Home / Romansa / Karma Pedas Sang Mantan / Satu - Ayam penyet

Share

Karma Pedas Sang Mantan
Karma Pedas Sang Mantan
Author: ohhyundo

Satu - Ayam penyet

Author: ohhyundo
last update Last Updated: 2025-04-15 09:18:14

Rumah nenek Nadira Kamari hari itu penuh dengan kehangatan. Aroma rendang yang baru matang, ketupat yang baru saja diangkat dari rebusan, dan suara gelak tawa sanak saudara yang memenuhi ruang tengah membuat suasana terasa meriah.

Dira duduk di antara sepupu-sepupunya, sesekali ikut tertawa saat mereka membicarakan hal-hal lucu. Namun, pikirannya sesekali melayang pada ponsel yang sejak tadi tak ada tanda-tanda kehidupan dari Satria - kekasihnya.

“Tante denger abis lebaran kalian rencana mau nikah, ya?” suara salah satu tante tiba-tiba menarik perhatian.

Dira tersentak, lalu tersenyum malu-malu. “Iya, Tante. InsyaAllah.”

Serempak keluarganya langsung bersorak. Ada yang menepuk punggungnya, ada yang ikut menggoda. Dira hanya bisa tersenyum, meskipun di dalam hatinya ada sedikit rasa tak nyaman.

“Terus Satria mana, kok nggak ke sini?”

“Nggak tahu nih, udah dua hari nggak bisa dihubungi,” Dira akhirnya mengaku, suaranya terdengar sedikit lesu.

Tante Rina, salah satu saudara ibunya, ikut menimpali, “Jangan-jangan dia lagi nyiapin kejutan, Dir. Biasanya sih gitu, kalau laki-laki tiba-tiba ngilang, bisa jadi lagi nyiapin sesuatu buat ceweknya.”

Beberapa sepupu Dira langsung terkikik. “Wah, siap-siap aja abis lebaran, nih!”

Dira tersenyum tipis, tapi tetap tak bisa menghilangkan kegelisahan di hatinya. Ia ingin sekali percaya kalau Satria hanya sedang sibuk mempersiapkan kejutan, mungkin memang butuh waktu sendiri. Tapi dua hari tanpa kabar? Itu bukan Satria yang ia kenal.

Sejak mereka mulai bisnis ayam penyet bareng tiga tahun lalu, mereka hampir tak pernah lepas komunikasi. Apalagi sejak Satria berjanji untuk serius membawa hubungan mereka ke jenjang pernikahan setelah lebaran. Mereka bahkan sudah membicarakan cincin, gedung, dan katering yang akan digunakan. Satria bilang ingin semuanya sempurna untuk Dira.

Dira menggenggam ponselnya lebih erat. Dalam hati, ia ingin menghubungi Satria lagi, tapi entah kenapa ada rasa ragu yang menahannya. Jangan-jangan…

Tidak, tidak mungkin.

Berusaha mengusir pikiran buruk, Dira mengalihkan perhatian ke sepupunya yang masih sibuk bercanda. Namun, saat ia hendak membuka media sosial untuk menghabiskan waktu, sebuah notifikasi W******p masuk dari seorang teman kuliah

Rena: Dira, aku nggak tahu harus kasih tahu kamu atau nggak… tapi aku nggak mau kamu nggak tahu…

(1 gambar dikirim)

Dira mengernyit. Dengan hati yang berdegup cepat, ia membuka gambar itu.

Dan dunianya langsung berhenti berputar.

Satria.

Berdiri di pelaminan.

Bersanding dengan wanita lain.

Dira tidak bisa bernapas.

Suaranya tercekat di tenggorokan. Ia ingin meyakinkan dirinya bahwa ini hanya lelucon, atau mungkin hanya kebetulan ada orang lain yang mirip dengan Satria. Tapi semakin lama ia menatap foto itu, semakin nyata kenyataan itu menghantamnya.

Satria menikah.

Kemarin.

