Langit Surabaya mendung, seperti tahu ada hati yang sebentar lagi akan disayat. Di teras rumah mewah itu, Satria berdiri gagah dengan batik mahal membalut tubuhnya, seolah tak ada beban di pundaknya. Senyum kecil menghias bibirnya, tenang, nyaris tak berdosa. Di sampingnya, seorang perempuan berdiri dengan anggun, wajahnya dihias riasan tipis yang justru memperjelas kecantikannya. Tangan perempuan itu menggantung manja di lengan Satria, seolah menggenggam sesuatu yang sepenuhnya miliknya.
Dira berdiri terpaku di ambang pintu, kakinya seperti tertancap tanah. Tubuhnya menegang, napasnya tercekat. Ia tak percaya apa yang dilihatnya. Satria menyapanya, seolah mereka baru saja bertemu setelah liburan panjang. “Hei, Dira. Kamu datang juga.” Nada suaranya santai, ringan. Seakan-akan tak ada luka yang menunggu untuk disayat. Suara Dira pecah, tak bisa ditahan. “Dia siapa?” Belum sempat Satria menjawab, perempuan itu sudah lebih dulu bicara dengan senyum lebar. “Aku Dinda. Istrinya Satria.” Dira seperti ditampar kenyataan. Tubuhnya bergeser mundur setapak, matanya kabur, otaknya tak bisa langsung menerima kalimat yang baru saja masuk ke telinganya. Dunia di sekitarnya terasa senyap, hanya suara degup jantung yang berdentum keras di telinganya. Ayahnya melangkah maju, suaranya gemetar menahan emosi. “Kamu gila, Sat? Tiga tahun kamu pacari anakku, bangun usaha bareng, janji nikah. Terus sekarang kamu nikah diam-diam? Sama perempuan lain?” Nada itu bukan sekadar marah, tapi dikhianati. Satria menghela napas, seperti seseorang yang ingin menyelesaikan urusan dengan cepat. “Pak, saya minta maaf. Tapi ini keputusan terbaik buat saya.” Dira menatap pria yang dulu ia cintai sepenuh hati. “Kamu bilang kamu cinta sama aku, Sat…” Senyum dingin Satria muncul. Tidak ada rasa bersalah, hanya kalkulasi. “Aku deketin kamu karena kamu pinter. Bisa bantu bangun bisnis. Tapi sekarang, aku butuh sesuatu yang lebih besar.” Matanya melirik ke Dinda, lalu melanjutkan dengan tenang, “Dinda anak pemilik lahan-lahan strategis di Gresik, Sidoarjo, Surabaya. Kita bisa buka cabang lebih banyak. Lebih cepat. Ayahnya kasih syarat: aku harus nikahin dia.” Kata-kata itu menikam seperti belati. “Jadi aku ini… cuma alat buat bantu kamu sukses?” Dira bertanya dengan suara nyaris tak terdengar, lebih kepada dirinya sendiri daripada Satria. “Iya. Dan sekarang aku udah dapet yang aku butuh.” jawabnya tanpa ragu. “Aku bukan alat, Sat!” Dira berteriak. Emosinya meledak. Tapi Satria hanya tertawa kecil, seperti mengejek kepedihan yang dirasakan Dira. “Tapi kamu udah aku pakai kayak alat, kan?” Ayah Dira tak bisa menahan diri lagi. Ia maju dengan wajah merah padam, suaranya menggelegar. “Kamu kurang ajar, Satria! Harga diri kami kamu injak-injak! Kamu anak haram!” Namun belum sempat kemarahannya tuntas, tubuhnya mendadak limbung. Wajahnya pucat, tangan mencengkeram dada. “Yah!” Dira buru-buru menangkap tubuh ayahnya yang ambruk. Kepanikan menyelimuti wajahnya. “YAH!! TOLONG! AYAH!!” Teriakannya menggema di rumah itu, tapi orang-orang hanya berdiri terpaku. Satria, yang seharusnya mengenal pria itu lebih dari siapa pun, justru ditarik masuk ke dalam oleh Dinda, seolah semua ini bukan urusannya. “Sat! Tolong, Sat!! Ayahku!!” jerit Dira, memohon. Tapi tak satu pun dari mereka bergerak. Rumah sakit terasa dingin dan asing. Dira duduk di ruang tunggu dengan tangan gemetar. Gamis yang ia pakai sudah kusut, rambutnya acak-acakan, dan wajahnya kehilangan