"Alah, alasan lo aja itu!" tukas Elisa sengit. "Mana uangnya? Sini! Kasih ke aku!!" teriak Elisa mulai marah.Aku hanya tercengang melihat sikap temperamen gadis belia ini. Aku menghela nafas berat. Jika di teruskan, ini akan hanya membuatku sakit hati. Lebih baik aku mengabaikannya saja. Aku berbalik dan berjalan menuju kamarku. Tiba-tiba, rambutku terasa ditarik kuat dari belakang. Aku hampir jatuh terjengkang. Dia sudah mendorongku hingga terjatuh tadi. Sekarang dia juga menjambak rambutku. Aku membalikkan badan dan menatap Elisa dengan marah. Aku sudah tidak bisa sabar lagi. Aku langkahkan kakiku lebar ke arahnya dengan kilatan amarah di mataku. Elisa menatapku dengan senyum sinis dan pandangan menantang. Sekonyong-konyong aku menampar pipinya.Elisa terkejut. Ia meraba pipinya yang terkena tamparanku. Matanya menatapku dengan pandangan tak percaya. Mungkin di pikirnya aku hanya wanita lemah yang diam saja saat di tindas. Elisa terlihat sangat marah. Ia bergerak maju hendak men
Bang Arman menyugar rambutnya dengan resah. "Kamu tahu kan, Yun? Uang satu juta itu bukan jumlah sedikit. Itu bisa mengisi listrik kita lebih dari sebulan!" tekan bang Arman padaku. Aku merasa disudutkan. Aku tahu, memang aku yang menerima uang itu dari bang Arman, tapi aku sudah meletakkan di tempat yang aman. Selama ini aku selalu meletakkannya di situ. Tapi tidak pernah hilang. Pikiran aku langsung tertuju pada Elisa. Karena sebelumnya dia pernah meminta uang token listrik itu untuk pergi ke mall bersama teman-temannya. "Yun, kenapa kamu bisa begitu cerobohnya sehingga uang satu juta bisa lenyap begitu saja. Memangnya ada tuyul di rumah ini?!" dengus bang Arman kesal. "Tapi, bang! Aku tidak sendirian di rumah ini. Aku di sini bersama Elisa. Siapa tahu saja, Elisa tahu dimana uang itu," ucapku."Kenapa kamu sampai berpikir begitu?" tanya bang Arman terkesan tidak suka dengan pengaduanku. "Tadi siang, Elisa memaksaku memberikannya uang token listrik itu, bang. Katanya dia mau j
Aku hanya diam menatap bang Arman dengan tatapan nanar. Ia balas menatapku dengan pandangan marah. "Jangan-jangan uang yang satu juga itu kamu juga yang menggelapkannya. Dan menuduh anakku yang melakukannya untuk menutupi kesalahanmu. Betul, kan?!" Suara bang Arman seperti ledakan bom di kepalaku. Tuduhan yang ia lontarkan dengan kejam seakan menusuk hatiku dengan ribuan pisau. Aku terhenyak. Ya, Allah! Cobaan apa lagi ini ya Rabb! Mengapa begitu buta mata hati suamiku ini?"Betul, pa! Aku lihat dia pergi tadi siang. Nggak tahu kemana. Mungkin pergi shopping ke mall. Dia kan orang kampung, pasti kepengen jalan-jalan ke mall," Elisa makin mengompori bang Arman. Yang membuat hatiku makin hancur, bang Arman mempercayai ucapan putrinya. "Jangan bohong kamu, Elisa!" sentakku pada Elisa. Elisa berlagak ketakutan dan sembunyi di belakang punggung papanya. "Papa lihat sendiri, kan? Bagaimana perempuan itu memperlakukan aku?!" desis Elisa ke telinga papanya. Ucapan lirihnya itu cukup kuat
"Oh, masih di sini juga lo, ya?" Suara Elisa yang datang dari belakangku sontak membuatku menoleh padanya. Elisa tersenyum sinis padaku. Aku mengabaikannya dan kembali memasak mie-ku. "Kalau lo punya malu, seharusnya lo pergi dari rumah ini. Lo nggak berhak berada di sini! Ini rumah gue! Pergi lo dari sini!!" Elisa mengusirku dengan tampang bengisnya. Aku tidak mempedulikannya. Aku sudah meletakkan mie yang aku masak ke dalam mangkok kaca. Aku membawanya ke atas meja makan dan makan dengan tenang. Elisa terlihat sangat marah karena aku abaikan. "Hei!" Ia mengebrak meja hingga meja itu bergetar dan membuat kuah mie-ku melompat keluar. Aku tersentak melihat tingkah lakunya yang makin kurang ajar. Aku menatap tajam padanya. Ia tertawa mengejek. "Kenapa? Lo nggak terima? Kalau begitu, sana lo pergi! Pulang ke kampung lo sana!" usirnya sambil berteriak kencang padaku. Dadaku sudah bergemuruh, aku berusaha menahannya sekuat tenaga. Aku kembali menyantap mie rebusku tanpa menghiraukann
