Mobilku berhenti di depan rumah, namun alih-alih masuk aku hanya menghentikan kendaraanku di depannya, duduk dan menatap bangunan itu sambil tercenung."Apa yang terjadi sekarang, kenapa aku terjebak di antara mereka semua. Harusnya aku berada di rumah, menghabiskan waktu bersama kedua anakku dan berbagi kasih dengan suami tercinta. Apakah tujuanku mencari jawaban membuatku akhirnya memutuskan cerai. Andai sebelumnya aku tidak tahu, mungkin aku masih bahagia atau setidaknya bisa mengabaikan semua itu dan berpura pura bahagia."Semakin tenggelam dalam pikiran, semakin galau dada ini menutuskan yang terbaik. Hinggga akhirnya aku mengembuskan napas pelan lalu keluar dari dalam mobil.Ketika masuk, kutemukan suamiku sudah menunggu di ruang tamu, ia langsung bangkit ketika melihatku datang. Hendak memelukku namun ketika melihat pakaianku ia hanya terpaku sementara tatapan matanya lekat padaku."Darimana Sayang?""Rumah Ibu.""Ngapain dengan pakaian semacam itu?""Gak ada, dasar saja kau
"Itu ada titipan dari kurir, aku meletakkannya di atas meja kerjamu," ujarku ketika menyajikan sarapan."Titipan apa?""Surat Mas.""Surat? jaman sekarang?""Ya, mungkin aja surat tagihan atau sejenisnya," jawabku sambil menggigit roti."Ya, jaman digital seperti sekarang kan bisa kirim pesan via SMS atau WA," jawabnya sambil tertawa."Bisa jadi itu pesan penting, jadi silakan untuk memeriksanya," ujarku sambil membalas senyumnya."Tentu Nyonya, sesuai arahan Anda," godanya menandaskan minumannya.**Dari meja makan kulirik pria yang berangsur menuju meja kerjanya, diraihnya amplop yang sudah kurekatkan ulang, dan membukanya dengan perlahan. Bisa kutangkap betapa terkejut wajahnya ketika membuka isi pesan itu. Ketika ia bersitatap denganku, aku bisa menangkap kegugupan yang coba dia tutupi dari senyumnya."Dari siapa, Mas?""Dari salah satu korban yang aku ingestigasi kasusnya," jawabnya."Dia tahu alamatmu?" selidikku."Tentu, aku memberi tahunya, agar ia sewaktu waktu bisa menghubun
"Sa-sakinah, kau di si-sini?""Ada apa, kenapa wajahmu seperti itu?""Aku tahu kau akan marah, tapi aku bisa jelaskan ini," ucapnya gugup."Kau tahu aku akan marah? Sepertinya kau sadar bahwa klien yag ingin kau temui adalah si pelacur murahan itu!" jawabku tegas."Ma-maaf atas ketidakjujuranku, aku hanya ....""Jangan jelaskan di sini, pulanglah ke rumah dan kita akan selesaikan di sana.""Lalu kau, apa yang akan kau lakukan?""Pergilah," usirku."Aku tak mau!"Dia bersikeras, sepertinya dia tahu apa yang akan aku lakukan padaantan kekasihnya."Baik, semakin Kau bertekad untuk tidak pergi makan aku semakin curiga padamu mas," ujarku sambil melipat tangan di dada."Ayo kita pulang bersama emangnya apa yang akan kau lakukan disini?"Tanpa mau banyak bicara aku langsung masuk ke kamar Kartika dengan langkah cepat tentu saja dengan sigap Mas Didit mengejar untuk menghalangiku."Kartika beraninya kamu!" Aku berteriak sambil menarik selimut yang dia kenakan hingga terlepas dan terlempar ke
