Home / Romansa / Karma Pedas Sang Mantan / Tiga - Ayam penyet

Share

Tiga - Ayam penyet

Author: ohhyundo
last update Last Updated: 2025-04-15 09:22:36

Malam itu, Dira tidur dengan mata masih bengkak, hati masih panas, dan kepala penuh dengan kalimat Bu Lik Ratna yang terus menggema.

“Kamu harus kuat dulu, Le. Baru kamu bisa balas semuanya…”

Tapi entah kenapa, bukannya mimpi ayah atau masa lalu indah bersama Satria, yang datang malah sesuatu yang… ganjil.

Dalam mimpinya, Dira dibawa masuk ke dalam sebuah rumah tua yang penuh asap dupa. Bau menyengat menusuk hidungnya. Di depannya, Bu Lik Ratna berdiri dengan ekspresi khidmat, mengenakan kain hitam dan selendang merah darah.

“Masuk, Le…” ucap Bu Lik dengan suara pelan, matanya menyipit.

Dira mengikuti langkahnya, walau jantungnya sudah dag-dig-dug.

Di tengah ruangan, duduk seorang pria tua berkulit legam dengan jubah lusuh, rambut gondrong, dan jenggot panjang putih keabu-abuan. Mukanya lebar, dan entah kenapa… sangat mirip Bokir di film Suzzana yang dulu sering ia tonton sambil ngumpet di balik bantal.

Dukun itu menatapnya tajam sambil mengaduk mangkok besar berisi air keruh dan bunga-bunga kering.

“Kamu datang dengan niat apa, Neng?”

Dira menelan ludah. “S-saya… saya mau ngasih pelajaran. Sama orang yang udah nyakitin saya…”

Dukun itu mengangguk dramatis, lalu tiba-tiba berdiri dan mengangkat tangan tinggi-tinggi. Musik gamelan mistis entah dari mana mulai terdengar. Bola matanya mendelik.

“Jin tanah… jin angin… jin pasar! Dengarkan panggilan Bokir Sang Penjaga Sakit Hati!”

Dira nyaris pingsan. Ia mundur-mundur ketakutan, tapi malah kesandung kendi dan jatuh ke dalam kolam yang penuh belatung. Ia menjerit—dan saat itulah…

“Le! Dira, bangun! Subuh! Ayo ndang wudhu sana!” suara Bu Lik Ratna menggema di depan pintu kamar.

Dira terbangun dengan keringat dingin. Jantungnya masih berdebar kencang, dan tubuhnya terasa remuk. Ia terduduk, menatap langit-langit kamar.

“Ya Allah…” gumamnya. “Apa barusan…”

Beberapa menit kemudian, ia keluar kamar sambil ngantuk-ngantuk dan menyeret handuk. Bu Lik Ratna baru saja keluar dari kamar mandi sambil mengibaskan kain batiknya.

“Bu Lik…” Dira mulai cerita sambil duduk di kursi rotan. “Tadi aku mimpi dibawa ke rumah dukun. Dukun kayak Bokir gitu lho. Trus ditanya mau ngapain, aku jawab mau balas dendam, eh tiba-tiba dia panggil jin pasar…”

Belum selesai Dira cerita, Bu Lik Ratna sudah ngakak sampai membungkuk. “Astaghfirullah… jin pasar? Nduk, jin pasar ngapain? Mau nawar cabe?”

Dira ikut ketawa, meskipun matanya masih sembab. Ada perasaan hangat muncul, sedikit ringan setelah semua yang ia lalui.

Bu Lik menepuk bahu Dira. “Lha itu tandanya kamu ndak cocok ke dukun. Mending kamu balas dengan cara yang bener. Bikin hidupmu sukses, bikin dia nyesel.”

Bu Lik Ratna masih tertawa sambil mengipasi wajahnya dengan handuk kecil. “Aduh, Le… kamu tuh. Mimpi dukun kayak Bokir. Bisa-bisanya…”

Dira ikut tersenyum, meski matanya masih sembab. Ada rasa ringan yang perlahan tumbuh di dadanya. Entah karena mimpi absurd itu, atau karena pelukan pagi dari tawa Bu Lik yang terasa seperti pelukan dari ibunya sendiri.

