"Masak sih, ma?" tanya Elisa tak percaya.
"Iya. Mama sudah tahu sifat papa kamu. Makanya mama mengajukan diri di sini merawat kamu. Lagian mama mau kasih pelajaran sama perempuan kampung itu. Biar dia ingat jika dia itu hanya benalu di sini. Sekali mendayung, dua pulau terlewati. Di sini mama cuma ongkang-ongkang kaki, Semua di kerjakan oleh perempuan kampung itu, dan di kasih duit lagi."Elisa terdiam. Aku mengepalkan tanganku karena geram."Sa, bilang sama papa kamu kalau kamu tidak jadi pulang ke rumah mama!" bujuk Hani."Tapi, aku lebih betah tinggal di tempat mama. Aku bisa ke sekolah bareng Dian. Kalau di sini nggak bisa, ma! Kejauhan kalau Dian jemput aku!" tolak Elisa."Alah, gampang itu! Biar mama nanti yang antar kamu ke sekolah.""Iya, deh! Terserah mama. Nanti aku kasih tahu papa," ucap Elisa akhirnya.Aku pergi dari depan kamar Elisa dengan hati geram. Aku masuk ke kamarku. Aku berpapasan dengan bang Arman di depan pintu kamar."Lho"Apa kamu sedang menantang Abang, Yun?" tanya bang Arman dengan tatapan menyala. "Aku tidak menantang Abang. Aku cuma meminta Abang memilih. Aku sudah cukup selalu dinomorduakan, bang! Jika Abang begitu susah untuk terlepas dari Hani, sebaiknya aku yang mundur, bang!" jawabku. Bang Arman terdiam menatapku dengan marah. Rahangnya mengeras dan tangannya terkepal. Aku tahu, aku sekarang seperti membangunkan singa tidur. Tapi, aku juga manusia yang punya perasaan. "Baiklah! Jika itu keinginan kamu. Pergilah! Pergi sesuka hatimu! Aku tidak akan peduli lagi padamu!!" ucapnya dengan nada tinggi. Wajahnya memerah menunjukkan kemarahannya. Aku tercekat. Sebegitu mudahnya ia melepaskan aku. Betapa aku tidak ada artinya di dalam hatinya walau cuma sedikit. Air mataku, mengalir deras. Dadaku terasa sesak. Aku menatapnya dengan mata berembun. Sedangkan bang Arman menatapku dengan mata tajam. Aku menunduk. "Baiklah! Berarti memang tidak ada gunanya aku di sini!" Aku terse
"Oh, ini kakaknya Rindi ya?" sapa Bu Dijah ramah seraya menyalamiku dan menganggukkan kepala pada Yudi. "I...iya, Bu!" jawabku. "Sebetulnya saya teman Rindi yang sudah dianggap kakak olehnya, Bu!" jelasku. "Iya. Ibu tahu. Rindi sudah cerita kalau Yuni butuh tempat tinggal sementara sampai rumah kontrakan sebelah kosong. Betul begitu, Rin?" tanya Bu Dijah pada Rindi. "Iya, Bu," jawab Rindi. "Kebetulan bertemu ibu, saya minta ijin langsung untuk bisa menginap di tempat Rindi sehari dua hari, Bu," ucapku dan menatapnya penuh harap. "Oh, boleh saja," jawab Bu Dijah. "Mudah-mudahan betah, ya!" "Terima kasih banyak, Bu!" ucapku penuh syukur. "Alhamdulillah!" "Sama-sama. Kalau begitu, ibu pamit dulu ya. Ibu rencananya mau ke warung, beli garam. Eh, malah ngobrol di sini. Ibu tinggal dulu, ya!" ucap Bu Dijah. Kami membalasnya dengan senyum. Bu Dijah pun berlalu dari kami. "Ibu kos kamu baik ya, Rin!" komentarku. "Iya, kak! Makanya tempat kos ini nggak pernah sepi, kak. Soalnya Bu Dija
