"Apa maksud, Ibu?""Teganya kamu mengkhianati aku, kini kamu menjaga Kartika," desisku terluka."Siapa yag bilang begitu? Saya kemari mengambil barang-barang Bapak untuk dipindahkan kembali ke rumah Ibu," jawabnya."Mengapa dipindahkan lagi?""Karena Bapak menurut keterangannya, Bapak tidak mengkhianati Ibu," lanjutnya, "jadi atasan menyuruh semuanya dikembalikan seperti semula.""Apa kalian mempermainkan saya? jelas-jelas Mas Yadi telah menikahi Kartika.""Pernikahan mereka tidak diakui, jadi saya hanya melaksanakan arahan saja."Hendra mengemasi barang Mas Yadi ke dalam kardus sedang Kartika hanya membisu."Jangan bermain drama Hendra, aku tidak akan bisa menerima lagi Mas yadi dan memaafkan kesalahannya, aku tahu ini hanya bagian dari rencananya untuk mendapatkan keringanan hukuman " ujarku marah."Entah bisa atau tidak, yang jelas barang barang ini harus kembali ke rumah ibu sampai sidang peradilan dilaksanakan," jawabnya."Aku bahkan belum tahu kapan," ujarku sambil mendengkus
Aku ingin menyapanya sebelum kita akan berpisah dalam waktu lama,tapi aku bimbang apakah diperbolehkan untuk melakukan hal itu atau tidak. Sesaat sempat ragu, namun kemudian aku memilih mengalah dengan waktu. Aku lelah memperjuangkan hal rumit dan aku ingin berhenti di titik ini. Sekarang juga. Ketika keluar dari ruang sidang, ternyata dia masih di sana bersama empat orang anggota, mungkin saling menyapa lalu saling berpamitan. Sempat bersitatap denganku dan kami bertatapan beberapa detik hingga aku membuang napas dan pandanganku ke arah berbeda.Melihat kami saling menatap seolah paham rekan kerja Mas Yadi kemudian berpamitan dan memberi kami kesempatan untuk bicara."Jaga anak-anak dengan baik," ujarnya pelan."Tentu, aku adalah ibunya," jawabku."Yang kusukai darimu dari dulu adalah keberanian dan sedikit sombongmu," katanya sambil tertawa kecil."Sungguhkah kita menikah karena saling mencintai? Apa karena berteman dan keluarga kita dekat, kau mau saja menikahiku?" tanyaku deng
Hari-hariku berjalan normal setelah terakhir kali bertemu pria itu di pengadilan tinggi militer. Pun, anak-anak bersikap normal dan sekolah mereka lancar meski aku tahu kadang raut sedih tak bisa mereka sembunyikan dariku, terlebih di jam makan malam dan saat menatap foto Papa merekanyanh sampai saat ini masih terpajang dengan megah di dinding ruang tamu.Sebagai ibu aku berusaha sebaik mungkin untuk menghibur dan membesarkan hati kedua anakku, semoga seiring berjalannya waktu, mereka bisa ikhlas menerima kenyataan.Lantaran kesibukan mengurus kebun dan kedua anakku, ditambah mengurus surat menyurat dan pertemuan dengan sejumlah wali murid, membuat perhatianku teralihkan untuk beberapa saat. Aku belum sempat mengurus gugatan perceraian karena urusan yang menyita waktu dan tenagaku.Kadang terlintas dalam pikiranku, apakah di sana Mas Yadi sudah merenungi kesalahannya dan menyesalinya, atau malah makin jauh dari kebaikan. Apakah ia sadar atau malah makin mendendam dan menyusun intrik