Tanpa memberitahunya.

Tanpa peringatan.

Tanpa penjelasan.

Tangannya gemetar hebat saat ia buru-buru mengetik pesan ke teman kampusnya.

Dira: Ini editan, kan?

Rena: Enggak, Dir… Maaf. Itu beneran…

Dira: Enggak mungkin!

Brak.

Ponsel Dira terjatuh dari tangannya. Seluruh tubuhnya melemas. Matanya panas. Tenggorokannya tercekat.

Suasana di sekitarnya mulai kabur. Suara tawa keluarganya terdengar jauh, seolah berasal dari dunia lain. Dira merasa seakan-akan oksigen di ruangan ini menghilang. Dadanya terasa sesak, sangat sesak.

“Dira?” suara ayahnya terdengar samar.

“Ndok, kamu kenapa?” suara ayahnya lembut, penuh kekhawatiran.

Dira butuh beberapa detik untuk memahami apa yang terjadi. Kepalanya terasa berat, dadanya masih terasa sesak.

Lalu, ingatan itu kembali.

Foto itu.

Satria.

Pernikahan.

Dira langsung terisak. “Ayah…Satria, yah.."

"Iyo..iyo. Satria kenapa?"

Wajah keriput sang ayah jadi bertambah dalam ketika beliau mulai mengkhawatirkan dirinya. Begitu pula dengan saudara-saudaranya yang lain, tampak mencoba untuk memberi bantuan seadanya.

"Aku mesti balik ke Surabaya sekarang, Yah! Dira mau ketemu Satria dan mastiin semuanya."

Ayahnya terdiam sejenak. Ekspresinya sulit ditebak.

Lalu, dengan suara berat, ia berkata, “Kalau itu yang kamu mau… Ayah ikut.”

Dira menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Napasnya tersendat, dadanya sesak seolah beban di hatinya terlalu berat untuk ditanggung sendirian.

“Ayah…?” suaranya lirih, hampir tak terdengar di tengah isakannya yang tertahan.

“Kamu nggak bisa pergi sendiri dalam keadaan begini. Ayah temenin kamu ke Surabaya.”

Seolah tameng terakhirnya runtuh, Dira langsung terisak. Tubuhnya berguncang, seluruh perasaannya tumpah ruah dalam tangisan yang tak bisa lagi ia bendung. Ia meraih tangan ayahnya, menggenggam erat, seakan takut jika satu-satunya orang yang masih ada untuknya juga akan menghilang.

**

Perjalanan ke Surabaya terasa seperti mimpi buruk bagi Dira.

Mobil melaju di jalan tol, melewati sawah dan bangunan yang berkelebat di luar jendela. Tapi di dalam mobil, hanya ada keheningan.

Dira duduk diam, memeluk dirinya sendiri. Pandangannya kosong, pikirannya penuh dengan jutaan pertanyaan yang tidak bisa dijawab.

Kenapa?

Kenapa Satria melakukan ini padanya?

Apa salahnya?

Bukankah mereka sudah berjuang bersama? Bukankah mereka sudah merintis bisnis bersama? Bukankah mereka sudah merencanakan masa depan bersama?

Kenapa Satria menghancurkan semua itu dalam sekejap?

Air mata jatuh tanpa suara. Tangannya menggenggam baju gamisnya erat, seolah berusaha menahan perasaan yang menghancurkan dadanya.

Ayahnya tidak mengatakan apa-apa. Mungkin karena tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa sakit yang Dira rasakan saat ini.

Tiga jam kemudian, mereka tiba di depan rumah Satria.

Dan di sanalah bukti pengkhianatan itu terpampang jelas di depan mata.

Sisa-sisa tenda pernikahan masih berdiri. Bekas dekorasi masih ada di halaman. Pintu rumah terbuka, memperlihatkan beberapa tamu yang masih bertahan, mungkin kerabat dekat yang datang dari jauh.

Dira berdiri membeku.

