Share

Bab 2. Bertemu Arman

Author: Arira
last update Last Updated: 2023-05-22 11:05:53

Sejak menerima persetujuanku, ibu merasa sangat senang. Ia seperti anak kecil yang menjuarai sesuatu. Senyum sumringah selalu menempel di wajahnya. Dengan semangat ia menyiapkan segala hal untuk menyambut kedatangan laki-laki yang akan dijodohkan denganku itu.

Perasaan ibu bertolak belakang denganku. Aku merasa begitu tidak berdaya karena aku tidak diijinkan menentukan jalan hidupku sendiri. Namun, apa yang bisa aku katakan lagi. Mereka benar. Aku hanya seorang perawan tua yang hidup masih menumpangi ibuku. Aku, hanya tamatan SMA. Masalah biaya, menjadi alasan aku tidak melanjutkan pendidikanku. Karena itu, aku bekerja siang malam untuk membantu orang tuaku membiayai pendidikan adik-adikku. Keadaan semakin sulit saat ayahku tiada.

"Assalamualaikum!"

Aku mendengar dari kamarku ada yang memberi salam. Itu seperti suara Paman Surya.

"Waalaikumsalam," aku mendengar suara ibuku. "Silakan masuk!"

Jantungku berdebar kencang. Hatiku merasa sangat tidak nyaman. Ingin rasanya menghilang saat ini. Aku mendengar suara derap langkah ibu. Kemudian ia mengetuk pintu kamarku.

Tok! Tok! Tok!

"Yun! Mereka sudah datang," beritahu ibu dengan berbisik.

Dengan hati berat, aku membuka pintu kamar. Ibu memindai penampilanku dari atas sampai bawah. Ia tersenyum puas melihatku.

"Tolong kamu bawakan minum untuk mereka. Buat lima gelas termasuk untuk kamu juga!" perintah ibu padaku. Aku hanya mengangguk pelan. Jantungku sudah berdetak tak beraturan saat ini. Yang bisa aku lakukan hanya menuruti keinginan ibu.

Aku datang ke ruang tamu kami dengan membawa nampan yang berisi lima gelas teh hangat dan satu piring cemilan yang dibuat ibuku tadi pagi.

Dengan canggung aku menghidangkan isi nampan ke atas meja. Dengan sudut mataku, aku dapat mengetahui berpasang-pasang mata menatapku.

Setelah semua yang ku bawa terhidang, aku pun menyimpan nampan di bawah meja dan duduk di samping ibuku.

Ibu menyentuh pahaku dan tersenyum padaku.

"Yun, perkenalkan ini Arman, laki-laki yang akan dijodohkan denganmu," ucap ibuku lembut.

Laki-laki yang bernama Arman itu mengulurkan tangannya seraya tersenyum ramah. Aku menyambut uluran tangannya, lalu kami pun bersalaman seraya menyebut nama masing-masing.

"Arman!"

"Yuni!"

"Bagaimana pendapat kamu tentang Yuni, Arman?" Paman Surya langsung menanyai Arman dengan gamblang. Aku sempat mencuri pandang dengan Arman. Aku menebak usia Arman pastilah beberapa tahun diatasku. Itu terlihat dari wajahnya. Kulitnya sawo matang dan tubuhnya tidak kurus juga tidak gemuk. Ia termasuk tegap untuk ukuran laki-laki seusianya.

Arman tersipu malu. Ia terus menatapku. Aku merasa tidak nyaman dengan tatapannya. Aku mengalihkan pandanganku dengan menunduk, untuk menghindari tatapannya yang menghujam padaku.

"Ternyata Yuni lebih cantik saat dilihat langsung, bang!" puji Arman padaku tanpa melepaskan tatapannya dariku.

Aku tersedak dan terbatuk. Rasa canggung menguasaiku. Segera aku mengambil gelas tehku dan meminumnya.

Paman Surya dan ibu tertawa mendengar jawaban Arman.

