Menjalani kehamilan di trisemester pertama, membuatku sedikit lemah dan kerap merasa pusing. Apalagi gejala morning sickness membuatku makin tak kuat beraktifitas di pagi hari.Obat-obat dan vitamin di susun di meja dekat tempat tidurku, ada sekotak susu dan sepiring buah yang sudah disiapkan Mas Didit sejak pagi. Memang sikapnya sebagai suami sangat romantis dan penuh perhatian, sebagai istri harusnya aku bahagia, namun akhir akhir ini, perasaanku makin hari makin tak nyaman.Perlahan-lahan kucoba mengendalikan rasa takut dan trauma akan kejadian mengerikan tempo hari, aku belajar membiasakan diri, karena sedang mengandung bayi, kukontrol rasa syok dan takut yang kerap datang dengan mudah, agar janinku tak terganggu oleh stress dari si Ibu.Anak- anak lebih bahagia dan antusias merawatku demi calon adik mereka. Mendapatkan perhatian demikian tentu aku menjadi wanita yang hampir memiliki kesempurnaan bahagia. "Nyonya, makanan sudah siap, kalo butuh sesuatu, bilang aja," kata si Bi
"Aku tidak pernah menawar kebunmu," ujarnya yang langsung saja menahan langkahku."Lalu?""Kenapa kau tidak sopan sekali datang dan marah kepadaku, aku masih sabar karena tidak membekuk dan memenjarakanmu, sekali lagi kutegaskan bahwa aku tidak menawar kebunmu.""Lalu siapa yang menawarnya?""Kebetulan suamimu bersahabat dengan anakku dan dekat dengan keluarga kami, jadi ia menawarnya pada kami agar kami membelinya.""Apa? Mas Didit bersahabat dengan Letnan Heri?""Iya, dan sebagai istri kau tidak tahu?"Tentu saja aku terkejut mendengarnya, bagaimana aku bisa tidak mengetahui bahwa Mas Didit dan Heri dekat, dipikir-pikir pun rasanya tak habis pikir, bukankah ia sendiri yang mengawal persidangan dan membantuku mendapatkan keadilan bagaimana mungkin dia bisa menahan semua itu tanpa berterus terang, sikapnya seolah bermuka dua. Apakah pernikahan kami hanyalah modus dia mendapatkan harta dan meraup keuntungan dengan kepercayaanku, ini tidak adil rasanya."Kenapa kau diam saja? Apakah s
Dengan penampilan terbaik, aku akan pergi menemui wanita yang telah merusak hidupku, untuk menekannya dan membuatnya mengakui segalanya."Kamu aku kemana?"tanya Mas Didit yang sudah bangun dan mendapatiku sudah rapi dan wangi, bersiap untuk pergi."Kamu terlihat cantik, seperti hendak menemui orang penting.""Iya, tebak aku akan menemui siapa?" ujarku sambil tersenyum."Pasti orang yang penting, melihat dandanan dan perhiasanmu aku yakin kau punya agenda khusus, apa ini akan membahas peternakan?""Uhm, aku tak bisa memberi tahumu," jawabku menyimpan sakit hati karena sekali lagi ia kembali membahas kebun."Aku rasa kau sudah mengambil keputusan terbaik, untuk kita semua. Degan terjualnya kebun itu, kau akan mulai fokus pada anak anak dan rumah kita," imbuhnya sambil mengecup keningku, senyumnya lebih lebar, lebih lebar dar hari kemarin."Oke, aku pergi dulu. Baju dan sarapan sudah kusiapkan jadi pergilah mandi," ujarku sambil mendorong tubuhnya dariku."Aku tak bisa menjauh dari ist