Namun sebelum ia sempat bereaksi lebih jauh, pintu rumah terbuka lebih lebar.

Dan di sanalah Satria berdiri.

Bersama istrinya.

Dira tercekat. Pandangannya kabur karena air mata yang menggenang. Dadanya sesak.

Namun, yang paling membuatnya ingin berteriak adalah tatapan Satria yang begitu tenang.

Seolah ia sudah siap kapan saja jika Dira datang. Seolah ia tidak merasa bersalah sama sekali.

Lalu, dengan santai, Satria melingkarkan tangannya di pinggang istrinya.

Senyum puas tersungging di bibirnya.

“Hei, Dira. Kamu datang juga.”

Dan saat itu juga, sesuatu dalam diri Dira hancur berkeping-keping.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Noa
semangat diraaa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Karma Pedas Sang Mantan   Dua - Ayam penyet

    Langit Surabaya mendung, seperti tahu ada hati yang sebentar lagi akan disayat. Di teras rumah mewah itu, Satria berdiri gagah dengan batik mahal membalut tubuhnya, seolah tak ada beban di pundaknya. Senyum kecil menghias bibirnya, tenang, nyaris tak berdosa. Di sampingnya, seorang perempuan berdiri dengan anggun, wajahnya dihias riasan tipis yang justru memperjelas kecantikannya. Tangan perempuan itu menggantung manja di lengan Satria, seolah menggenggam sesuatu yang sepenuhnya miliknya. Dira berdiri terpaku di ambang pintu, kakinya seperti tertancap tanah. Tubuhnya menegang, napasnya tercekat. Ia tak percaya apa yang dilihatnya. Satria menyapanya, seolah mereka baru saja bertemu setelah liburan panjang. “Hei, Dira. Kamu datang juga.” Nada suaranya santai, ringan. Seakan-akan tak ada luka yang menunggu untuk disayat. Suara Dira pecah, tak bisa ditahan. “Dia siapa?” Belum sempat Satria menjawab, perempuan itu sudah lebih dulu bicara dengan senyum lebar. “Aku Dinda. Istriny

    Last Updated : 2025-04-15
  • Karma Pedas Sang Mantan   Tiga - Ayam penyet

    Malam itu, Dira tidur dengan mata masih bengkak, hati masih panas, dan kepala penuh dengan kalimat Bu Lik Ratna yang terus menggema. “Kamu harus kuat dulu, Le. Baru kamu bisa balas semuanya…” Tapi entah kenapa, bukannya mimpi ayah atau masa lalu indah bersama Satria, yang datang malah sesuatu yang… ganjil. Dalam mimpinya, Dira dibawa masuk ke dalam sebuah rumah tua yang penuh asap dupa. Bau menyengat menusuk hidungnya. Di depannya, Bu Lik Ratna berdiri dengan ekspresi khidmat, mengenakan kain hitam dan selendang merah darah. “Masuk, Le…” ucap Bu Lik dengan suara pelan, matanya menyipit. Dira mengikuti langkahnya, walau jantungnya sudah dag-dig-dug. Di tengah ruangan, duduk seorang pria tua berkulit legam dengan jubah lusuh, rambut gondrong, dan jenggot panjang putih keabu-abuan. Mukanya lebar, dan entah kenapa… sangat mirip Bokir di film Suzzana yang dulu sering ia tonton sambil ngumpet di balik bantal. Dukun itu menatapnya tajam sambil mengaduk mangkok besar berisi ai

