Aku menceritakan kejadian tadi siang pada bang Arman. Kejadian saat Elisa datang dengan membawa satu kardigan tanpa meminta izin padanya.
Wajah bang Arman langsung berubah masam setelah mendengar penuturanku."Kenapa kamu tidak bilang dulu sama Abang sebelum memberinya kardigan itu?" tanya bang Arman. Ia seakan menyalahkan aku atas perbuatan yang dilakukan putrinya."Aku tidak tahu, bang. Kata Rindi, dia memang biasa melakukannya," aku mencoba membela diri."Ya, meskipun dia biasa melakukannya, bukan berarti kamu membiarkannya, dek! Kita bisa rugi jika dia terus melakukan itu!" tukas bang Arman menyalahkan aku.Keningku bertaut menatapnya. Aku jadi tidak mengerti. Kenapa sekarang seakan-akan aku yang mengambil kardigan itu?"Bang, bukan aku yang mengambil kardigan itu. Tapi anak Abang!" ucapku berusaha selembut mungkin untuk meredakan emosinya."Abang tahu. Setidaknya kamu bisa mencegahnya. Jangan cuma diam seperti patung!" suara bang Arman mulai meninggi.Aku terperangah dan tidak menyangka jika dia bisa membentakku seperti ini. Itu pun atas kesalahan yang sama sekali tidak aku lakukan.Aku akhirnya memilih untuk diam agar perdebatan yang tidak ada ujung pangkalnya ini bisa berakhir. Bang Arman masih bersungut-sungut.Aku heran, apakah bang Arman memang sepelit itu, atau memang dia sudah bosan melihat sikap anaknya yang lancang mengambil barang toko? Tapi, bukankah ini bukan salahku? Aku bahkan tidak mengenal anak-anaknya.Bang Arman masuk ke kamar dengan wajah kesal. Aku hanya bisa menghela nafas berat. Ini pertama kali aku melihat wajah marahnya. Biasanya dia selalu tersenyum dan bersikap lembut padaku.Aku sudah menyelesaikan masak makan malam. Aku berjalan ke kamar untuk mengajak bang Arman makan. Ia terlihat berbaring di ranjang sambil memainkan handphonenya."Bang, makan malam sudah siap. Abang mau makan sekarang?" tanyaku.Bang Arman tidak menjawab pertanyaanku dengan kata. Dia hanya mengangguk dan berjalan keluar menuju meja makan. Dia masih mengacuhkan ku.Aku menyendokkan nasi ke piringnya."Abang mau ikan goreng?" tanyaku.Bang Arman mengangguk. Aku memasukkan sepotong ikan goreng ke piringnya. Aku juga memasukkan sesendok sayur bayam."Minta sambalnya, dek!" pintanya. Aku menoleh padanya. Dengan tersenyum lega aku menyendokkan sambal ke piringnya."Ini, bang!" ucapku lembut seraya menyerahkan piring yang berisi nasi dan lauk pauk kepadanya. Ia pun menerimanya."Terima kasih, dek!" ucapnya.Aku sangat senang. Bang Arman sudah mau bicara denganku. Ternyata, bang Arman tidak bisa lama-lama merajuk dan marah padaku."Bang, aku minta maaf karena tadi aku tidak mencegah Elisa mengambil barang toko," ucapku setelah bang Arman menyelesaikan makannya meskipun kami sama-sama masih duduk di meja makan.Bang Arman diam. Hatiku berdebar kencang. Apakah dia masih marah?Bang Arman menghela nafas berat. "Iya, dek. Sebenarnya Abang juga tahu, jika ini tidak sepenuhnya salah adek. Tapi Abang sedikit kecewa, karena adek tidak bisa bersikap tegas pada Elisa. Ya, meskipun Elisa tidak terlahir dari rahim adek, dia tetap anak adek. Adek berhak mengajarinya sopan santun," tutur bang Arman."Iya, bang. Aku mengerti. Lain