Setelah tawanya mereda, Bu Lik duduk di samping Dira lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut. “Tapi denger ya, Le… kamu nggak perlu terlalu menggebu-gebu. Hidup ini ndak selalu harus dibalas dengan cepat. Inget petuah orang tua dulu—tabur tuai. Apa yang kamu tabur, itu yang nanti kamu tuai. Pelan-pelan wae. Yang penting jalanmu lurus.”

Dira menatapnya penuh perhatian. Kata-kata itu masuk ke hati, menenangkan gejolak yang masih tersisa.

Bu Lik melanjutkan dengan senyum lembut, “Dan apapun masalahmu, jangan lupa… yang pertama kamu mintai tolong itu Allah, bukan dukun. Segede apa pun sakit hatimu, jangan sampe kamu ninggalin yang udah ngatur semua rasa itu.”

Dira mengangguk pelan. Ada kehangatan yang menenangkan mengalir dalam dirinya. Senyum kecil muncul di wajahnya.

“Iya, Bu Lik… makasih ya…”

“Nah, pinter. Sekarang sana, mandi terus wudhu. Jangan sampai kelewat Subuhnya,” ucap Bu Lik sambil menepuk lutut Dira pelan.

Dira bangkit, mengusap matanya, dan berjalan menuju kamar mandi. Kali ini langkahnya tak lagi berat. Setelah membasuh wajah dengan air wudhu yang sejuk, ia berdiri di atas sajadah, menengadah dalam sujud. Hatinya masih sakit, tapi kini ada ruang kecil yang mulai terang.

Dalam diamnya, Dira memohon kekuatan. Bukan untuk membalas dendam dengan amarah, tapi untuk menjadi seseorang yang tak akan bisa dihancurkan lagi.

Dan pagi itu, setelah semua tangis dan tawa, Dira memilih untuk memulai dari awal—dengan hati yang remuk tapi tak lagi rapuh.

Namun, ketenangan itu tak bertahan lama.

Seminggu setelah pemakaman, saat Dira mulai sedikit menata hidupnya—dengan pelan mencoba menerima kenyataan dan menyibukkan diri dengan hal-hal kecil—masalah baru datang. Dan lagi-lagi, sumbernya tetap sama: Satria.

Pagi itu, Dira sedang duduk di ruang tengah sambil memilah beberapa dokumen lama. Matanya tiba-tiba tertumbuk pada satu map berisi dokumen pembelian ruko kecil yang dulu pernah ia cicil bersama Satria. Ruko itu dulunya jadi mimpi mereka. Tempat di mana mereka akan membuka cabang pertama usaha kuliner mereka sendiri.

Tiba-tiba muncul pikiran, “Kalau aku mulai lagi dari nol, mungkin aku bisa pakai ruko itu.”

Dengan napas berat, Dira akhirnya memberanikan diri menghubungi Satria. Suaranya gemetar saat ponsel menyambung, dan nada Satria di seberang sana terdengar santai—terlalu santai.

“Ruko itu udah bukan milik kita lagi, Dir.”

Dira langsung duduk tegak. “Maksud kamu?”

Satria menghela napas, seolah malas menjelaskan. “Waktu itu aku bikinnya atas nama Ibu. Soalnya kamu belum sah jadi istri. Jadi ya, dari awal itu milik keluarga kami.”

Kata-kata itu seperti palu yang menghantam kepala Dira.

“Kamu serius, Sat?! Kita bayar itu berdua! Dari hasil usaha kita bareng-bareng!”

Satria terdengar tenang, bahkan sedikit bosan. “Ya udah. Kalau kamu mau, nanti Ibu kasih kompensasi kecil. Tapi ya jangan ngarep lebih…”

Suara Dira langsung meninggi, tak bisa lagi ditahan. “Kamu pikir aku ngemis?! Aku cuma nuntut hakku, Sat! Itu usaha kita bareng. Keringat kita bareng! Kamu nggak bisa seenaknya hapus semua itu cuma karena kamu udah nikah sama yang lebih kaya!”

