Sejak anak-anak bang Arman di rumah, bang Arman melarang aku ke toko untuk sementara waktu. Ia berharap dengan aku di rumah bersama anak-anaknya, mereka bisa dekat denganku.Sebetulnya aku gamang. Karena sejak awal bertemu, Elisa sudah memperlihatkan wajah permusuhan denganku. Bagaimana mungkin aku bisa dekat dengannya. Hari ini, Bang Arman ke toko bersama Ridho juga Yudi. Sedangkan Elisa, tinggal bersamaku. Kebetulan dia libur sekolah sejak kemarin. Suasana sunyi setelah aku melepas kepergian bang Arman dan lainnya ke toko. Aku bermaksud ke dapur hendak mencuci piring bekas sarapan tadi pagi. Namun betapa terkejutnya aku ketika mendapati dapur berantakan seperti kapal pecah. Wajan dan kuali telah turun dari tempatnya. Air sabun berserakan di lantai. Piring bertebaran. Sampah ada di mana-mana. Nasi goreng yang aku masak tadi pagi juga dibuang sembarangan ke lantai. Mataku terbelalak melihat semua ini. Aku bergegas ke kamar Elisa dan menggedor pintunya. Aku yakin, dia yang melakuka
"Alah, alasan lo aja itu!" tukas Elisa sengit. "Mana uangnya? Sini! Kasih ke aku!!" teriak Elisa mulai marah.Aku hanya tercengang melihat sikap temperamen gadis belia ini. Aku menghela nafas berat. Jika di teruskan, ini akan hanya membuatku sakit hati. Lebih baik aku mengabaikannya saja. Aku berbalik dan berjalan menuju kamarku. Tiba-tiba, rambutku terasa ditarik kuat dari belakang. Aku hampir jatuh terjengkang. Dia sudah mendorongku hingga terjatuh tadi. Sekarang dia juga menjambak rambutku. Aku membalikkan badan dan menatap Elisa dengan marah. Aku sudah tidak bisa sabar lagi. Aku langkahkan kakiku lebar ke arahnya dengan kilatan amarah di mataku. Elisa menatapku dengan senyum sinis dan pandangan menantang. Sekonyong-konyong aku menampar pipinya.Elisa terkejut. Ia meraba pipinya yang terkena tamparanku. Matanya menatapku dengan pandangan tak percaya. Mungkin di pikirnya aku hanya wanita lemah yang diam saja saat di tindas. Elisa terlihat sangat marah. Ia bergerak maju hendak men
Bang Arman menyugar rambutnya dengan resah. "Kamu tahu kan, Yun? Uang satu juta itu bukan jumlah sedikit. Itu bisa mengisi listrik kita lebih dari sebulan!" tekan bang Arman padaku. Aku merasa disudutkan. Aku tahu, memang aku yang menerima uang itu dari bang Arman, tapi aku sudah meletakkan di tempat yang aman. Selama ini aku selalu meletakkannya di situ. Tapi tidak pernah hilang. Pikiran aku langsung tertuju pada Elisa. Karena sebelumnya dia pernah meminta uang token listrik itu untuk pergi ke mall bersama teman-temannya. "Yun, kenapa kamu bisa begitu cerobohnya sehingga uang satu juta bisa lenyap begitu saja. Memangnya ada tuyul di rumah ini?!" dengus bang Arman kesal. "Tapi, bang! Aku tidak sendirian di rumah ini. Aku di sini bersama Elisa. Siapa tahu saja, Elisa tahu dimana uang itu," ucapku."Kenapa kamu sampai berpikir begitu?" tanya bang Arman terkesan tidak suka dengan pengaduanku. "Tadi siang, Elisa memaksaku memberikannya uang token listrik itu, bang. Katanya dia mau j
Aku hanya diam menatap bang Arman dengan tatapan nanar. Ia balas menatapku dengan pandangan marah. "Jangan-jangan uang yang satu juga itu kamu juga yang menggelapkannya. Dan menuduh anakku yang melakukannya untuk menutupi kesalahanmu. Betul, kan?!" Suara bang Arman seperti ledakan bom di kepalaku. Tuduhan yang ia lontarkan dengan kejam seakan menusuk hatiku dengan ribuan pisau. Aku terhenyak. Ya, Allah! Cobaan apa lagi ini ya Rabb! Mengapa begitu buta mata hati suamiku ini?"Betul, pa! Aku lihat dia pergi tadi siang. Nggak tahu kemana. Mungkin pergi shopping ke mall. Dia kan orang kampung, pasti kepengen jalan-jalan ke mall," Elisa makin mengompori bang Arman. Yang membuat hatiku makin hancur, bang Arman mempercayai ucapan putrinya. "Jangan bohong kamu, Elisa!" sentakku pada Elisa. Elisa berlagak ketakutan dan sembunyi di belakang punggung papanya. "Papa lihat sendiri, kan? Bagaimana perempuan itu memperlakukan aku?!" desis Elisa ke telinga papanya. Ucapan lirihnya itu cukup kuat
