Beranda / Romansa / Karma Pedas Sang Mantan / Empat - Ayam Penyet

Share

Empat - Ayam Penyet

Penulis: ohhyundo
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-15 10:00:07

Dira duduk di teras rumah Buk Lik Ratna, ditemani secangkir teh manis yang sudah mulai dingin. Matanya menatap jauh ke jalanan kecil di depan rumah. Udara pagi membawa aroma tanah basah dan suara burung yang bersahut-sahutan. Tapi hatinya tak selega pagi itu. Ada sesuatu yang mengganjal, sekaligus membakar semangatnya dari dalam.

“Le, wis yakin?” tanya Pak Lik pelan, sambil duduk di sebelahnya.

Dira mengangguk. “Yakin, Pak Lik. Aku harus kembali. Kuliahku belum selesai. Aku nggak mau hidupku berhenti cuma karena Satria mutusin jadi pengkhianat.”

Pak Lik menatapnya dengan mata yang teduh, lalu menepuk punggung tangan Dira. “Bagus. Tapi inget ya… kamu boleh marah, boleh kecewa. Tapi jangan pernah ngelakuin hal yang bikin kamu kehilangan dirimu sendiri.”

Dira menoleh. “Iya, Pak Lik. Aku udah mikir. Aku nggak akan balas dia pakai cara yang kotor. Aku bakal buktiin kalau aku bisa berhasil tanpa dia.”

Tiba-tiba, dari balik dapur, terdengar suara senggolan panci. Buk Lik muncul sambil membawa tas kecil dan beberapa bekal yang sudah dibungkus rapi.

“Nih. Bawain sambel teri sama peyek. Siapa tahu pas di kosan kamu laper, bisa langsung makan,” ujarnya sambil menyodorkan kantong plastik.

Dira tersenyum haru. “Bu Lik, makasih ya… buat semuanya.”

Buk Lik mengusap bahu Dira pelan. “Le… kamu anak baik. Hidup kadang kejam, tapi jangan biarin hatimu ikut jadi keras. Sakit itu pelajaran. Tapi jangan sampai sakitmu jadi alasan buat nyakitin diri sendiri.”

Mata Dira memanas. Ia memeluk Buk Lik erat-erat, menumpahkan rasa terima kasih yang tak bisa ia ucapkan seluruhnya. Di pelukan itu, seolah semua kepedihan selama berminggu-minggu terakhir sedikit meluruh.

Pukul tujuh lewat lima belas, bis kecil jurusan Surabaya berhenti di ujung jalan. Dira menarik napas dalam-dalam dan berdiri.

Pak Lik mengangkat tas ransel Dira, mengantarkannya sampai ke tepi jalan. Buk Lik menyusul di belakang, membawa bekal dan amplop kecil yang ia selipkan ke dalam saku ransel Dira.

“Jangan dibuka sekarang,” kata Buk Lik sambil mengedip. “Buat semangatmu di hari-hari berat nanti.”

Dira naik ke dalam bis dengan langkah mantap. Dari jendela, ia melambaikan tangan, menahan air mata agar tak jatuh. Kali ini bukan karena hancur—tapi karena merasa dicintai.

Di dalam bis, ia menyenderkan kepala ke kaca. Pikirannya melayang ke mimpinya yang absurd tentang dukun dan jin pasar. Tapi dari semua itu, ada satu pesan yang ia pegang: dendam tak harus dibayar dengan luka. Kadang, cukup dengan jadi versi terbaik dari diri sendiri.

Lima Tahun Kemudian

Ruangan itu dipenuhi suara ketikan keyboard, desis mesin printer, dan bunyi notifikasi Slack yang tak kunjung henti. Di balik layar komputer, Dira duduk mengenakan headphone dan menatap detail desain dengan mata yang setengah lelah. Di meja kerjanya bertumpuk sketch layout, draft revisi, dan satu kotak makan siang yang belum sempat disentuh.

“Dir, ini ada klien baru. Urgent. Cuma desain buat promo pembukaan cabang kuliner, tapi mereka minta kamu yang ngerjain,” ucap temannya sambil nyodorin folder biru.

