"Bang, capek ya, bang?" Hani berjalan ke arah belakang bang Arman. Ia meletakkan tangannya di bahu bang Arman. "Aku pijitin ya bang!" ucapnya seraya mulai memijit bahu bang Arman. Bang Arman diam dan menikmati sentuhan tangan Hani di bahunya.Astaghfirullah alazim! Apa yang mereka lakukan? Apa bang Arman lupa jika wanita di depannya ini mantan istri yang ia ceraikan? Hani memijit bahu bang Arman sambil menoleh padaku. Ia tersenyum mengejek padaku. Aku menatap tajam pada bang Arman. Kebetulan bang Arman juga menoleh padaku. Ia menyadari tatapan tidak suka dari mataku. Ia kemudian menepis tangan Hani dari bahunya. "Sudah, Han! Sudah cukup?" ucapnya. "Dikit lagi, bang! Abang pasti capek, kan!" Hani bersikeras dengan tidak tahu malunya. Aku makin menatap tajam pada bang Arman. Bang Arman menarik paksa tangan Hani. "Sudah cukup kataku!" ucapnya dengan nada tinggi. Hani menatap wajah bang Arman dengan ekspresi terkejut dan hampir menangis. Aku muak melihat wajah penuh dramanya. Aku me
Aku menatapnya tak percaya. Namun hatiku terasa hangat. Aku tersenyum canggung pada Elisa."Aku sudah selesai, Tante! Aku tidur dulu," ucapnya seraya bangun dari duduknya dan berjalan ke kamarnya. Aku masih menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu. Aku tersenyum. Mudah-mudahan ke depannya hubungan kami menjadi lebih baik.*** Pagi-pagi aku sudah menyiapkan sarapan untuk bang Arman dan seisi rumah. Nasi goreng, menu andalan aku untuk sarapan. "Bang, sarapan sudah siap!" ucapku pada bang Arman yang baru saja selesai mandi. "Iya, dek!" ucapnya. "Bang, apa boleh aku ikut Abang ke toko?" tanyaku lirih. Bang Arman menatapku lekat. "Kenapa?""Aku bosan di rumah terus, bang!" Bang Arman tampak berpikir. "Baiklah. Lagi pula sudah ada Hani yang menjaga Elisa," ucapnya. Aku tersenyum senang. Setelah semua selesai sarapan, aku bergegas membersihkan dapur dan meja makan. Setelahnya aku bersiap buat berganti pakaian. Aku keluar dengan penampilan yang rapi. "Eh, mau kemana kamu?"
"Masak sih, ma?" tanya Elisa tak percaya. "Iya. Mama sudah tahu sifat papa kamu. Makanya mama mengajukan diri di sini merawat kamu. Lagian mama mau kasih pelajaran sama perempuan kampung itu. Biar dia ingat jika dia itu hanya benalu di sini. Sekali mendayung, dua pulau terlewati. Di sini mama cuma ongkang-ongkang kaki, Semua di kerjakan oleh perempuan kampung itu, dan di kasih duit lagi."Elisa terdiam. Aku mengepalkan tanganku karena geram. "Sa, bilang sama papa kamu kalau kamu tidak jadi pulang ke rumah mama!" bujuk Hani. "Tapi, aku lebih betah tinggal di tempat mama. Aku bisa ke sekolah bareng Dian. Kalau di sini nggak bisa, ma! Kejauhan kalau Dian jemput aku!" tolak Elisa. "Alah, gampang itu! Biar mama nanti yang antar kamu ke sekolah.""Iya, deh! Terserah mama. Nanti aku kasih tahu papa," ucap Elisa akhirnya. Aku pergi dari depan kamar Elisa dengan hati geram. Aku masuk ke kamarku. Aku berpapasan dengan bang Arman di depan pintu kamar. "Lho
"Apa kamu sedang menantang Abang, Yun?" tanya bang Arman dengan tatapan menyala. "Aku tidak menantang Abang. Aku cuma meminta Abang memilih. Aku sudah cukup selalu dinomorduakan, bang! Jika Abang begitu susah untuk terlepas dari Hani, sebaiknya aku yang mundur, bang!" jawabku. Bang Arman terdiam menatapku dengan marah. Rahangnya mengeras dan tangannya terkepal. Aku tahu, aku sekarang seperti membangunkan singa tidur. Tapi, aku juga manusia yang punya perasaan. "Baiklah! Jika itu keinginan kamu. Pergilah! Pergi sesuka hatimu! Aku tidak akan peduli lagi padamu!!" ucapnya dengan nada tinggi. Wajahnya memerah menunjukkan kemarahannya. Aku tercekat. Sebegitu mudahnya ia melepaskan aku. Betapa aku tidak ada artinya di dalam hatinya walau cuma sedikit. Air mataku, mengalir deras. Dadaku terasa sesak. Aku menatapnya dengan mata berembun. Sedangkan bang Arman menatapku dengan mata tajam. Aku menunduk. "Baiklah! Berarti memang tidak ada gunanya aku di sini!" Aku terse