warna. Di balik pintu IGD, dokter dan perawat sibuk berjuang menyelamatkan seseorang yang sangat berarti baginya. Tapi jauh di lubuk hati, Dira tahu… Saat pintu terbuka dan seorang dokter keluar, Dira berdiri refleks, berharap ada keajaiban. “Dok… gimana ayah saya?” Dokter itu menunduk, wajahnya menunjukkan penyesalan yang dalam. “Kami sudah lakukan yang terbaik. Tapi serangannya terlalu parah. Maaf… beliau tidak bisa diselamatkan.” Dunia Dira runtuh. “Ayah…?” Ia jatuh terduduk di lantai, tubuhnya berguncang hebat. Tangisnya tak lagi bisa ditahan. Ia memeluk lututnya, berusaha menahan rasa sakit yang meledak di dadanya. Napasnya tercekat, tenggorokannya perih. Ayahnya, satu-satunya tempat ia bersandar, kini telah pergi. Semua karena luka yang ditorehkan oleh Satria. Besoknya.. Pemakaman berjalan cepat, terlalu cepat untuk seseorang yang begitu berarti. Tak banyak orang yang datang. Dira berdiri membisu di samping nisan yang baru ditanam. Di sebelahnya, nisan lain milik ibunya. Dua batu itu kini menjadi simbol kehilangan yang tak bisa tergantikan. Ia duduk bersimpuh, memeluk nisan ayahnya, seakan ingin menarik kembali waktu. Air matanya tak berhenti mengalir, tapi suaranya habis. Dunia di sekelilingnya sunyi, hanya isak pelan dan angin sore yang membelai rambutnya yang kusut. Langkah pelan terdengar mendekat. “Dira…” Suara itu familiar—lembut, penuh kasih. Bibik Ratna. Kakak almarhumah ibunya. Bu Lik Ratna duduk di sampingnya, merangkul pundaknya perlahan. “Kamu kudu kuat, Le. Ayahmu udah tenang. Sekarang tinggal kamu yang kudu bertahan.” Dira hanya membalas dengan pelukan pada nisan ayahnya yang semakin erat. “Mama ninggalin aku pas aku SMA. Sekarang Ayah juga…” suaranya pecah, “Aku ora nduwe sopo-sopo, Bu Lik…” Bu Lik mengusap rambutnya, mencoba meredam luka yang menganga. “Masih ono Bibik, sepupumu, pamanmu. Keluarga kita isih lengkap, Le. Kamu nggak sendiri.” Tapi Dira tak bisa melihatnya seperti itu. Ia menatap dua nisan di depannya, mengusapnya dengan gemetar. Hatinya perih, seakan dunia benar-benar menarik semua hal yang ia cintai. “Rasanya kayak aku sendirian di dunia ini, Bu Lik…” Bu Lik hanya diam, memeluknya lebih erat, membiarkannya meresapi kesunyian yang menggigit. Dan di tengah gerimis kecil yang mulai membasahi tanah pemakaman, Dira menyadari satu hal: meskipun ia masih dikelilingi orang-orang, ia tahu dirinya telah benar-benar sendirian. Tapi kesendirian itu tak bertahan lama. Bu Lik Ratna menarik napas dalam, lalu menepuk-nepuk pelan bahu Dira. “Cukup, Le… Ayo bangun. Jangan terus meratap di sini.” Dira masih diam, memeluk nisan ayahnya seolah tak sanggup melepas. Tapi tangan Bu Lik kini menggenggam lengannya lebih kuat. “Kamu nggak boleh terus jatuh begini. Ayahmu nggak akan tenang kalau lihat kamu habis dirusak sama satu orang brengsek. Kamu masih hidup, Dira. Masih ada yang harus kamu lakukan.” Suara Bu Lik bergetar, tapi penuh keteguhan. “Kamu harus kuat lebih dulu. Karena cuma dengan jadi kuat, kamu bisa balas semuanya. Balas perbuatan Satria yang udah ninggalin kamu, ninggalin ayahmu… ninggalin tanggung jawab yang harusnya dia pikul.” Perlahan, Dira mengangkat kepalanya. Matanya merah dan sembab, tapi di balik kabut air mata, ada api yang mulai menyala. Nafasnya berat, tapi kini tak lagi rapuh. Ada sesuatu yang mengeras di dalam dirinya—tekad yang baru saja lahir dari luka yang dalam. Wajah Satria terbayang jelas dalam pikirannya. Senyum dingin itu. Tatapan penuh