"Bagus! Bagus! Jadi apa kamu yakin untuk memperistri keponakan Abang, Man?" tanya paman Surya.

Aku mendongak menatap padanya. Mengapa dia tidak memberikan pertanyaan itu padaku? Tidak pentingkah pendapatku? Pikirku sedih.

"Aku yakin, bang. Aku siap membawa orang tuaku ke sini untuk melamar Yuni. Betul kan, bang?!" Arman melihat ke arah temannya yang dari tadi diam.

"Kalau saya ikut kata Arman saja. Karena dia yang akan menjalankan pernikahan ini kelak dengan Yuni," ucap laki-laki itu.

Paman Surya dan ibu saling pandang dengan senyum puas.

"Yuni," ibu memanggilku lembut. "Menurutmu, kapan sebaiknya kalian melangsungkan pernikahan?"

Hatiku sedih saat ibu menanyakan pertanyaan itu. Bukankah seharusnya ibu mempertanyakan kesediaanku dulu? Namun membantah ibu saat ini hanya akan menambah masalah. Sudah dapat dipastikan aku akan menjadi pihak yang dipojokkan tanpa peduli apa yang aku rasakan. Akhirnya aku hanya bisa bersikap pasrah.

"Yuni terserah ibu dan Paman Surya saja," jawabku lirih dengan nada lesu. Ungkapan perasaanku sama sekali tidak menarik perhatian mereka. Mereka semua tersenyum bahagia saat aku mengucapkan kesediaanku.

"Kamu dengar sendiri, Man? Keponakan Abang bersedia menerima pinanganmu. Kapan kamu bawa orang tua kamu ke sini untuk meminang secara resmi?" tanya Paman Surya pada Arman.

"Secepatnya, bang!" jawab Arman dengan wajah sumringah. "Paling lambat minggu depan aku bawa orang tuaku, bang!" janji Arman.

Paman Surya mengangguk-angguk puas.

"Alhamdulillah, semua berjalan lancar ya, kak?" ucap Paman Surya pada ibu. Ibu tersenyum menanggapinya. "Mudah-mudahan rencana pernikahan Yuni bisa berjalan lancar. Jika Yuni sudah menikah, barulah aku merasa tenang, kak! Sudah lunas rasanya utangku sama bang Samsul," ucap Paman Surya menyebut nama ayahku.

Ini membuatku teringat kembali pada ayah. Seandainya ayah masih hidup, mungkin aku bisa berbagi kesedihan dan kekecewaanku dengannya.

"Iya, Sur. Kakak juga merasa lega. Sekarang Yuni sudah ada yang jaga. Bukan begitu, nak Arman?" ibu beralih pada Arman.

"Iya, Bu. Saya janji akan menjaga Yuni hingga akhir ayat saya. Saya akan membahagiakannya. Saya tidak mau pernikahan kedua saya gagal lagi seperti yang sebelumnya. Tapi saya yakin, Yuni wanita baik dan sholehah," ucap Arman meyakinkan ibuku.

Aku hanya diam tidak menanggapi mereka. Toh, tidak ada yang mendengar pendapatku. Aku memilih untuk belajar ikhlas menerima takdirku bersama Arman kelak. Mudah-mudahan pernikahan yang bahagia memang akan menjadi milikku.

***

Seminggu kemudian orang tua Arman betul-betul datang meminangku sekaligus mengadakan acara pertunangan. Meskipun acaranya sederhana dan hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat, namun raut wajah bahagi terpancar di wajah mereka semua, kecuali aku.

Aku duduk terpekur di kamarku menunggu acara tukar cincin yang dilakukan oleh orang tua Arman dengan keluargaku. Raut wajahku tampak lelah dan sedih. Rani, adik bungsuku masuk ke kamarku dan duduk di sampingku. Ia menatapku tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Perlahan wajah Rani memerah, kemudian air mata mengalir dari sudut matanya. Ia menunduk menyembunyikan tangisnya.

"Kenapa kamu menangis, Ran?" tanyaku.