    Last Updated : 2025-04-15
  • Karma Pedas Sang Mantan   Empat - Ayam Penyet

    Dira duduk di teras rumah Buk Lik Ratna, ditemani secangkir teh manis yang sudah mulai dingin. Matanya menatap jauh ke jalanan kecil di depan rumah. Udara pagi membawa aroma tanah basah dan suara burung yang bersahut-sahutan. Tapi hatinya tak selega pagi itu. Ada sesuatu yang mengganjal, sekaligus membakar semangatnya dari dalam.“Le, wis yakin?” tanya Pak Lik pelan, sambil duduk di sebelahnya.Dira mengangguk. “Yakin, Pak Lik. Aku harus kembali. Kuliahku belum selesai. Aku nggak mau hidupku berhenti cuma karena Satria mutusin jadi pengkhianat.”Pak Lik menatapnya dengan mata yang teduh, lalu menepuk punggung tangan Dira. “Bagus. Tapi inget ya… kamu boleh marah, boleh kecewa. Tapi jangan pernah ngelakuin hal yang bikin kamu kehilangan dirimu sendiri.”Dira menoleh. “Iya, Pak Lik. Aku udah mikir. Aku nggak akan balas dia pakai cara yang kotor. Aku bakal buktiin kalau aku bisa berhasil tanpa dia.”Tiba-tiba, dari balik dapur, terdengar suara senggolan panci. Buk Lik muncul sambil membaw

    Last Updated : 2025-04-15
  • Karma Pedas Sang Mantan   Lima - Ayam Penyet

    Mobil kantor itu melaju stabil di tengah arus lalu lintas yang padat. Di dalamnya, percakapan ringan mengalir di antara para penumpang. Lala bercerita tentang kucing barunya, Rendy asik membahas teori random soal algoritma Instagram, dan Pak Bos terkekeh kecil mendengar celotehan anak-anak buahnya.Di antara semua suara itu, Dira hanya diam. Duduk di kursi belakang dekat jendela, menatap keluar, meski pemandangannya tak terlalu penting. Lampu jalanan, toko-toko kecil, dan pejalan kaki yang lewat. Hanya visual yang lewat begitu saja, tak masuk benar ke kepalanya.Yang berisik justru pikirannya sendiri.Gimana caranya kabur dari makan malam ini tanpa dicurigai? Gak mungkin tiba-tiba bilang ada kerjaan urgent. Atau… pura-pura pusing? Tapi nanti malah ditawarin minyak angin. Malah makin ribet.“Dir,” suara Lala menyentak lamunan. “Kok kamu diem aja dari tadi?”“Hm?” Dira menoleh singkat. “Capek dikit.”“Kamu kayak abis ketemu mantan deh,” celetuk Lala sambil tertawa.Dira tak membalas. Ha

    Last Updated : 2025-04-15
  • Karma Pedas Sang Mantan   Enam - Ayam Penyet

    Belum sempat suasana kembali cair, Rendy mendadak nyeletuk sambil garpu masih nyangkut di mulut, “Eh… jangan-jangan kalian pernah pacaran ya?”Dira menoleh cepat. “Bukan,” jawabnya datar, tanpa jeda.Pak Bos—yang berdarah Korea dan dikenal suka ikut nimbrung meski wajahnya selalu serius—mengangkat alis. “Kalau bukan pacaran, jangan-jangan cinta bertepuk sebelah tangan?”Lala langsung tertawa kecil. “Iya sih… vibes-nya agak-agak begitu. Salah satu dari kalian naksir tapi nggak kesampean?”Dira menghela napas, menaruh sendoknya perlahan ke pinggir piring. “Kenapa sih semua tebakannya soal hubungan cinta?”Lala mendongak sambil berlagak mikir. “Kalau gitu, hmm… mungkin… saingan lama? Musuh bebuyutan?”Dira tidak langsung menjawab. Pandangannya jatuh ke meja. “Mungkin aja,” katanya pelan, lalu kembali mengambil teh dan menyeruputnya.Hening sejenak. Lala dan Rendy saling lirik, ingin tanya lebih jauh tapi sadar Dira bukan tipe yang bisa digali kalau dia sendiri belum mau cerita. Pak Bos p