“Dir, jangan lebay, ya. Aku sibuk. Nanti aku suruh orang rumah ngurusin,” jawab Satria dingin, lalu sambungan telepon terputus begitu saja.

Dira menatap layar ponselnya, matanya membara. Napasnya memburu, tangan gemetar menahan amarah. Rasa sakit yang selama seminggu ini coba ia redam, kini kembali terbuka. Lebih perih, lebih menusuk.

Ia memejamkan mata, dan dalam diamnya, Dira tahu—luka ini belum selesai. Satria belum berhenti merampas hal-hal yang dulu mereka bangun bersama.

Dan kali ini, Dira tidak hanya akan diam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Karma Pedas Sang Mantan   Empat - Ayam Penyet

    Dira duduk di teras rumah Buk Lik Ratna, ditemani secangkir teh manis yang sudah mulai dingin. Matanya menatap jauh ke jalanan kecil di depan rumah. Udara pagi membawa aroma tanah basah dan suara burung yang bersahut-sahutan. Tapi hatinya tak selega pagi itu. Ada sesuatu yang mengganjal, sekaligus membakar semangatnya dari dalam.“Le, wis yakin?” tanya Pak Lik pelan, sambil duduk di sebelahnya.Dira mengangguk. “Yakin, Pak Lik. Aku harus kembali. Kuliahku belum selesai. Aku nggak mau hidupku berhenti cuma karena Satria mutusin jadi pengkhianat.”Pak Lik menatapnya dengan mata yang teduh, lalu menepuk punggung tangan Dira. “Bagus. Tapi inget ya… kamu boleh marah, boleh kecewa. Tapi jangan pernah ngelakuin hal yang bikin kamu kehilangan dirimu sendiri.”Dira menoleh. “Iya, Pak Lik. Aku udah mikir. Aku nggak akan balas dia pakai cara yang kotor. Aku bakal buktiin kalau aku bisa berhasil tanpa dia.”Tiba-tiba, dari balik dapur, terdengar suara senggolan panci. Buk Lik muncul sambil membaw

    Last Updated : 2025-04-15
  • Karma Pedas Sang Mantan   Lima - Ayam Penyet

    Mobil kantor itu melaju stabil di tengah arus lalu lintas yang padat. Di dalamnya, percakapan ringan mengalir di antara para penumpang. Lala bercerita tentang kucing barunya, Rendy asik membahas teori random soal algoritma Instagram, dan Pak Bos terkekeh kecil mendengar celotehan anak-anak buahnya.Di antara semua suara itu, Dira hanya diam. Duduk di kursi belakang dekat jendela, menatap keluar, meski pemandangannya tak terlalu penting. Lampu jalanan, toko-toko kecil, dan pejalan kaki yang lewat. Hanya visual yang lewat begitu saja, tak masuk benar ke kepalanya.Yang berisik justru pikirannya sendiri.Gimana caranya kabur dari makan malam ini tanpa dicurigai? Gak mungkin tiba-tiba bilang ada kerjaan urgent. Atau… pura-pura pusing? Tapi nanti malah ditawarin minyak angin. Malah makin ribet.“Dir,” suara Lala menyentak lamunan. “Kok kamu diem aja dari tadi?”“Hm?” Dira menoleh singkat. “Capek dikit.”“Kamu kayak abis ketemu mantan deh,” celetuk Lala sambil tertawa.Dira tak membalas. Ha

