"Baiklah. Tapi aku harus ijin dulu sama bos aku. Kalau bisa, aku hubungi kamu lagi. Oke?" ucapku. "Oke! Aku tunggu, ya!" Aku kemudian menutup sambungan telepon dari Rano. Sebetulnya aku sedikit segan memintanya ijin pada bang Arman. Takut nanti bang Arman tidak mengijinkan. Tapi apa salahnya aku coba. Lagi pula toko dalam keadaan sepi saat ini. Aku sangat ingin berjumpa sama Rano. Setidaknya bertemu teman lama bisa mengobati kerinduan aku pada kampung halaman. Kebetulan bang Arman sedang berkunjung ke toko blok A. Aku mendekatinya sedikit gugup. "Bang Arman!"' panggilku. Bang Arman mengalihkan tatapannya dari buku transaksi sejenak dan menatap ke arahku. Aku menarik nafas pelan. "Bang, tadi teman aku dari kampung menelepon. Dia ada di Jakarta ini sekarang.""Terus?" "Apa aku boleh menemuinya, bang?" tanyaku lirih. "Memangnya mau bertemu dimana?" "Di Mangga Dua, bang!""Ya, sudah! Temui saja!" ucap bang Arman ringan. Aku tersenyum senang dan juga lega. "Betul, bang?" "Betul
Aku Elisa Nurcahya. Nama yang cantik menurut orang-orang. Aku diharapkan menjadi cahaya bagi kehidupan orang di sekitarku. Begitulah kata orang tentang namaku. Namun kenyataannya, jangankan memberi cahaya pada kehidupan orang lain, hidupku sendiri terasa gelap gulita. Semua bermula saat kedua orang tuaku kerap bertengkar. Puncaknya pada saat papa mengusir mama dari rumah. Sejak saat itu, hidupku yang damai berubah kacau balau. Papa menceraikan mama, dan mama mendapatkan hak asuh atasku dan juga Abangku Ridho. Aku ingat saat itu aku baru berumur empat belas tahun. Aku baru kelas tiga SMP. Aku dipaksa menerima kenyataan hidup terpisah dari papa dan tinggal bersama mama. Sejak kami berpisah, hubunganku dengan papa tidak lagi akrab dan dekat seperti dulu. Papa jarang berbicara padaku untuk sekedar menanyakan keadaanku di sekolah. Sesuatu yang dulu sering ia lakukan. Lambat laun aku mulai terbiasa tanpa kasih sayangnya. Aku mulai hanya menganggapnya sebagai tempat untuk meminta uang. Tida
"Apa lagi yang lo pikir, Lis! Ini sudah pekerjaan gampang buat lo. Kalau lo mau, gue cariin pelanggan pertama lo. Mau nggak?" desak Sarah. Aku masih bimbang. Tapi aku juga butuh banyak uang untuk membiayai gaya hidupku. Sedangkan untuk menipu papa sudah mulai susah aku lakukan sejak perempuan kampung itu menikah dengan papa. Biasanya aku akan mengambil baju-baju yang di jual papa lalu menjualnya lagi untuk mendapatkan uang. Sekarang sudah tidak bisa lagi aku lakukan. Perempuan kampung itu akan menghalangiku. Terlebih sekarang ini, dia membawa adiknya yang dari kampung itu buat menggantikan Anton yang berhenti gara-gara aku. Adiknya yang bernama Yudi itu, sama kurang ajarnya sama kakaknya. Aku juga makin sulit mengambil uang toko papa karena sikapnya saja selalu curiga kayak anjing herder. Sepertinya tidak ada cara lain untuk mendapatkan uang. Aku memutuskan untuk menerima tawaran pekerjaan dari Sarah. "Iya, deh! Aku terima tawaran lo, Sar!" ucapku. Sarah tersenyum puas mendengar uc
Jeritan aku berhenti ketika mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Aku melihat om Kenneth keluar dengan hanya mengenakan handuk di pinggang. Aku marah padanya. Berarti dia yang mengambil keperawananku. Aku kembali menjerit-jerit histeris dan melemparinya bantal. "Brengsek! Laki-laki brengsek! Apa yang lo lakukan pada gue?!" teriakku dengan wajah memerah dan nafas memburu. Om Kenneth tetap bersikap tenang. Ia berjalan menghampiriku. Sikap tenangnya membuat aku takut, tanpa sadar aku beringsut mundur ke belakang. Om Kenneth tersenyum. Senyum itu membuatku bergidik. "Sudah puas marahnya?" tanyanya datar. Mataku terbelalak. Bagaimana bisa laki-laki itu segitu tenangnya setelah mengambil keperawananku?!"Apa...apa yang om lakukan padaku?!" tanyaku dengan suara bergetar. Ia tersenyum. "Ternyata Sarah benar. Kamu memang masih perawan." Ia menyeringai menatapku. Aku terbelalak. Apa itu artinya Sarah dan juga dia sudah merencanakannya?! Brengsek kamu Sar
Aku terkejut ketika mendapati Elisa datang bersama Yudi dengan menggunakan taksi online. Wajah Elisa terlihat kusut. Ia mengenakan jaket laki-laki dengan pakaian yang sangat minim. Rambut Elisa berantakan dan Wajahnya ada noda hitam seperti bekas maskara yang luntur. Aku tercengang menatapnya. Ia tidak peduli dengan tatapan aku dan terus berjalan menuju kamarnya tanpa menghiraukan aku. Aku beralih pada Yudi. Yudi hanya mengangkat bahunya. Aku menghela nafas. Entah apa lagi yang disembunyikan Yudi padaku. Nanti aku harus memaksanya bercerita. "Oya, kak! Kenalkan ini Rano, teman aku waktu SMA." Yudi memperkenalkan temannya yang tadi datang bersamanya. Temannya tersenyum santun padaku dan mengulurkan tangannya untuk mengajakku bersalaman. Aku menerima uluran tangannya dan kami pun bersalaman. "Rano, kak!" ucapnya. "Yuni," ucapku dengan menyebut namaku. "Silakan masuk, Rano!" Rano tersenyum dan masuk ke dalam rumah diikuti oleh Yudi. "Kalian pasti belum makan siang, kan?" tanyaku.
