditahan. “Dia siapa?” Belum sempat Satria menjawab, perempuan itu sudah lebih dulu bicara dengan senyum lebar. “Aku Dinda. Istriny

    Last Updated : 2025-04-15
  • Karma Pedas Sang Mantan   Tiga - Ayam penyet

    Malam itu, Dira tidur dengan mata masih bengkak, hati masih panas, dan kepala penuh dengan kalimat Bu Lik Ratna yang terus menggema. “Kamu harus kuat dulu, Le. Baru kamu bisa balas semuanya…” Tapi entah kenapa, bukannya mimpi ayah atau masa lalu indah bersama Satria, yang datang malah sesuatu yang… ganjil. Dalam mimpinya, Dira dibawa masuk ke dalam sebuah rumah tua yang penuh asap dupa. Bau menyengat menusuk hidungnya. Di depannya, Bu Lik Ratna berdiri dengan ekspresi khidmat, mengenakan kain hitam dan selendang merah darah. “Masuk, Le…” ucap Bu Lik dengan suara pelan, matanya menyipit. Dira mengikuti langkahnya, walau jantungnya sudah dag-dig-dug. Di tengah ruangan, duduk seorang pria tua berkulit legam dengan jubah lusuh, rambut gondrong, dan jenggot panjang putih keabu-abuan. Mukanya lebar, dan entah kenapa… sangat mirip Bokir di film Suzzana yang dulu sering ia tonton sambil ngumpet di balik bantal. Dukun itu menatapnya tajam sambil mengaduk mangkok besar berisi ai

    Last Updated : 2025-04-15

Latest chapter

  • Karma Pedas Sang Mantan   Dua Belas - Ayam Penyet

    Belum sempat Dira membalas pesan Adrian tentang tempat pertemuan, langkah berat terdengar dari arah pintu depan.Begitu ia mengangkat wajah, ia mendapati sosok yang membuat napasnya terasa berat.Satria. Dengan senyum santai yang segera membuat perut Dira terasa bergejolak.“Eh, Nadira. Aku mau lihat progres desain yang tadi, sekalian mau revisi sedikit,” kata Satria sembari melangkah santai, membawa aroma parfum mahal yang begitu dikenalnya di masa lalu.Dira menarik napas dalam-dalam. “Kan bisa aku kirim ke email. Nanti kalau ada koreksi bisa dibalas lewat—”“Nggak usah, aku mau lihat langsung saja. Lebih enak ngobrol.”Satria menarik kursi di samping meja Dira dan duduk tanpa dipersilakan. Dira hampir saja menghela napas keras, namun ia tahan.Lala yang melintas sambil membawa berkas, menghentikan langkahnya sejenak. Ia memandang ke arah mereka dengan alis mengernyit, nalurinya segera terpicu.Ada sesuatu yang tidak biasa.Bukan hanya karena Satria tampak terlalu antusias untuk uku

  • Karma Pedas Sang Mantan   Sebelas - Ayam Penyet

    Kantor masih sepi ketika Dira tiba pagi itu. Ruang kerja masih setengah gelap, hanya cahaya dari luar jendela yang menyelusup pelan. Ia meletakkan tas di atas meja, lalu berjalan menuju pantry dengan langkah malas. Tangannya membuka toples kopi sachet, mengambil satu, dan mulai menuang air panas ke dalam gelas.Baru satu adukan, matanya melirik ponsel yang tergeletak di meja.Masih tak ada pesan yang masuk.Dira mendesah. Ponselnya diaangkat, lalu ditatap sejenak.Dia nyimpen nomerku bener nggak sih? Jangan-jangan kurang satu angka…? Atau dia ngelupain aku langsung pas udah nganterin?Pikiran Dira mulai liar.Sialnya lagi, kopi yang dia aduk malah tumpah sedikit ke atas meja. Dira buru-buru mengelapnya dengan tisu. Saat itulah Lala muncul dari pintu belakang, dengan rambut yang belum sepenuhnya rapi dan ekspresi penuh selidik.“Tumben kamu pagi-pagi nongkrongin HP. Kayak anak ABG nunggu pacarnya bales chat.”Dira melirik tajam, tapi wajahnya tak bisa dibohongi rasa canggung.“Lagi nun