    Last Updated : 2025-04-15
  • Karma Pedas Sang Mantan   Enam - Ayam Penyet

    Belum sempat suasana kembali cair, Rendy mendadak nyeletuk sambil garpu masih nyangkut di mulut, “Eh… jangan-jangan kalian pernah pacaran ya?”Dira menoleh cepat. “Bukan,” jawabnya datar, tanpa jeda.Pak Bos—yang berdarah Korea dan dikenal suka ikut nimbrung meski wajahnya selalu serius—mengangkat alis. “Kalau bukan pacaran, jangan-jangan cinta bertepuk sebelah tangan?”Lala langsung tertawa kecil. “Iya sih… vibes-nya agak-agak begitu. Salah satu dari kalian naksir tapi nggak kesampean?”Dira menghela napas, menaruh sendoknya perlahan ke pinggir piring. “Kenapa sih semua tebakannya soal hubungan cinta?”Lala mendongak sambil berlagak mikir. “Kalau gitu, hmm… mungkin… saingan lama? Musuh bebuyutan?”Dira tidak langsung menjawab. Pandangannya jatuh ke meja. “Mungkin aja,” katanya pelan, lalu kembali mengambil teh dan menyeruputnya.Hening sejenak. Lala dan Rendy saling lirik, ingin tanya lebih jauh tapi sadar Dira bukan tipe yang bisa digali kalau dia sendiri belum mau cerita. Pak Bos p

    Last Updated : 2025-04-17
  • Karma Pedas Sang Mantan   Tujuh - Ayam Penyet

    Malam telah larut saat Dira tiba di kos-kosannya. Lampu kamar menyala redup, menyambut keheningan yang terasa asing tapi akrab. Ia meletakkan tas dengan pelan, membuka jendela kecil di sudut kamar, dan duduk di tepi ranjang.Semua kejadian hari ini menumpuk seperti sampah yang telat dibuang.Proyek desain mendadak yang menyeret nama usaha masa lalunya. Pertemuan dengan Adrian yang penuh sindiran dan tensi. Dan yang paling menghantam: Satria, berdiri gagah di depan warung mahalnya, bersama istri dan anak yang tampak sempurna—mewakili semua yang dulu Dira impikan… tapi tidak ia miliki.Dira memeluk lututnya, membiarkan diam melingkupi kamar. Tapi hatinya terlalu gaduh.Ia meraih ponsel dan men-scroll kontak. Jarinya berhenti di satu nama: Buk Lik Ratna. Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol telepon.Satu dering. Dua dering. Lalu suara renyah yang begitu familiar menjawab, "Halo, le… wis tekan kosan?” suara Buk Lik terdengar cerah dari seberang telepon.Dira menghela napas, suaranya lel

    Last Updated : 2025-04-20
  • Karma Pedas Sang Mantan   Delapan - Ayam Penyet

    Dira menatap layar presentasinya dengan pandangan kosong. Poin-poin tentang brand identity Ayam Penyet Satria tertera rapi di slide ketiga, tapi pikirannya sama sekali tak bisa fokus. Di kursi sebelah, Lala membolak-balik map cetakan sambil bersiul kecil, tak menyadari bahwa jantung Dira berdetak terlalu cepat untuk ukuran pagi hari.Ruang meeting kantor hari itu dingin—bukan hanya karena AC, tapi karena keberadaan satu orang yang seharusnya sudah lama lenyap dari hidupnya.Satria duduk tepat di hadapan Dira. Menghadap langsung. Lengannya tersilang santai, tubuhnya bersandar ke kursi seperti biasa—percaya diri, sedikit angkuh, dan terlalu nyaman di tempat yang bukan miliknya. Senyumnya sesekali mampir, tapi hanya ke Lala atau Pak Bos. Kepada Dira, tatapannya datar. Jarak. Seolah mereka tak pernah berbagi masa lalu.“Secara garis besar, konsepnya menarik,” ucap Satria setelah Dira mempresentasikan ide desain. “Tapi… ya, jujur aja, aku masih belum nemu ‘greget’ khas brand-ku di sini.”N