    Last Updated : 2025-04-17
  • Karma Pedas Sang Mantan   Tujuh - Ayam Penyet

    Malam telah larut saat Dira tiba di kos-kosannya. Lampu kamar menyala redup, menyambut keheningan yang terasa asing tapi akrab. Ia meletakkan tas dengan pelan, membuka jendela kecil di sudut kamar, dan duduk di tepi ranjang.Semua kejadian hari ini menumpuk seperti sampah yang telat dibuang.Proyek desain mendadak yang menyeret nama usaha masa lalunya. Pertemuan dengan Adrian yang penuh sindiran dan tensi. Dan yang paling menghantam: Satria, berdiri gagah di depan warung mahalnya, bersama istri dan anak yang tampak sempurna—mewakili semua yang dulu Dira impikan… tapi tidak ia miliki.Dira memeluk lututnya, membiarkan diam melingkupi kamar. Tapi hatinya terlalu gaduh.Ia meraih ponsel dan men-scroll kontak. Jarinya berhenti di satu nama: Buk Lik Ratna. Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol telepon.Satu dering. Dua dering. Lalu suara renyah yang begitu familiar menjawab, "Halo, le… wis tekan kosan?” suara Buk Lik terdengar cerah dari seberang telepon.Dira menghela napas, suaranya lel

    Last Updated : 2025-04-20
  • Karma Pedas Sang Mantan   Delapan - Ayam Penyet

    Dira menatap layar presentasinya dengan pandangan kosong. Poin-poin tentang brand identity Ayam Penyet Satria tertera rapi di slide ketiga, tapi pikirannya sama sekali tak bisa fokus. Di kursi sebelah, Lala membolak-balik map cetakan sambil bersiul kecil, tak menyadari bahwa jantung Dira berdetak terlalu cepat untuk ukuran pagi hari.Ruang meeting kantor hari itu dingin—bukan hanya karena AC, tapi karena keberadaan satu orang yang seharusnya sudah lama lenyap dari hidupnya.Satria duduk tepat di hadapan Dira. Menghadap langsung. Lengannya tersilang santai, tubuhnya bersandar ke kursi seperti biasa—percaya diri, sedikit angkuh, dan terlalu nyaman di tempat yang bukan miliknya. Senyumnya sesekali mampir, tapi hanya ke Lala atau Pak Bos. Kepada Dira, tatapannya datar. Jarak. Seolah mereka tak pernah berbagi masa lalu.“Secara garis besar, konsepnya menarik,” ucap Satria setelah Dira mempresentasikan ide desain. “Tapi… ya, jujur aja, aku masih belum nemu ‘greget’ khas brand-ku di sini.”N

    Last Updated : 2025-04-25
  • Karma Pedas Sang Mantan   Sembilan - Ayam Penyet

    Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika Dira masih duduk di depan layar komputernya. Kantor sudah mulai sepi, hanya suara AC dan detik jam yang jadi pengingat bahwa dunia di luar sedang beristirahat. Tapi tidak untuk Dira. Ia masih memelototi file desain yang baru saja dikirimkan ulang oleh Pak Bos—tentu saja dengan tambahan catatan: “Revisi sesuai feedback Mas Satria ya. Maaf, dia masih belum puas.”Sudah revisi kelima.Dan setiap kali, komentar Satria terdengar lebih sok tahu, lebih meremehkan, lebih menyebalkan. Seolah ia masih punya hak untuk mengarahkan Dira, menyuruh ini-itu, tanpa mengingat bagaimana dulu ia sendiri yang pernah pergi meninggalkan segalanya.Lala lewat di belakang meja Dira sambil membawa tas dan map dokumen.“Dir, aku sama Rendy pulang duluan ya. Kamu nggak bareng?”Dira mengangkat wajah, menyembunyikan letihnya dengan senyum tipis. “Aku kelarin dulu revisi yang ini. Takut besok pagi udah ditagih lagi.”Lala mendesah pelan. “Aku kasihan liat kamu akhir-a

