Aku sudah mau menutup tokoku ketika Elisa datang.
"Mana uangku?!" tanyanya dengan ketus.Aku menatap bingung padanya. Uang apa yang dia maksud. Aku menunggu ia menjelaskan uang apa yang dia pinta.Namun, Elisa hanya menggoyang-goyangkan tangannya tanda ia tidak sabar."Uang apa?" tanyaku bingung. Ia mendelik menatapku. Aku memilih untuk mengabaikannya dan terus melanjutkan membantu Rindi dan Anton menutup toko.Elisa menjadi marah. Ia menarik tanganku hingga aku terdorong ke belakang. Melihat itu, Anton dan Rindi menoleh padanya. Wajah mereka tampak geram. Anton berniat membantuku, namun Rindi menarik tangannya dan geleng-geleng kepala. Anton kembali melanjutkan tugasnya menutup toko."Lo jangan pura-pura bodoh, deh! Jangan mentang-mentang lo udah jadi bini bapak gue, lo bisa menguasai duit bapak gue! Gue nggak akan biarkan itu! Tahu nggak, lo?!" hardiknya kasar.Mataku melebar menatap gadis belia ini. Wajah cantiknya tidak sesuai dengan sikap buruknya."Aku sudah nanya, uang apa, tapi kamu tidak jawab," aku menjelaskan dengan tetap mempertahankan kesabaranku."Lo nggak perlu tahu! Yang penting lo beri gue uang. Ngerti nggak lo?!!" ucapnya kesal."Aku harus tahu jelas uang apa yang aku keluarkan. Kalau tidak, apa yang harus kujawab jika papamu menanyakannya," ucapku lagi."Gue nggak mau tahu itu! Itu urusan lo! Siniin uangnya! cepetan!!" Elisa mulai lancang. Ia menarik tas yang aku pegang. Aku mempertahankannya. Kami saling tarik-tarikan.Melihat itu, Anton langsung maju. Ia membantuku melepaskan diri dari Elisa. Hingga Elisa terjengkang dan jatuh.Pada saat itu terdengar suara bang Arman."Ada apa ini?" tanya bang Arman dengan suara berat. Ia melihat padaku, Anton dan Elisa bergantian. Kami spontan mematung.Tiba-tiba, Elisa menjerit kesakitan dan menangis histeris. Air mata mengalir begitu deras. Aku terpaku, dari mana air mata itu? Bukankah dari tadi dia yang menzalimi aku? Kenapa sekarang dia terlihat seperti korban?"Ada apa, Elisa? Kenapa kamu terduduk disitu?" tanya bang Arman seraya membantu putrinya berdiri.Elisa langsung memeluk tubuh ayahnya erat. Ia menangis histeris di dada ayahnya dengan suara yang di buat begitu memilukan."Kamu kenapa, Elisa? Apa yang terjadi?" bang Arman menjadi panik. Ia meregangkan pelukan Elisa darinya. Ia menatap Elisa dari atas hingga bawah. "Kenapa menangis? Apa ada yang sakit?" tanyanya cemas."Dia, pa!" Elisa menunjuk ke arahku. Aku terperanjat kaget. "Dia jahat. Dia memukulku, mendorongku. Di bantu sama pacarnya itu!" Kali ini Elisa menunjuk pada Anton. Anton sampai terperangah melihatnya.Mata Anton berkilat marah pada Elisa."Apa betul kalian menganiaya anakku?" tanyanya dingin."Tidak, bang. Anak Abang bohong! Justru dia yang menganiaya kak Yuni!" bantah Anton."Mana ada maling yang ngaku, pa!" celutuk Elisa."Aku saksinya, bang!" Rindi angkat bicara. "Elisa datang ke sini minta uang sama kak Yuni. Kak Yuni tanya alasannya, tapi dia tidak mau bilang. Karena itu, kak Yuni tidak mau memberinya uang. Elisa marah dan bersikap kasar. Anton hanya mencoba melindungi kak Yuni saja, bang!" cerita Rindi."Dia bohong, pa! Papa lihat sendiri kejadiannya, kan? Lagi pula, perempuan ini teman mereka. Mana mau dia berterus terang. Dia pasti bersekongkol dengan mereka. Makanya dia ngarang cerita buat menjatuhkan