    Last Updated : 2025-04-25
  • Karma Pedas Sang Mantan   Sembilan - Ayam Penyet

    Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika Dira masih duduk di depan layar komputernya. Kantor sudah mulai sepi, hanya suara AC dan detik jam yang jadi pengingat bahwa dunia di luar sedang beristirahat. Tapi tidak untuk Dira. Ia masih memelototi file desain yang baru saja dikirimkan ulang oleh Pak Bos—tentu saja dengan tambahan catatan: “Revisi sesuai feedback Mas Satria ya. Maaf, dia masih belum puas.”Sudah revisi kelima.Dan setiap kali, komentar Satria terdengar lebih sok tahu, lebih meremehkan, lebih menyebalkan. Seolah ia masih punya hak untuk mengarahkan Dira, menyuruh ini-itu, tanpa mengingat bagaimana dulu ia sendiri yang pernah pergi meninggalkan segalanya.Lala lewat di belakang meja Dira sambil membawa tas dan map dokumen.“Dir, aku sama Rendy pulang duluan ya. Kamu nggak bareng?”Dira mengangkat wajah, menyembunyikan letihnya dengan senyum tipis. “Aku kelarin dulu revisi yang ini. Takut besok pagi udah ditagih lagi.”Lala mendesah pelan. “Aku kasihan liat kamu akhir-a

    Last Updated : 2025-04-26
  • Karma Pedas Sang Mantan   Sepuluh - Ayam Penyet

    Dira masih mengunyah sisa terakhir nasi ayam penyetnya saat pertanyaan itu keluar dari mulut Adrian—pelan, tapi langsung menohok.“Jadi bener kalian udah putus?”Dira menghela napas, malas menjawab. Awalnya ia ingin mengabaikan saja, seperti biasa. Tapi malam itu, entah kenapa, lelahnya terasa terlalu dalam. Kepalanya berat. Hatinya penuh. Dan rasanya… ia butuh seseorang yang bisa dengar. Tanpa banyak komentar. Tanpa kasihani.Maka ia menoleh pelan ke arah Adrian. Bibirnya tersenyum tipis, tapi nadanya terdengar sinis.“Loh? Kamu baru tahu aku putus sama Satria?”Adrian mengangkat alis. “Ya, cuma nebak-nebak. Soalnya aneh aja. Kamu dulu bangun tempat makan bareng dia, tapi tiba-tiba makan di tempatku. Nggak pernah kelihatan bareng dia lagi. Terus… beberapa tahun terakhir aku lihat Satria kemana-mana sendiri.”Ia jeda sebentar, suaranya makin pelan, “Kupikir kamu di rumah, jaga anak. Atau… mungkin kalian udah nikah, tapi kamu milih di balik layar. Tapi waktu dia buka cabang baru di depa

    Last Updated : 2025-04-27
  • Karma Pedas Sang Mantan   Sebelas - Ayam Penyet

    Kantor masih sepi ketika Dira tiba pagi itu. Ruang kerja masih setengah gelap, hanya cahaya dari luar jendela yang menyelusup pelan. Ia meletakkan tas di atas meja, lalu berjalan menuju pantry dengan langkah malas. Tangannya membuka toples kopi sachet, mengambil satu, dan mulai menuang air panas ke dalam gelas.Baru satu adukan, matanya melirik ponsel yang tergeletak di meja.Masih tak ada pesan yang masuk.Dira mendesah. Ponselnya diaangkat, lalu ditatap sejenak.Dia nyimpen nomerku bener nggak sih? Jangan-jangan kurang satu angka…? Atau dia ngelupain aku langsung pas udah nganterin?Pikiran Dira mulai liar.Sialnya lagi, kopi yang dia aduk malah tumpah sedikit ke atas meja. Dira buru-buru mengelapnya dengan tisu. Saat itulah Lala muncul dari pintu belakang, dengan rambut yang belum sepenuhnya rapi dan ekspresi penuh selidik.“Tumben kamu pagi-pagi nongkrongin HP. Kayak anak ABG nunggu pacarnya bales chat.”Dira melirik tajam, tapi wajahnya tak bisa dibohongi rasa canggung.“Lagi nun