perhitungan. Kalimat-kalimat tajam yang menusuk harga dirinya. Dira mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Matanya tak lagi hanya berisi kesedihan, tapi juga kebencian. Kemarahan. Amarah yang tak akan padam sebelum semua yang ia rasakan hari ini terbalaskan. Satria telah menghancurkan hidupnya. Dan Dira bersumpah dalam hati, suatu hari… ia akan membalas semuanya.Malam itu, Dira tidur dengan mata masih bengkak, hati masih panas, dan kepala penuh dengan kalimat Bu Lik Ratna yang terus menggema. “Kamu harus kuat dulu, Le. Baru kamu bisa balas semuanya…” Tapi entah kenapa, bukannya mimpi ayah atau masa lalu indah bersama Satria, yang datang malah sesuatu yang… ganjil. Dalam mimpinya, Dira dibawa masuk ke dalam sebuah rumah tua yang penuh asap dupa. Bau menyengat menusuk hidungnya. Di depannya, Bu Lik Ratna berdiri dengan ekspresi khidmat, mengenakan kain hitam dan selendang merah darah. “Masuk, Le…” ucap Bu Lik dengan suara pelan, matanya menyipit. Dira mengikuti langkahnya, walau jantungnya sudah dag-dig-dug. Di tengah ruangan, duduk seorang pria tua berkulit legam dengan jubah lusuh, rambut gondrong, dan jenggot panjang putih keabu-abuan. Mukanya lebar, dan entah kenapa… sangat mirip Bokir di film Suzzana yang dulu sering ia tonton sambil ngumpet di balik bantal. Dukun itu menatapnya tajam sambil mengaduk mangkok besar berisi ai
Dira duduk di teras rumah Buk Lik Ratna, ditemani secangkir teh manis yang sudah mulai dingin. Matanya menatap jauh ke jalanan kecil di depan rumah. Udara pagi membawa aroma tanah basah dan suara burung yang bersahut-sahutan. Tapi hatinya tak selega pagi itu. Ada sesuatu yang mengganjal, sekaligus membakar semangatnya dari dalam.“Le, wis yakin?” tanya Pak Lik pelan, sambil duduk di sebelahnya.Dira mengangguk. “Yakin, Pak Lik. Aku harus kembali. Kuliahku belum selesai. Aku nggak mau hidupku berhenti cuma karena Satria mutusin jadi pengkhianat.”Pak Lik menatapnya dengan mata yang teduh, lalu menepuk punggung tangan Dira. “Bagus. Tapi inget ya… kamu boleh marah, boleh kecewa. Tapi jangan pernah ngelakuin hal yang bikin kamu kehilangan dirimu sendiri.”Dira menoleh. “Iya, Pak Lik. Aku udah mikir. Aku nggak akan balas dia pakai cara yang kotor. Aku bakal buktiin kalau aku bisa berhasil tanpa dia.”Tiba-tiba, dari balik dapur, terdengar suara senggolan panci. Buk Lik muncul sambil membaw
Mobil kantor itu melaju stabil di tengah arus lalu lintas yang padat. Di dalamnya, percakapan ringan mengalir di antara para penumpang. Lala bercerita tentang kucing barunya, Rendy asik membahas teori random soal algoritma Instagram, dan Pak Bos terkekeh kecil mendengar celotehan anak-anak buahnya.Di antara semua suara itu, Dira hanya diam. Duduk di kursi belakang dekat jendela, menatap keluar, meski pemandangannya tak terlalu penting. Lampu jalanan, toko-toko kecil, dan pejalan kaki yang lewat. Hanya visual yang lewat begitu saja, tak masuk benar ke kepalanya.Yang berisik justru pikirannya sendiri.Gimana caranya kabur dari makan malam ini tanpa dicurigai? Gak mungkin tiba-tiba bilang ada kerjaan urgent. Atau… pura-pura pusing? Tapi nanti malah ditawarin minyak angin. Malah makin ribet.“Dir,” suara Lala menyentak lamunan. “Kok kamu diem aja dari tadi?”“Hm?” Dira menoleh singkat. “Capek dikit.”“Kamu kayak abis ketemu mantan deh,” celetuk Lala sambil tertawa.Dira tak membalas. Ha