Dira mengangguk tanpa banyak pikir, membuka folder itu. Tapi begitu matanya membaca nama brand di atas brief desain, napasnya langsung tercekat.

“AYAM PENYET SATRIA.”

Tangannya otomatis mengepal. Di bawah nama brand itu, ada foto ruko yang sangat familiar. Ruko kecil berkanopi merah—yang dulunya milik mereka. Tempat yang dulu mereka cicil berdua, yang ia impikan jadi titik awal usaha bersama. Tempat yang direbut darinya, tanpa penyesalan sedikit pun.

Semua ingatan lima tahun lalu menyerbu lagi seperti tamparan: suara telepon Satria yang dingin, kata-kata penuh penghinaan, dan detik-detik ia sadar bahwa kepercayaannya dimusnahkan demi wanita lain.

Dira mendadak tak bisa bernapas dengan tenang. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menahan emosi yang melonjak dari dadanya.

Temannya melirik. “Kenapa? Kliennya aneh, ya?”

Dira membuka matanya dan tersenyum tipis. “Enggak. Cuma… desainnya kayaknya harus aku kerjain sambil nelen sambel satu toples.”

Temannya tertawa, tak sadar bahwa lelucon itu menyimpan luka yang dalam.

Dira menatap layar lagi. Matanya menyusuri logo Ayam Penyet Satria yang tampak norak dan terlalu penuh warna. “Desainnya juga selera rendahan,” gumamnya pelan.

Tapi...lima belas kemudian..

Dira mencoba fokus, tapi tangannya gemetar di atas mouse. Setiap kali ia menyesuaikan warna atau memperbaiki font, wajah Satria muncul di kepalanya—senyum licik yang dulu ia percaya, suara lembut yang dulu meninabobokannya dengan harapan palsu.

Semakin ia mengutak-atik desain, semakin uring-uringan dirinya. Beberapa kali ia menghapus hasil kerjaannya sendiri, mengganti font berkali-kali, lalu mencoret-coret sketsa dengan bolpoin merah. Tangannya bergerak cepat, tapi wajahnya tampak semakin tegang.

“Warna merah cabe atau merah marah, sih?” gumam Dira sambil mendecak.

Salah satu rekan kerjanya lewat dan mengangkat alis melihat kondisi meja Dira yang seperti habis dilanda perang dunia ketiga—kertas berserakan, tutup bolpoin mental entah ke mana, dan Dira sendiri yang duduk dengan posisi nyaris tengkurap di meja sambil menggerutu.

Tak lama kemudian, muncul sosok yang selama ini lebih dikenal sebagai ‘bos misterius’ karena jarang bicara—namun kali ini justru berdiri di belakang Dira, memperhatikan layar monitornya.

“Dir?” suara itu pelan, tapi cukup mengejutkan.

Dira hampir menjatuhkan mouse. Ia menoleh cepat, lalu buru-buru duduk tegak seperti murid yang ketahuan nyontek.

“Eh… Pak… iya?”

Bosnya menyipitkan mata ke layar, lalu ke wajah Dira. “Kamu kelihatan… beda. Biasanya kamu kalau ngerjain desain santai tapi rapi. Ini… kok ada aura pengusiran jin?”

Dira hanya bisa cengar-cengir, separuh ingin tertawa, separuh ingin melempar monitor keluar jendela.

“Saya cuma… lagi dapet banyak inspirasi, Pak. Hehe.”

Bosnya tak langsung menanggapi, malah balik melihat folder brief di tangannya.

“Ini klien baru ya, Ayam Penyet Satria.”

Dira meneguk ludah pelan dan menjawab, “Iya, Pak. Baru masuk brief-nya tadi pagi.”

Bos mengangguk-angguk ringan. “Kamu udah survei ke tempatnya langsung? Kadang lebih enak kalau bisa ngerasain suasananya biar desainnya lebih ngena.”

Dira langsung gelagapan kecil, mencoba tetap tenang. “Eh… saya rasa enggak perlu, Pak. Soalnya, brand mereka udah lumayan terkenal. Banyak review online, foto-fotonya juga ada di G****e sama I*******m. Jadi saya pikir cukup dari situ aja udah bisa dapet gambaran besar.”