aku!" Elisa berusaha meracuni pikiran bang Arman."Abang tidak menyangka, ternyata kamu busuk ya, Yun!" Bang Arman memandang tajam padaku.Kata-kata bang Arman seperti sambaran petir bagiku. Semudah itu dia mempercayai putrinya tanpa mendengar pembelaan aku terlebih dahulu. Sedangkan dia sendiri tahu, bagaimana sifat putrinya."Apa maksud Abang?" tanyaku dengan suara bergetar. Hatiku perih saat ia menghinaku tanpa tahu kebenarannya."Kamu menikahi seorang duda, Yun. Seharusnya saat kamu menerima Abang, kamu juga harus mau menerima anak Abang! Seharusnya kamu perlakukan dia seperti anakmu sendiri!" tekannya. "Jangan malah kamu memperlakukan dia dengan kasar begini?! Kamu bahkan sudah berani berselingkuh padahal pernikahan kita baru beberapa bulan.""Bang!" Anton berteriak protes. "Siapa yang berselingkuh?! Jangan asal tuduh Abang?!""Diam kamu! Kamu jangan ikut campur urusan rumah tangga saya!" ucap bang Arman ketus."Anak Abang sudah memfitnah saya, dan Abang mempercayainya. Sekarang Abang minta saya tidak ikut campur?!" Mata Anton melotot memandang bang Arman. "Saya tekankan sekali lagi, bang. Yang salah di sini itu dia!!" Anton menunjuk pada Elisa yang terus memainkan perannya sebagai anak yang teraniaya. "Dia itu pembohong besar! Dan dengan bodohnya Abang mempercayai gadis beracun ini!" lanjut Anton."Jangan kurang ajar kau, ya! Mulai sekarang kau tidak usah bekerja di tempat ku lagi. Kau, aku pecat!!" teriak bang Arman dengan emosi.Anton terdiam. Ia kemudian tersenyum sinis. "Terima kasih! Tanpa kau pecat pun, aku akan mengundurkan diri!" Anton melempar kunci toko ke kaki bang Arman. Suaranya membuat kami semua terperanjat kaget. Ia kemudian melangkah pergi meninggalkan aku dan Rindi yang masih terpana."Kamu lihat, Rindi! Jika kamu juga macam-macam dengan anakku, kamu juga boleh mengundurkan diri!" ancam bang Arman.Rindi terdiam dan menunduk sedih. Aku menangis melihat ketidakadilan ini. Sedangkan Elisa tersenyum licik di balik air mata palsunya."Kamu sudah tidak apa-apa lagi kan, Elisa?" bang Arman bertanya lembut pada putrinya. Elisa mengangguk. "Sebenarnya mau apa kamu ke sini?""Ada acara studi tour di sekolah. Semua anak wajib ikut, pa. Karena itu, aku ke sini mau minta uang studi tour nya. Tapi wanita itu malah marah dan menunjuk-nunjuk aku. Dia juga bicara kasar padaku. Dia bilang, aku bukan tanggung jawab papa lagi. Karena papa sudah bercerai dari mama. Dia minta aku menjauh dari kehidupannya dan papa." Lancar sekali gadis belia ini berbohong. Tidak ada raut rasa bersalah di wajahnya. Seakan dia seorang artis yang menghafalkan dialog dalam naskah film.Aku makin ternganga mendengar cerita bohongnya. Sedangkan bang Arman terlihat mempercayai semua ucapan putrinya itu. Rindi menggenggam tanganku, menatapku penuh prihatin. Aku menyentuh tangannya dan mengangguk. Ya, aku harus kuat.Bang Arman menatap dingin padaku. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku tahu, ia pasti kecewakan padaku sekarang. Aku diam mematung tanpa sepatah kata pun. Tidak ada gunanya aku membantah semua ucapan Elisa. Aku yakin bang Arman tidak akan mempercayaiku, seperti yang ia lakukan pada Anton."Berapa uang yang kamu butuhkan?" tanya bang Arman lembut pada Elisa.Deg!
Ucapan lembutnya kepada Elisa membuatku tahu posisiku di hatinya.