    Last Updated : 2025-04-28

Latest chapter

  • Karma Pedas Sang Mantan   Empat Belas - Ayam Penyet

    Sadar situasi mulai terlalu aneh, Dira cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman Adrian. Wajahnya memanas, bukan hanya karena sabun yang masih menetes dari jemarinya, melainkan juga karena kedekatan tadi yang sukses membuat hatinya berdebar tak karuan.“Eh… Ini, desainnya,” Dira mengalihkan perhatian, membuka topik sambil pura-pura sibuk membilas piring. “Kamu mau bahas sekarang?”Adrian menggeleng cepat. “Udah malem, Dir. Besok aja. Sekarang kamu udah capek, aku juga.”Dira mengangguk lega. Setidaknya, ia bisa menyelamatkan dirinya dari kecanggungan yang lebih parah.Setelah tumpukan piring bersih mengering di rak, Adrian buru-buru membereskan meja dan menutup seluruh bagian ruko. Dira mengambil tasnya, bersiap pamit.“Aku pulang, ya. Makasih udah dibolehin bantu,” ucap Dira ringan.Namun Adrian langsung menghalangi langkahnya. “Aku anter.”“Nggak usah, Adrian. Aku bisa sendiri.”“Tetep harus dianter.” Tanpa banyak kata, Adrian mengambil helm cadangan yang tergantung di belakang p

  • Karma Pedas Sang Mantan   Tiga Belas - Ayam Penyet

    Sore itu, Dira berlari tergesa-gesa ke arah sebuah ruko sederhana bertuliskan “Ayam Penyet Berkah” di depannya. Nafasnya tersengal, keringat kecil membasahi pelipisnya. Ruko itu, yang biasanya sepi, hari ini justru ramai dipenuhi pelanggan.Begitu sampai di depan meja gorengan, Dira berdiri sebentar, membenahi napasnya. Dengan deham pelan, ia menarik perhatian Adrian yang masih sibuk membolak-balik ayam di wajan besar.Adrian melirik sekilas. Tanpa berkata apa-apa.Dira menggigit bibirnya, lalu memberanikan diri bicara, “Maaf… aku telat. Tadi ada kerjaan mendadak.”Tak ada balasan. Adrian hanya menunduk, kembali fokus mengangkat ayam-ayam goreng ke atas tampah. Tapi Dira bisa melihat jelas dari raut wajahnya—kesal, capek, dan sedikit… bingung.Melihat itu, Dira spontan menawarkan diri, “Aku bantu, ya?”Adrian menoleh, menahan ucapan, lalu menggeleng cepat. “Nggak usah. Ini urusan—”Belum selesai Adrian menolak, suara pelanggan memanggil dari meja, “Mbak, pesanannya, ya!”Dira tanpa pi

  • Karma Pedas Sang Mantan   Dua Belas - Ayam Penyet

    Belum sempat Dira membalas pesan Adrian tentang tempat pertemuan, langkah berat terdengar dari arah pintu depan.Begitu ia mengangkat wajah, ia mendapati sosok yang membuat napasnya terasa berat.Satria. Dengan senyum santai yang segera membuat perut Dira terasa bergejolak.“Eh, Nadira. Aku mau lihat progres desain yang tadi, sekalian mau revisi sedikit,” kata Satria sembari melangkah santai, membawa aroma parfum mahal yang begitu dikenalnya di masa lalu.Dira menarik napas dalam-dalam. “Kan bisa aku kirim ke email. Nanti kalau ada koreksi bisa dibalas lewat—”“Nggak usah, aku mau lihat langsung saja. Lebih enak ngobrol.”Satria menarik kursi di samping meja Dira dan duduk tanpa dipersilakan. Dira hampir saja menghela napas keras, namun ia tahan.Lala yang melintas sambil membawa berkas, menghentikan langkahnya sejenak. Ia memandang ke arah mereka dengan alis mengernyit, nalurinya segera terpicu.Ada sesuatu yang tidak biasa.Bukan hanya karena Satria tampak terlalu antusias untuk uku