“Oh, gitu…” Bosnya masih mengangguk, tapi raut wajahnya belum menunjukkan bahwa ia sepenuhnya sepakat.

Belum sempat Dira menambahkan alasan lainnya, temannya yang duduk di seberang nyeletuk, “Eh iya, ide bagus tuh, Pak. Survei langsung aja! Kita juga belum pernah makan di sana, kan? Sekalian makan malam rame-rame!”

Dira langsung menoleh, kaget sekaligus panik. “Hah? Enggak usah, lah. Ngapain repot-repot…”

“Tapi kan enak, Dir,” sahut temannya polos, sambil merapikan kertas di mejanya. “Sekalian cari feel tempatnya buat kamu, biar desainnya bisa sesuai sama ambience restorannya. Lagian gratis, Pak Bos yang traktir, ya?”

Bosnya tertawa kecil. “Kalau demi profesionalitas dan hasil maksimal, boleh lah.”

Dira makin merasa terpojok. “Tapi… tapi saya udah ada bayangan konsep desainnya. Nanti tinggal saya finalize aja. Gak usah sampe ke lokasi juga gak apa-apa, Pak…”

“Justru karena kamu udah punya konsep, kita cocokkan langsung. Kan lebih mantap kalau validasi ke lapangan,” kata bosnya kalem, seperti guru sabar yang gak bisa dibantah.

Dira membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Otaknya nyari alasan yang lebih kuat, tapi semuanya terasa konyol. Masa dia bilang, “Soalnya itu tempat mantan saya yang dulu hancurin hidup saya dan bikin saya trauma ayam goreng sambel cobek”? Gak mungkin. Gak bisa. Gak profesional banget.

Akhirnya, ia hanya mengangguk dengan senyum maksa. “Hehe… iya deh, Pak.”

“Yeay!” Temannya langsung berdiri. “Gas ntar sore makan di Ayam Penyet Satria! Katanya sambelnya bisa bikin nangis!”

Dira tersenyum pahit. Iya, bukan karena pedes. Tapi karena sambelnya pernah dimasakin bareng.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Karma Pedas Sang Mantan   Lima - Ayam Penyet

    Mobil kantor itu melaju stabil di tengah arus lalu lintas yang padat. Di dalamnya, percakapan ringan mengalir di antara para penumpang. Lala bercerita tentang kucing barunya, Rendy asik membahas teori random soal algoritma Instagram, dan Pak Bos terkekeh kecil mendengar celotehan anak-anak buahnya.Di antara semua suara itu, Dira hanya diam. Duduk di kursi belakang dekat jendela, menatap keluar, meski pemandangannya tak terlalu penting. Lampu jalanan, toko-toko kecil, dan pejalan kaki yang lewat. Hanya visual yang lewat begitu saja, tak masuk benar ke kepalanya.Yang berisik justru pikirannya sendiri.Gimana caranya kabur dari makan malam ini tanpa dicurigai? Gak mungkin tiba-tiba bilang ada kerjaan urgent. Atau… pura-pura pusing? Tapi nanti malah ditawarin minyak angin. Malah makin ribet.“Dir,” suara Lala menyentak lamunan. “Kok kamu diem aja dari tadi?”“Hm?” Dira menoleh singkat. “Capek dikit.”“Kamu kayak abis ketemu mantan deh,” celetuk Lala sambil tertawa.Dira tak membalas. Ha

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-15
  • Karma Pedas Sang Mantan   Enam - Ayam Penyet