Kedua anakku menyiapkan semua keperluan untuk Papa mereka tanpa banyak bicara, bahkan cenderung diam saja. Semua mereka lakukan dalam senyap sedang aku menerka-nerka mengapa mereka seperti itu."Biar Mama yang tuang buburnya ke rantang, kalian ganti baju aja," suruhku sambil mengeluarkan mangkok dari lemari.Tanpa banyak tanya mereka segera beralih ke kamar mereka.Pikiranku masih berputar-putar pada banyak hal, namun untuk bisa fokus dalam satu masalah sedikit membuatku kesulitan, alih-alih membuat kepalaku pusing sendiri lebih baik kudiamkan saja hingga mendapatkan waktu yang tepat untuk membahas hal itu.***Kuparkirkan mobil di dekat lampu taman yang cukup luas, rumah sakit dengan dominasi warna hijau khas angkatan darat yang kini kudatangi terlihat lengang dengan hanya beberapa orang yang berdiri di lobi depan.Kedua anakku turun dan mengekori langkahku menyusuri lorong yang pantulan lantainya menggemakan langkah kaki kami. Hingga kami sampai di depan kamar dengan pintu dua lap
Sedih sekali rasanya mendapatkan teguran yang begitu kasar dari anak sendiri, mereka menyampaikannya dengan begitu pedas dan aku bisa memaklumi jika mereka sedang sakit hati. Bukan solusi yang baik untuk memarahi dan mengajak mereka bertengkar, justru itu akan memper buruk keadaan dan mental mereka.Kuparkirkan mobil di garasi lalu menurunkan semua bawaan yang tadi, anak-anak langsung beralih ke kamar mereka."Maaf jika Mama tidak memahami perasaan kalian karena hanya berkutat dengan kesedihan sendiri, maaf jika mama hanya sibuk membalaskan urusan pribadi," ujarku pelan."Kami tidak melarang Mama untuk melakukan hal itu tapi jangan lupakan kami, kami membutuhkan tempat dan kondisi yang kondusif untuk menata hati, kami juga sakit hati kepada Papa tapi untuk memprotesnya aku rasa itu sudah terlambat," jawabnya Imel."Mama juga ingin fokus kepada kalian dan kebahagiaan Kalian, karenanya mulai saat ini Mama akan berusaha lebih baik," kataku sambil berlalu dan menahan air mataku yang tumpa
Aku ke rumah sakit untuk menemui Mas Yadi, aku bertekad untuk membicarakan masalah ini, aku ingin dia meluluskan permintaanku untuk bercerai darinya. Tapi kemudian, aku berpikir, mengapa aku harus mengatakannya dnegan frontal? mengapa aku tidak diam-diam saja, sembari berpura-pura aku akan mengejutkan suamiku itu.Selagi membuka pintu kamarnya, kulihat ia sedang disuali kartika dengan mesra, tangannya menggenggam tangan Kartika sedang matanya menatapnya dengan sorot hangat penuh cinta. Sorot yang jarang sekali beradu dengan bola mataku."Oh, kamu di sini?" tanyaku, entah mengapa aku merasa jadi orang bodoh mendatangi Mas Yadi."Oh, sakinah, ini kamu, kupikir kamu tak akan datang lagi," balasnya memberikan senyum miring yang mengejek."Bantu aku Tuhan, agar aku tak menampar mulut lancangnya.""Aku akan membicarakan hal penting dengan Ayah anakku, jadi aku bebas datang kapan saja, kenapa? kamu gak suka?""Gak juga, itu bukan urusanku," balasnya sambil kembali menyuapi Mas Yadi hingga pr
Aku meluncur ke tempat itu, tempat yang dirahasiakan suamiku. Aku yakin akan menemukan sesuatu di sana. Uang yang dia gelapkan beberapa milyar sebagian memang sudah dikembalikan tapi aku ingin tahu, di mana lagi ia sembunyikan sebagian yang lain.Kartika, wanita licik itu pasti tahu uang dan aset Mas Yadi akan disita, dia pasti menyembunyikan sebagian dana tersebut dalam bentuk lain sehingga polisi militer tidak curiga. Dia pun aman karena tidak berstatus istri sah, sehingga Kartika tidak berhadapan langsung dengan para penyidik.Aku curiga bahwa dia juga yang memfitnah, sehingga petugas terus mencurigai dan memata-matai kegiatanku. Aku akan membalasnya.Sampai di depan rumah itu, rumah yang cukup besar dengan pekarangan luas yang ditumbuhi pohon mangga. Kudorong gerbang besi dengan cat putih, suara besi berdecit dan aku mulai melangkahkan kaki.Rumah besar berlantai satu itu terlihat tak terurus, meski baru direnovasi dan cat ulang. Aku bisa tahu dari kaleng cat yang masih terlihat b