kali aku akan bersikap lebih tegas padanya," ucapku berusaha mengalah. Karena bersikeras pada suami yang keras kepala, memang tidak ada gunanya."Dek, kita sudah menikah. Berarti harta Abang harta adek juga. Jadi, sudah kewajiban adek untuk menjaganya dari orang lain," ucap bang Arman lagi.Orang lain? bukankah Elisa itu anak kandungnya sendiri. Kenapa dia mengatakan orang lain? Aku menatap bingung padanya. Namun aku tidak berani membantahnya lagi.Aku cuma diam."Dek, karena kedisiplinan Abang mengatur keuangan lah yang membuat Abang bisa memiliki dua toko di Tanah Abang. Jika Abang boros dan tidak tegas, pastilah sudah lama Abang bangkrut," bang Arman melanjutkan ceritanya.Aku hanya menyimak saja. Biarlah bang Arman bercerita panjang lebar tentang perjalanan hidupnya dari hanya seorang pedagang kaki lima hingga menjadi pemilik dua toko di Tanah Abang. Itu lebih baik dari pada dia mendiamkan aku.***Masalah Elisa sudah berakhir dengan permintaan maaf ku. Meskipun aku sendiri bingung, dimana letak salahku. Aku hanya berharap rumah tangga kami berjalan lancar tanpa adanya pertengkaran berlarut-larut.Namun, masalah kembali muncul. Kali ini lebih besar. Ini masih tentang Elisa. Ia kembali datang ke toko ketika bang Arman tidak berada di tempat. Seakan ia sengaja melakukan itu. Kali ini dia juga membawa ibunya. Wanita dengan dandanan menor dan memiliki rambut yang di rebonding. Ia menatapku dengan sinis. Setelah itu mengacuhkan ku.Aku berbisik pada Rindi. "Rin, itu mantan istri bang Arman?" tanyaku."Iya, kak. Tengoklah! Dia pasti ke sini mau merampok barang-barang toko," kata Rindi kesal. Namun Rindi tidak bisa berbuat apa-apa, dia sadar jika dia hanya karyawan toko yang di gaji bang Arman. Tapi, aku istri bang Arman. Tentu aku berhak melarang mereka, pikirku. Apalagi tempo hari bang Arman marah padaku karena Elisa mengambil barang toko tanpa seizinnya.Aku melihat saja, saat ibu dan anak itu memilih-milih barang di toko. Mereka tertawa-tawa seraya berbisik-bisik sambil menatap sinis padaku.Ya, aku memang tersinggung dan merasa tidak nyaman. Namun aku harus bersabar."Rindi, mana kantongnya?" tanya mantan istri bang Arman. "Bungkusin, dong!"Rindi tampak kebingungan. Ia menatap padaku."Coba dihitung dulu, Rin!" perintahku.Ibu dan anak itu menatapku dengan mata terbelalak. Dengan langkah lebar, mereka datang menghampiriku. Wajah mereka memerah menandakan betapa marahnya mereka padaku."Eh, perempuan kampung! kamu tahu siapa aku? Hah?!" Mantan istri bang Arman melotot menatapku seraya berkacak pinggang.Aku terkejut. Betapa kasarnya kata-kata yang keluar dari mulut wanita kota ini, pikirku. Aku menarik nafas panjang berusaha untuk bersikap tenang."Maaf, Bu. Saya memang tidak mengenal ibu. Ibu siapa, ya?" tanyaku tanpa terpancing oleh sikap kasarnya.Mata wanita itu semakin melotot menatapku. Nafasnya sudah memburu."Dasar wanita g*bl*k!!" makinya padaku.Aku kembali terkejut. Aku geleng-geleng kepala."Eh, dengar baik-baik! Aku ini ibu Elisa, anak suami kamu! Pemilik toko ini. Jadi, aku dan anakku berhak mengambil apa saja di toko ini. Ngerti kamu?!" Matanya mendelik menatapku. Seandainya aku tidak