"Lima juta, pa!" ucap Elisa lirih. "Apa?!" Mata bang Arman terbelalak mendengar angka yang cukup besar itu. Elisa mendongak menatap papanya. "Iya, pa. Itu sudah termasuk biaya pesawat dan penginapan. Pa, apa aku bilang saja sama wali kelas aku kalau aku tidak jadi ikut?" ucapnya dengan wajah memelas."Kenapa?""Uang itu terlalu besar. Aku bilang saja, jika uang papa tidak cukup. Aku nggak mau dibilang anak tidak tahu di untung," ucap Elisa seraya melirik sinis padaku. "Jangan!" ucap bang Arman cepat. Dia kemudian merogoh kantong di tasnya. Ia mengeluarkan lembaran uang ratusan ribu. Ia menyerahkan pada Elisa. "Ambillah! Ikuti studi tour itu!" ucap bang Arman.Mata Elisa berbinar senang. Ia kemudian memeluk papanya. "Terima kasih, papa. Terima kasih! Tadinya Elisa pikir, papa berubah jika sudah punya istri lagi. Elisa takut papa mengabaikan Elisa dan bang Ridho." "Sampai kapanpun, kamu dan Ridho adalah anak papa. Papa tidak mungkin mengabaikan kalian demi orang lain," ucap bang Arm
Bang Arman menguraikan pelukannya. Ia menatap wajahku dengan tatapan memohon. "Bisakah adek memaafkan, Abang?" tanyanya penuh harap. Aku mengangguk. Ya, dia sudah minta maaf dan aku memaafkannya. Lagi pula tidak baik mengabaikan permintaan maaf seseorang apalagi dari suami sendiri. Wajah sendu bang Arman berubah ceria kembali. Ia tersenyum lebar padaku dan kembali memelukku. "Terima kasih, dek! Hati Abang lega sekarang," ucapnya. Wajahku masih kaku. Sulit bagiku tersenyum ketika hatiku masih sakit. Ya, meskipun aku memang sudah memaafkan bang Arman. Tapi aku butuh waktu untuk kembali bersikap ceria di depannya. "Adek mau makan mie instan?" tanya bang Arman seraya menatapku penuh perhatian. Mendengar pertanyaan bang Arman, aku jadi ingat dengan perutku yang berbunyi dari tadi. "Abang lapar?" tanyaku. Bang Arman mengangguk. "Karena itu Abang buat mie tadi," ia tersenyum. "Adek mau? Biar Abang buatkan," ucapnya. "Tidak baik makan mie malam-malam, bang. Jika Abang mau, aku akan b
"Mau apa kalian ke sini?!" tanya Anton ketus ketika melihat wajah kami. Bang Arman menelan ludah karena merasa tidak enak hati. Ia berusaha tersenyum meskipun terlihat kaku. Sedangkan Anton tetap memperlihatkan raut wajah tidak bersahabat. "Abang....Abang boleh masuk, Ton?" tanya bang Arman berusaha bersikap ramah. Anton hanya mendengus. Ia melipat kedua tangannya di dada tanpa menjawab pertanyaan bang Arman. Bang Arman menghela nafas berat. Sebenarnya ia sudah merendahkan dirinya untuk datang ke sini dan minta maaf. Bang Arman benar-benar menyesal dan mengaku salah. Sehingga ia bisa memaklumi sikap Anton padanya. "Begini, Ton. Abang sudah tahu cerita yang sebenarnya. Abang ke sini mau minta maaf sama Anton karena percaya begitu saja dengan fitnahan anak Abang. Abang tidak mengecek dulu kebenarannya melalui CCTV." Bang Arman menatap Anton dengan wajah penuh harap.Anton hanya diam tanpa ingin menanggapi. "Abang juga membawa Elisa bersama Abang." Bang Arman menarik tangan Elisa ag
Aku sangat bahagia. Aku mengirim pesan pada ibu jika bang Arman akan membayar ongkosnya ke Jakarta. Ibu sangat terkejut dan menolaknya. Ia bilang, ia merasa malu pada bang Arman. Aku mengatakan jika bang Arman memaksa untuk membayarkan ongkos ibu. "Bang, ibu bilang ia sangat berterima kasih pada Abang," laporku. Bang Arman tertawa kecil. "Ada-ada saja ibu ini. Masak seorang anak mengiriminya ongkos, dia pakai berterima kasih segala," tukasnya. Aku tersenyum bahagia melihat ketulusan suamiku pada ibu. ***"Sudah ditransfer uang untuk ibu, dek?" tanya bang Arman siang itu. "Belum, bang. Masih banyak pembeli. Tunggulah! Sebentar lagi!" sahutku sembari membungkus barang yang dibeli pelanggan. "Sudah! Biar Abang yang melayani pembeli. Kamu pergi sekarang mentransfer uangnya. Jangan biarkan ibu terlalu lama menunggu! Transfer sekarang! Biar ibu bisa langsung membeli tiket pesawat hari ini," jelas bang Arman panjang lebar. "Baik, bang! Kalau begitu aku pergi dulu." Bang Arman mengang