"Oh, ini kakaknya Rindi ya?" sapa Bu Dijah ramah seraya menyalamiku dan menganggukkan kepala pada Yudi. "I...iya, Bu!" jawabku. "Sebetulnya saya teman Rindi yang sudah dianggap kakak olehnya, Bu!" jelasku. "Iya. Ibu tahu. Rindi sudah cerita kalau Yuni butuh tempat tinggal sementara sampai rumah kontrakan sebelah kosong. Betul begitu, Rin?" tanya Bu Dijah pada Rindi. "Iya, Bu," jawab Rindi. "Kebetulan bertemu ibu, saya minta ijin langsung untuk bisa menginap di tempat Rindi sehari dua hari, Bu," ucapku dan menatapnya penuh harap. "Oh, boleh saja," jawab Bu Dijah. "Mudah-mudahan betah, ya!" "Terima kasih banyak, Bu!" ucapku penuh syukur. "Alhamdulillah!" "Sama-sama. Kalau begitu, ibu pamit dulu ya. Ibu rencananya mau ke warung, beli garam. Eh, malah ngobrol di sini. Ibu tinggal dulu, ya!" ucap Bu Dijah. Kami membalasnya dengan senyum. Bu Dijah pun berlalu dari kami. "Ibu kos kamu baik ya, Rin!" komentarku. "Iya, kak! Makanya tempat kos ini nggak pernah sepi, kak. Soalnya Bu Dija
Aku bergegas membuatkan pesanan Bu Dijah begitu sampai di warungku. "Kak, Yuni!" Tiba-tiba Yudi datang dan mengejutkanku. Ia membawa serta dua orang temannya yang sebelumnya menolongku membuat bangku dan meja kayu. "Eh, Yud! Belum berangkat kerja?" tanyaku sambil tanganku sibuk membungkuskan pesanan Bu Dijah. "Ini mau berangkat, kak. Tapi aku mau sarapan dulu tempat kakak," ucapnya. "Oya, duduk dulu, Yud! Kakak mau antarkan pesanan Bu Dijah dulu," ucapku. "Biar aku saja yang antarkan, kak! Kakak buatkan saja pesanan aku dan kawan-kawanku ini," tawar Yudi. "Iyalah. Ini kamu antarkan ya! Kamu mau makan apa, Yud? Lontong sayur apa serabi?" tanyaku. "Lontong sayur, kak!" jawab Yudi. "Kamu mau apa, Dion? Kamu juga mau apa Sat? Pesan saja ya! Aku mau antarkan ini dulu." "Gampang itu Yud!" ucap Dion. "Aku lontong sayur saja, kak! Kamu apa, Sat?" "Sama dengan kamu aja, Yon!" jawab Satria. "Berarti lontong sayurnya tiga ya, kak! Kami makan di sini saja." "Iya. Ditunggu ya!" sahutku
[Alhamdulillah, Bu. Aku baik-baik saja. Ibu bagaimana kabarnya?]Aku mengetikkan balasan untuk ibuku. Jantungku berdebar menunggu balasan darinya. [Baik, nak. Yun, tanah bapakmu yang Lima hektar sudah laku terjual lumayan mahal. Rencananya ibu mau bagikan untuk kalian berempat. Adik-adikmu sudah menerima bagiannya. Tinggal untuk kamu saja lagi. Kirimkan nomor rekeningnya, nak! Biar bisa ibu kirimkan bagian kamu]Aku membaca berulang kali pesan dari ibuku. Mataku menatap tak percaya pada tulisan itu. Betulkah ya, Allah? Di saat aku membutuhkan uang, Engkau kirimkan lewat wanita yang sangat aku cintai ini. [Apa betul, Bu? Lalu apa ibu sudah mengambil bagian untuk ibu? Bukankah ibu juga butuh biaya hidup?] balasku. Ibuku sangat baik, aku takut demi kami, ia mengabaikan haknya sendiri. [Kamu jangan khawatir, Yun! Penghasilan dari kebun sawit sudah lebih dari cukup untuk ibu. Apalagi sekarang ini harga sawit mahal. Kamu jangan khawatirkan ibu. Kalian lebih membutuhkan uang itu dari pad
"Benar, Yud! Masak kakak bohong sama kamu?!" ujarku sambil tertawa. "Kamu pasti heran dari mana kakak dapat uang, kan?" Yudi mengangguk. "Ibu mengirimi kakak uang bagian dari penjualan tanah mendiang bapak kakak. Jumlahnya lumayan, Yud! Kakak tidak khawatir lagi dengan kehidupan kakak ke depannya. Bisa juga dijadikan modal buat buka warung. Rencananya kakak juga menerima pesanan. Karena itu kakak butuh motor, Yud!" ceritaku panjang lebar. Yudi terpana. Kemudian senyumnya terkembang. "Alhamdulillah, kak! Ternyata Allah sangat sayang sama kakak," ucap Yudi. "Iya, Yud. Alhamdulillah!" Aku tersenyum. "Jadi kamu mau kan temani kakak ambil motor?" tanyaku. "Jadi dong! Oya, kakak perlu beli beberapa perlengkapan rumah, seperti kulkas, ranjang atau yang lainnya, kak!" ucap Yudi semangat. "Yang penting-penting dulu saja, Yud. Kayaknya kakak memang butuh kulkas.""Kalau begitu kita beli besok, kak!" Aku mengangguk. ***Aku bangun lebih pagi dari sebelumnya. Banyak yang harus aku persia