Aku menuju bagian informasi dan langsung meminta izin untuk masuk. Dua orang petugas memberi salam lalu mempersilahkan aku duduk di depan meja kerja Mereka."Kalau tidak salah Anda yang sakinah mantan Ibu Dandim kota ini.""Betul sayangnya saat ini saya sudah tidak terhubung lagi dalam instansi kalian." Aku tersenyum."Ada yang bisa kami bantu ibu?""Saya ingin bertanya di mana keberadaan Letnan Heri anak dari Pak William."Mereka terlihat saling memandang mendengar jawabanku. Rasanya aku menilai mereka hendak mempersulit keadaan ini."Bagaimana Pak? Apa saya bisa dapatkan alamat Letnan Heri?""Begini Bu tugas yang sedang dilaksanakan letnan Heri adalah tugas Rahasia, jadi kami tidak bisa memberi tahu lokasinya.""Hmm, ini darurat," jawabku."Kalau memang darurat Ibu bisa menemui bagian Humas dan mereka akan menyampaikan kepada Letnan Heri dan keluarganya.""Masalahnya saya harus menemuinya langsung," jawabku."Tidak bisa karena dan Heri sedang melaksanakan tugas, maafkan kami, jika i
Aku tidak boleh lemah oleh kekhawatiran, aku harus bulatkan tekad untuk menemui pria itu dan menanyainya apa yang terjadi.Aku sudah menjalani berbagai kehidupan yang penuh bahaya dan rintangan tidak mungkin untuk berhenti di titik ini dan menyerah, aku harus tetap menjadi Sakinah yang tangguh dan berani sampai detik akhir dalam hidupku.Jadi, tanpa banyak berpikir lagi langsung ku gas mobil milikku menyusuri jalan yang menghubungkan kota ini dan kota Jati.Di tengah perjalanan aku sempatkan diri untuk mengisi bensin mobil di rest area dan membeli beberapa alat keselamatan dan makanan, Aku tidak tahu apa aku akan menggunakannya atau tidak tapi penting bagiku untuk berjaga-jaga.Seusai beristirahat sekitar 5 menit aku langsung memutar kembali kemudi dan mengendarai dengan cepat agar bisa sampai siang dan kembali di malam hari. Satu jam berikutnya aku sudah menemukan markas Distrik militer kabupaten itu tanpa rintangan yang berarti."Selamat siang," sapaku kepada para penjaga gerbang sa
Mobilku berhenti di depan rumah, namun alih-alih masuk aku hanya menghentikan kendaraanku di depannya, duduk dan menatap bangunan itu sambil tercenung."Apa yang terjadi sekarang, kenapa aku terjebak di antara mereka semua. Harusnya aku berada di rumah, menghabiskan waktu bersama kedua anakku dan berbagi kasih dengan suami tercinta. Apakah tujuanku mencari jawaban membuatku akhirnya memutuskan cerai. Andai sebelumnya aku tidak tahu, mungkin aku masih bahagia atau setidaknya bisa mengabaikan semua itu dan berpura pura bahagia."Semakin tenggelam dalam pikiran, semakin galau dada ini menutuskan yang terbaik. Hinggga akhirnya aku mengembuskan napas pelan lalu keluar dari dalam mobil.Ketika masuk, kutemukan suamiku sudah menunggu di ruang tamu, ia langsung bangkit ketika melihatku datang. Hendak memelukku namun ketika melihat pakaianku ia hanya terpaku sementara tatapan matanya lekat padaku."Darimana Sayang?""Rumah Ibu.""Ngapain dengan pakaian semacam itu?""Gak ada, dasar saja kau
"Itu ada titipan dari kurir, aku meletakkannya di atas meja kerjamu," ujarku ketika menyajikan sarapan."Titipan apa?""Surat Mas.""Surat? jaman sekarang?""Ya, mungkin aja surat tagihan atau sejenisnya," jawabku sambil menggigit roti."Ya, jaman digital seperti sekarang kan bisa kirim pesan via SMS atau WA," jawabnya sambil tertawa."Bisa jadi itu pesan penting, jadi silakan untuk memeriksanya," ujarku sambil membalas senyumnya."Tentu Nyonya, sesuai arahan Anda," godanya menandaskan minumannya.**Dari meja makan kulirik pria yang berangsur menuju meja kerjanya, diraihnya amplop yang sudah kurekatkan ulang, dan membukanya dengan perlahan. Bisa kutangkap betapa terkejut wajahnya ketika membuka isi pesan itu. Ketika ia bersitatap denganku, aku bisa menangkap kegugupan yang coba dia tutupi dari senyumnya."Dari siapa, Mas?""Dari salah satu korban yang aku ingestigasi kasusnya," jawabnya."Dia tahu alamatmu?" selidikku."Tentu, aku memberi tahunya, agar ia sewaktu waktu bisa menghubun