mempersiapkan diri, pastilah aku menangis saat ini karena dipermalukan. Apalagi banyak yang melihat keributan yang dibuatnya."Oh, jadi ibu mantan istri suami aku?!" Aku tersenyum. "Sekarang, ibu yang dengar aku. Aku saja yang jadi istrinya bang Arman, tidak merasa berhak mengambil barang toko seenak hatiku saja. Apalagi ibu yang hanya seorang mantan istri!" ucapku tenang tapi langsung mengena ke sasarannya. Ini terbukti dengan wajahnya yang merah padam. Apalagi banyak pengunjung yang mengikuti pertengkaran kami, malah mencibir padanya."Idih, mantan istri saja, songongnya minta ampun. Pantas saja dulu di cerai!" komentar seorang pengunjung. Meski ia berbisik dengan temannya tapi cukup jelas tertangkap di telinga kami.Wajah mantan istri bang Arman semakin memerah. Ia mempelototi para pengunjung yang melihatnya."Apa kalian lihat-lihat?! Kalian pikir ini sinetron?! Hah?! Pergi sana! Bubar! Bubar!" teriaknya memaki orang-orang yang menontonnya.Para pengunjung malah meneriakinya. Ia semakin berwajah masam. Dengan geram ia menarik tangan putrinya dan keluar dari toko."Hei, jangan lupa bajunya di kembalikan, Bu!" teriakku.Ia menoleh dan menatap bengis padaku. Kemudian melempar baju-baju yang tadi dipilihnya. Para pengunjung kembali meneriaki pasangan ibu dan anak itu. Mereka kemudian berlari terbirit-birit. Aku tersenyum penuh kemenangan."Sabar ya, mbak!" Seorang pengunjung menghiburku.Aku mengangguk. "Terima kasih, Bu!" ucapku tulus seraya tersenyum ramah."Dek, apa benar kamu bertengkar dengan mamanya Elisa?" tanya bang Arman saat kami dalam perjalanan pulang. "Sebenarnya bukan bertengkar, bang. Aku hanya menuruti keinginan Abang untuk menjaga harta kita dari orang yang ingin menjarahnya," ucapku. "Apa Abang marah?" tanyaku cemas. Bang Arman tertawa lepas. "Kenapa harus marah, dek? Yang kamu lakukan itu sudah betul. Abang yakin dia tidak akan berani datang lagi ke toko kita," ucap bang Arman masih sambil tertawa. "Abang bangga padamu, dek!"Aku tersenyum senang. Alhamdulillah, bang Arman senang dengan tindakan aku tadi siang. Jika sudah begini, aku akan semakin percaya diri menghadapi mantan istri bang Arman. ***"Dek, hari ini kita tidak ke toko. Kakak sepupu Abang ada acara nikahan. Anaknya yang paling besar sudah dilamar. Kita kesana pagi ini," kata bang Arman ketika kami baru selesai sarapan. "Sekarang hari pestanya, bang?" tanyaku sambil menumpuk piring kotor. "Bukan. Hari ini masak-masak dulu. Tidak banyak masak-masaknya, de
Aku sudah mau menutup tokoku ketika Elisa datang. "Mana uangku?!" tanyanya dengan ketus. Aku menatap bingung padanya. Uang apa yang dia maksud. Aku menunggu ia menjelaskan uang apa yang dia pinta. Namun, Elisa hanya menggoyang-goyangkan tangannya tanda ia tidak sabar. "Uang apa?" tanyaku bingung. Ia mendelik menatapku. Aku memilih untuk mengabaikannya dan terus melanjutkan membantu Rindi dan Anton menutup toko. Elisa menjadi marah. Ia menarik tanganku hingga aku terdorong ke belakang. Melihat itu, Anton dan Rindi menoleh padanya. Wajah mereka tampak geram. Anton berniat membantuku, namun Rindi menarik tangannya dan geleng-geleng kepala. Anton kembali melanjutkan tugasnya menutup toko. "Lo jangan pura-pura bodoh, deh! Jangan mentang-mentang lo udah jadi bini bapak gue, lo bisa menguasai duit bapak gue! Gue nggak akan biarkan itu! Tahu nggak, lo?!" hardiknya kasar. Mataku melebar menatap gadis belia ini. Wajah cantiknya tidak sesuai dengan sikap buruknya. "Aku sudah nanya, uang