"Oh, masih di sini juga lo, ya?" Suara Elisa yang datang dari belakangku sontak membuatku menoleh padanya. Elisa tersenyum sinis padaku. Aku mengabaikannya dan kembali memasak mie-ku. "Kalau lo punya malu, seharusnya lo pergi dari rumah ini. Lo nggak berhak berada di sini! Ini rumah gue! Pergi lo dari sini!!" Elisa mengusirku dengan tampang bengisnya. Aku tidak mempedulikannya. Aku sudah meletakkan mie yang aku masak ke dalam mangkok kaca. Aku membawanya ke atas meja makan dan makan dengan tenang. Elisa terlihat sangat marah karena aku abaikan. "Hei!" Ia mengebrak meja hingga meja itu bergetar dan membuat kuah mie-ku melompat keluar. Aku tersentak melihat tingkah lakunya yang makin kurang ajar. Aku menatap tajam padanya. Ia tertawa mengejek. "Kenapa? Lo nggak terima? Kalau begitu, sana lo pergi! Pulang ke kampung lo sana!" usirnya sambil berteriak kencang padaku. Dadaku sudah bergemuruh, aku berusaha menahannya sekuat tenaga. Aku kembali menyantap mie rebusku tanpa menghiraukann
Aku masih diam tidak berani mengambil uang itu. Aku masih belum mengerti, apa maksud Ridho memberikan uang itu. "Ambil Tante! Katakan pada papa jika uangnya sudah ketemu," ucap Ridho. "Apa kamu memintaku berbohong pada papamu sendiri?" tanyaku."Anggaplah untuk kali ini saja, Tante. Aku tidak ingin papa marah pada Elisa. Jika itu sampai terjadi, Elisa bisa babak belur Tante!" ucapnya. Ia kemudian menatap mataku lekat. "Tante nggak mau itu terjadi, bukan?" Aku tercekat. Tentu saja aku tidak mau melihat bang Arman menganiaya anaknya. Aku tidak sekejam itu. Tapi perbuatan Elisa sudah keterlaluan. Kenapa Ridho harus menutupinya. Jelas-jelas dia tahu jika Elisa sudah mencuri dan memfitnahku. "Dari mana kamu dapat uang sebanyak ini?" tanyaku penasaran. "Tante nggak perlu tahu itu. Yang penting kesalahpahaman ini selesai," jawabnya tenang. Dengan ragu aku mengambil uang itu darinya. Ridho menatapku sekilas seperti ada yang ingin disampaikannya. Namun tidak ada lagi sepatah katapun yan
Aku Yudi, sepupu kak Yuni. Aku datang ke Jakarta atas saran Ante Ti, ibu kak Yuni. Sepupu kak Yuni termasuk aku memang biasa memanggil ibu kak Yuni dengan sebutan Ante Ti. Menurut Ante Ti, aku bisa mencari pengalaman dengan berjualan pakaian dengan suami kak Yuni, bang Arman. Jika seandainya aku sudah bisa, orang tuaku akan memberikan aku modal untuk buka usaha berjualan seperti bang Arman. Menurut mereka, itu pilihan yang terbaik dari pada aku hanya menganggur saja. Lagi pula memang aku tidak berniat melanjutkan kuliah lagi. Hari itu aku di minta bang Arman untuk mengantarkan barang pelanggan ke mobilnya. Sepulang dari sana, aku melihat anak perempuan bang Arman yang bernama Elisa. Tadinya aku tidak mempedulikannya. Tapi ada kejanggalan yang aku lihat. Aku melihat Elisa di tarik dengan kasar oleh seorang laki-laki. Di lihat dari perawakannya, laki-laki itu pasti jauh lebih tua dari Elisa. Ini yang membuat aku jadi penasaran. Diam-diam aku mengikuti Elisa. Laki-laki itu terus menyer