"Sa-sakinah, kau di si-sini?""Ada apa, kenapa wajahmu seperti itu?""Aku tahu kau akan marah, tapi aku bisa jelaskan ini," ucapnya gugup."Kau tahu aku akan marah? Sepertinya kau sadar bahwa klien yag ingin kau temui adalah si pelacur murahan itu!" jawabku tegas."Ma-maaf atas ketidakjujuranku, aku hanya ....""Jangan jelaskan di sini, pulanglah ke rumah dan kita akan selesaikan di sana.""Lalu kau, apa yang akan kau lakukan?""Pergilah," usirku."Aku tak mau!"Dia bersikeras, sepertinya dia tahu apa yang akan aku lakukan padaantan kekasihnya."Baik, semakin Kau bertekad untuk tidak pergi makan aku semakin curiga padamu mas," ujarku sambil melipat tangan di dada."Ayo kita pulang bersama emangnya apa yang akan kau lakukan disini?"Tanpa mau banyak bicara aku langsung masuk ke kamar Kartika dengan langkah cepat tentu saja dengan sigap Mas Didit mengejar untuk menghalangiku."Kartika beraninya kamu!" Aku berteriak sambil menarik selimut yang dia kenakan hingga terlepas dan terlempar ke
Ketika mereka membalikkan badan, Kartika dan pria itu terkejut, bukan main kaget, sampai salha tingkah, sedang aku langsung menutup mulut dengan kedua tangan, menyembunyikan rasa terpana yang tidak terkira. Aku tak tahu apa harus marah atau menangis dengan pemandangan miris di depan sana, bersamaan dengan rasa iba pada Mas Yadi."Astaghfirullah, apa-apaan kamu Kartika?!' Mas yadi menggeram, mengepalkan tangan dan mendekat, ia maju dan bersiap memukul pria yang jadi pasangan selingkuh Kartika."Beraninya kau menggoda istriku," ujar Mas Yadi sambil melayangkan pukulan."Kau juga sedang bersama istriku, kau telah mempengaruhinya!" Balas pria yang jijik kusebut suami itu."Keterlaluan kau Didit, apa hubunganmu dengan istriku?""Tidakkah harusnya aku yang bertanya apa hubungan yang kau bangun dengan kantan istrimu?!" Mas Yadi membalikkan badan dan terkejut melihatku di belakangnya."Sakinah .....""Apa kau mau mengelak sekarang?" Pria jahat itu terkekeh sinis."Kartika teganya kamu, buru b
"Jadi kau izinkan aku pergi?""Begini saja, pergilah kau sendiri menemui istrimu aku akan memindahkan anak-anak bersama si Bibi ke perkebunan, anak buah Bendi akan mengawal mereka dan memastikan mereka selamat. Kurasa itu adalah jalan terbaik daripada harus mengikuti kau kesana kemari sementara mereka juga harus menjalani aktivitas belajar dan ujian mereka.""Kurasa masuk akal juga apa yang kau katakan, aku akan pergi kalau begitu," ujar pria itu sambil mengambil tasnya.Sebelum sempat keluar dari kamar, ia mendekat dan tanpa aba-aba dia mendaratkan sebuah kecupan hangat di keningku."Terima kasih masih menyimpan pakaianku," bisiknya lembut.Detik berikutnya, pria itu meninggalkanku begitu saja di dalam kamar ini, kamar yang dulu begitu penuh cinta dan aroma kerinduan. Aku jatuh terduduk di atas ranjang, meremas sprei yang dulu pernah menjadi saksi, betapa kami saling mencintai."Pada akhirnya sebagai suami, dia harus tetap bertanggung jawab kepada wanita yang sudah dia terima nika