Untuk sementara Yudi tinggal bersamaku dan bang Arman sampai dia mendapatkan tempat kos di sekitar lokasi Tanah Abang. Besoknya, Yudi langsung bekerja di toko yang ada di blok A sebagai pengganti Anton. Sementara itu, aku tetap di rumah untuk menemani ibu. Bang Anton sendiri yang memintaku untuk menemani ibu sampai beliau kembali ke kampung. Aku sangat senang mendengarnya. Aku bisa melepas kerinduanku sepuasnya dengan ibu. Lagi pula aku sedikit lega karena sudah ada Yudi di toko. "Yun, ibu lihat Arman sangat baik padamu. Ibu merasa sangat lega, Yun!" ucap ibu di kala kami memasak untuk makan malam buat bang Arman. Aku tertegun. Iya, bang Arman memang baik. Tapi bang Arman tidak tegas jika itu menyangkut anaknya. Dia sering berlaku tidak adil padaku. Namun kalimat itu aku simpan dalam hati. Aku tersenyum menanggapi perkataan ibu. "Beberapa hari yang lalu, ibu sering melihatmu dalam mimpi. Kamu berjalan pelan menemui ibu. Ibu bisa melihat air matamu. Ibu memanggilmu. Namun kamu cum
Aku tidak terima keluargaku dianggap hanya menghabiskan uang bang Arman. Wajahku tegang. Aku harus mengatakan perihal ini pada bang Arman. Elisa tidak juga kapok sejak dia memfitnahku, sekarang dia malah menghina keluargaku. "Kak?" Yudi menatapku dengan rasa tidak enak hati. "Kak, jangan ceritakan masalah ini pada bang Arman, ya!" pinta Yudi. Aku menoleh padanya. "Kenapa, Yud? Bukankah Elisa sudah menghina kamu?" "Aku tidak mau bang Arman tersinggung. Aku juga tidak mau merusak hubungan kakak dengan bang Arman," ucap Yudi. Kata-kata Yudi membuatku terharu. Aku menundukkan wajahku, menyesali dengan ketidakberdayaan aku. Aku masih ingat, bagaimana bang Arman lebih mempercayai Elisa ketimbang aku saat gadis remaja itu memfitnahku. Aku juga tidak yakin, jika ia akan mempercayaiku kali ini. Aku menangis dalam diam. Yudi terkejut mendengar suara isakku yang pelan. Ia berjongkok di depanku dan meraih tanganku. "Kak! Maafkan aku, kak! Seharusnya aku tidak mengatakan hal ini pada kakak.
"Hani!" gumamku nyaris tanpa suara. Mantan istri suamiku itu berjalan menghampiriku. Wajahnya memandang sinis padaku dan ibu. Ibu terperangah melihatnya. "Aku pikir kamu cuma membawa adikmu saja ke sini. Tidak tahunya kamu juga bawa ibumu!" katanya dengan nada mengejek. "Enak, ya! Punya suami kaya. Bisa jalan-jalan, bawa ibu dari kampung pula!" Ia berbicara sambil menarik salah satu sisi bibirnya untuk menunjukkan jika ia merendahkan kami. "Aku tahu, kamu menikah dengan Arman karena berharap bisa hidup enak, kan? Seperti sekarang ini. Jalan-jalan bersama ibumu untuk menghabiskan uang ayah anakku! Dasar wanita gatal! Sukanya sama suami orang!" Ia menghinaku dengan kata-kata kejam.Wajah ibu terlihat keruh. "Siapa dia, Yun?" bisik ibu padaku. "Mantan istri bang Arman, Bu," jawabku. Ibuku terdiam dan tidak berkata apapun lagi. Ia memilih mengabaikannya. Aku juga mengikuti cara ibuku. "Hei! Diajak bicara malah diam!" Hani mulai gusar. Ia berjalan mendekati lesehan tempat kami duduk.