Tentu saja mendengar kata-kataku dia langsung syok dan membeliak nanar menatap sorot mataku."Kamu sungguh wanita jahat ... aku membencimu, Sakinah," desisnya."Bahkan di lubang paling kecil pun aku akan menemukan bukti , tenang saja, aku adalah orang yang gigih, Mas," ujarku sambil tersenyum puas.Sesaat kemudian dia terlihat meringis memegangi dadanya dan mengadu dengan nada lirih."Ah, ad-aduh ...."Dia mulai gelisah kesakitan."Kenapa? kamu syok dan tidak bisa menerima kenyataan sekarang?" "Pe-pergi kamu dari sini," ucapnya terengah-engah.Kelihatannya ia kesakitan, terbukti wajahnya memerah dan mulai berkeringat deras. Tarikan napasnya cepat, dan terlihat sulit mengais udara."Akh-akh-ah," dia kelojotan dan tubuhnya menegang, lalu ambruk ke tempat tidur."Baiklah, aku pergi, Mas," ujarku sambil menekan tombol darurat di samping tempat tidurnya lalu beranjak meninggalkan tempat itu."Sa-sa-kinah ...." Ia menggapai minta bantuan.Aku bergeming, ingin menolong tapi teringat saat a
Ketika mereka membalikkan badan, Kartika dan pria itu terkejut, bukan main kaget, sampai salha tingkah, sedang aku langsung menutup mulut dengan kedua tangan, menyembunyikan rasa terpana yang tidak terkira. Aku tak tahu apa harus marah atau menangis dengan pemandangan miris di depan sana, bersamaan dengan rasa iba pada Mas Yadi."Astaghfirullah, apa-apaan kamu Kartika?!' Mas yadi menggeram, mengepalkan tangan dan mendekat, ia maju dan bersiap memukul pria yang jadi pasangan selingkuh Kartika."Beraninya kau menggoda istriku," ujar Mas Yadi sambil melayangkan pukulan."Kau juga sedang bersama istriku, kau telah mempengaruhinya!" Balas pria yang jijik kusebut suami itu."Keterlaluan kau Didit, apa hubunganmu dengan istriku?""Tidakkah harusnya aku yang bertanya apa hubungan yang kau bangun dengan kantan istrimu?!" Mas Yadi membalikkan badan dan terkejut melihatku di belakangnya."Sakinah .....""Apa kau mau mengelak sekarang?" Pria jahat itu terkekeh sinis."Kartika teganya kamu, buru b
"Jadi kau izinkan aku pergi?""Begini saja, pergilah kau sendiri menemui istrimu aku akan memindahkan anak-anak bersama si Bibi ke perkebunan, anak buah Bendi akan mengawal mereka dan memastikan mereka selamat. Kurasa itu adalah jalan terbaik daripada harus mengikuti kau kesana kemari sementara mereka juga harus menjalani aktivitas belajar dan ujian mereka.""Kurasa masuk akal juga apa yang kau katakan, aku akan pergi kalau begitu," ujar pria itu sambil mengambil tasnya.Sebelum sempat keluar dari kamar, ia mendekat dan tanpa aba-aba dia mendaratkan sebuah kecupan hangat di keningku."Terima kasih masih menyimpan pakaianku," bisiknya lembut.Detik berikutnya, pria itu meninggalkanku begitu saja di dalam kamar ini, kamar yang dulu begitu penuh cinta dan aroma kerinduan. Aku jatuh terduduk di atas ranjang, meremas sprei yang dulu pernah menjadi saksi, betapa kami saling mencintai."Pada akhirnya sebagai suami, dia harus tetap bertanggung jawab kepada wanita yang sudah dia terima nika