    Belum sempat suasana kembali cair, Rendy mendadak nyeletuk sambil garpu masih nyangkut di mulut, “Eh… jangan-jangan kalian pernah pacaran ya?”Dira menoleh cepat. “Bukan,” jawabnya datar, tanpa jeda.Pak Bos—yang berdarah Korea dan dikenal suka ikut nimbrung meski wajahnya selalu serius—mengangkat alis. “Kalau bukan pacaran, jangan-jangan cinta bertepuk sebelah tangan?”Lala langsung tertawa kecil. “Iya sih… vibes-nya agak-agak begitu. Salah satu dari kalian naksir tapi nggak kesampean?”Dira menghela napas, menaruh sendoknya perlahan ke pinggir piring. “Kenapa sih semua tebakannya soal hubungan cinta?”Lala mendongak sambil berlagak mikir. “Kalau gitu, hmm… mungkin… saingan lama? Musuh bebuyutan?”Dira tidak langsung menjawab. Pandangannya jatuh ke meja. “Mungkin aja,” katanya pelan, lalu kembali mengambil teh dan menyeruputnya.Hening sejenak. Lala dan Rendy saling lirik, ingin tanya lebih jauh tapi sadar Dira bukan tipe yang bisa digali kalau dia sendiri belum mau cerita. Pak Bos p

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-17
  • Karma Pedas Sang Mantan   Tujuh - Ayam Penyet

    Malam telah larut saat Dira tiba di kos-kosannya. Lampu kamar menyala redup, menyambut keheningan yang terasa asing tapi akrab. Ia meletakkan tas dengan pelan, membuka jendela kecil di sudut kamar, dan duduk di tepi ranjang.Semua kejadian hari ini menumpuk seperti sampah yang telat dibuang.Proyek desain mendadak yang menyeret nama usaha masa lalunya. Pertemuan dengan Adrian yang penuh sindiran dan tensi. Dan yang paling menghantam: Satria, berdiri gagah di depan warung mahalnya, bersama istri dan anak yang tampak sempurna—mewakili semua yang dulu Dira impikan… tapi tidak ia miliki.Dira memeluk lututnya, membiarkan diam melingkupi kamar. Tapi hatinya terlalu gaduh.Ia meraih ponsel dan men-scroll kontak. Jarinya berhenti di satu nama: Buk Lik Ratna. Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol telepon.Satu dering. Dua dering. Lalu suara renyah yang begitu familiar menjawab, "Halo, le… wis tekan kosan?” suara Buk Lik terdengar cerah dari seberang telepon.Dira menghela napas, suaranya lel

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-20
  • Karma Pedas Sang Mantan   Delapan - Ayam Penyet

    Dira menatap layar presentasinya dengan pandangan kosong. Poin-poin tentang brand identity Ayam Penyet Satria tertera rapi di slide ketiga, tapi pikirannya sama sekali tak bisa fokus. Di kursi sebelah, Lala membolak-balik map cetakan sambil bersiul kecil, tak menyadari bahwa jantung Dira berdetak terlalu cepat untuk ukuran pagi hari.Ruang meeting kantor hari itu dingin—bukan hanya karena AC, tapi karena keberadaan satu orang yang seharusnya sudah lama lenyap dari hidupnya.Satria duduk tepat di hadapan Dira. Menghadap langsung. Lengannya tersilang santai, tubuhnya bersandar ke kursi seperti biasa—percaya diri, sedikit angkuh, dan terlalu nyaman di tempat yang bukan miliknya. Senyumnya sesekali mampir, tapi hanya ke Lala atau Pak Bos. Kepada Dira, tatapannya datar. Jarak. Seolah mereka tak pernah berbagi masa lalu.“Secara garis besar, konsepnya menarik,” ucap Satria setelah Dira mempresentasikan ide desain. “Tapi… ya, jujur aja, aku masih belum nemu ‘greget’ khas brand-ku di sini.”N

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-25
  • Karma Pedas Sang Mantan   Sembilan - Ayam Penyet

    Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika Dira masih duduk di depan layar komputernya. Kantor sudah mulai sepi, hanya suara AC dan detik jam yang jadi pengingat bahwa dunia di luar sedang beristirahat. Tapi tidak untuk Dira. Ia masih memelototi file desain yang baru saja dikirimkan ulang oleh Pak Bos—tentu saja dengan tambahan catatan: “Revisi sesuai feedback Mas Satria ya. Maaf, dia masih belum puas.”Sudah revisi kelima.Dan setiap kali, komentar Satria terdengar lebih sok tahu, lebih meremehkan, lebih menyebalkan. Seolah ia masih punya hak untuk mengarahkan Dira, menyuruh ini-itu, tanpa mengingat bagaimana dulu ia sendiri yang pernah pergi meninggalkan segalanya.Lala lewat di belakang meja Dira sambil membawa tas dan map dokumen.“Dir, aku sama Rendy pulang duluan ya. Kamu nggak bareng?”Dira mengangkat wajah, menyembunyikan letihnya dengan senyum tipis. “Aku kelarin dulu revisi yang ini. Takut besok pagi udah ditagih lagi.”Lala mendesah pelan. “Aku kasihan liat kamu akhir-a