Aku bergegas membuatkan pesanan Bu Dijah begitu sampai di warungku. "Kak, Yuni!" Tiba-tiba Yudi datang dan mengejutkanku. Ia membawa serta dua orang temannya yang sebelumnya menolongku membuat bangku dan meja kayu. "Eh, Yud! Belum berangkat kerja?" tanyaku sambil tanganku sibuk membungkuskan pesanan Bu Dijah. "Ini mau berangkat, kak. Tapi aku mau sarapan dulu tempat kakak," ucapnya. "Oya, duduk dulu, Yud! Kakak mau antarkan pesanan Bu Dijah dulu," ucapku. "Biar aku saja yang antarkan, kak! Kakak buatkan saja pesanan aku dan kawan-kawanku ini," tawar Yudi. "Iyalah. Ini kamu antarkan ya! Kamu mau makan apa, Yud? Lontong sayur apa serabi?" tanyaku. "Lontong sayur, kak!" jawab Yudi. "Kamu mau apa, Dion? Kamu juga mau apa Sat? Pesan saja ya! Aku mau antarkan ini dulu." "Gampang itu Yud!" ucap Dion. "Aku lontong sayur saja, kak! Kamu apa, Sat?" "Sama dengan kamu aja, Yon!" jawab Satria. "Berarti lontong sayurnya tiga ya, kak! Kami makan di sini saja." "Iya. Ditunggu ya!" sahutku
[Alhamdulillah, Bu. Aku baik-baik saja. Ibu bagaimana kabarnya?]Aku mengetikkan balasan untuk ibuku. Jantungku berdebar menunggu balasan darinya. [Baik, nak. Yun, tanah bapakmu yang Lima hektar sudah laku terjual lumayan mahal. Rencananya ibu mau bagikan untuk kalian berempat. Adik-adikmu sudah menerima bagiannya. Tinggal untuk kamu saja lagi. Kirimkan nomor rekeningnya, nak! Biar bisa ibu kirimkan bagian kamu]Aku membaca berulang kali pesan dari ibuku. Mataku menatap tak percaya pada tulisan itu. Betulkah ya, Allah? Di saat aku membutuhkan uang, Engkau kirimkan lewat wanita yang sangat aku cintai ini. [Apa betul, Bu? Lalu apa ibu sudah mengambil bagian untuk ibu? Bukankah ibu juga butuh biaya hidup?] balasku. Ibuku sangat baik, aku takut demi kami, ia mengabaikan haknya sendiri. [Kamu jangan khawatir, Yun! Penghasilan dari kebun sawit sudah lebih dari cukup untuk ibu. Apalagi sekarang ini harga sawit mahal. Kamu jangan khawatirkan ibu. Kalian lebih membutuhkan uang itu dari pad
"Benar, Yud! Masak kakak bohong sama kamu?!" ujarku sambil tertawa. "Kamu pasti heran dari mana kakak dapat uang, kan?" Yudi mengangguk. "Ibu mengirimi kakak uang bagian dari penjualan tanah mendiang bapak kakak. Jumlahnya lumayan, Yud! Kakak tidak khawatir lagi dengan kehidupan kakak ke depannya. Bisa juga dijadikan modal buat buka warung. Rencananya kakak juga menerima pesanan. Karena itu kakak butuh motor, Yud!" ceritaku panjang lebar. Yudi terpana. Kemudian senyumnya terkembang. "Alhamdulillah, kak! Ternyata Allah sangat sayang sama kakak," ucap Yudi. "Iya, Yud. Alhamdulillah!" Aku tersenyum. "Jadi kamu mau kan temani kakak ambil motor?" tanyaku. "Jadi dong! Oya, kakak perlu beli beberapa perlengkapan rumah, seperti kulkas, ranjang atau yang lainnya, kak!" ucap Yudi semangat. "Yang penting-penting dulu saja, Yud. Kayaknya kakak memang butuh kulkas.""Kalau begitu kita beli besok, kak!" Aku mengangguk. ***Aku bangun lebih pagi dari sebelumnya. Banyak yang harus aku persia