"Lima juta, pa!" ucap Elisa lirih. "Apa?!" Mata bang Arman terbelalak mendengar angka yang cukup besar itu. Elisa mendongak menatap papanya. "Iya, pa. Itu sudah termasuk biaya pesawat dan penginapan. Pa, apa aku bilang saja sama wali kelas aku kalau aku tidak jadi ikut?" ucapnya dengan wajah memelas."Kenapa?""Uang itu terlalu besar. Aku bilang saja, jika uang papa tidak cukup. Aku nggak mau dibilang anak tidak tahu di untung," ucap Elisa seraya melirik sinis padaku. "Jangan!" ucap bang Arman cepat. Dia kemudian merogoh kantong di tasnya. Ia mengeluarkan lembaran uang ratusan ribu. Ia menyerahkan pada Elisa. "Ambillah! Ikuti studi tour itu!" ucap bang Arman.Mata Elisa berbinar senang. Ia kemudian memeluk papanya. "Terima kasih, papa. Terima kasih! Tadinya Elisa pikir, papa berubah jika sudah punya istri lagi. Elisa takut papa mengabaikan Elisa dan bang Ridho." "Sampai kapanpun, kamu dan Ridho adalah anak papa. Papa tidak mungkin mengabaikan kalian demi orang lain," ucap bang Arm
Bang Arman menguraikan pelukannya. Ia menatap wajahku dengan tatapan memohon. "Bisakah adek memaafkan, Abang?" tanyanya penuh harap. Aku mengangguk. Ya, dia sudah minta maaf dan aku memaafkannya. Lagi pula tidak baik mengabaikan permintaan maaf seseorang apalagi dari suami sendiri. Wajah sendu bang Arman berubah ceria kembali. Ia tersenyum lebar padaku dan kembali memelukku. "Terima kasih, dek! Hati Abang lega sekarang," ucapnya. Wajahku masih kaku. Sulit bagiku tersenyum ketika hatiku masih sakit. Ya, meskipun aku memang sudah memaafkan bang Arman. Tapi aku butuh waktu untuk kembali bersikap ceria di depannya. "Adek mau makan mie instan?" tanya bang Arman seraya menatapku penuh perhatian. Mendengar pertanyaan bang Arman, aku jadi ingat dengan perutku yang berbunyi dari tadi. "Abang lapar?" tanyaku. Bang Arman mengangguk. "Karena itu Abang buat mie tadi," ia tersenyum. "Adek mau? Biar Abang buatkan," ucapnya. "Tidak baik makan mie malam-malam, bang. Jika Abang mau, aku akan b
"Mau apa kalian ke sini?!" tanya Anton ketus ketika melihat wajah kami. Bang Arman menelan ludah karena merasa tidak enak hati. Ia berusaha tersenyum meskipun terlihat kaku. Sedangkan Anton tetap memperlihatkan raut wajah tidak bersahabat. "Abang....Abang boleh masuk, Ton?" tanya bang Arman berusaha bersikap ramah. Anton hanya mendengus. Ia melipat kedua tangannya di dada tanpa menjawab pertanyaan bang Arman. Bang Arman menghela nafas berat. Sebenarnya ia sudah merendahkan dirinya untuk datang ke sini dan minta maaf. Bang Arman benar-benar menyesal dan mengaku salah. Sehingga ia bisa memaklumi sikap Anton padanya. "Begini, Ton. Abang sudah tahu cerita yang sebenarnya. Abang ke sini mau minta maaf sama Anton karena percaya begitu saja dengan fitnahan anak Abang. Abang tidak mengecek dulu kebenarannya melalui CCTV." Bang Arman menatap Anton dengan wajah penuh harap.Anton hanya diam tanpa ingin menanggapi. "Abang juga membawa Elisa bersama Abang." Bang Arman menarik tangan Elisa ag