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-26
  • Karma Pedas Sang Mantan   Sepuluh - Ayam Penyet

    Dira masih mengunyah sisa terakhir nasi ayam penyetnya saat pertanyaan itu keluar dari mulut Adrian—pelan, tapi langsung menohok.“Jadi bener kalian udah putus?”Dira menghela napas, malas menjawab. Awalnya ia ingin mengabaikan saja, seperti biasa. Tapi malam itu, entah kenapa, lelahnya terasa terlalu dalam. Kepalanya berat. Hatinya penuh. Dan rasanya… ia butuh seseorang yang bisa dengar. Tanpa banyak komentar. Tanpa kasihani.Maka ia menoleh pelan ke arah Adrian. Bibirnya tersenyum tipis, tapi nadanya terdengar sinis.“Loh? Kamu baru tahu aku putus sama Satria?”Adrian mengangkat alis. “Ya, cuma nebak-nebak. Soalnya aneh aja. Kamu dulu bangun tempat makan bareng dia, tapi tiba-tiba makan di tempatku. Nggak pernah kelihatan bareng dia lagi. Terus… beberapa tahun terakhir aku lihat Satria kemana-mana sendiri.”Ia jeda sebentar, suaranya makin pelan, “Kupikir kamu di rumah, jaga anak. Atau… mungkin kalian udah nikah, tapi kamu milih di balik layar. Tapi waktu dia buka cabang baru di depa

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-27
  • Karma Pedas Sang Mantan   Sebelas - Ayam Penyet

    Kantor masih sepi ketika Dira tiba pagi itu. Ruang kerja masih setengah gelap, hanya cahaya dari luar jendela yang menyelusup pelan. Ia meletakkan tas di atas meja, lalu berjalan menuju pantry dengan langkah malas. Tangannya membuka toples kopi sachet, mengambil satu, dan mulai menuang air panas ke dalam gelas.Baru satu adukan, matanya melirik ponsel yang tergeletak di meja.Masih tak ada pesan yang masuk.Dira mendesah. Ponselnya diaangkat, lalu ditatap sejenak.Dia nyimpen nomerku bener nggak sih? Jangan-jangan kurang satu angka…? Atau dia ngelupain aku langsung pas udah nganterin?Pikiran Dira mulai liar.Sialnya lagi, kopi yang dia aduk malah tumpah sedikit ke atas meja. Dira buru-buru mengelapnya dengan tisu. Saat itulah Lala muncul dari pintu belakang, dengan rambut yang belum sepenuhnya rapi dan ekspresi penuh selidik.“Tumben kamu pagi-pagi nongkrongin HP. Kayak anak ABG nunggu pacarnya bales chat.”Dira melirik tajam, tapi wajahnya tak bisa dibohongi rasa canggung.“Lagi nun

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-28
  • Karma Pedas Sang Mantan   Dua Belas - Ayam Penyet

    Belum sempat Dira membalas pesan Adrian tentang tempat pertemuan, langkah berat terdengar dari arah pintu depan.Begitu ia mengangkat wajah, ia mendapati sosok yang membuat napasnya terasa berat.Satria. Dengan senyum santai yang segera membuat perut Dira terasa bergejolak.“Eh, Nadira. Aku mau lihat progres desain yang tadi, sekalian mau revisi sedikit,” kata Satria sembari melangkah santai, membawa aroma parfum mahal yang begitu dikenalnya di masa lalu.Dira menarik napas dalam-dalam. “Kan bisa aku kirim ke email. Nanti kalau ada koreksi bisa dibalas lewat—”“Nggak usah, aku mau lihat langsung saja. Lebih enak ngobrol.”Satria menarik kursi di samping meja Dira dan duduk tanpa dipersilakan. Dira hampir saja menghela napas keras, namun ia tahan.Lala yang melintas sambil membawa berkas, menghentikan langkahnya sejenak. Ia memandang ke arah mereka dengan alis mengernyit, nalurinya segera terpicu.Ada sesuatu yang tidak biasa.Bukan hanya karena Satria tampak terlalu antusias untuk uku