"Aku minta maaf, kak. Gara-gara aku, ibu mendesak kakak menerima pinangan laki-laki itu. Aku tahu, hati kakak berat menerima pernikahan ini," ungkap Rani masih dengan kepala yang tertunduk.

Aku termangu. Aku pikir tidak ada yang memikirkan perasaanku. Ternyata adik bungsuku mampu memahami aku, meskipun ia tidak bisa berbuat apa-apa, sama seperti ku. Namun, ini sudah cukup mengobati luka hatiku. Aku kemudian memeluknya erat.

"Tidak apa, Ran. Kamu doakan saja kakak agar kakak bahagia di pernikahan ini," pintaku.

"Iya, kak. Pasti aku mendoakan kakak," ucap adikku di bahuku. "Jika seandainya pernikahan ini tidak lancar, kakak jangan pendam sendiri. Datang padaku, kak. Jadikan aku tempat kakak berkeluh kesah," sambungnya.

Aku tersenyum. Rani memang adik yang paling dekat denganku. Sebenarnya ia tidak ingin mendesak ibu untuk menikahkan aku, tapi desakan calon suaminya lah yang membuatnya terpaksa melakukan itu. Itu juga yang membuatnya semakin bersalah padaku.

Related chapters

  • Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua   Bab 3. Pindah ke Rumah Arman

    Pernikahanku dengan Arman berjalan dengan lancar. Senyum bahagia terpancar jelas di wajah mereka. Sedangkan aku, aku hanya memamerkan senyum palsu untuk menutupi air mata kepedihan di hatiku. Arman, laki-laki yang sekarang sudah sah menjadi suamiku, terus memandangiku. Saat tatapan kami bertemu, ia akan tersenyum canggung padaku dan menjadi salah tingkah. Tingkahnya seperti anak abege yang sedang pendekatan dengan lawan jenisnya. Setelah acara resepsi, Arman ingin membawaku ke Jakarta, tempat ia tinggal dan mencari nafkah selama ini. sebenarnya hatiku masih belum rela berpisah dengan ibu dan keluargaku yang lainnya. Namun, ibu mengatakan jika seorang istri itu harus mengikuti kemanapun suaminya pergi. Aku menangis sepanjang hari. Nanti sore, aku dan Arman akan kembali ke Jakarta. Itu artinya aku harus berpisah jarak yang jauh dari ibuku. Aku bahkan belum mempersiapkan pakaian yang akan aku bawa. "Yun? Lho, kok kamu belum siap-siap?" tanya ibu ketika ia masuk ke kamark

    Last Updated : 2023-05-22
  • Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua   Bab 4. Ke Toko

    Pagi-pagi, aku sudah menyiapkan sarapan untuk suamiku. Nasi goreng jadi menu pilihanku hari ini. Aku membeli bahan makanan pada pedagang sayur yang lewat depan rumahku. Aku melirik sekilas saat mendengar langkah kaki bang Arman mendekatiku. Aku kembali mengaduk nasi gorengku. Bang Arman duduk di kursi tinggi mini bar. Ia menatapku. "Ada apa, bang?" tanyaku tanpa menoleh padanya. "Abang senang, akhirnya ada yang membuatkan Abang sarapan lagi," ucapnya. Aku terdiam sejenak. Kata 'lagi' itu menyadarkanku jika aku wanita kedua di hidupnya. Aku tidak menanggapi pernyataan bang Arman. Aku kembali melanjutkan mengaduk nasi gorengku. "Abang mau mandi atau sarapan dulu?" tanyaku ketika aku selesai memasak nasi gorengku. "Abang mau ngopi saja, dek," jawab bang Arman. "Adek ada buat kopi untuk Abang?" tanyanya.Aku baru ingat jika aku sudah menyeduh kopi buatnya. "Ada, bang. Maaf, Yuni lupa!" ucapku seraya tersenyum malu.Bang Arman terkekeh. "Belum t

    Last Updated : 2023-05-22
  • Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua   Bab 5. Bertemu Elisa