    Last Updated : 2025-04-26

Latest chapter

  • Karma Pedas Sang Mantan   Empat Belas - Ayam Penyet

    Sadar situasi mulai terlalu aneh, Dira cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman Adrian. Wajahnya memanas, bukan hanya karena sabun yang masih menetes dari jemarinya, melainkan juga karena kedekatan tadi yang sukses membuat hatinya berdebar tak karuan.“Eh… Ini, desainnya,” Dira mengalihkan perhatian, membuka topik sambil pura-pura sibuk membilas piring. “Kamu mau bahas sekarang?”Adrian menggeleng cepat. “Udah malem, Dir. Besok aja. Sekarang kamu udah capek, aku juga.”Dira mengangguk lega. Setidaknya, ia bisa menyelamatkan dirinya dari kecanggungan yang lebih parah.Setelah tumpukan piring bersih mengering di rak, Adrian buru-buru membereskan meja dan menutup seluruh bagian ruko. Dira mengambil tasnya, bersiap pamit.“Aku pulang, ya. Makasih udah dibolehin bantu,” ucap Dira ringan.Namun Adrian langsung menghalangi langkahnya. “Aku anter.”“Nggak usah, Adrian. Aku bisa sendiri.”“Tetep harus dianter.” Tanpa banyak kata, Adrian mengambil helm cadangan yang tergantung di belakang p

  • Karma Pedas Sang Mantan   Tiga Belas - Ayam Penyet

    Sore itu, Dira berlari tergesa-gesa ke arah sebuah ruko sederhana bertuliskan “Ayam Penyet Berkah” di depannya. Nafasnya tersengal, keringat kecil membasahi pelipisnya. Ruko itu, yang biasanya sepi, hari ini justru ramai dipenuhi pelanggan.Begitu sampai di depan meja gorengan, Dira berdiri sebentar, membenahi napasnya. Dengan deham pelan, ia menarik perhatian Adrian yang masih sibuk membolak-balik ayam di wajan besar.Adrian melirik sekilas. Tanpa berkata apa-apa.Dira menggigit bibirnya, lalu memberanikan diri bicara, “Maaf… aku telat. Tadi ada kerjaan mendadak.”Tak ada balasan. Adrian hanya menunduk, kembali fokus mengangkat ayam-ayam goreng ke atas tampah. Tapi Dira bisa melihat jelas dari raut wajahnya—kesal, capek, dan sedikit… bingung.Melihat itu, Dira spontan menawarkan diri, “Aku bantu, ya?”Adrian menoleh, menahan ucapan, lalu menggeleng cepat. “Nggak usah. Ini urusan—”Belum selesai Adrian menolak, suara pelanggan memanggil dari meja, “Mbak, pesanannya, ya!”Dira tanpa pi

  • Karma Pedas Sang Mantan   Dua Belas - Ayam Penyet

    Belum sempat Dira membalas pesan Adrian tentang tempat pertemuan, langkah berat terdengar dari arah pintu depan.Begitu ia mengangkat wajah, ia mendapati sosok yang membuat napasnya terasa berat.Satria. Dengan senyum santai yang segera membuat perut Dira terasa bergejolak.“Eh, Nadira. Aku mau lihat progres desain yang tadi, sekalian mau revisi sedikit,” kata Satria sembari melangkah santai, membawa aroma parfum mahal yang begitu dikenalnya di masa lalu.Dira menarik napas dalam-dalam. “Kan bisa aku kirim ke email. Nanti kalau ada koreksi bisa dibalas lewat—”“Nggak usah, aku mau lihat langsung saja. Lebih enak ngobrol.”Satria menarik kursi di samping meja Dira dan duduk tanpa dipersilakan. Dira hampir saja menghela napas keras, namun ia tahan.Lala yang melintas sambil membawa berkas, menghentikan langkahnya sejenak. Ia memandang ke arah mereka dengan alis mengernyit, nalurinya segera terpicu.Ada sesuatu yang tidak biasa.Bukan hanya karena Satria tampak terlalu antusias untuk uku