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-29

Bab terbaru

  • Karma Pedas Sang Mantan   Dua Belas - Ayam Penyet

    Belum sempat Dira membalas pesan Adrian tentang tempat pertemuan, langkah berat terdengar dari arah pintu depan.Begitu ia mengangkat wajah, ia mendapati sosok yang membuat napasnya terasa berat.Satria. Dengan senyum santai yang segera membuat perut Dira terasa bergejolak.“Eh, Nadira. Aku mau lihat progres desain yang tadi, sekalian mau revisi sedikit,” kata Satria sembari melangkah santai, membawa aroma parfum mahal yang begitu dikenalnya di masa lalu.Dira menarik napas dalam-dalam. “Kan bisa aku kirim ke email. Nanti kalau ada koreksi bisa dibalas lewat—”“Nggak usah, aku mau lihat langsung saja. Lebih enak ngobrol.”Satria menarik kursi di samping meja Dira dan duduk tanpa dipersilakan. Dira hampir saja menghela napas keras, namun ia tahan.Lala yang melintas sambil membawa berkas, menghentikan langkahnya sejenak. Ia memandang ke arah mereka dengan alis mengernyit, nalurinya segera terpicu.Ada sesuatu yang tidak biasa.Bukan hanya karena Satria tampak terlalu antusias untuk uku

  • Karma Pedas Sang Mantan   Sebelas - Ayam Penyet

    Kantor masih sepi ketika Dira tiba pagi itu. Ruang kerja masih setengah gelap, hanya cahaya dari luar jendela yang menyelusup pelan. Ia meletakkan tas di atas meja, lalu berjalan menuju pantry dengan langkah malas. Tangannya membuka toples kopi sachet, mengambil satu, dan mulai menuang air panas ke dalam gelas.Baru satu adukan, matanya melirik ponsel yang tergeletak di meja.Masih tak ada pesan yang masuk.Dira mendesah. Ponselnya diaangkat, lalu ditatap sejenak.Dia nyimpen nomerku bener nggak sih? Jangan-jangan kurang satu angka…? Atau dia ngelupain aku langsung pas udah nganterin?Pikiran Dira mulai liar.Sialnya lagi, kopi yang dia aduk malah tumpah sedikit ke atas meja. Dira buru-buru mengelapnya dengan tisu. Saat itulah Lala muncul dari pintu belakang, dengan rambut yang belum sepenuhnya rapi dan ekspresi penuh selidik.“Tumben kamu pagi-pagi nongkrongin HP. Kayak anak ABG nunggu pacarnya bales chat.”Dira melirik tajam, tapi wajahnya tak bisa dibohongi rasa canggung.“Lagi nun

  • Karma Pedas Sang Mantan   Sepuluh - Ayam Penyet

    Dira masih mengunyah sisa terakhir nasi ayam penyetnya saat pertanyaan itu keluar dari mulut Adrian—pelan, tapi langsung menohok.“Jadi bener kalian udah putus?”Dira menghela napas, malas menjawab. Awalnya ia ingin mengabaikan saja, seperti biasa. Tapi malam itu, entah kenapa, lelahnya terasa terlalu dalam. Kepalanya berat. Hatinya penuh. Dan rasanya… ia butuh seseorang yang bisa dengar. Tanpa banyak komentar. Tanpa kasihani.Maka ia menoleh pelan ke arah Adrian. Bibirnya tersenyum tipis, tapi nadanya terdengar sinis.“Loh? Kamu baru tahu aku putus sama Satria?”Adrian mengangkat alis. “Ya, cuma nebak-nebak. Soalnya aneh aja. Kamu dulu bangun tempat makan bareng dia, tapi tiba-tiba makan di tempatku. Nggak pernah kelihatan bareng dia lagi. Terus… beberapa tahun terakhir aku lihat Satria kemana-mana sendiri.”Ia jeda sebentar, suaranya makin pelan, “Kupikir kamu di rumah, jaga anak. Atau… mungkin kalian udah nikah, tapi kamu milih di balik layar. Tapi waktu dia buka cabang baru di depa