Belum sempat suasana kembali cair, Rendy mendadak nyeletuk sambil garpu masih nyangkut di mulut, “Eh… jangan-jangan kalian pernah pacaran ya?”Dira menoleh cepat. “Bukan,” jawabnya datar, tanpa jeda.Pak Bos—yang berdarah Korea dan dikenal suka ikut nimbrung meski wajahnya selalu serius—mengangkat alis. “Kalau bukan pacaran, jangan-jangan cinta bertepuk sebelah tangan?”Lala langsung tertawa kecil. “Iya sih… vibes-nya agak-agak begitu. Salah satu dari kalian naksir tapi nggak kesampean?”Dira menghela napas, menaruh sendoknya perlahan ke pinggir piring. “Kenapa sih semua tebakannya soal hubungan cinta?”Lala mendongak sambil berlagak mikir. “Kalau gitu, hmm… mungkin… saingan lama? Musuh bebuyutan?”Dira tidak langsung menjawab. Pandangannya jatuh ke meja. “Mungkin aja,” katanya pelan, lalu kembali mengambil teh dan menyeruputnya.Hening sejenak. Lala dan Rendy saling lirik, ingin tanya lebih jauh tapi sadar Dira bukan tipe yang bisa digali kalau dia sendiri belum mau cerita. Pak Bos p
Malam telah larut saat Dira tiba di kos-kosannya. Lampu kamar menyala redup, menyambut keheningan yang terasa asing tapi akrab. Ia meletakkan tas dengan pelan, membuka jendela kecil di sudut kamar, dan duduk di tepi ranjang.Semua kejadian hari ini menumpuk seperti sampah yang telat dibuang.Proyek desain mendadak yang menyeret nama usaha masa lalunya. Pertemuan dengan Adrian yang penuh sindiran dan tensi. Dan yang paling menghantam: Satria, berdiri gagah di depan warung mahalnya, bersama istri dan anak yang tampak sempurna—mewakili semua yang dulu Dira impikan… tapi tidak ia miliki.Dira memeluk lututnya, membiarkan diam melingkupi kamar. Tapi hatinya terlalu gaduh.Ia meraih ponsel dan men-scroll kontak. Jarinya berhenti di satu nama: Buk Lik Ratna. Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol telepon.Satu dering. Dua dering. Lalu suara renyah yang begitu familiar menjawab, "Halo, le… wis tekan kosan?” suara Buk Lik terdengar cerah dari seberang telepon.Dira menghela napas, suaranya lel
Dira menatap layar presentasinya dengan pandangan kosong. Poin-poin tentang brand identity Ayam Penyet Satria tertera rapi di slide ketiga, tapi pikirannya sama sekali tak bisa fokus. Di kursi sebelah, Lala membolak-balik map cetakan sambil bersiul kecil, tak menyadari bahwa jantung Dira berdetak terlalu cepat untuk ukuran pagi hari.Ruang meeting kantor hari itu dingin—bukan hanya karena AC, tapi karena keberadaan satu orang yang seharusnya sudah lama lenyap dari hidupnya.Satria duduk tepat di hadapan Dira. Menghadap langsung. Lengannya tersilang santai, tubuhnya bersandar ke kursi seperti biasa—percaya diri, sedikit angkuh, dan terlalu nyaman di tempat yang bukan miliknya. Senyumnya sesekali mampir, tapi hanya ke Lala atau Pak Bos. Kepada Dira, tatapannya datar. Jarak. Seolah mereka tak pernah berbagi masa lalu.“Secara garis besar, konsepnya menarik,” ucap Satria setelah Dira mempresentasikan ide desain. “Tapi… ya, jujur aja, aku masih belum nemu ‘greget’ khas brand-ku di sini.”N
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika Dira masih duduk di depan layar komputernya. Kantor sudah mulai sepi, hanya suara AC dan detik jam yang jadi pengingat bahwa dunia di luar sedang beristirahat. Tapi tidak untuk Dira. Ia masih memelototi file desain yang baru saja dikirimkan ulang oleh Pak Bos—tentu saja dengan tambahan catatan: “Revisi sesuai feedback Mas Satria ya. Maaf, dia masih belum puas.”Sudah revisi kelima.Dan setiap kali, komentar Satria terdengar lebih sok tahu, lebih meremehkan, lebih menyebalkan. Seolah ia masih punya hak untuk mengarahkan Dira, menyuruh ini-itu, tanpa mengingat bagaimana dulu ia sendiri yang pernah pergi meninggalkan segalanya.Lala lewat di belakang meja Dira sambil membawa tas dan map dokumen.“Dir, aku sama Rendy pulang duluan ya. Kamu nggak bareng?”Dira mengangkat wajah, menyembunyikan letihnya dengan senyum tipis. “Aku kelarin dulu revisi yang ini. Takut besok pagi udah ditagih lagi.”Lala mendesah pelan. “Aku kasihan liat kamu akhir-a