Aku masih diam tidak berani mengambil uang itu. Aku masih belum mengerti, apa maksud Ridho memberikan uang itu. "Ambil Tante! Katakan pada papa jika uangnya sudah ketemu," ucap Ridho. "Apa kamu memintaku berbohong pada papamu sendiri?" tanyaku."Anggaplah untuk kali ini saja, Tante. Aku tidak ingin papa marah pada Elisa. Jika itu sampai terjadi, Elisa bisa babak belur Tante!" ucapnya. Ia kemudian menatap mataku lekat. "Tante nggak mau itu terjadi, bukan?" Aku tercekat. Tentu saja aku tidak mau melihat bang Arman menganiaya anaknya. Aku tidak sekejam itu. Tapi perbuatan Elisa sudah keterlaluan. Kenapa Ridho harus menutupinya. Jelas-jelas dia tahu jika Elisa sudah mencuri dan memfitnahku. "Dari mana kamu dapat uang sebanyak ini?" tanyaku penasaran. "Tante nggak perlu tahu itu. Yang penting kesalahpahaman ini selesai," jawabnya tenang. Dengan ragu aku mengambil uang itu darinya. Ridho menatapku sekilas seperti ada yang ingin disampaikannya. Namun tidak ada lagi sepatah katapun yan
Aku Yudi, sepupu kak Yuni. Aku datang ke Jakarta atas saran Ante Ti, ibu kak Yuni. Sepupu kak Yuni termasuk aku memang biasa memanggil ibu kak Yuni dengan sebutan Ante Ti. Menurut Ante Ti, aku bisa mencari pengalaman dengan berjualan pakaian dengan suami kak Yuni, bang Arman. Jika seandainya aku sudah bisa, orang tuaku akan memberikan aku modal untuk buka usaha berjualan seperti bang Arman. Menurut mereka, itu pilihan yang terbaik dari pada aku hanya menganggur saja. Lagi pula memang aku tidak berniat melanjutkan kuliah lagi. Hari itu aku di minta bang Arman untuk mengantarkan barang pelanggan ke mobilnya. Sepulang dari sana, aku melihat anak perempuan bang Arman yang bernama Elisa. Tadinya aku tidak mempedulikannya. Tapi ada kejanggalan yang aku lihat. Aku melihat Elisa di tarik dengan kasar oleh seorang laki-laki. Di lihat dari perawakannya, laki-laki itu pasti jauh lebih tua dari Elisa. Ini yang membuat aku jadi penasaran. Diam-diam aku mengikuti Elisa. Laki-laki itu terus menyer
"Baiklah. Tapi aku harus ijin dulu sama bos aku. Kalau bisa, aku hubungi kamu lagi. Oke?" ucapku. "Oke! Aku tunggu, ya!" Aku kemudian menutup sambungan telepon dari Rano. Sebetulnya aku sedikit segan memintanya ijin pada bang Arman. Takut nanti bang Arman tidak mengijinkan. Tapi apa salahnya aku coba. Lagi pula toko dalam keadaan sepi saat ini. Aku sangat ingin berjumpa sama Rano. Setidaknya bertemu teman lama bisa mengobati kerinduan aku pada kampung halaman. Kebetulan bang Arman sedang berkunjung ke toko blok A. Aku mendekatinya sedikit gugup. "Bang Arman!"' panggilku. Bang Arman mengalihkan tatapannya dari buku transaksi sejenak dan menatap ke arahku. Aku menarik nafas pelan. "Bang, tadi teman aku dari kampung menelepon. Dia ada di Jakarta ini sekarang.""Terus?" "Apa aku boleh menemuinya, bang?" tanyaku lirih. "Memangnya mau bertemu dimana?" "Di Mangga Dua, bang!""Ya, sudah! Temui saja!" ucap bang Arman ringan. Aku tersenyum senang dan juga lega. "Betul, bang?" "Betul
Aku Elisa Nurcahya. Nama yang cantik menurut orang-orang. Aku diharapkan menjadi cahaya bagi kehidupan orang di sekitarku. Begitulah kata orang tentang namaku. Namun kenyataannya, jangankan memberi cahaya pada kehidupan orang lain, hidupku sendiri terasa gelap gulita. Semua bermula saat kedua orang tuaku kerap bertengkar. Puncaknya pada saat papa mengusir mama dari rumah. Sejak saat itu, hidupku yang damai berubah kacau balau. Papa menceraikan mama, dan mama mendapatkan hak asuh atasku dan juga Abangku Ridho. Aku ingat saat itu aku baru berumur empat belas tahun. Aku baru kelas tiga SMP. Aku dipaksa menerima kenyataan hidup terpisah dari papa dan tinggal bersama mama. Sejak kami berpisah, hubunganku dengan papa tidak lagi akrab dan dekat seperti dulu. Papa jarang berbicara padaku untuk sekedar menanyakan keadaanku di sekolah. Sesuatu yang dulu sering ia lakukan. Lambat laun aku mulai terbiasa tanpa kasih sayangnya. Aku mulai hanya menganggapnya sebagai tempat untuk meminta uang. Tida