Sesampainya di depan rumah berlantai dua milik kami, Bendi memasukkan mobilnya ke garasi dan langsung menurunkan rolling door garasi dengan rapat.Aku dan Mas Didit saling pandang namun tak berani banyak bertanya, dia lalu meminta Imel untuk menarik cat mobil yang merupakan tempelan untuk membantunya sehingga mobil yang tadi berwarna biru gelap sudah berubah menjadi putih.Setelah selesai ia mengganti pakaiannya dan masuk kembali ke mobil."Kamu gak mampir dulu?" tanya Imel."Aku harus pergi, sebelum polisi tahu bahwa kekacauan di tol tadi adalah perbuatanku," balasnya."Kau akan baik-baik saja?" untuk pertama kalinya pria itu terlihat mengkhawatirkan orang."Iya, Pak, saya akan baik baik saja.""Oh, aku lupa kau punya banyak pengawal," balas Mas Yadi.Pria itu hanya menggeleng pelan sambil tersenyum lalu berpamitan denganku dan anak perempuanku."Hati-hati ya," ujar Imel."Kenapa kau tidak menambahkan kata sayang di belakang kalimat hati-hati?" tanya pemuda itu mengulum senyum mem
"Itu Papa!" Seru anakku gembira dia membuka mobil dan langsung berlari ke arah papanya.Anak gadisku begitu gembira dan langsung menghambur memeluk papanya, pria itu juga bahagia dan langsung memeluk putrinya."Akhirnya Papa kelur juga, aku rindu," kata Imel, "tapi kenapa tangan dan kaki papa? Kenapa Papa jalannya pincang?"Tanya Imel yang mengomentari gerakan tubuh Mas Yadi, untungnya dia tak tahu bahwa pria itu habis tertembak dua minggu lalu."Apa kabar, Mas?" Sapaku sambil mengulurkan tangan menyalaminya, tanpa kuduga ia memelukku lalu menepuk belakang punggungku perlahan."Alhamdulillah aku baik sekarang," jawabnya tersenyum, sedang aku terbengong dengan sikapnya."Oh be-begitu ya, ba-baguslah." Sial, aku gugup dan canggung, sementara Bendi dan Imel saling melirik dan tersenyum."Kalo begitu ayo kita pulang," ajak Bendi."Lho, kamu siapa?" tanya Mas Yadi pada Bendi."Dia adalah orang yang sudah menolongku dan Imel dari penyekapan Mas, dia juga sering menjengukku ke rumah sakit d
Setelah mengambil semua surat menyurat yang sudah dibuat ulang dari kantor kuasa hukum kami, aku segera mengajak Bendi untuk pergi menjemput Mas Suryadi ke gerbang Rutan Pondok kopi.Mobil kami meluncur di jalan aspal yang mulus lalu berputar di lingkar Selatan dan menuju pinggir kota dimana pusat lembaga pemasyarakatan itu berada."Kamu yakin bahwa papa akan keluar jam 1 siang?""Iya mah begitu informasi yang aku dengar dari Pak Efendy dan petugas sipir yang menelponku," balasnya."Mudah-mudahan lancar ya," gumamku sembari berharap semoga berita tentang kebebasan Mas Yadi bukan hanya lobi semata antara polisi dan TNI, sementara pada kenyataannya hal itu tidak pernah terjadi."Apa semuanya akan aman bendi?""Kita harus tetap waspada nyonya, anda pun sekarang berada dalam incaran," balasnya."Apa? Apa maksudnya?""Lihat mobil Chevrolet hitam yang sedang mengikuti di belakang kita? Sejak dari rumah sakit tadi mobil itu terus mengikuti dan mengawasi, aku rasa mereka memang sudah mengi
Kubenahi rambut dan wajahku yang berantakan, aku merutuk karena pria itu menyakiti rahangku, demi Tuhan aku akan bersumpah bahwa dia akan membayarnya.Kini aku harus mencatat daftar panjang orang-orang yang akan aku tuntut dengan pembalasan. Ada William, Didit, Heri, dan sinoembuat masalah Kartika. Mereka bertiga sahabat yang harus dihancurkan.Tiba tiba muncul sesuatu dalam benakku, ide untuk mengadu domba mereka semua dan membuat mereka saling berselisih paham dan saling mencurigai. Perlahan kepercayaan satu sama lain akan tergerus dan hancur tak bersisa, lalu setelahnya, kuhancurkan mereka semua secara hukum juga.Tapi sejujurnya aku pun belum tahu akan memulai dari mana, sulit menentukan mana orang yang benar-benar bisa dipercaya dan mana yang tidak, mana yang tulus dan mana yang hanya modus, mana yang kawan mana yang berpura-pura menjadi kawan lalu menusuk."Aku harus segera menghubungi pengacaraku," batinku sambil meraih ponselku.Tak lama sambungan terhubung, pria yang sudah