Dira masih mengunyah sisa terakhir nasi ayam penyetnya saat pertanyaan itu keluar dari mulut Adrian—pelan, tapi langsung menohok.“Jadi bener kalian udah putus?”Dira menghela napas, malas menjawab. Awalnya ia ingin mengabaikan saja, seperti biasa. Tapi malam itu, entah kenapa, lelahnya terasa terlalu dalam. Kepalanya berat. Hatinya penuh. Dan rasanya… ia butuh seseorang yang bisa dengar. Tanpa banyak komentar. Tanpa kasihani.Maka ia menoleh pelan ke arah Adrian. Bibirnya tersenyum tipis, tapi nadanya terdengar sinis.“Loh? Kamu baru tahu aku putus sama Satria?”Adrian mengangkat alis. “Ya, cuma nebak-nebak. Soalnya aneh aja. Kamu dulu bangun tempat makan bareng dia, tapi tiba-tiba makan di tempatku. Nggak pernah kelihatan bareng dia lagi. Terus… beberapa tahun terakhir aku lihat Satria kemana-mana sendiri.”Ia jeda sebentar, suaranya makin pelan, “Kupikir kamu di rumah, jaga anak. Atau… mungkin kalian udah nikah, tapi kamu milih di balik layar. Tapi waktu dia buka cabang baru di depa
Belum sempat Dira membalas pesan Adrian tentang tempat pertemuan, langkah berat terdengar dari arah pintu depan.Begitu ia mengangkat wajah, ia mendapati sosok yang membuat napasnya terasa berat.Satria. Dengan senyum santai yang segera membuat perut Dira terasa bergejolak.“Eh, Nadira. Aku mau lihat progres desain yang tadi, sekalian mau revisi sedikit,” kata Satria sembari melangkah santai, membawa aroma parfum mahal yang begitu dikenalnya di masa lalu.Dira menarik napas dalam-dalam. “Kan bisa aku kirim ke email. Nanti kalau ada koreksi bisa dibalas lewat—”“Nggak usah, aku mau lihat langsung saja. Lebih enak ngobrol.”Satria menarik kursi di samping meja Dira dan duduk tanpa dipersilakan. Dira hampir saja menghela napas keras, namun ia tahan.Lala yang melintas sambil membawa berkas, menghentikan langkahnya sejenak. Ia memandang ke arah mereka dengan alis mengernyit, nalurinya segera terpicu.Ada sesuatu yang tidak biasa.Bukan hanya karena Satria tampak terlalu antusias untuk uku
Kantor masih sepi ketika Dira tiba pagi itu. Ruang kerja masih setengah gelap, hanya cahaya dari luar jendela yang menyelusup pelan. Ia meletakkan tas di atas meja, lalu berjalan menuju pantry dengan langkah malas. Tangannya membuka toples kopi sachet, mengambil satu, dan mulai menuang air panas ke dalam gelas.Baru satu adukan, matanya melirik ponsel yang tergeletak di meja.Masih tak ada pesan yang masuk.Dira mendesah. Ponselnya diaangkat, lalu ditatap sejenak.Dia nyimpen nomerku bener nggak sih? Jangan-jangan kurang satu angka…? Atau dia ngelupain aku langsung pas udah nganterin?Pikiran Dira mulai liar.Sialnya lagi, kopi yang dia aduk malah tumpah sedikit ke atas meja. Dira buru-buru mengelapnya dengan tisu. Saat itulah Lala muncul dari pintu belakang, dengan rambut yang belum sepenuhnya rapi dan ekspresi penuh selidik.“Tumben kamu pagi-pagi nongkrongin HP. Kayak anak ABG nunggu pacarnya bales chat.”Dira melirik tajam, tapi wajahnya tak bisa dibohongi rasa canggung.“Lagi nun