    Sejak bang Arman mengizinkan aku ke tokonya, setiap hari aku ke sana bersama bang Arman. Bang Arman menjadikan aku kasir di tokonya yang ada di blok A. Aku pelajari sedikit demi sedikit pekerjaanku sebagai kasir. Aku harus mengenal produk dan harga yang dijual. Juga kode-kode harga yang hanya diketahui oleh bang Arman. Aku juga belajar, bagaimana mencatat penjualan hari ini dan juga laba kotor yang kami peroleh serta merekapnya saat akan tutup toko. Dengan cepat aku bisa menguasainya karena dulu aku pernah bekerja di toko pakaian di kota kelahiranku. Seorang gadis berpakaian seragam SMA datang ke tokoku. Ia langsung berjalan menuju meja tempat aku duduk. Matanya terbelalak saat melihatku. Ia diam membeku. Aku menatap heran padanya. Aku mencoba tersenyum meskipun terasa canggung dan aneh. Aku bertanya-tanya, siapa gadis ini? Kenapa dia bisa lancang memasuki area kasir tanpa sungkan sedikit pun. Gadis itu hanya menatapku tanpa berniat membalas senyumanku. Aku menoleh p

    Last Updated : 2023-05-22
  • Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua   Bab 6. Mantan Istri Suamiku

    Aku menceritakan kejadian tadi siang pada bang Arman. Kejadian saat Elisa datang dengan membawa satu kardigan tanpa meminta izin padanya. Wajah bang Arman langsung berubah masam setelah mendengar penuturanku. "Kenapa kamu tidak bilang dulu sama Abang sebelum memberinya kardigan itu?" tanya bang Arman. Ia seakan menyalahkan aku atas perbuatan yang dilakukan putrinya. "Aku tidak tahu, bang. Kata Rindi, dia memang biasa melakukannya," aku mencoba membela diri. "Ya, meskipun dia biasa melakukannya, bukan berarti kamu membiarkannya, dek! Kita bisa rugi jika dia terus melakukan itu!" tukas bang Arman menyalahkan aku. Keningku bertaut menatapnya. Aku jadi tidak mengerti. Kenapa sekarang seakan-akan aku yang mengambil kardigan itu? "Bang, bukan aku yang mengambil kardigan itu. Tapi anak Abang!" ucapku berusaha selembut mungkin untuk meredakan emosinya. "Abang tahu. Setidaknya kamu bisa mencegahnya. Jangan cuma diam seperti patung!" suara bang Arman mulai m

    Last Updated : 2023-05-22
  • Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua   Bab 7 Aku vs mantan istri

    "Dek, apa benar kamu bertengkar dengan mamanya Elisa?" tanya bang Arman saat kami dalam perjalanan pulang. "Sebenarnya bukan bertengkar, bang. Aku hanya menuruti keinginan Abang untuk menjaga harta kita dari orang yang ingin menjarahnya," ucapku. "Apa Abang marah?" tanyaku cemas. Bang Arman tertawa lepas. "Kenapa harus marah, dek? Yang kamu lakukan itu sudah betul. Abang yakin dia tidak akan berani datang lagi ke toko kita," ucap bang Arman masih sambil tertawa. "Abang bangga padamu, dek!"Aku tersenyum senang. Alhamdulillah, bang Arman senang dengan tindakan aku tadi siang. Jika sudah begini, aku akan semakin percaya diri menghadapi mantan istri bang Arman. ***"Dek, hari ini kita tidak ke toko. Kakak sepupu Abang ada acara nikahan. Anaknya yang paling besar sudah dilamar. Kita kesana pagi ini," kata bang Arman ketika kami baru selesai sarapan. "Sekarang hari pestanya, bang?" tanyaku sambil menumpuk piring kotor. "Bukan. Hari ini masak-masak dulu. Tidak banyak masak-masaknya, de

    Last Updated : 2023-06-06
  • Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua   Bab 8 Ulah Elisa