Sepanjang perjalanan pulang ibu hanya diam. Ia tidak banyak bicara sejak kejadian di rumah makan Sunda tadi. Wajahnya tampak di tekuk. Bang Arman berkali-kali mengajaknya bicara, namun ibu hanya menanggapi dengan 'iya' dan 'tidak' saja. Aku menjadi tidak enak hati dengan bang Arman karena sikap ibu. Tapi aku paham kenapa ibu bersikap seperti itu. Wajahnya terlihat marah, entah pada siapa. Entah pada bang Arman atau padaku. Begitu sampai di rumah, ibu langsung masuk ke kamar. Bang Arman menatap padaku. Aku hanya menghela nafas. "Dek, apa ibu marah sama Abang?" tanyanya merasa bersalah. "Tidak tahu, bang. Mungkin ibu hanya kecewa saja," ucapku.Wajah bang Arman tegang dan rahangnya mengeras. "Memang perempuan itu tidak pernah bosan merecoki hidupku," gumamnya geram. Bang Arman menoleh padaku. "Dek, sampaikan maaf Abang pada ibu, ya. Abang merasa tidak enak hati sama ibu," ujarnya khawatir. "Iya, bang," jawabku. Aku hendak berlalu dari hadapan bang Arman untuk menemui ibu di kamar.
Mama tiba-tiba meneleponku dan memintaku melakukan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehku. Aku memang tidak senang ketika mendengar ibu tiriku itu sedang mengandung anak papaku. Tapi aku juga tidak ingin menyakitinya. Aku cuma ingin hidup damai. Masalahku sudah sangat berat yang terkadang membuatku ingin pergi dari dunia ini. Tapi desakan mama membuatku seakan terdoktrin untuk melakukan itu. Mama bilang masalah harta warisan atau apapun itu, aku sungguh tidak peduli. Tapi ucapan mama adalah perintah bagiku. Aku tidak mau mama terus memakiku. Aku berpapasan dengan Tante Yuni. Kami terdiam kaku sejenak. Kemudian Tante Yuni tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan senyum kaku. "Apa kabar, Elisa!" sapa Tante Yuni padaku. "Baik," jawabku singkat lalu kembali ke kamarku. Aku bisa melihat sekilas raut kekecewaan di wajah Tante Yuni. Aku bisa apa? Aku tidak bisa akrab dengannya karena dia itu ibu tiriku. Bangun tidur, aku mendengar suara ribut dan juga tawa. Sepertinya sangat rama
Aku menatap nanar pada semua orang yang memandangku. Mereka menatapku dengan tatapan menyudutkan ku. Wajahku sudah memerah. Laki-laki asing ini begitu kurang ajar. Seenaknya saja dia ikut campur dengan urusanku bersama si Yuni ini. Bukan salahku jika wanita tua itu pingsan. Dia yang terlalu berlebihan. Sudah tahu tua, masih saja sok melawan. Seharusnya para benalu ini kembali ke kampung halamannya. Tidak mau menjadi tatapan orang-orang di kompleks perumahan kumuh ini, aku memutuskan pergi. Hatiku puas karena berhasil menyakiti maduku itu. Aku tetap menganggapnya madu meskipun aku sudah lama bercerai dari bang Arman. Wanita itu sudah membuat kesempatan aku untuk kembali pada bang Arman hilang. Aku mendengar kabar jika bang Arman berhasil membujuk wanita itu kembali bersamanya. Ini membuatku marah. Dan aku semakin marah ketika mengetahui jika wanita kampung itu sedang hamil anak bang Arman. Ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus melakukan sesuatu agar mereka cepat bercerai. Sebenarny