Sesampainya di depan rumah berlantai dua milik kami, Bendi memasukkan mobilnya ke garasi dan langsung menurunkan rolling door garasi dengan rapat.Aku dan Mas Didit saling pandang namun tak berani banyak bertanya, dia lalu meminta Imel untuk menarik cat mobil yang merupakan tempelan untuk membantunya sehingga mobil yang tadi berwarna biru gelap sudah berubah menjadi putih.Setelah selesai ia mengganti pakaiannya dan masuk kembali ke mobil."Kamu gak mampir dulu?" tanya Imel."Aku harus pergi, sebelum polisi tahu bahwa kekacauan di tol tadi adalah perbuatanku," balasnya."Kau akan baik-baik saja?" untuk pertama kalinya pria itu terlihat mengkhawatirkan orang."Iya, Pak, saya akan baik baik saja.""Oh, aku lupa kau punya banyak pengawal," balas Mas Yadi.Pria itu hanya menggeleng pelan sambil tersenyum lalu berpamitan denganku dan anak perempuanku."Hati-hati ya," ujar Imel."Kenapa kau tidak menambahkan kata sayang di belakang kalimat hati-hati?" tanya pemuda itu mengulum senyum mem
"Itu Papa!" Seru anakku gembira dia membuka mobil dan langsung berlari ke arah papanya.Anak gadisku begitu gembira dan langsung menghambur memeluk papanya, pria itu juga bahagia dan langsung memeluk putrinya."Akhirnya Papa kelur juga, aku rindu," kata Imel, "tapi kenapa tangan dan kaki papa? Kenapa Papa jalannya pincang?"Tanya Imel yang mengomentari gerakan tubuh Mas Yadi, untungnya dia tak tahu bahwa pria itu habis tertembak dua minggu lalu."Apa kabar, Mas?" Sapaku sambil mengulurkan tangan menyalaminya, tanpa kuduga ia memelukku lalu menepuk belakang punggungku perlahan."Alhamdulillah aku baik sekarang," jawabnya tersenyum, sedang aku terbengong dengan sikapnya."Oh be-begitu ya, ba-baguslah." Sial, aku gugup dan canggung, sementara Bendi dan Imel saling melirik dan tersenyum."Kalo begitu ayo kita pulang," ajak Bendi."Lho, kamu siapa?" tanya Mas Yadi pada Bendi."Dia adalah orang yang sudah menolongku dan Imel dari penyekapan Mas, dia juga sering menjengukku ke rumah sakit d
Setelah mengambil semua surat menyurat yang sudah dibuat ulang dari kantor kuasa hukum kami, aku segera mengajak Bendi untuk pergi menjemput Mas Suryadi ke gerbang Rutan Pondok kopi.Mobil kami meluncur di jalan aspal yang mulus lalu berputar di lingkar Selatan dan menuju pinggir kota dimana pusat lembaga pemasyarakatan itu berada."Kamu yakin bahwa papa akan keluar jam 1 siang?""Iya mah begitu informasi yang aku dengar dari Pak Efendy dan petugas sipir yang menelponku," balasnya."Mudah-mudahan lancar ya," gumamku sembari berharap semoga berita tentang kebebasan Mas Yadi bukan hanya lobi semata antara polisi dan TNI, sementara pada kenyataannya hal itu tidak pernah terjadi."Apa semuanya akan aman bendi?""Kita harus tetap waspada nyonya, anda pun sekarang berada dalam incaran," balasnya."Apa? Apa maksudnya?""Lihat mobil Chevrolet hitam yang sedang mengikuti di belakang kita? Sejak dari rumah sakit tadi mobil itu terus mengikuti dan mengawasi, aku rasa mereka memang sudah mengi
Kubenahi rambut dan wajahku yang berantakan, aku merutuk karena pria itu menyakiti rahangku, demi Tuhan aku akan bersumpah bahwa dia akan membayarnya.Kini aku harus mencatat daftar panjang orang-orang yang akan aku tuntut dengan pembalasan. Ada William, Didit, Heri, dan sinoembuat masalah Kartika. Mereka bertiga sahabat yang harus dihancurkan.Tiba tiba muncul sesuatu dalam benakku, ide untuk mengadu domba mereka semua dan membuat mereka saling berselisih paham dan saling mencurigai. Perlahan kepercayaan satu sama lain akan tergerus dan hancur tak bersisa, lalu setelahnya, kuhancurkan mereka semua secara hukum juga.Tapi sejujurnya aku pun belum tahu akan memulai dari mana, sulit menentukan mana orang yang benar-benar bisa dipercaya dan mana yang tidak, mana yang tulus dan mana yang hanya modus, mana yang kawan mana yang berpura-pura menjadi kawan lalu menusuk."Aku harus segera menghubungi pengacaraku," batinku sambil meraih ponselku.Tak lama sambungan terhubung, pria yang sudah