    Aku sudah mau menutup tokoku ketika Elisa datang. "Mana uangku?!" tanyanya dengan ketus. Aku menatap bingung padanya. Uang apa yang dia maksud. Aku menunggu ia menjelaskan uang apa yang dia pinta. Namun, Elisa hanya menggoyang-goyangkan tangannya tanda ia tidak sabar. "Uang apa?" tanyaku bingung. Ia mendelik menatapku. Aku memilih untuk mengabaikannya dan terus melanjutkan membantu Rindi dan Anton menutup toko. Elisa menjadi marah. Ia menarik tanganku hingga aku terdorong ke belakang. Melihat itu, Anton dan Rindi menoleh padanya. Wajah mereka tampak geram. Anton berniat membantuku, namun Rindi menarik tangannya dan geleng-geleng kepala. Anton kembali melanjutkan tugasnya menutup toko. "Lo jangan pura-pura bodoh, deh! Jangan mentang-mentang lo udah jadi bini bapak gue, lo bisa menguasai duit bapak gue! Gue nggak akan biarkan itu! Tahu nggak, lo?!" hardiknya kasar. Mataku melebar menatap gadis belia ini. Wajah cantiknya tidak sesuai dengan sikap buruknya. "Aku sudah nanya, uang

    Last Updated : 2023-06-06
  • Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua   Bab 9 Memaafkan

    "Lima juta, pa!" ucap Elisa lirih. "Apa?!" Mata bang Arman terbelalak mendengar angka yang cukup besar itu. Elisa mendongak menatap papanya. "Iya, pa. Itu sudah termasuk biaya pesawat dan penginapan. Pa, apa aku bilang saja sama wali kelas aku kalau aku tidak jadi ikut?" ucapnya dengan wajah memelas."Kenapa?""Uang itu terlalu besar. Aku bilang saja, jika uang papa tidak cukup. Aku nggak mau dibilang anak tidak tahu di untung," ucap Elisa seraya melirik sinis padaku. "Jangan!" ucap bang Arman cepat. Dia kemudian merogoh kantong di tasnya. Ia mengeluarkan lembaran uang ratusan ribu. Ia menyerahkan pada Elisa. "Ambillah! Ikuti studi tour itu!" ucap bang Arman.Mata Elisa berbinar senang. Ia kemudian memeluk papanya. "Terima kasih, papa. Terima kasih! Tadinya Elisa pikir, papa berubah jika sudah punya istri lagi. Elisa takut papa mengabaikan Elisa dan bang Ridho." "Sampai kapanpun, kamu dan Ridho adalah anak papa. Papa tidak mungkin mengabaikan kalian demi orang lain," ucap bang Arm

    Last Updated : 2023-06-06
  • Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua   Bab 10 Kebenaran terungkap

    Bang Arman menguraikan pelukannya. Ia menatap wajahku dengan tatapan memohon. "Bisakah adek memaafkan, Abang?" tanyanya penuh harap. Aku mengangguk. Ya, dia sudah minta maaf dan aku memaafkannya. Lagi pula tidak baik mengabaikan permintaan maaf seseorang apalagi dari suami sendiri. Wajah sendu bang Arman berubah ceria kembali. Ia tersenyum lebar padaku dan kembali memelukku. "Terima kasih, dek! Hati Abang lega sekarang," ucapnya. Wajahku masih kaku. Sulit bagiku tersenyum ketika hatiku masih sakit. Ya, meskipun aku memang sudah memaafkan bang Arman. Tapi aku butuh waktu untuk kembali bersikap ceria di depannya. "Adek mau makan mie instan?" tanya bang Arman seraya menatapku penuh perhatian. Mendengar pertanyaan bang Arman, aku jadi ingat dengan perutku yang berbunyi dari tadi. "Abang lapar?" tanyaku. Bang Arman mengangguk. "Karena itu Abang buat mie tadi," ia tersenyum. "Adek mau? Biar Abang buatkan," ucapnya. "Tidak baik makan mie malam-malam, bang. Jika Abang mau, aku akan b