  • Karma Pedas Sang Mantan   Sebelas - Ayam Penyet

    Kantor masih sepi ketika Dira tiba pagi itu. Ruang kerja masih setengah gelap, hanya cahaya dari luar jendela yang menyelusup pelan. Ia meletakkan tas di atas meja, lalu berjalan menuju pantry dengan langkah malas. Tangannya membuka toples kopi sachet, mengambil satu, dan mulai menuang air panas ke dalam gelas.Baru satu adukan, matanya melirik ponsel yang tergeletak di meja.Masih tak ada pesan yang masuk.Dira mendesah. Ponselnya diaangkat, lalu ditatap sejenak.Dia nyimpen nomerku bener nggak sih? Jangan-jangan kurang satu angka…? Atau dia ngelupain aku langsung pas udah nganterin?Pikiran Dira mulai liar.Sialnya lagi, kopi yang dia aduk malah tumpah sedikit ke atas meja. Dira buru-buru mengelapnya dengan tisu. Saat itulah Lala muncul dari pintu belakang, dengan rambut yang belum sepenuhnya rapi dan ekspresi penuh selidik.“Tumben kamu pagi-pagi nongkrongin HP. Kayak anak ABG nunggu pacarnya bales chat.”Dira melirik tajam, tapi wajahnya tak bisa dibohongi rasa canggung.“Lagi nun

  • Karma Pedas Sang Mantan   Sepuluh - Ayam Penyet

    Dira masih mengunyah sisa terakhir nasi ayam penyetnya saat pertanyaan itu keluar dari mulut Adrian—pelan, tapi langsung menohok.“Jadi bener kalian udah putus?”Dira menghela napas, malas menjawab. Awalnya ia ingin mengabaikan saja, seperti biasa. Tapi malam itu, entah kenapa, lelahnya terasa terlalu dalam. Kepalanya berat. Hatinya penuh. Dan rasanya… ia butuh seseorang yang bisa dengar. Tanpa banyak komentar. Tanpa kasihani.Maka ia menoleh pelan ke arah Adrian. Bibirnya tersenyum tipis, tapi nadanya terdengar sinis.“Loh? Kamu baru tahu aku putus sama Satria?”Adrian mengangkat alis. “Ya, cuma nebak-nebak. Soalnya aneh aja. Kamu dulu bangun tempat makan bareng dia, tapi tiba-tiba makan di tempatku. Nggak pernah kelihatan bareng dia lagi. Terus… beberapa tahun terakhir aku lihat Satria kemana-mana sendiri.”Ia jeda sebentar, suaranya makin pelan, “Kupikir kamu di rumah, jaga anak. Atau… mungkin kalian udah nikah, tapi kamu milih di balik layar. Tapi waktu dia buka cabang baru di depa

  • Karma Pedas Sang Mantan   Sembilan - Ayam Penyet

    Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika Dira masih duduk di depan layar komputernya. Kantor sudah mulai sepi, hanya suara AC dan detik jam yang jadi pengingat bahwa dunia di luar sedang beristirahat. Tapi tidak untuk Dira. Ia masih memelototi file desain yang baru saja dikirimkan ulang oleh Pak Bos—tentu saja dengan tambahan catatan: “Revisi sesuai feedback Mas Satria ya. Maaf, dia masih belum puas.”Sudah revisi kelima.Dan setiap kali, komentar Satria terdengar lebih sok tahu, lebih meremehkan, lebih menyebalkan. Seolah ia masih punya hak untuk mengarahkan Dira, menyuruh ini-itu, tanpa mengingat bagaimana dulu ia sendiri yang pernah pergi meninggalkan segalanya.Lala lewat di belakang meja Dira sambil membawa tas dan map dokumen.“Dir, aku sama Rendy pulang duluan ya. Kamu nggak bareng?”Dira mengangkat wajah, menyembunyikan letihnya dengan senyum tipis. “Aku kelarin dulu revisi yang ini. Takut besok pagi udah ditagih lagi.”Lala mendesah pelan. “Aku kasihan liat kamu akhir-a