Aku mengejap-ngejapkan mataku begitu sinar putih itu menerpaku, saat aku membuka mata. Aku melihat ruang yang serba putih dan beraroma obat. Aku tahu, sekarang aku sedang berbaring di rumah sakit. "Yun!" Aku menoleh pada suara yang memanggilku. Ibu menatapku dengan wajah cemasnya. Ia menggenggam erat tanganku. "Ibu...?" Aku berucap lemah. "Bagaimana keadaan kamu, nak?" tanya ibu. "Aku tidak tahu, Bu! Tenagaku seakan..terkuras habis," jawabku. "Aduh, Yun! Kamu buat jantung ibu seakan copot. Ibu sudah bilang berkali-kali agar kamu istirahat saja. Tapi kamu keras kepala! Hamil muda malah ikut bantu di warung!" omel ibu. "Jadi ibu tahu kalau Yuni sedang hamil?" Suara bang Arman membuat kami tersentak kaget. Ia menatap ibu dengan pandangan kecewa. Ia juga menatapku dengan pandangan yang sama. "Kenapa kalian tidak memberitahu aku?"Ibu dan aku saling pandang. "Jawab, Yun! Kenapa kamu merahasiakannya pada Abang?" tuntut bang Arman. "Karena Yuni ingin bercerai dari kamu, Man!" jawab
Kehamilanku membuatku susah bergerak. Aku sering kali muntah dan merasa lemas. Padahal aku sudah meminum obat yang mengurangi muntah. Warung lebih sering dikelola ibu, kadang di bantu oleh Yudi dan Rindi. Tubuhku sangat lemas, sehingga aku tidak ikut keluar membantu ibu berjualan. Aku duduk di depan kamarku, yang menghadap langsung ke warung.Jantungku berdetak cepat, ketika melihat bang Arman datang. Seperti biasa ia memesan makanannya. Ibu melayani dengan wajah masam. Aku melihat bang Arman celingukan. Matanya menemukan sosokku yang duduk di depan jendela. Ia tersenyum ketika kami bertatapan. Aku buang muka. Aku mendadak gugup ketika bang Arman datang menghampiriku. Aku segera berdiri dan berjalan ke ranjangku. Aku berbaring dan berharap bang Arman tidak ke sini. "Yun!"Aku terperanjat kaget ketika bang Arman sudah berdiri di depan jendelaku dan memanggilku. Aku pura-pura tidak dengar dan mengabaikannya. "Kamu kenapa tidak membantu ibu jaga warung, Yun? Apa kamu sakit?" tanya b
Aku masih dalam diam ku. Sesungguhnya aku tidak pernah berpikir untuk cerai dan menjadi jadi. Tapi, pernikahan yang kujalani dengan bang Arman juga tidak membuat aku bahagia. "Yun! Apa yang kamu pikirkan lagi? Untuk apa kamu pertahankan laki-laki seperti Arman?!" Ibu menatapku dengan kesal. Begitulah ibu. Jika ibu merasa keputusannya tepat, dia akan terus mendesak ku untuk menjalankannya. Sama halnya saat beliau memaksaku untuk menerima pinangan bang Arman dulu. "Bu, aku tidak tahu, Bu. Aku masih belum siap jadi janda.""Jadi janda bukan suatu aib, Yun. Yang paling penting kebahagiaan kamu. Menikah dengan Arman hanya akan membuat kamu sengsara. Karena Arman masih terikat sama anak dan mantan istrinya. Kamu akan terus dibuat makan hati oleh mereka. Jadi, lepaskan saja Arman itu. Siapa tahu besok kamu dapat jodoh yang lebih baik," bujuk ibuku gencar.Aku kembali terdiam. "Yun!" Ibu menggenggam erat tanganku. "Ibu sedih melihat hidupmu sekarang. Rasanya hati ibu remuk ketika melihat m
Aku menunggu dengan gelisah. Aku sangat cemas hingga air mataku mengalir keluar. Seorang perawat datang menemui ku. "Apa mbak anaknya Bu Yanti?" tanyanya. "Iya, saya!" jawabku cepat. "Bu Yanti sudah stabil kondisinya, mbak. Dokter menyarankan agar Bu Yanti dirawat inap saja sambil melihat perkembangan kondisi kesehatannya. Kami langsung rujuk ke dokter jantung saja ya, mbak," jelas perawat itu padaku."Iy, suster! Lakukan yang terbaik saja buat ibuku," ujarku. "Kalau begitu, silakan di urus administrasinya, mbak!" "Baik, sus!" Aku bergegas ke ruang administrasi rumah sakit. ***Ibu sudah dibawa ke ruang rawat inap. Wajahnya yang tertidur terlihat begitu tenang. Aku meraih tangan ibu dan menggenggamnya kuat. Aku sangat lega karena ibu bisa melewati serangan jantungnya. Jika terjadi apa-apa pada ibu, mungkin aku bisa ikut mati bersamanya. Aku tidak pernah membayangkan akan kehilangan ibuku. Tubuhku masih gemetar ketika mengingat kejadian saat ibu tiba-tiba terkulai lemas.Drrrt..