Kubuka mata dan menemukan diri sudah terbaring lemah di ranjang rumah sakit, Mas Didit duduk di sisi pembaringan sambil menopang kepalanya dengan salah satu tangan dan dia terlihat susah.Aku berusaha bangkit dan Mas Didit menyadarinya, ia sigap mencegahku dan mengembalikan badanku ke pembaringan."Kamu jangan bergerak dulu keadaanmu masih lemah sayang," ujarnya lembut."Apa yang terjadi?" tanyaku sambil memegang perut."Janin yang mengalami kontraksi ya hampir saja keguguran andai Aku tidak segera membawamu ke rumah sakit dan dokter tidak memberikan pertolongan dengan cepat.""Ah, Apa gunanya juga aku mempertahankan kehamilan ini," desahku sambil meneteskan air mata."Sshhh ... Kamu nggak boleh bilang begitu, anak itu adalah anak yang sudah lama kutunggu, kita harus menjaganya," jawab Mas Didit lembut. Ia menggenggam tangan dan membelai rambutku dengan penuh kasih sayang."Aku makin terluka dengan itu Mas," jasabku terisak sedih. "Di titik ini aku lelah berjuang demi keadilan dan k
Pukul sepuluh malam, terdengar suara pintu ruangan yang di putar kuncinya dan sesaat kemudian dokter dan 2 orang perawat masuk lalu menyalakan pintu ruanganku."Bagaimana keadaan anda Nyonya?""Hah, mana ada rumah sakit yang menahan pasiennya dengan tangan terikat dan berada di dalam kegelapan selama beberapa jam. Aku sedang kelaparan dan juga sedang hamil, di mana rasa kemanusiaan kalian?!" sentakku."Kami datang untuk membantu Nyonya mengganti baju lalu menyuapi Nyonya makan, maafkan atas kelalaian saya dan anak buah saya," jawabnya."Lihat saja jika aku bisa keluar dari tempat ini dalam keadaan hidup aku akan membuatmu menyesal selama-lamanya," desisku melotot padanya."Jangan berkata begitu, Nyonya, semua kita lakukan untuk kesembuhan Nyonya.""Aku tahu digit tidak ingin aku sembuh tapi dia ingin aku bunuh diri karena depresi! Kau tahu kekayaanku tiga kali lipat lebih banyak daripada kekayaannya, jadi aku rasa dia pasti sedang berambisi untuk memilikinya.""Nyonya, Anda harus berf
"Kau sangat berani menantangku ya," desisnya sambil mendorong tubuhku hingga aku terjatuh ke kasur."Kasar sekali kau biadab, aku sedang hamil saat ini!""Siapa yang bisa menjamin itu bayiku, bukankah selama menikah denganku kau selalu bertemu Suryadi?" ujarnya sambil tertawa."Biadab ... Aku akan menuntutmu!""Tidak akan masuk penjara seorang dokter yang merawat orang gila, dan keluarga yang mengupayakan kesembuhan juga demikian," jawabnya santai."Kau keparat, aku mengutukmu mati membusuk di penjara. Kau akan dipermalukan dengan cara paling buruk karena sudah menyiksa wanita hamil dan memfitnahnya!""Cih, siapa yang tahu apa yang terjadi, sementara semua keluarga tahu bahwa kau saat ini sedang dirawat intensif karena gangguan jiwa.""Tuhan tahu kalo aku tidak gila!""Ikat kembali dia dan pastikan dia tak bangun dari ranjang itu!" perintah Mas Didit pada dokter dan perawatnya."Siap, Pak.""Janga sampai terjadi lagi insiden pencurian hp, kalo kalian masuk kemari jangan bawa ponsel k
"Hah, tak kusangka kau bisa menemukan sakinah, bagaimana kau bisa keluar dari penjara?" tanya Mas Didit dengan sorot mata tajam, namun ia tak mampu menyembunyikan keterkejutan."Dikurung dalam benteng besi pun aku tetap akan keluar menyelamatkan Sakinah," jawab Mas Yadi sambil menodongkan sepucuk senjata."... Jangan bergerak kalian sebelum kupecahkan kepala kalian," ancamnya pada petugas kesehatan yang merayap hendak kabur dari tempat itu."Manis sekali karena kau datang untuk membela mantan istrimu, tapi, jangan sok jagoan Suryadi, ini adalah masalahku dan istriku, kau tidak berhak ikut campur, pergilah dari tempat ini dan kembalilah ke selmu, sebelum aku memberimu hukuman yang lebih berat karena sudah kabur dari penjara.""Sebelum kau melakukan itu, aku sudah membunuhmu!" Mas Yadi mendekat dengan langkah cepat, dia terlihat geram, ditambah sorot mata yang berkilat dipenuhi amarah.Mas Didit juga tidak kalah sigapnya langsung maju dan mengeluarkan senjata dari belakang kemejanya,