  • Karma Pedas Sang Mantan   Delapan - Ayam Penyet

    Dira menatap layar presentasinya dengan pandangan kosong. Poin-poin tentang brand identity Ayam Penyet Satria tertera rapi di slide ketiga, tapi pikirannya sama sekali tak bisa fokus. Di kursi sebelah, Lala membolak-balik map cetakan sambil bersiul kecil, tak menyadari bahwa jantung Dira berdetak terlalu cepat untuk ukuran pagi hari.Ruang meeting kantor hari itu dingin—bukan hanya karena AC, tapi karena keberadaan satu orang yang seharusnya sudah lama lenyap dari hidupnya.Satria duduk tepat di hadapan Dira. Menghadap langsung. Lengannya tersilang santai, tubuhnya bersandar ke kursi seperti biasa—percaya diri, sedikit angkuh, dan terlalu nyaman di tempat yang bukan miliknya. Senyumnya sesekali mampir, tapi hanya ke Lala atau Pak Bos. Kepada Dira, tatapannya datar. Jarak. Seolah mereka tak pernah berbagi masa lalu.“Secara garis besar, konsepnya menarik,” ucap Satria setelah Dira mempresentasikan ide desain. “Tapi… ya, jujur aja, aku masih belum nemu ‘greget’ khas brand-ku di sini.”N

  • Karma Pedas Sang Mantan   Tujuh - Ayam Penyet

    Malam telah larut saat Dira tiba di kos-kosannya. Lampu kamar menyala redup, menyambut keheningan yang terasa asing tapi akrab. Ia meletakkan tas dengan pelan, membuka jendela kecil di sudut kamar, dan duduk di tepi ranjang.Semua kejadian hari ini menumpuk seperti sampah yang telat dibuang.Proyek desain mendadak yang menyeret nama usaha masa lalunya. Pertemuan dengan Adrian yang penuh sindiran dan tensi. Dan yang paling menghantam: Satria, berdiri gagah di depan warung mahalnya, bersama istri dan anak yang tampak sempurna—mewakili semua yang dulu Dira impikan… tapi tidak ia miliki.Dira memeluk lututnya, membiarkan diam melingkupi kamar. Tapi hatinya terlalu gaduh.Ia meraih ponsel dan men-scroll kontak. Jarinya berhenti di satu nama: Buk Lik Ratna. Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol telepon.Satu dering. Dua dering. Lalu suara renyah yang begitu familiar menjawab, "Halo, le… wis tekan kosan?” suara Buk Lik terdengar cerah dari seberang telepon.Dira menghela napas, suaranya lel

  • Karma Pedas Sang Mantan   Enam - Ayam Penyet

    Belum sempat suasana kembali cair, Rendy mendadak nyeletuk sambil garpu masih nyangkut di mulut, “Eh… jangan-jangan kalian pernah pacaran ya?”Dira menoleh cepat. “Bukan,” jawabnya datar, tanpa jeda.Pak Bos—yang berdarah Korea dan dikenal suka ikut nimbrung meski wajahnya selalu serius—mengangkat alis. “Kalau bukan pacaran, jangan-jangan cinta bertepuk sebelah tangan?”Lala langsung tertawa kecil. “Iya sih… vibes-nya agak-agak begitu. Salah satu dari kalian naksir tapi nggak kesampean?”Dira menghela napas, menaruh sendoknya perlahan ke pinggir piring. “Kenapa sih semua tebakannya soal hubungan cinta?”Lala mendongak sambil berlagak mikir. “Kalau gitu, hmm… mungkin… saingan lama? Musuh bebuyutan?”Dira tidak langsung menjawab. Pandangannya jatuh ke meja. “Mungkin aja,” katanya pelan, lalu kembali mengambil teh dan menyeruputnya.Hening sejenak. Lala dan Rendy saling lirik, ingin tanya lebih jauh tapi sadar Dira bukan tipe yang bisa digali kalau dia sendiri belum mau cerita. Pak Bos p

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status