Kedatangan orang itu memang mengejutkan, dia yang pernah melayani keluargaku dengan baik dan sempat berkonflik denganku karena membela Suryadi kini sudah berdiri di sini menyapa sopan lalu mengambil tempat duduk."Apa kabar Ibu?""Baik, Hendra, aku tak pernah menyangka kau akan datang, entah harus senang atau heran, tapi aku bersyukur atau kemurahan hatimu," balasku pelan."Saya merasa prihatin atas kabar yang terdengar terakhir kali, terlebih mengetahui bahwa Ibu yang sedang hamil disakiti," jawabnya."Terima kasih atas perhatianmu, bagaimana kabar istri anakmu?" tanyaku."Baik, Nyonya.""Oh, syukurlah."Sesaaat suasana menjadi hening dan kaku, aku dan Hendra sama sama diam, tak tahu harus membahas apa."Bagaimana kabar Letkol Suryadi sekarang?""Dia masih ditahan di kantor polisi," balasku."Bukannya beliau sudah bebas?""Iya, tapi ditahan lagi, itu juga karena aku," jawabku menerawang jauh."Pak Yadi tidaklah jahat, dia hanya salah langka karena menyukai Nyonya Kartika, Tapi saya
"Aku kenal seorang polisi korup, dia cukup dekat dengan Kapolda, jika Nyonya mau, mungkin aku bisa menjaminkan Suryadi dengan menemuinya." Pria itu terlihat memicingkan mata meminta pendapatku."Itu ide bagus, tidakkah mereka curiga kenapa seorang preman mau menjamin Suryadi?""Kenapa tidak, memangnya Anda pikir aku akan menggunakan identitas asli, sebagai seseorang yang kerap menjadi buruan polisi, Aku tidak bisa hidup tanpa menggandakan identitas Nyonya," bisiknya sambil tertawa miring."Kau benar, kadang aku pun ngeri dengan berurusan denganmu, salah langkah atau kurang uang selembar saja resikonya jauh lebih mengerikan daripada penjara," balasku tertawa."Sebetulnya aku melakukan bisnis ini demi uang namun ada beberapa hal yang tidak aku lakukan untuk keuntungan semata," jawabnya sambil mengedarkan pandangan ke segala arah."Jika begitu, lakukan apa yang menurutmu baik," balasku.Tiba tiba dari monitor kamera koridor yang terlihat dari balik panel kaca kamarku, kami dapat mel
"Tante ... aku cariin Tante sejak pertama kali Tante gak pulang, kemana aja," ujarnya sambil menangis."Aku ada masalah dengan Papamu," jawabku."Papa?" Gadis itu langsung menghentikan tangisannya dan nampak amat terkejut."Iya, dia yang sudah membuatku terbaring di sini, nyaris melumpuhkan dan membunuhku," "Ta-tapi kenapa? Bukankah Tante istrinya Papa, lalu kenapa bisa begitu?""Entahlah, hanya dia dan Allah yang tahu.""Aku menyayangi Tante seperti Mamaku, kenapa Papa harus berbuat setega itu?""Memang dia bilang apa denganmu tentangku?""Dia bilang Tante ssakit, tapi aku curiga karena Imel dan Siska ikut menghilang sannpergi dari rumah, balasnya mengusap air mata."Mungkin kita tak bisa serumah lagi, Nak,," ujarku sambil menggenggam tangannya."Kenapa, Tante sama Papa mau cerai?""Iya, dia bahkan hendak memenjarakannaku tanpa alasan andai tidak ada yang turun tangan menegaskan masalah ini, sekali aku minta maaf karena kita tak akan bersama lagi," balasku sambil mengusap wajahnya