Kedatangan orang itu memang mengejutkan, dia yang pernah melayani keluargaku dengan baik dan sempat berkonflik denganku karena membela Suryadi kini sudah berdiri di sini menyapa sopan lalu mengambil tempat duduk."Apa kabar Ibu?""Baik, Hendra, aku tak pernah menyangka kau akan datang, entah harus senang atau heran, tapi aku bersyukur atau kemurahan hatimu," balasku pelan."Saya merasa prihatin atas kabar yang terdengar terakhir kali, terlebih mengetahui bahwa Ibu yang sedang hamil disakiti," jawabnya."Terima kasih atas perhatianmu, bagaimana kabar istri anakmu?" tanyaku."Baik, Nyonya.""Oh, syukurlah."Sesaaat suasana menjadi hening dan kaku, aku dan Hendra sama sama diam, tak tahu harus membahas apa."Bagaimana kabar Letkol Suryadi sekarang?""Dia masih ditahan di kantor polisi," balasku."Bukannya beliau sudah bebas?""Iya, tapi ditahan lagi, itu juga karena aku," jawabku menerawang jauh."Pak Yadi tidaklah jahat, dia hanya salah langka karena menyukai Nyonya Kartika, Tapi saya
"Aku kenal seorang polisi korup, dia cukup dekat dengan Kapolda, jika Nyonya mau, mungkin aku bisa menjaminkan Suryadi dengan menemuinya." Pria itu terlihat memicingkan mata meminta pendapatku."Itu ide bagus, tidakkah mereka curiga kenapa seorang preman mau menjamin Suryadi?""Kenapa tidak, memangnya Anda pikir aku akan menggunakan identitas asli, sebagai seseorang yang kerap menjadi buruan polisi, Aku tidak bisa hidup tanpa menggandakan identitas Nyonya," bisiknya sambil tertawa miring."Kau benar, kadang aku pun ngeri dengan berurusan denganmu, salah langkah atau kurang uang selembar saja resikonya jauh lebih mengerikan daripada penjara," balasku tertawa."Sebetulnya aku melakukan bisnis ini demi uang namun ada beberapa hal yang tidak aku lakukan untuk keuntungan semata," jawabnya sambil mengedarkan pandangan ke segala arah."Jika begitu, lakukan apa yang menurutmu baik," balasku.Tiba tiba dari monitor kamera koridor yang terlihat dari balik panel kaca kamarku, kami dapat mel
"Tante ... aku cariin Tante sejak pertama kali Tante gak pulang, kemana aja," ujarnya sambil menangis."Aku ada masalah dengan Papamu," jawabku."Papa?" Gadis itu langsung menghentikan tangisannya dan nampak amat terkejut."Iya, dia yang sudah membuatku terbaring di sini, nyaris melumpuhkan dan membunuhku," "Ta-tapi kenapa? Bukankah Tante istrinya Papa, lalu kenapa bisa begitu?""Entahlah, hanya dia dan Allah yang tahu.""Aku menyayangi Tante seperti Mamaku, kenapa Papa harus berbuat setega itu?""Memang dia bilang apa denganmu tentangku?""Dia bilang Tante ssakit, tapi aku curiga karena Imel dan Siska ikut menghilang sannpergi dari rumah, balasnya mengusap air mata."Mungkin kita tak bisa serumah lagi, Nak,," ujarku sambil menggenggam tangannya."Kenapa, Tante sama Papa mau cerai?""Iya, dia bahkan hendak memenjarakannaku tanpa alasan andai tidak ada yang turun tangan menegaskan masalah ini, sekali aku minta maaf karena kita tak akan bersama lagi," balasku sambil mengusap wajahnya