Aku nyaris terlempar dari mobil jeeep yang berjalan dengan kencang dan menabrak apa saja yang menghadang.Pria yang sedang mengemudi di depanku, dia mengenakan topi hitam, rambutnya dia potong cepak tipis, dan sorot mata coklatnya yang dulu pernah meneduhkan hatiku, kini terlihat berapi-api dengan apa yang terjadi. Namun di sisi lain, padaku hari ini, dia kembali menatap dengan sorot yang sama, penuh makna mendalam, seperti tatapannya dulu, ketika ia masih menjadi milikku, hanya milikku."Hati hati, Mas!" Aku menjerit ketakutan, karena kami terus diberondong tembakan senjata. Kaca belakang pecah, tapi tidak semua, suara peluru yang berdesing membentur body mobil dan teriakan para anggota Mas Didit yang menyuruh kami berhenti, aku seolah berada di perang dunia ketiga, seram sekali."Duduklah, berpegangan, aku akan membawamu keluar dari neraka ini.""Tempat apa ini?""Pulau isolasi bagi pasien gila dan rehabilitasi narkoba yang parah.""Ya Allah ..." Aku hanya mampu menangis sejadi-ja
Ketika mereka membalikkan badan, Kartika dan pria itu terkejut, bukan main kaget, sampai salha tingkah, sedang aku langsung menutup mulut dengan kedua tangan, menyembunyikan rasa terpana yang tidak terkira. Aku tak tahu apa harus marah atau menangis dengan pemandangan miris di depan sana, bersamaan dengan rasa iba pada Mas Yadi."Astaghfirullah, apa-apaan kamu Kartika?!' Mas yadi menggeram, mengepalkan tangan dan mendekat, ia maju dan bersiap memukul pria yang jadi pasangan selingkuh Kartika."Beraninya kau menggoda istriku," ujar Mas Yadi sambil melayangkan pukulan."Kau juga sedang bersama istriku, kau telah mempengaruhinya!" Balas pria yang jijik kusebut suami itu."Keterlaluan kau Didit, apa hubunganmu dengan istriku?""Tidakkah harusnya aku yang bertanya apa hubungan yang kau bangun dengan kantan istrimu?!" Mas Yadi membalikkan badan dan terkejut melihatku di belakangnya."Sakinah .....""Apa kau mau mengelak sekarang?" Pria jahat itu terkekeh sinis."Kartika teganya kamu, buru b
"Jadi kau izinkan aku pergi?""Begini saja, pergilah kau sendiri menemui istrimu aku akan memindahkan anak-anak bersama si Bibi ke perkebunan, anak buah Bendi akan mengawal mereka dan memastikan mereka selamat. Kurasa itu adalah jalan terbaik daripada harus mengikuti kau kesana kemari sementara mereka juga harus menjalani aktivitas belajar dan ujian mereka.""Kurasa masuk akal juga apa yang kau katakan, aku akan pergi kalau begitu," ujar pria itu sambil mengambil tasnya.Sebelum sempat keluar dari kamar, ia mendekat dan tanpa aba-aba dia mendaratkan sebuah kecupan hangat di keningku."Terima kasih masih menyimpan pakaianku," bisiknya lembut.Detik berikutnya, pria itu meninggalkanku begitu saja di dalam kamar ini, kamar yang dulu begitu penuh cinta dan aroma kerinduan. Aku jatuh terduduk di atas ranjang, meremas sprei yang dulu pernah menjadi saksi, betapa kami saling mencintai."Pada akhirnya sebagai suami, dia harus tetap bertanggung jawab kepada wanita yang sudah dia terima nika