"Baiklah. Tapi aku harus ijin dulu sama bos aku. Kalau bisa, aku hubungi kamu lagi. Oke?" ucapku. "Oke! Aku tunggu, ya!" Aku kemudian menutup sambungan telepon dari Rano. Sebetulnya aku sedikit segan memintanya ijin pada bang Arman. Takut nanti bang Arman tidak mengijinkan. Tapi apa salahnya aku coba. Lagi pula toko dalam keadaan sepi saat ini. Aku sangat ingin berjumpa sama Rano. Setidaknya bertemu teman lama bisa mengobati kerinduan aku pada kampung halaman. Kebetulan bang Arman sedang berkunjung ke toko blok A. Aku mendekatinya sedikit gugup. "Bang Arman!"' panggilku. Bang Arman mengalihkan tatapannya dari buku transaksi sejenak dan menatap ke arahku. Aku menarik nafas pelan. "Bang, tadi teman aku dari kampung menelepon. Dia ada di Jakarta ini sekarang.""Terus?" "Apa aku boleh menemuinya, bang?" tanyaku lirih. "Memangnya mau bertemu dimana?" "Di Mangga Dua, bang!""Ya, sudah! Temui saja!" ucap bang Arman ringan. Aku tersenyum senang dan juga lega. "Betul, bang?" "Betul
Mama tiba-tiba meneleponku dan memintaku melakukan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehku. Aku memang tidak senang ketika mendengar ibu tiriku itu sedang mengandung anak papaku. Tapi aku juga tidak ingin menyakitinya. Aku cuma ingin hidup damai. Masalahku sudah sangat berat yang terkadang membuatku ingin pergi dari dunia ini. Tapi desakan mama membuatku seakan terdoktrin untuk melakukan itu. Mama bilang masalah harta warisan atau apapun itu, aku sungguh tidak peduli. Tapi ucapan mama adalah perintah bagiku. Aku tidak mau mama terus memakiku. Aku berpapasan dengan Tante Yuni. Kami terdiam kaku sejenak. Kemudian Tante Yuni tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan senyum kaku. "Apa kabar, Elisa!" sapa Tante Yuni padaku. "Baik," jawabku singkat lalu kembali ke kamarku. Aku bisa melihat sekilas raut kekecewaan di wajah Tante Yuni. Aku bisa apa? Aku tidak bisa akrab dengannya karena dia itu ibu tiriku. Bangun tidur, aku mendengar suara ribut dan juga tawa. Sepertinya sangat rama
Aku menatap nanar pada semua orang yang memandangku. Mereka menatapku dengan tatapan menyudutkan ku. Wajahku sudah memerah. Laki-laki asing ini begitu kurang ajar. Seenaknya saja dia ikut campur dengan urusanku bersama si Yuni ini. Bukan salahku jika wanita tua itu pingsan. Dia yang terlalu berlebihan. Sudah tahu tua, masih saja sok melawan. Seharusnya para benalu ini kembali ke kampung halamannya. Tidak mau menjadi tatapan orang-orang di kompleks perumahan kumuh ini, aku memutuskan pergi. Hatiku puas karena berhasil menyakiti maduku itu. Aku tetap menganggapnya madu meskipun aku sudah lama bercerai dari bang Arman. Wanita itu sudah membuat kesempatan aku untuk kembali pada bang Arman hilang. Aku mendengar kabar jika bang Arman berhasil membujuk wanita itu kembali bersamanya. Ini membuatku marah. Dan aku semakin marah ketika mengetahui jika wanita kampung itu sedang hamil anak bang Arman. Ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus melakukan sesuatu agar mereka cepat bercerai. Sebenarny