  • Karma Pedas Sang Mantan   Sepuluh - Ayam Penyet

    Dira masih mengunyah sisa terakhir nasi ayam penyetnya saat pertanyaan itu keluar dari mulut Adrian—pelan, tapi langsung menohok.“Jadi bener kalian udah putus?”Dira menghela napas, malas menjawab. Awalnya ia ingin mengabaikan saja, seperti biasa. Tapi malam itu, entah kenapa, lelahnya terasa terlalu dalam. Kepalanya berat. Hatinya penuh. Dan rasanya… ia butuh seseorang yang bisa dengar. Tanpa banyak komentar. Tanpa kasihani.Maka ia menoleh pelan ke arah Adrian. Bibirnya tersenyum tipis, tapi nadanya terdengar sinis.“Loh? Kamu baru tahu aku putus sama Satria?”Adrian mengangkat alis. “Ya, cuma nebak-nebak. Soalnya aneh aja. Kamu dulu bangun tempat makan bareng dia, tapi tiba-tiba makan di tempatku. Nggak pernah kelihatan bareng dia lagi. Terus… beberapa tahun terakhir aku lihat Satria kemana-mana sendiri.”Ia jeda sebentar, suaranya makin pelan, “Kupikir kamu di rumah, jaga anak. Atau… mungkin kalian udah nikah, tapi kamu milih di balik layar. Tapi waktu dia buka cabang baru di depa

  • Karma Pedas Sang Mantan   Sembilan - Ayam Penyet

    Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika Dira masih duduk di depan layar komputernya. Kantor sudah mulai sepi, hanya suara AC dan detik jam yang jadi pengingat bahwa dunia di luar sedang beristirahat. Tapi tidak untuk Dira. Ia masih memelototi file desain yang baru saja dikirimkan ulang oleh Pak Bos—tentu saja dengan tambahan catatan: “Revisi sesuai feedback Mas Satria ya. Maaf, dia masih belum puas.”Sudah revisi kelima.Dan setiap kali, komentar Satria terdengar lebih sok tahu, lebih meremehkan, lebih menyebalkan. Seolah ia masih punya hak untuk mengarahkan Dira, menyuruh ini-itu, tanpa mengingat bagaimana dulu ia sendiri yang pernah pergi meninggalkan segalanya.Lala lewat di belakang meja Dira sambil membawa tas dan map dokumen.“Dir, aku sama Rendy pulang duluan ya. Kamu nggak bareng?”Dira mengangkat wajah, menyembunyikan letihnya dengan senyum tipis. “Aku kelarin dulu revisi yang ini. Takut besok pagi udah ditagih lagi.”Lala mendesah pelan. “Aku kasihan liat kamu akhir-a

  • Karma Pedas Sang Mantan   Delapan - Ayam Penyet

    Dira menatap layar presentasinya dengan pandangan kosong. Poin-poin tentang brand identity Ayam Penyet Satria tertera rapi di slide ketiga, tapi pikirannya sama sekali tak bisa fokus. Di kursi sebelah, Lala membolak-balik map cetakan sambil bersiul kecil, tak menyadari bahwa jantung Dira berdetak terlalu cepat untuk ukuran pagi hari.Ruang meeting kantor hari itu dingin—bukan hanya karena AC, tapi karena keberadaan satu orang yang seharusnya sudah lama lenyap dari hidupnya.Satria duduk tepat di hadapan Dira. Menghadap langsung. Lengannya tersilang santai, tubuhnya bersandar ke kursi seperti biasa—percaya diri, sedikit angkuh, dan terlalu nyaman di tempat yang bukan miliknya. Senyumnya sesekali mampir, tapi hanya ke Lala atau Pak Bos. Kepada Dira, tatapannya datar. Jarak. Seolah mereka tak pernah berbagi masa lalu.“Secara garis besar, konsepnya menarik,” ucap Satria setelah Dira mempresentasikan ide desain. “Tapi… ya, jujur aja, aku masih belum nemu ‘greget’ khas brand-ku di sini.”N

  • Karma Pedas Sang Mantan   Tujuh - Ayam Penyet

    Malam telah larut saat Dira tiba di kos-kosannya. Lampu kamar menyala redup, menyambut keheningan yang terasa asing tapi akrab. Ia meletakkan tas dengan pelan, membuka jendela kecil di sudut kamar, dan duduk di tepi ranjang.Semua kejadian hari ini menumpuk seperti sampah yang telat dibuang.Proyek desain mendadak yang menyeret nama usaha masa lalunya. Pertemuan dengan Adrian yang penuh sindiran dan tensi. Dan yang paling menghantam: Satria, berdiri gagah di depan warung mahalnya, bersama istri dan anak yang tampak sempurna—mewakili semua yang dulu Dira impikan… tapi tidak ia miliki.Dira memeluk lututnya, membiarkan diam melingkupi kamar. Tapi hatinya terlalu gaduh.Ia meraih ponsel dan men-scroll kontak. Jarinya berhenti di satu nama: Buk Lik Ratna. Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol telepon.Satu dering. Dua dering. Lalu suara renyah yang begitu familiar menjawab, "Halo, le… wis tekan kosan?” suara Buk Lik terdengar cerah dari seberang telepon.Dira menghela napas, suaranya lel