Sesampainya di depan rumah berlantai dua milik kami, Bendi memasukkan mobilnya ke garasi dan langsung menurunkan rolling door garasi dengan rapat.Aku dan Mas Didit saling pandang namun tak berani banyak bertanya, dia lalu meminta Imel untuk menarik cat mobil yang merupakan tempelan untuk membantunya sehingga mobil yang tadi berwarna biru gelap sudah berubah menjadi putih.Setelah selesai ia mengganti pakaiannya dan masuk kembali ke mobil."Kamu gak mampir dulu?" tanya Imel."Aku harus pergi, sebelum polisi tahu bahwa kekacauan di tol tadi adalah perbuatanku," balasnya."Kau akan baik-baik saja?" untuk pertama kalinya pria itu terlihat mengkhawatirkan orang."Iya, Pak, saya akan baik baik saja.""Oh, aku lupa kau punya banyak pengawal," balas Mas Yadi.Pria itu hanya menggeleng pelan sambil tersenyum lalu berpamitan denganku dan anak perempuanku."Hati-hati ya," ujar Imel."Kenapa kau tidak menambahkan kata sayang di belakang kalimat hati-hati?" tanya pemuda itu mengulum senyum mem
"Itu Papa!" Seru anakku gembira dia membuka mobil dan langsung berlari ke arah papanya.Anak gadisku begitu gembira dan langsung menghambur memeluk papanya, pria itu juga bahagia dan langsung memeluk putrinya."Akhirnya Papa kelur juga, aku rindu," kata Imel, "tapi kenapa tangan dan kaki papa? Kenapa Papa jalannya pincang?"Tanya Imel yang mengomentari gerakan tubuh Mas Yadi, untungnya dia tak tahu bahwa pria itu habis tertembak dua minggu lalu."Apa kabar, Mas?" Sapaku sambil mengulurkan tangan menyalaminya, tanpa kuduga ia memelukku lalu menepuk belakang punggungku perlahan."Alhamdulillah aku baik sekarang," jawabnya tersenyum, sedang aku terbengong dengan sikapnya."Oh be-begitu ya, ba-baguslah." Sial, aku gugup dan canggung, sementara Bendi dan Imel saling melirik dan tersenyum."Kalo begitu ayo kita pulang," ajak Bendi."Lho, kamu siapa?" tanya Mas Yadi pada Bendi."Dia adalah orang yang sudah menolongku dan Imel dari penyekapan Mas, dia juga sering menjengukku ke rumah sakit d
Setelah mengambil semua surat menyurat yang sudah dibuat ulang dari kantor kuasa hukum kami, aku segera mengajak Bendi untuk pergi menjemput Mas Suryadi ke gerbang Rutan Pondok kopi.Mobil kami meluncur di jalan aspal yang mulus lalu berputar di lingkar Selatan dan menuju pinggir kota dimana pusat lembaga pemasyarakatan itu berada."Kamu yakin bahwa papa akan keluar jam 1 siang?""Iya mah begitu informasi yang aku dengar dari Pak Efendy dan petugas sipir yang menelponku," balasnya."Mudah-mudahan lancar ya," gumamku sembari berharap semoga berita tentang kebebasan Mas Yadi bukan hanya lobi semata antara polisi dan TNI, sementara pada kenyataannya hal itu tidak pernah terjadi."Apa semuanya akan aman bendi?""Kita harus tetap waspada nyonya, anda pun sekarang berada dalam incaran," balasnya."Apa? Apa maksudnya?""Lihat mobil Chevrolet hitam yang sedang mengikuti di belakang kita? Sejak dari rumah sakit tadi mobil itu terus mengikuti dan mengawasi, aku rasa mereka memang sudah mengi
Kubenahi rambut dan wajahku yang berantakan, aku merutuk karena pria itu menyakiti rahangku, demi Tuhan aku akan bersumpah bahwa dia akan membayarnya.Kini aku harus mencatat daftar panjang orang-orang yang akan aku tuntut dengan pembalasan. Ada William, Didit, Heri, dan sinoembuat masalah Kartika. Mereka bertiga sahabat yang harus dihancurkan.Tiba tiba muncul sesuatu dalam benakku, ide untuk mengadu domba mereka semua dan membuat mereka saling berselisih paham dan saling mencurigai. Perlahan kepercayaan satu sama lain akan tergerus dan hancur tak bersisa, lalu setelahnya, kuhancurkan mereka semua secara hukum juga.Tapi sejujurnya aku pun belum tahu akan memulai dari mana, sulit menentukan mana orang yang benar-benar bisa dipercaya dan mana yang tidak, mana yang tulus dan mana yang hanya modus, mana yang kawan mana yang berpura-pura menjadi kawan lalu menusuk."Aku harus segera menghubungi pengacaraku," batinku sambil meraih ponselku.Tak lama sambungan terhubung, pria yang sudah