Dira masih mengunyah sisa terakhir nasi ayam penyetnya saat pertanyaan itu keluar dari mulut Adrian—pelan, tapi langsung menohok.“Jadi bener kalian udah putus?”Dira menghela napas, malas menjawab. Awalnya ia ingin mengabaikan saja, seperti biasa. Tapi malam itu, entah kenapa, lelahnya terasa terlalu dalam. Kepalanya berat. Hatinya penuh. Dan rasanya… ia butuh seseorang yang bisa dengar. Tanpa banyak komentar. Tanpa kasihani.Maka ia menoleh pelan ke arah Adrian. Bibirnya tersenyum tipis, tapi nadanya terdengar sinis.“Loh? Kamu baru tahu aku putus sama Satria?”Adrian mengangkat alis. “Ya, cuma nebak-nebak. Soalnya aneh aja. Kamu dulu bangun tempat makan bareng dia, tapi tiba-tiba makan di tempatku. Nggak pernah kelihatan bareng dia lagi. Terus… beberapa tahun terakhir aku lihat Satria kemana-mana sendiri.”Ia jeda sebentar, suaranya makin pelan, “Kupikir kamu di rumah, jaga anak. Atau… mungkin kalian udah nikah, tapi kamu milih di balik layar. Tapi waktu dia buka cabang baru di depa
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika Dira masih duduk di depan layar komputernya. Kantor sudah mulai sepi, hanya suara AC dan detik jam yang jadi pengingat bahwa dunia di luar sedang beristirahat. Tapi tidak untuk Dira. Ia masih memelototi file desain yang baru saja dikirimkan ulang oleh Pak Bos—tentu saja dengan tambahan catatan: “Revisi sesuai feedback Mas Satria ya. Maaf, dia masih belum puas.”Sudah revisi kelima.Dan setiap kali, komentar Satria terdengar lebih sok tahu, lebih meremehkan, lebih menyebalkan. Seolah ia masih punya hak untuk mengarahkan Dira, menyuruh ini-itu, tanpa mengingat bagaimana dulu ia sendiri yang pernah pergi meninggalkan segalanya.Lala lewat di belakang meja Dira sambil membawa tas dan map dokumen.“Dir, aku sama Rendy pulang duluan ya. Kamu nggak bareng?”Dira mengangkat wajah, menyembunyikan letihnya dengan senyum tipis. “Aku kelarin dulu revisi yang ini. Takut besok pagi udah ditagih lagi.”Lala mendesah pelan. “Aku kasihan liat kamu akhir-a
Dira menatap layar presentasinya dengan pandangan kosong. Poin-poin tentang brand identity Ayam Penyet Satria tertera rapi di slide ketiga, tapi pikirannya sama sekali tak bisa fokus. Di kursi sebelah, Lala membolak-balik map cetakan sambil bersiul kecil, tak menyadari bahwa jantung Dira berdetak terlalu cepat untuk ukuran pagi hari.Ruang meeting kantor hari itu dingin—bukan hanya karena AC, tapi karena keberadaan satu orang yang seharusnya sudah lama lenyap dari hidupnya.Satria duduk tepat di hadapan Dira. Menghadap langsung. Lengannya tersilang santai, tubuhnya bersandar ke kursi seperti biasa—percaya diri, sedikit angkuh, dan terlalu nyaman di tempat yang bukan miliknya. Senyumnya sesekali mampir, tapi hanya ke Lala atau Pak Bos. Kepada Dira, tatapannya datar. Jarak. Seolah mereka tak pernah berbagi masa lalu.“Secara garis besar, konsepnya menarik,” ucap Satria setelah Dira mempresentasikan ide desain. “Tapi… ya, jujur aja, aku masih belum nemu ‘greget’ khas brand-ku di sini.”N
Malam telah larut saat Dira tiba di kos-kosannya. Lampu kamar menyala redup, menyambut keheningan yang terasa asing tapi akrab. Ia meletakkan tas dengan pelan, membuka jendela kecil di sudut kamar, dan duduk di tepi ranjang.Semua kejadian hari ini menumpuk seperti sampah yang telat dibuang.Proyek desain mendadak yang menyeret nama usaha masa lalunya. Pertemuan dengan Adrian yang penuh sindiran dan tensi. Dan yang paling menghantam: Satria, berdiri gagah di depan warung mahalnya, bersama istri dan anak yang tampak sempurna—mewakili semua yang dulu Dira impikan… tapi tidak ia miliki.Dira memeluk lututnya, membiarkan diam melingkupi kamar. Tapi hatinya terlalu gaduh.Ia meraih ponsel dan men-scroll kontak. Jarinya berhenti di satu nama: Buk Lik Ratna. Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol telepon.Satu dering. Dua dering. Lalu suara renyah yang begitu familiar menjawab, "Halo, le… wis tekan kosan?” suara Buk Lik terdengar cerah dari seberang telepon.Dira menghela napas, suaranya lel