  • Karma Pedas Sang Mantan   Sembilan - Ayam Penyet

    Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika Dira masih duduk di depan layar komputernya. Kantor sudah mulai sepi, hanya suara AC dan detik jam yang jadi pengingat bahwa dunia di luar sedang beristirahat. Tapi tidak untuk Dira. Ia masih memelototi file desain yang baru saja dikirimkan ulang oleh Pak Bos—tentu saja dengan tambahan catatan: “Revisi sesuai feedback Mas Satria ya. Maaf, dia masih belum puas.”Sudah revisi kelima.Dan setiap kali, komentar Satria terdengar lebih sok tahu, lebih meremehkan, lebih menyebalkan. Seolah ia masih punya hak untuk mengarahkan Dira, menyuruh ini-itu, tanpa mengingat bagaimana dulu ia sendiri yang pernah pergi meninggalkan segalanya.Lala lewat di belakang meja Dira sambil membawa tas dan map dokumen.“Dir, aku sama Rendy pulang duluan ya. Kamu nggak bareng?”Dira mengangkat wajah, menyembunyikan letihnya dengan senyum tipis. “Aku kelarin dulu revisi yang ini. Takut besok pagi udah ditagih lagi.”Lala mendesah pelan. “Aku kasihan liat kamu akhir-a

  • Karma Pedas Sang Mantan   Delapan - Ayam Penyet

    Dira menatap layar presentasinya dengan pandangan kosong. Poin-poin tentang brand identity Ayam Penyet Satria tertera rapi di slide ketiga, tapi pikirannya sama sekali tak bisa fokus. Di kursi sebelah, Lala membolak-balik map cetakan sambil bersiul kecil, tak menyadari bahwa jantung Dira berdetak terlalu cepat untuk ukuran pagi hari.Ruang meeting kantor hari itu dingin—bukan hanya karena AC, tapi karena keberadaan satu orang yang seharusnya sudah lama lenyap dari hidupnya.Satria duduk tepat di hadapan Dira. Menghadap langsung. Lengannya tersilang santai, tubuhnya bersandar ke kursi seperti biasa—percaya diri, sedikit angkuh, dan terlalu nyaman di tempat yang bukan miliknya. Senyumnya sesekali mampir, tapi hanya ke Lala atau Pak Bos. Kepada Dira, tatapannya datar. Jarak. Seolah mereka tak pernah berbagi masa lalu.“Secara garis besar, konsepnya menarik,” ucap Satria setelah Dira mempresentasikan ide desain. “Tapi… ya, jujur aja, aku masih belum nemu ‘greget’ khas brand-ku di sini.”N

  • Karma Pedas Sang Mantan   Tujuh - Ayam Penyet

    Malam telah larut saat Dira tiba di kos-kosannya. Lampu kamar menyala redup, menyambut keheningan yang terasa asing tapi akrab. Ia meletakkan tas dengan pelan, membuka jendela kecil di sudut kamar, dan duduk di tepi ranjang.Semua kejadian hari ini menumpuk seperti sampah yang telat dibuang.Proyek desain mendadak yang menyeret nama usaha masa lalunya. Pertemuan dengan Adrian yang penuh sindiran dan tensi. Dan yang paling menghantam: Satria, berdiri gagah di depan warung mahalnya, bersama istri dan anak yang tampak sempurna—mewakili semua yang dulu Dira impikan… tapi tidak ia miliki.Dira memeluk lututnya, membiarkan diam melingkupi kamar. Tapi hatinya terlalu gaduh.Ia meraih ponsel dan men-scroll kontak. Jarinya berhenti di satu nama: Buk Lik Ratna. Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol telepon.Satu dering. Dua dering. Lalu suara renyah yang begitu familiar menjawab, "Halo, le… wis tekan kosan?” suara Buk Lik terdengar cerah dari seberang telepon.Dira menghela napas, suaranya lel