"Yuni! Paman hanya berusaha memperbaiki hubungan kamu dengan suamimu. Kamu tahu betul, perbuatan kamu itu akan menjadi dosa bagi kamu. Jadi sadarlah, Yun! Segera pulang ke rumah kamu!" ucap paman Surya tanpa menghiraukan perasaan aku. Aku makin merasa kesal padanya. Paman Surya selalu bersikap seenaknya. Dulu ia menjodohkan aku dengan bang Arman tanpa mau mendengar pendapat aku dulu. Ia bahkan menekan ibuku agar mau menerima bang Arman sebagai jodohku. Sekarang, ketika ada masalah dalam rumah tanggaku. Paman Surya juga tidak mendengarkan isi hatiku. Aku merasa diperlakukan tidak adil juga oleh keluargaku sendiri. "Paman, maafkan Yuni jika sikap Yuni menurut paman lancang dan kurang ajar," ucapku lembut. "Maaf, paman! Aku tidak bisa pulang ke rumah bang Arman. Tolong paman jangan memaksaku! assalamualaikum!" Setelah mengatakan kalimatku, aku langsung mematikan sambungan telepon dari paman Surya. Aku yakin paman Surya saat ini sangat marah padaku. Benar saja. Tidak lama setelah aku m
Aku Arman, seorang duda yang memiliki dua anak remaja. Aku bercerai dari mantan istriku karena dia ketahuan berbuat zina di kamar kami. Beberapa tahun setelah perceraian, temanku Wawan memperlihatkan aku foto seorang gadis yang berasal dari kampung halamannya. Saat pertama melihat foto gadis itu, hatiku langsung berdesir dan ingin mengenalnya lebih dekat. Wawan memperkenalkan aku pada paman Surya, paman dari gadis yang aku ketahui bernama Yuni itu. Dia adalah keponakan paman Surya. Aku langsung mengutarakan niatku untuk meminang Yuni pada paman Surya. Paman Surya sangat senang sekali. Dia meminta aku memberinya waktu untuk meyakinkan Yuni untuk menerima pinanganku. Dengan harap-harap cemas, aku menunggu keputusan paman Surya. Alhamdulillah, pinanganku disetujui oleh kelurga Yuni. Aku juga yakin tentunya Yuni juga setuju. Singkat cerita, aku dan Yuni menikah. Dan aku membawa istriku ke rumah yang dulu pernah ditempati oleh anak-anak dan mantan istriku dulu. Rumah tanggaku berjalan d
Namaku Afrianti, biasa dipanggil Yanti. Keponakanku semua memanggilku Ante Ti. Aku seorang janda dengan empat anak gadis. Hidupku lumayan berat sejak ditinggal suamiku. Terlebih aku memiliki empat anak perempuan. Untungnya aku mempunyai adik laki-laki yang bisa melindungi ku dan menjadi pengganti ayah bagi anak-anak gadisku. Aku hidup dari kebun sawit peninggalan mendiang Bang Agam, suamiku. Walaupun tidak banyak namun cukup memenuhi kebutuhanku dan anak-anakku. Tidak terasa waktu terus berlalu, anak-anak sudah semakin besar. Sudah waktunya untuk menikah. Sebelum Bang Agam meninggal, anak tertuaku, Yuni, pernah dilamar orang dan hampir masuk ke pelaminan. Entah kenapa, tiba-tiba pihak pengantin laki-laki menghilang tanpa kabar dan mencoreng muka kami ke seluruh kampung. Hal ini menimbulkan luka yang teramat dalam di hati anakku. Sehingga ia menutup hati pada semua laki-laki yang ingin meminangnya. Awalnya aku memahaminya, namun saat umurnya sudah masuk kepala tiga. Hatiku mulai gel