    Last Updated : 2023-06-07

Latest chapter

  • Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua   Bab 56 POV Elisa

    Mama tiba-tiba meneleponku dan memintaku melakukan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehku. Aku memang tidak senang ketika mendengar ibu tiriku itu sedang mengandung anak papaku. Tapi aku juga tidak ingin menyakitinya. Aku cuma ingin hidup damai. Masalahku sudah sangat berat yang terkadang membuatku ingin pergi dari dunia ini. Tapi desakan mama membuatku seakan terdoktrin untuk melakukan itu. Mama bilang masalah harta warisan atau apapun itu, aku sungguh tidak peduli. Tapi ucapan mama adalah perintah bagiku. Aku tidak mau mama terus memakiku. Aku berpapasan dengan Tante Yuni. Kami terdiam kaku sejenak. Kemudian Tante Yuni tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan senyum kaku. "Apa kabar, Elisa!" sapa Tante Yuni padaku. "Baik," jawabku singkat lalu kembali ke kamarku. Aku bisa melihat sekilas raut kekecewaan di wajah Tante Yuni. Aku bisa apa? Aku tidak bisa akrab dengannya karena dia itu ibu tiriku. Bangun tidur, aku mendengar suara ribut dan juga tawa. Sepertinya sangat rama

  • Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua   Bab 55 POV Hani

    Aku menatap nanar pada semua orang yang memandangku. Mereka menatapku dengan tatapan menyudutkan ku. Wajahku sudah memerah. Laki-laki asing ini begitu kurang ajar. Seenaknya saja dia ikut campur dengan urusanku bersama si Yuni ini. Bukan salahku jika wanita tua itu pingsan. Dia yang terlalu berlebihan. Sudah tahu tua, masih saja sok melawan. Seharusnya para benalu ini kembali ke kampung halamannya. Tidak mau menjadi tatapan orang-orang di kompleks perumahan kumuh ini, aku memutuskan pergi. Hatiku puas karena berhasil menyakiti maduku itu. Aku tetap menganggapnya madu meskipun aku sudah lama bercerai dari bang Arman. Wanita itu sudah membuat kesempatan aku untuk kembali pada bang Arman hilang. Aku mendengar kabar jika bang Arman berhasil membujuk wanita itu kembali bersamanya. Ini membuatku marah. Dan aku semakin marah ketika mengetahui jika wanita kampung itu sedang hamil anak bang Arman. Ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus melakukan sesuatu agar mereka cepat bercerai. Sebenarny

  • Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua   Bab 54 Kembali ke rumah bang Arman

    Aku mengejap-ngejapkan mataku begitu sinar putih itu menerpaku, saat aku membuka mata. Aku melihat ruang yang serba putih dan beraroma obat. Aku tahu, sekarang aku sedang berbaring di rumah sakit. "Yun!" Aku menoleh pada suara yang memanggilku. Ibu menatapku dengan wajah cemasnya. Ia menggenggam erat tanganku. "Ibu...?" Aku berucap lemah. "Bagaimana keadaan kamu, nak?" tanya ibu. "Aku tidak tahu, Bu! Tenagaku seakan..terkuras habis," jawabku. "Aduh, Yun! Kamu buat jantung ibu seakan copot. Ibu sudah bilang berkali-kali agar kamu istirahat saja. Tapi kamu keras kepala! Hamil muda malah ikut bantu di warung!" omel ibu. "Jadi ibu tahu kalau Yuni sedang hamil?" Suara bang Arman membuat kami tersentak kaget. Ia menatap ibu dengan pandangan kecewa. Ia juga menatapku dengan pandangan yang sama. "Kenapa kalian tidak memberitahu aku?"Ibu dan aku saling pandang. "Jawab, Yun! Kenapa kamu merahasiakannya pada Abang?" tuntut bang Arman. "Karena Yuni ingin bercerai dari kamu, Man!" jawab

  • Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua   Bab 53 Haruskah aku memberitahunya?