  • Karma Pedas Sang Mantan   Enam - Ayam Penyet

    Belum sempat suasana kembali cair, Rendy mendadak nyeletuk sambil garpu masih nyangkut di mulut, “Eh… jangan-jangan kalian pernah pacaran ya?”Dira menoleh cepat. “Bukan,” jawabnya datar, tanpa jeda.Pak Bos—yang berdarah Korea dan dikenal suka ikut nimbrung meski wajahnya selalu serius—mengangkat alis. “Kalau bukan pacaran, jangan-jangan cinta bertepuk sebelah tangan?”Lala langsung tertawa kecil. “Iya sih… vibes-nya agak-agak begitu. Salah satu dari kalian naksir tapi nggak kesampean?”Dira menghela napas, menaruh sendoknya perlahan ke pinggir piring. “Kenapa sih semua tebakannya soal hubungan cinta?”Lala mendongak sambil berlagak mikir. “Kalau gitu, hmm… mungkin… saingan lama? Musuh bebuyutan?”Dira tidak langsung menjawab. Pandangannya jatuh ke meja. “Mungkin aja,” katanya pelan, lalu kembali mengambil teh dan menyeruputnya.Hening sejenak. Lala dan Rendy saling lirik, ingin tanya lebih jauh tapi sadar Dira bukan tipe yang bisa digali kalau dia sendiri belum mau cerita. Pak Bos p

  • Karma Pedas Sang Mantan   Lima - Ayam Penyet

    Mobil kantor itu melaju stabil di tengah arus lalu lintas yang padat. Di dalamnya, percakapan ringan mengalir di antara para penumpang. Lala bercerita tentang kucing barunya, Rendy asik membahas teori random soal algoritma Instagram, dan Pak Bos terkekeh kecil mendengar celotehan anak-anak buahnya.Di antara semua suara itu, Dira hanya diam. Duduk di kursi belakang dekat jendela, menatap keluar, meski pemandangannya tak terlalu penting. Lampu jalanan, toko-toko kecil, dan pejalan kaki yang lewat. Hanya visual yang lewat begitu saja, tak masuk benar ke kepalanya.Yang berisik justru pikirannya sendiri.Gimana caranya kabur dari makan malam ini tanpa dicurigai? Gak mungkin tiba-tiba bilang ada kerjaan urgent. Atau… pura-pura pusing? Tapi nanti malah ditawarin minyak angin. Malah makin ribet.“Dir,” suara Lala menyentak lamunan. “Kok kamu diem aja dari tadi?”“Hm?” Dira menoleh singkat. “Capek dikit.”“Kamu kayak abis ketemu mantan deh,” celetuk Lala sambil tertawa.Dira tak membalas. Ha

  • Karma Pedas Sang Mantan   Empat - Ayam Penyet

    Dira duduk di teras rumah Buk Lik Ratna, ditemani secangkir teh manis yang sudah mulai dingin. Matanya menatap jauh ke jalanan kecil di depan rumah. Udara pagi membawa aroma tanah basah dan suara burung yang bersahut-sahutan. Tapi hatinya tak selega pagi itu. Ada sesuatu yang mengganjal, sekaligus membakar semangatnya dari dalam.“Le, wis yakin?” tanya Pak Lik pelan, sambil duduk di sebelahnya.Dira mengangguk. “Yakin, Pak Lik. Aku harus kembali. Kuliahku belum selesai. Aku nggak mau hidupku berhenti cuma karena Satria mutusin jadi pengkhianat.”Pak Lik menatapnya dengan mata yang teduh, lalu menepuk punggung tangan Dira. “Bagus. Tapi inget ya… kamu boleh marah, boleh kecewa. Tapi jangan pernah ngelakuin hal yang bikin kamu kehilangan dirimu sendiri.”Dira menoleh. “Iya, Pak Lik. Aku udah mikir. Aku nggak akan balas dia pakai cara yang kotor. Aku bakal buktiin kalau aku bisa berhasil tanpa dia.”Tiba-tiba, dari balik dapur, terdengar suara senggolan panci. Buk Lik muncul sambil membaw

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status