Aku mengejap-ngejapkan mataku begitu sinar putih itu menerpaku, saat aku membuka mata. Aku melihat ruang yang serba putih dan beraroma obat. Aku tahu, sekarang aku sedang berbaring di rumah sakit. "Yun!" Aku menoleh pada suara yang memanggilku. Ibu menatapku dengan wajah cemasnya. Ia menggenggam erat tanganku. "Ibu...?" Aku berucap lemah. "Bagaimana keadaan kamu, nak?" tanya ibu. "Aku tidak tahu, Bu! Tenagaku seakan..terkuras habis," jawabku. "Aduh, Yun! Kamu buat jantung ibu seakan copot. Ibu sudah bilang berkali-kali agar kamu istirahat saja. Tapi kamu keras kepala! Hamil muda malah ikut bantu di warung!" omel ibu. "Jadi ibu tahu kalau Yuni sedang hamil?" Suara bang Arman membuat kami tersentak kaget. Ia menatap ibu dengan pandangan kecewa. Ia juga menatapku dengan pandangan yang sama. "Kenapa kalian tidak memberitahu aku?"Ibu dan aku saling pandang. "Jawab, Yun! Kenapa kamu merahasiakannya pada Abang?" tuntut bang Arman. "Karena Yuni ingin bercerai dari kamu, Man!" jawab
Kehamilanku membuatku susah bergerak. Aku sering kali muntah dan merasa lemas. Padahal aku sudah meminum obat yang mengurangi muntah. Warung lebih sering dikelola ibu, kadang di bantu oleh Yudi dan Rindi. Tubuhku sangat lemas, sehingga aku tidak ikut keluar membantu ibu berjualan. Aku duduk di depan kamarku, yang menghadap langsung ke warung.Jantungku berdetak cepat, ketika melihat bang Arman datang. Seperti biasa ia memesan makanannya. Ibu melayani dengan wajah masam. Aku melihat bang Arman celingukan. Matanya menemukan sosokku yang duduk di depan jendela. Ia tersenyum ketika kami bertatapan. Aku buang muka. Aku mendadak gugup ketika bang Arman datang menghampiriku. Aku segera berdiri dan berjalan ke ranjangku. Aku berbaring dan berharap bang Arman tidak ke sini. "Yun!"Aku terperanjat kaget ketika bang Arman sudah berdiri di depan jendelaku dan memanggilku. Aku pura-pura tidak dengar dan mengabaikannya. "Kamu kenapa tidak membantu ibu jaga warung, Yun? Apa kamu sakit?" tanya b
Aku masih dalam diam ku. Sesungguhnya aku tidak pernah berpikir untuk cerai dan menjadi jadi. Tapi, pernikahan yang kujalani dengan bang Arman juga tidak membuat aku bahagia. "Yun! Apa yang kamu pikirkan lagi? Untuk apa kamu pertahankan laki-laki seperti Arman?!" Ibu menatapku dengan kesal. Begitulah ibu. Jika ibu merasa keputusannya tepat, dia akan terus mendesak ku untuk menjalankannya. Sama halnya saat beliau memaksaku untuk menerima pinangan bang Arman dulu. "Bu, aku tidak tahu, Bu. Aku masih belum siap jadi janda.""Jadi janda bukan suatu aib, Yun. Yang paling penting kebahagiaan kamu. Menikah dengan Arman hanya akan membuat kamu sengsara. Karena Arman masih terikat sama anak dan mantan istrinya. Kamu akan terus dibuat makan hati oleh mereka. Jadi, lepaskan saja Arman itu. Siapa tahu besok kamu dapat jodoh yang lebih baik," bujuk ibuku gencar.Aku kembali terdiam. "Yun!" Ibu menggenggam erat tanganku. "Ibu sedih melihat hidupmu sekarang. Rasanya hati ibu remuk ketika melihat m
Aku menunggu dengan gelisah. Aku sangat cemas hingga air mataku mengalir keluar. Seorang perawat datang menemui ku. "Apa mbak anaknya Bu Yanti?" tanyanya. "Iya, saya!" jawabku cepat. "Bu Yanti sudah stabil kondisinya, mbak. Dokter menyarankan agar Bu Yanti dirawat inap saja sambil melihat perkembangan kondisi kesehatannya. Kami langsung rujuk ke dokter jantung saja ya, mbak," jelas perawat itu padaku."Iy, suster! Lakukan yang terbaik saja buat ibuku," ujarku. "Kalau begitu, silakan di urus administrasinya, mbak!" "Baik, sus!" Aku bergegas ke ruang administrasi rumah sakit. ***Ibu sudah dibawa ke ruang rawat inap. Wajahnya yang tertidur terlihat begitu tenang. Aku meraih tangan ibu dan menggenggamnya kuat. Aku sangat lega karena ibu bisa melewati serangan jantungnya. Jika terjadi apa-apa pada ibu, mungkin aku bisa ikut mati bersamanya. Aku tidak pernah membayangkan akan kehilangan ibuku. Tubuhku masih gemetar ketika mengingat kejadian saat ibu tiba-tiba terkulai lemas.Drrrt..