  • Karma Pedas Sang Mantan   Sebelas - Ayam Penyet

    Kantor masih sepi ketika Dira tiba pagi itu. Ruang kerja masih setengah gelap, hanya cahaya dari luar jendela yang menyelusup pelan. Ia meletakkan tas di atas meja, lalu berjalan menuju pantry dengan langkah malas. Tangannya membuka toples kopi sachet, mengambil satu, dan mulai menuang air panas ke dalam gelas.Baru satu adukan, matanya melirik ponsel yang tergeletak di meja.Masih tak ada pesan yang masuk.Dira mendesah. Ponselnya diaangkat, lalu ditatap sejenak.Dia nyimpen nomerku bener nggak sih? Jangan-jangan kurang satu angka…? Atau dia ngelupain aku langsung pas udah nganterin?Pikiran Dira mulai liar.Sialnya lagi, kopi yang dia aduk malah tumpah sedikit ke atas meja. Dira buru-buru mengelapnya dengan tisu. Saat itulah Lala muncul dari pintu belakang, dengan rambut yang belum sepenuhnya rapi dan ekspresi penuh selidik.“Tumben kamu pagi-pagi nongkrongin HP. Kayak anak ABG nunggu pacarnya bales chat.”Dira melirik tajam, tapi wajahnya tak bisa dibohongi rasa canggung.“Lagi nun

  • Karma Pedas Sang Mantan   Sepuluh - Ayam Penyet

    Dira masih mengunyah sisa terakhir nasi ayam penyetnya saat pertanyaan itu keluar dari mulut Adrian—pelan, tapi langsung menohok.“Jadi bener kalian udah putus?”Dira menghela napas, malas menjawab. Awalnya ia ingin mengabaikan saja, seperti biasa. Tapi malam itu, entah kenapa, lelahnya terasa terlalu dalam. Kepalanya berat. Hatinya penuh. Dan rasanya… ia butuh seseorang yang bisa dengar. Tanpa banyak komentar. Tanpa kasihani.Maka ia menoleh pelan ke arah Adrian. Bibirnya tersenyum tipis, tapi nadanya terdengar sinis.“Loh? Kamu baru tahu aku putus sama Satria?”Adrian mengangkat alis. “Ya, cuma nebak-nebak. Soalnya aneh aja. Kamu dulu bangun tempat makan bareng dia, tapi tiba-tiba makan di tempatku. Nggak pernah kelihatan bareng dia lagi. Terus… beberapa tahun terakhir aku lihat Satria kemana-mana sendiri.”Ia jeda sebentar, suaranya makin pelan, “Kupikir kamu di rumah, jaga anak. Atau… mungkin kalian udah nikah, tapi kamu milih di balik layar. Tapi waktu dia buka cabang baru di depa

  • Karma Pedas Sang Mantan   Sembilan - Ayam Penyet

    Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika Dira masih duduk di depan layar komputernya. Kantor sudah mulai sepi, hanya suara AC dan detik jam yang jadi pengingat bahwa dunia di luar sedang beristirahat. Tapi tidak untuk Dira. Ia masih memelototi file desain yang baru saja dikirimkan ulang oleh Pak Bos—tentu saja dengan tambahan catatan: “Revisi sesuai feedback Mas Satria ya. Maaf, dia masih belum puas.”Sudah revisi kelima.Dan setiap kali, komentar Satria terdengar lebih sok tahu, lebih meremehkan, lebih menyebalkan. Seolah ia masih punya hak untuk mengarahkan Dira, menyuruh ini-itu, tanpa mengingat bagaimana dulu ia sendiri yang pernah pergi meninggalkan segalanya.Lala lewat di belakang meja Dira sambil membawa tas dan map dokumen.“Dir, aku sama Rendy pulang duluan ya. Kamu nggak bareng?”Dira mengangkat wajah, menyembunyikan letihnya dengan senyum tipis. “Aku kelarin dulu revisi yang ini. Takut besok pagi udah ditagih lagi.”Lala mendesah pelan. “Aku kasihan liat kamu akhir-a