Belum sempat suasana kembali cair, Rendy mendadak nyeletuk sambil garpu masih nyangkut di mulut, “Eh… jangan-jangan kalian pernah pacaran ya?”Dira menoleh cepat. “Bukan,” jawabnya datar, tanpa jeda.Pak Bos—yang berdarah Korea dan dikenal suka ikut nimbrung meski wajahnya selalu serius—mengangkat alis. “Kalau bukan pacaran, jangan-jangan cinta bertepuk sebelah tangan?”Lala langsung tertawa kecil. “Iya sih… vibes-nya agak-agak begitu. Salah satu dari kalian naksir tapi nggak kesampean?”Dira menghela napas, menaruh sendoknya perlahan ke pinggir piring. “Kenapa sih semua tebakannya soal hubungan cinta?”Lala mendongak sambil berlagak mikir. “Kalau gitu, hmm… mungkin… saingan lama? Musuh bebuyutan?”Dira tidak langsung menjawab. Pandangannya jatuh ke meja. “Mungkin aja,” katanya pelan, lalu kembali mengambil teh dan menyeruputnya.Hening sejenak. Lala dan Rendy saling lirik, ingin tanya lebih jauh tapi sadar Dira bukan tipe yang bisa digali kalau dia sendiri belum mau cerita. Pak Bos p
Mobil kantor itu melaju stabil di tengah arus lalu lintas yang padat. Di dalamnya, percakapan ringan mengalir di antara para penumpang. Lala bercerita tentang kucing barunya, Rendy asik membahas teori random soal algoritma Instagram, dan Pak Bos terkekeh kecil mendengar celotehan anak-anak buahnya.Di antara semua suara itu, Dira hanya diam. Duduk di kursi belakang dekat jendela, menatap keluar, meski pemandangannya tak terlalu penting. Lampu jalanan, toko-toko kecil, dan pejalan kaki yang lewat. Hanya visual yang lewat begitu saja, tak masuk benar ke kepalanya.Yang berisik justru pikirannya sendiri.Gimana caranya kabur dari makan malam ini tanpa dicurigai? Gak mungkin tiba-tiba bilang ada kerjaan urgent. Atau… pura-pura pusing? Tapi nanti malah ditawarin minyak angin. Malah makin ribet.“Dir,” suara Lala menyentak lamunan. “Kok kamu diem aja dari tadi?”“Hm?” Dira menoleh singkat. “Capek dikit.”“Kamu kayak abis ketemu mantan deh,” celetuk Lala sambil tertawa.Dira tak membalas. Ha
Dira duduk di teras rumah Buk Lik Ratna, ditemani secangkir teh manis yang sudah mulai dingin. Matanya menatap jauh ke jalanan kecil di depan rumah. Udara pagi membawa aroma tanah basah dan suara burung yang bersahut-sahutan. Tapi hatinya tak selega pagi itu. Ada sesuatu yang mengganjal, sekaligus membakar semangatnya dari dalam.“Le, wis yakin?” tanya Pak Lik pelan, sambil duduk di sebelahnya.Dira mengangguk. “Yakin, Pak Lik. Aku harus kembali. Kuliahku belum selesai. Aku nggak mau hidupku berhenti cuma karena Satria mutusin jadi pengkhianat.”Pak Lik menatapnya dengan mata yang teduh, lalu menepuk punggung tangan Dira. “Bagus. Tapi inget ya… kamu boleh marah, boleh kecewa. Tapi jangan pernah ngelakuin hal yang bikin kamu kehilangan dirimu sendiri.”Dira menoleh. “Iya, Pak Lik. Aku udah mikir. Aku nggak akan balas dia pakai cara yang kotor. Aku bakal buktiin kalau aku bisa berhasil tanpa dia.”Tiba-tiba, dari balik dapur, terdengar suara senggolan panci. Buk Lik muncul sambil membaw