Aku terhenyak mendengar ucapan kejam Hani. Aku menatap bang Arman berharap mendapat pembelaan darinya. Bang Arman diam tanpa menoleh padaku. Aku menjauh dari mobil itu. Mobil kemudian dilajukan dengan meninggalkan aku dalam keadaan hati yang terluka. Mungkin apa yang dikatakan Hani benar, aku ini hanya orang lain di sini. Aku menunduk sedih. Aku menoleh ketika sebuah tangan menyentuh bahuku. "Yudi!" "Yang sabar, kak!" ucap Yudi. Aku mengangguk. Aku teringat dengan kejadian siang tadi ketika Yudi mengantarkan Elisa ke rumah. Pastilah Yudi tahu apa penyebab Elisa menjadi begitu. "Yud, apa kamu tahu apa yang terjadi pada Elisa?" tanyaku. Yudi terlihat gugup. "Tidak tahu, kak! Aku kan tidak terlalu dekat dengannya," jawab Yudi. Tapi aku merasa jika Yudi menyembunyikan sesuatu. "Kamu yakin, Yud?" Yudi mengangguk. "Aku ke kamar dulu, kak!" ujarnya seraya hendak beranjak pergi meninggalkan aku. "Yud! kenapa siang tadi kamu bisa mengantar Elisa? Lalu kenapa keadaan Elisa acak-acakan s
Sepulang dari rumah sakit, Elisa dibawa kembali ke rumah kami. Bang Arman memintaku untuk merawat Elisa pasca di kuret. Ia mengatakan jika ia lebih mempercayai aku untuk merawat Elisa dibandingkan dengan ibu kandung Elisa itu sendiri. Tentu saja aku tidak keberatan. Bagiku, Elisa sudah aku anggap sebagai anakku sendiri, meskipun ia bersikap kasar padaku. Mudah-mudahan jika kami sering bersama, hatinya akan melunak dan mau menerimaku. Jika bukan sebagai ibu sambungnya, setidaknya sebagai teman, harapku. Aku membantu Elisa berbaring di ranjangnya. Awalnya ia menolak pertolonganku. Tapi tidak ada satupun yang bisa menolongnya saat ini. Hani tidak ikut mengantarkan Elisa ke rumah kami. Sedangkan bang Arman dan Ridho kembali ke toko. Di rumah ini hanya ada aku dan Elisa saja. Setelah Elisa berbaring, aku merapikan selimut untuknya juga menghidupkan kips angin agar dia tidak kepanasan. Aku sedikit beberes agar dia merasa nyaman istirahat di kamarnya. Jam satu siang, aku mengetuk pintu ka
"Bang, capek ya, bang?" Hani berjalan ke arah belakang bang Arman. Ia meletakkan tangannya di bahu bang Arman. "Aku pijitin ya bang!" ucapnya seraya mulai memijit bahu bang Arman. Bang Arman diam dan menikmati sentuhan tangan Hani di bahunya.Astaghfirullah alazim! Apa yang mereka lakukan? Apa bang Arman lupa jika wanita di depannya ini mantan istri yang ia ceraikan? Hani memijit bahu bang Arman sambil menoleh padaku. Ia tersenyum mengejek padaku. Aku menatap tajam pada bang Arman. Kebetulan bang Arman juga menoleh padaku. Ia menyadari tatapan tidak suka dari mataku. Ia kemudian menepis tangan Hani dari bahunya. "Sudah, Han! Sudah cukup?" ucapnya. "Dikit lagi, bang! Abang pasti capek, kan!" Hani bersikeras dengan tidak tahu malunya. Aku makin menatap tajam pada bang Arman. Bang Arman menarik paksa tangan Hani. "Sudah cukup kataku!" ucapnya dengan nada tinggi. Hani menatap wajah bang Arman dengan ekspresi terkejut dan hampir menangis. Aku muak melihat wajah penuh dramanya. Aku me