  • Karma Pedas Sang Mantan   Delapan - Ayam Penyet

    Dira menatap layar presentasinya dengan pandangan kosong. Poin-poin tentang brand identity Ayam Penyet Satria tertera rapi di slide ketiga, tapi pikirannya sama sekali tak bisa fokus. Di kursi sebelah, Lala membolak-balik map cetakan sambil bersiul kecil, tak menyadari bahwa jantung Dira berdetak terlalu cepat untuk ukuran pagi hari.Ruang meeting kantor hari itu dingin—bukan hanya karena AC, tapi karena keberadaan satu orang yang seharusnya sudah lama lenyap dari hidupnya.Satria duduk tepat di hadapan Dira. Menghadap langsung. Lengannya tersilang santai, tubuhnya bersandar ke kursi seperti biasa—percaya diri, sedikit angkuh, dan terlalu nyaman di tempat yang bukan miliknya. Senyumnya sesekali mampir, tapi hanya ke Lala atau Pak Bos. Kepada Dira, tatapannya datar. Jarak. Seolah mereka tak pernah berbagi masa lalu.“Secara garis besar, konsepnya menarik,” ucap Satria setelah Dira mempresentasikan ide desain. “Tapi… ya, jujur aja, aku masih belum nemu ‘greget’ khas brand-ku di sini.”N

  • Karma Pedas Sang Mantan   Tujuh - Ayam Penyet

    Malam telah larut saat Dira tiba di kos-kosannya. Lampu kamar menyala redup, menyambut keheningan yang terasa asing tapi akrab. Ia meletakkan tas dengan pelan, membuka jendela kecil di sudut kamar, dan duduk di tepi ranjang.Semua kejadian hari ini menumpuk seperti sampah yang telat dibuang.Proyek desain mendadak yang menyeret nama usaha masa lalunya. Pertemuan dengan Adrian yang penuh sindiran dan tensi. Dan yang paling menghantam: Satria, berdiri gagah di depan warung mahalnya, bersama istri dan anak yang tampak sempurna—mewakili semua yang dulu Dira impikan… tapi tidak ia miliki.Dira memeluk lututnya, membiarkan diam melingkupi kamar. Tapi hatinya terlalu gaduh.Ia meraih ponsel dan men-scroll kontak. Jarinya berhenti di satu nama: Buk Lik Ratna. Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol telepon.Satu dering. Dua dering. Lalu suara renyah yang begitu familiar menjawab, "Halo, le… wis tekan kosan?” suara Buk Lik terdengar cerah dari seberang telepon.Dira menghela napas, suaranya lel

  • Karma Pedas Sang Mantan   Enam - Ayam Penyet

    Belum sempat suasana kembali cair, Rendy mendadak nyeletuk sambil garpu masih nyangkut di mulut, “Eh… jangan-jangan kalian pernah pacaran ya?”Dira menoleh cepat. “Bukan,” jawabnya datar, tanpa jeda.Pak Bos—yang berdarah Korea dan dikenal suka ikut nimbrung meski wajahnya selalu serius—mengangkat alis. “Kalau bukan pacaran, jangan-jangan cinta bertepuk sebelah tangan?”Lala langsung tertawa kecil. “Iya sih… vibes-nya agak-agak begitu. Salah satu dari kalian naksir tapi nggak kesampean?”Dira menghela napas, menaruh sendoknya perlahan ke pinggir piring. “Kenapa sih semua tebakannya soal hubungan cinta?”Lala mendongak sambil berlagak mikir. “Kalau gitu, hmm… mungkin… saingan lama? Musuh bebuyutan?”Dira tidak langsung menjawab. Pandangannya jatuh ke meja. “Mungkin aja,” katanya pelan, lalu kembali mengambil teh dan menyeruputnya.Hening sejenak. Lala dan Rendy saling lirik, ingin tanya lebih jauh tapi sadar Dira bukan tipe yang bisa digali kalau dia sendiri belum mau cerita. Pak Bos p

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status