Kedatangan orang itu memang mengejutkan, dia yang pernah melayani keluargaku dengan baik dan sempat berkonflik denganku karena membela Suryadi kini sudah berdiri di sini menyapa sopan lalu mengambil tempat duduk."Apa kabar Ibu?""Baik, Hendra, aku tak pernah menyangka kau akan datang, entah harus senang atau heran, tapi aku bersyukur atau kemurahan hatimu," balasku pelan."Saya merasa prihatin atas kabar yang terdengar terakhir kali, terlebih mengetahui bahwa Ibu yang sedang hamil disakiti," jawabnya."Terima kasih atas perhatianmu, bagaimana kabar istri anakmu?" tanyaku."Baik, Nyonya.""Oh, syukurlah."Sesaaat suasana menjadi hening dan kaku, aku dan Hendra sama sama diam, tak tahu harus membahas apa."Bagaimana kabar Letkol Suryadi sekarang?""Dia masih ditahan di kantor polisi," balasku."Bukannya beliau sudah bebas?""Iya, tapi ditahan lagi, itu juga karena aku," jawabku menerawang jauh."Pak Yadi tidaklah jahat, dia hanya salah langka karena menyukai Nyonya Kartika, Tapi saya
"Aku kenal seorang polisi korup, dia cukup dekat dengan Kapolda, jika Nyonya mau, mungkin aku bisa menjaminkan Suryadi dengan menemuinya." Pria itu terlihat memicingkan mata meminta pendapatku."Itu ide bagus, tidakkah mereka curiga kenapa seorang preman mau menjamin Suryadi?""Kenapa tidak, memangnya Anda pikir aku akan menggunakan identitas asli, sebagai seseorang yang kerap menjadi buruan polisi, Aku tidak bisa hidup tanpa menggandakan identitas Nyonya," bisiknya sambil tertawa miring."Kau benar, kadang aku pun ngeri dengan berurusan denganmu, salah langkah atau kurang uang selembar saja resikonya jauh lebih mengerikan daripada penjara," balasku tertawa."Sebetulnya aku melakukan bisnis ini demi uang namun ada beberapa hal yang tidak aku lakukan untuk keuntungan semata," jawabnya sambil mengedarkan pandangan ke segala arah."Jika begitu, lakukan apa yang menurutmu baik," balasku.Tiba tiba dari monitor kamera koridor yang terlihat dari balik panel kaca kamarku, kami dapat mel
"Tante ... aku cariin Tante sejak pertama kali Tante gak pulang, kemana aja," ujarnya sambil menangis."Aku ada masalah dengan Papamu," jawabku."Papa?" Gadis itu langsung menghentikan tangisannya dan nampak amat terkejut."Iya, dia yang sudah membuatku terbaring di sini, nyaris melumpuhkan dan membunuhku," "Ta-tapi kenapa? Bukankah Tante istrinya Papa, lalu kenapa bisa begitu?""Entahlah, hanya dia dan Allah yang tahu.""Aku menyayangi Tante seperti Mamaku, kenapa Papa harus berbuat setega itu?""Memang dia bilang apa denganmu tentangku?""Dia bilang Tante ssakit, tapi aku curiga karena Imel dan Siska ikut menghilang sannpergi dari rumah, balasnya mengusap air mata."Mungkin kita tak bisa serumah lagi, Nak,," ujarku sambil menggenggam tangannya."Kenapa, Tante sama Papa mau cerai?""Iya, dia bahkan hendak memenjarakannaku tanpa alasan andai tidak ada yang turun tangan menegaskan masalah ini, sekali aku minta maaf karena kita tak akan bersama lagi," balasku sambil mengusap wajahnya