  • Karma Pedas Sang Mantan   Enam - Ayam Penyet

    Belum sempat suasana kembali cair, Rendy mendadak nyeletuk sambil garpu masih nyangkut di mulut, “Eh… jangan-jangan kalian pernah pacaran ya?”Dira menoleh cepat. “Bukan,” jawabnya datar, tanpa jeda.Pak Bos—yang berdarah Korea dan dikenal suka ikut nimbrung meski wajahnya selalu serius—mengangkat alis. “Kalau bukan pacaran, jangan-jangan cinta bertepuk sebelah tangan?”Lala langsung tertawa kecil. “Iya sih… vibes-nya agak-agak begitu. Salah satu dari kalian naksir tapi nggak kesampean?”Dira menghela napas, menaruh sendoknya perlahan ke pinggir piring. “Kenapa sih semua tebakannya soal hubungan cinta?”Lala mendongak sambil berlagak mikir. “Kalau gitu, hmm… mungkin… saingan lama? Musuh bebuyutan?”Dira tidak langsung menjawab. Pandangannya jatuh ke meja. “Mungkin aja,” katanya pelan, lalu kembali mengambil teh dan menyeruputnya.Hening sejenak. Lala dan Rendy saling lirik, ingin tanya lebih jauh tapi sadar Dira bukan tipe yang bisa digali kalau dia sendiri belum mau cerita. Pak Bos p

  • Karma Pedas Sang Mantan   Lima - Ayam Penyet

    Mobil kantor itu melaju stabil di tengah arus lalu lintas yang padat. Di dalamnya, percakapan ringan mengalir di antara para penumpang. Lala bercerita tentang kucing barunya, Rendy asik membahas teori random soal algoritma Instagram, dan Pak Bos terkekeh kecil mendengar celotehan anak-anak buahnya.Di antara semua suara itu, Dira hanya diam. Duduk di kursi belakang dekat jendela, menatap keluar, meski pemandangannya tak terlalu penting. Lampu jalanan, toko-toko kecil, dan pejalan kaki yang lewat. Hanya visual yang lewat begitu saja, tak masuk benar ke kepalanya.Yang berisik justru pikirannya sendiri.Gimana caranya kabur dari makan malam ini tanpa dicurigai? Gak mungkin tiba-tiba bilang ada kerjaan urgent. Atau… pura-pura pusing? Tapi nanti malah ditawarin minyak angin. Malah makin ribet.“Dir,” suara Lala menyentak lamunan. “Kok kamu diem aja dari tadi?”“Hm?” Dira menoleh singkat. “Capek dikit.”“Kamu kayak abis ketemu mantan deh,” celetuk Lala sambil tertawa.Dira tak membalas. Ha

  • Karma Pedas Sang Mantan   Empat - Ayam Penyet

    Dira duduk di teras rumah Buk Lik Ratna, ditemani secangkir teh manis yang sudah mulai dingin. Matanya menatap jauh ke jalanan kecil di depan rumah. Udara pagi membawa aroma tanah basah dan suara burung yang bersahut-sahutan. Tapi hatinya tak selega pagi itu. Ada sesuatu yang mengganjal, sekaligus membakar semangatnya dari dalam.“Le, wis yakin?” tanya Pak Lik pelan, sambil duduk di sebelahnya.Dira mengangguk. “Yakin, Pak Lik. Aku harus kembali. Kuliahku belum selesai. Aku nggak mau hidupku berhenti cuma karena Satria mutusin jadi pengkhianat.”Pak Lik menatapnya dengan mata yang teduh, lalu menepuk punggung tangan Dira. “Bagus. Tapi inget ya… kamu boleh marah, boleh kecewa. Tapi jangan pernah ngelakuin hal yang bikin kamu kehilangan dirimu sendiri.”Dira menoleh. “Iya, Pak Lik. Aku udah mikir. Aku nggak akan balas dia pakai cara yang kotor. Aku bakal buktiin kalau aku bisa berhasil tanpa dia.”Tiba-tiba, dari balik dapur, terdengar suara senggolan panci. Buk Lik muncul sambil membaw

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status