    Kehamilanku membuatku susah bergerak. Aku sering kali muntah dan merasa lemas. Padahal aku sudah meminum obat yang mengurangi muntah. Warung lebih sering dikelola ibu, kadang di bantu oleh Yudi dan Rindi. Tubuhku sangat lemas, sehingga aku tidak ikut keluar membantu ibu berjualan. Aku duduk di depan kamarku, yang menghadap langsung ke warung.Jantungku berdetak cepat, ketika melihat bang Arman datang. Seperti biasa ia memesan makanannya. Ibu melayani dengan wajah masam. Aku melihat bang Arman celingukan. Matanya menemukan sosokku yang duduk di depan jendela. Ia tersenyum ketika kami bertatapan. Aku buang muka. Aku mendadak gugup ketika bang Arman datang menghampiriku. Aku segera berdiri dan berjalan ke ranjangku. Aku berbaring dan berharap bang Arman tidak ke sini. "Yun!"Aku terperanjat kaget ketika bang Arman sudah berdiri di depan jendelaku dan memanggilku. Aku pura-pura tidak dengar dan mengabaikannya. "Kamu kenapa tidak membantu ibu jaga warung, Yun? Apa kamu sakit?" tanya b

  • Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua   Bab 52 Yuni hamil

    Aku masih dalam diam ku. Sesungguhnya aku tidak pernah berpikir untuk cerai dan menjadi jadi. Tapi, pernikahan yang kujalani dengan bang Arman juga tidak membuat aku bahagia. "Yun! Apa yang kamu pikirkan lagi? Untuk apa kamu pertahankan laki-laki seperti Arman?!" Ibu menatapku dengan kesal. Begitulah ibu. Jika ibu merasa keputusannya tepat, dia akan terus mendesak ku untuk menjalankannya. Sama halnya saat beliau memaksaku untuk menerima pinangan bang Arman dulu. "Bu, aku tidak tahu, Bu. Aku masih belum siap jadi janda.""Jadi janda bukan suatu aib, Yun. Yang paling penting kebahagiaan kamu. Menikah dengan Arman hanya akan membuat kamu sengsara. Karena Arman masih terikat sama anak dan mantan istrinya. Kamu akan terus dibuat makan hati oleh mereka. Jadi, lepaskan saja Arman itu. Siapa tahu besok kamu dapat jodoh yang lebih baik," bujuk ibuku gencar.Aku kembali terdiam. "Yun!" Ibu menggenggam erat tanganku. "Ibu sedih melihat hidupmu sekarang. Rasanya hati ibu remuk ketika melihat m

  • Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua   Bab 51 Yun, bercerailah dari Arman!

    Aku menunggu dengan gelisah. Aku sangat cemas hingga air mataku mengalir keluar. Seorang perawat datang menemui ku. "Apa mbak anaknya Bu Yanti?" tanyanya. "Iya, saya!" jawabku cepat. "Bu Yanti sudah stabil kondisinya, mbak. Dokter menyarankan agar Bu Yanti dirawat inap saja sambil melihat perkembangan kondisi kesehatannya. Kami langsung rujuk ke dokter jantung saja ya, mbak," jelas perawat itu padaku."Iy, suster! Lakukan yang terbaik saja buat ibuku," ujarku. "Kalau begitu, silakan di urus administrasinya, mbak!" "Baik, sus!" Aku bergegas ke ruang administrasi rumah sakit. ***Ibu sudah dibawa ke ruang rawat inap. Wajahnya yang tertidur terlihat begitu tenang. Aku meraih tangan ibu dan menggenggamnya kuat. Aku sangat lega karena ibu bisa melewati serangan jantungnya. Jika terjadi apa-apa pada ibu, mungkin aku bisa ikut mati bersamanya. Aku tidak pernah membayangkan akan kehilangan ibuku. Tubuhku masih gemetar ketika mengingat kejadian saat ibu tiba-tiba terkulai lemas.Drrrt..

  • Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua   Bab 50 POV Adam

    Namaku Adam, aku seorang guru SMA di sebuah sekolah swasta yang cukup terkenal di kota ini. Setahun yang lalu aku kehilangan istriku yang meninggal karena suatu penyakit. Kami belum sempat punya anak. Meninggalnya istriku sempat membuat aku begitu terpuruk. Hidupku mulai tidak teratur. Aku sering menyendiri dan duduk termenung mengenang Mitha, istriku. Bagiku dia wanita yang sempurna. Cantik, lembut dan juga pandai masak. Sejak kepergiannya, aku tidak lagi makan teratur karena semua yang aku makan tidak sesuai seleraku. Aku hanya makan untuk sekedar menghilangkan rasa lapar, bukan untuk menikmatinya, seperti saat istriku masih hidup. Suatu ketika, aku lewat di gang sebelah. Aku melihat ada warung makan yang baru buka. Warung itu kecil namun terlihat bersih. Aku masuk ke dalam. Seorang wanita muda tersenyum padaku. "Silakan masuk, pak! Mau makan apa?" tanyanya ramah. Aku melirik pada etalase yang memajang aneka masakan. "Ayam bakar, Bu," jawabku sambil duduk di kursi yang sudah dise

  • Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua   Bab 49 Ibu masuk rumah sakit

    Bang Arman selalu datang ke warungku untuk sarapan dan juga makan siang. Padahal aku dan ibu menampakkan wajah tidak suka kami padanya, namun bang Arman terlihat tidak peduli. "Yun! Kamu bilang sama Arman agar dia tidak ke sini terus. Ibu khawatir jika warga salah paham sama kamu. Mereka akan mengira jika kamu perempuan tidak benar," kata ibu ketika bang Arman pulang setelah makan siang di warungku. Aku menghela nafas. "Aku sudah bilang, Bu. Tapi bang Arman bilang jika dia juga berhak beli di warung kita. Aku tidak mau ribut, Bu. Malu sama tetangga," ucapku mengatakan alasanku. Ibu terdiam. Wajahnya terlihat kusut. "Sudahlah, Bu! Lagi pula dia cuma makan saja di sini. Lama-lama Yuni yakin, dia akan bosan sendiri.""Tapi kamu harus memperjelas hubungan kamu dengan Arman, Yun! Jika kamu memang berniat menceraikannya, sebaiknya kamu urus surat perceraian kamu itu. Jika kamu masih ingin menjadi istrinya, kamu tidak boleh tinggal terpisah darinya," nasihat ibuku. Aku terdiam. Sesunggu

  • Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua   Bab 48 Maafkan Abang, Yun!

    "Bang Arman?" Aku tercengang menatap sosok yang ada di hadapanku. Bang Arman berjalan mendekatiku. "Yun!" Ia menyebut namaku dan berusaha tersenyum. Aku hanya membalasnya dengan senyum tipis yang dipaksakan. "Dari mana Abang tahu aku ada di sini?" tanyaku ketus. "Dari Rindi," jawab bang Arman. Mataku mendelik. Rindi melanggar janjinya padaku. "Kamu jangan memarahi Rindi, Yun. Abang hanya mendengar pembicaraannya, jika ia membawa bekal lontong dari warungmu."Aku diam. Aku memang tidak pantas marah pada Rindi. Rindi sangat berjasa padaku. "Untuk apa Abang ke sini?" tanyaku dingin. Aku masih mengingat betapa wajahnya angkuh saat terakhir kali aku melihatnya. "Maafkan Abang, Yun!" pintanya dengan wajah menunduk.Aku terperangah. Sosok angkuh ini ternyata bisa juga meminta maaf. Tapi aku tidak semudah itu terperdaya lagi olehnya. Dia sering kali menyakitiku dan menganggap semua ucapan aku tidak penting. Aku tidak menginginkan suami seperti itu. Lebih baik aku hidup sendiri dari pada

DMCA.com Protection Status