Namaku Adam, aku seorang guru SMA di sebuah sekolah swasta yang cukup terkenal di kota ini. Setahun yang lalu aku kehilangan istriku yang meninggal karena suatu penyakit. Kami belum sempat punya anak. Meninggalnya istriku sempat membuat aku begitu terpuruk. Hidupku mulai tidak teratur. Aku sering menyendiri dan duduk termenung mengenang Mitha, istriku. Bagiku dia wanita yang sempurna. Cantik, lembut dan juga pandai masak. Sejak kepergiannya, aku tidak lagi makan teratur karena semua yang aku makan tidak sesuai seleraku. Aku hanya makan untuk sekedar menghilangkan rasa lapar, bukan untuk menikmatinya, seperti saat istriku masih hidup. Suatu ketika, aku lewat di gang sebelah. Aku melihat ada warung makan yang baru buka. Warung itu kecil namun terlihat bersih. Aku masuk ke dalam. Seorang wanita muda tersenyum padaku. "Silakan masuk, pak! Mau makan apa?" tanyanya ramah. Aku melirik pada etalase yang memajang aneka masakan. "Ayam bakar, Bu," jawabku sambil duduk di kursi yang sudah dise
Bang Arman selalu datang ke warungku untuk sarapan dan juga makan siang. Padahal aku dan ibu menampakkan wajah tidak suka kami padanya, namun bang Arman terlihat tidak peduli. "Yun! Kamu bilang sama Arman agar dia tidak ke sini terus. Ibu khawatir jika warga salah paham sama kamu. Mereka akan mengira jika kamu perempuan tidak benar," kata ibu ketika bang Arman pulang setelah makan siang di warungku. Aku menghela nafas. "Aku sudah bilang, Bu. Tapi bang Arman bilang jika dia juga berhak beli di warung kita. Aku tidak mau ribut, Bu. Malu sama tetangga," ucapku mengatakan alasanku. Ibu terdiam. Wajahnya terlihat kusut. "Sudahlah, Bu! Lagi pula dia cuma makan saja di sini. Lama-lama Yuni yakin, dia akan bosan sendiri.""Tapi kamu harus memperjelas hubungan kamu dengan Arman, Yun! Jika kamu memang berniat menceraikannya, sebaiknya kamu urus surat perceraian kamu itu. Jika kamu masih ingin menjadi istrinya, kamu tidak boleh tinggal terpisah darinya," nasihat ibuku. Aku terdiam. Sesunggu
"Bang Arman?" Aku tercengang menatap sosok yang ada di hadapanku. Bang Arman berjalan mendekatiku. "Yun!" Ia menyebut namaku dan berusaha tersenyum. Aku hanya membalasnya dengan senyum tipis yang dipaksakan. "Dari mana Abang tahu aku ada di sini?" tanyaku ketus. "Dari Rindi," jawab bang Arman. Mataku mendelik. Rindi melanggar janjinya padaku. "Kamu jangan memarahi Rindi, Yun. Abang hanya mendengar pembicaraannya, jika ia membawa bekal lontong dari warungmu."Aku diam. Aku memang tidak pantas marah pada Rindi. Rindi sangat berjasa padaku. "Untuk apa Abang ke sini?" tanyaku dingin. Aku masih mengingat betapa wajahnya angkuh saat terakhir kali aku melihatnya. "Maafkan Abang, Yun!" pintanya dengan wajah menunduk.Aku terperangah. Sosok angkuh ini ternyata bisa juga meminta maaf. Tapi aku tidak semudah itu terperdaya lagi olehnya. Dia sering kali menyakitiku dan menganggap semua ucapan aku tidak penting. Aku tidak menginginkan suami seperti itu. Lebih baik aku hidup sendiri dari pada