Namaku Adam, aku seorang guru SMA di sebuah sekolah swasta yang cukup terkenal di kota ini. Setahun yang lalu aku kehilangan istriku yang meninggal karena suatu penyakit. Kami belum sempat punya anak. Meninggalnya istriku sempat membuat aku begitu terpuruk. Hidupku mulai tidak teratur. Aku sering menyendiri dan duduk termenung mengenang Mitha, istriku. Bagiku dia wanita yang sempurna. Cantik, lembut dan juga pandai masak. Sejak kepergiannya, aku tidak lagi makan teratur karena semua yang aku makan tidak sesuai seleraku. Aku hanya makan untuk sekedar menghilangkan rasa lapar, bukan untuk menikmatinya, seperti saat istriku masih hidup. Suatu ketika, aku lewat di gang sebelah. Aku melihat ada warung makan yang baru buka. Warung itu kecil namun terlihat bersih. Aku masuk ke dalam. Seorang wanita muda tersenyum padaku. "Silakan masuk, pak! Mau makan apa?" tanyanya ramah. Aku melirik pada etalase yang memajang aneka masakan. "Ayam bakar, Bu," jawabku sambil duduk di kursi yang sudah dise
Bang Arman selalu datang ke warungku untuk sarapan dan juga makan siang. Padahal aku dan ibu menampakkan wajah tidak suka kami padanya, namun bang Arman terlihat tidak peduli. "Yun! Kamu bilang sama Arman agar dia tidak ke sini terus. Ibu khawatir jika warga salah paham sama kamu. Mereka akan mengira jika kamu perempuan tidak benar," kata ibu ketika bang Arman pulang setelah makan siang di warungku. Aku menghela nafas. "Aku sudah bilang, Bu. Tapi bang Arman bilang jika dia juga berhak beli di warung kita. Aku tidak mau ribut, Bu. Malu sama tetangga," ucapku mengatakan alasanku. Ibu terdiam. Wajahnya terlihat kusut. "Sudahlah, Bu! Lagi pula dia cuma makan saja di sini. Lama-lama Yuni yakin, dia akan bosan sendiri.""Tapi kamu harus memperjelas hubungan kamu dengan Arman, Yun! Jika kamu memang berniat menceraikannya, sebaiknya kamu urus surat perceraian kamu itu. Jika kamu masih ingin menjadi istrinya, kamu tidak boleh tinggal terpisah darinya," nasihat ibuku. Aku terdiam. Sesunggu
"Bang Arman?" Aku tercengang menatap sosok yang ada di hadapanku. Bang Arman berjalan mendekatiku. "Yun!" Ia menyebut namaku dan berusaha tersenyum. Aku hanya membalasnya dengan senyum tipis yang dipaksakan. "Dari mana Abang tahu aku ada di sini?" tanyaku ketus. "Dari Rindi," jawab bang Arman. Mataku mendelik. Rindi melanggar janjinya padaku. "Kamu jangan memarahi Rindi, Yun. Abang hanya mendengar pembicaraannya, jika ia membawa bekal lontong dari warungmu."Aku diam. Aku memang tidak pantas marah pada Rindi. Rindi sangat berjasa padaku. "Untuk apa Abang ke sini?" tanyaku dingin. Aku masih mengingat betapa wajahnya angkuh saat terakhir kali aku melihatnya. "Maafkan Abang, Yun!" pintanya dengan wajah menunduk.Aku terperangah. Sosok angkuh ini ternyata bisa juga meminta maaf. Tapi aku tidak semudah itu terperdaya lagi olehnya. Dia sering kali menyakitiku dan menganggap semua ucapan aku tidak penting. Aku tidak menginginkan suami seperti itu. Lebih baik aku hidup sendiri dari pada