Aku sangat bahagia. Aku mengirim pesan pada ibu jika bang Arman akan membayar ongkosnya ke Jakarta. Ibu sangat terkejut dan menolaknya. Ia bilang, ia merasa malu pada bang Arman. Aku mengatakan jika bang Arman memaksa untuk membayarkan ongkos ibu. "Bang, ibu bilang ia sangat berterima kasih pada Abang," laporku. Bang Arman tertawa kecil. "Ada-ada saja ibu ini. Masak seorang anak mengiriminya ongkos, dia pakai berterima kasih segala," tukasnya. Aku tersenyum bahagia melihat ketulusan suamiku pada ibu. ***"Sudah ditransfer uang untuk ibu, dek?" tanya bang Arman siang itu. "Belum, bang. Masih banyak pembeli. Tunggulah! Sebentar lagi!" sahutku sembari membungkus barang yang dibeli pelanggan. "Sudah! Biar Abang yang melayani pembeli. Kamu pergi sekarang mentransfer uangnya. Jangan biarkan ibu terlalu lama menunggu! Transfer sekarang! Biar ibu bisa langsung membeli tiket pesawat hari ini," jelas bang Arman panjang lebar. "Baik, bang! Kalau begitu aku pergi dulu." Bang Arman mengang
Untuk sementara Yudi tinggal bersamaku dan bang Arman sampai dia mendapatkan tempat kos di sekitar lokasi Tanah Abang. Besoknya, Yudi langsung bekerja di toko yang ada di blok A sebagai pengganti Anton. Sementara itu, aku tetap di rumah untuk menemani ibu. Bang Anton sendiri yang memintaku untuk menemani ibu sampai beliau kembali ke kampung. Aku sangat senang mendengarnya. Aku bisa melepas kerinduanku sepuasnya dengan ibu. Lagi pula aku sedikit lega karena sudah ada Yudi di toko. "Yun, ibu lihat Arman sangat baik padamu. Ibu merasa sangat lega, Yun!" ucap ibu di kala kami memasak untuk makan malam buat bang Arman. Aku tertegun. Iya, bang Arman memang baik. Tapi bang Arman tidak tegas jika itu menyangkut anaknya. Dia sering berlaku tidak adil padaku. Namun kalimat itu aku simpan dalam hati. Aku tersenyum menanggapi perkataan ibu. "Beberapa hari yang lalu, ibu sering melihatmu dalam mimpi. Kamu berjalan pelan menemui ibu. Ibu bisa melihat air matamu. Ibu memanggilmu. Namun kamu cum
Aku tidak terima keluargaku dianggap hanya menghabiskan uang bang Arman. Wajahku tegang. Aku harus mengatakan perihal ini pada bang Arman. Elisa tidak juga kapok sejak dia memfitnahku, sekarang dia malah menghina keluargaku. "Kak?" Yudi menatapku dengan rasa tidak enak hati. "Kak, jangan ceritakan masalah ini pada bang Arman, ya!" pinta Yudi. Aku menoleh padanya. "Kenapa, Yud? Bukankah Elisa sudah menghina kamu?" "Aku tidak mau bang Arman tersinggung. Aku juga tidak mau merusak hubungan kakak dengan bang Arman," ucap Yudi. Kata-kata Yudi membuatku terharu. Aku menundukkan wajahku, menyesali dengan ketidakberdayaan aku. Aku masih ingat, bagaimana bang Arman lebih mempercayai Elisa ketimbang aku saat gadis remaja itu memfitnahku. Aku juga tidak yakin, jika ia akan mempercayaiku kali ini. Aku menangis dalam diam. Yudi terkejut mendengar suara isakku yang pelan. Ia berjongkok di depanku dan meraih tanganku. "Kak! Maafkan aku, kak! Seharusnya aku tidak mengatakan hal ini pada kakak.