Sejak bang Arman mengizinkan aku ke tokonya, setiap hari aku ke sana bersama bang Arman. Bang Arman menjadikan aku kasir di tokonya yang ada di blok A. Aku pelajari sedikit demi sedikit pekerjaanku sebagai kasir. Aku harus mengenal produk dan harga yang dijual. Juga kode-kode harga yang hanya diketahui oleh bang Arman. Aku juga belajar, bagaimana mencatat penjualan hari ini dan juga laba kotor yang kami peroleh serta merekapnya saat akan tutup toko. Dengan cepat aku bisa menguasainya karena dulu aku pernah bekerja di toko pakaian di kota kelahiranku.
Seorang gadis berpakaian seragam SMA datang ke tokoku. Ia langsung berjalan menuju meja tempat aku duduk. Matanya terbelalak saat melihatku. Ia diam membeku.Aku menatap heran padanya. Aku mencoba tersenyum meskipun terasa canggung dan aneh. Aku bertanya-tanya, siapa gadis ini? Kenapa dia bisa lancang memasuki area kasir tanpa sungkan sedikit pun.Gadis itu hanya menatapku tanpa berniat membalas senyumanku. Aku menoleh pada Rindi. Rindi mengerti maksudku."Lis, ini kak Yuni. Dia.....""Pegawai baru, ya?!" potong gadis itu sambil menatap sinis padaku.Aku terperangah menatapnya. Gadis ini terlihat begitu sombong."Bukan!" bantah Rindi merasa tidak enak hati padaku. "Ini kak Yuni. Kak Yuni ini istri papamu," ucap Rindi memperkenalkan aku.Aku terkejut saat Rindi mengatakan jika gadis sombong di depanku ini ternyata anak bang Arman, yang berarti anak tiriku.Ya, Allah! Melihat sikapnya yang seperti ini, apa mungkin dia mau menerimaku sebagai ibu sambungnya?Mata gadis itu membelalak memandangku. Ia memindai tubuhku dari atas hingga bawah. Aku merasa jengah diperlakukan seperti itu. Namun aku mencoba maklum. Gadis ini masih muda, mungkin berat baginya menerima orang baru di kehidupan ayahnya.Untuk menutupi kekakuan di antara kami, aku berinisiatif mengulurkan tangan untuk mengajaknya salaman. Walau seharusnya dia lah yang mesti menyalamiku, karena aku adalah ibu sambungnya.Tanganku seakan melayang di udara. Gadis itu mengacuhkannya dan menatap sinis padaku meskipun aku sudah memberinya senyuman ramah. Perlahan, aku menurunkan kembali tanganku."Mana papa?" Gadis itu bertanya pada Rindi dan mengabaikan aku.Rindi menatap padaku dan padanya secara bergantian. Ia merasa tidak nyaman karena perlakuan gadis itu padaku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya agar ia tidak memikirkan aku."Ada di toko blok F," jawab Rindi."O," kata gadis itu. Ia berkeliling mengitari toko. Aku kembali ke mejaku dan mengamatinya dari jauh. Sedangkan Rindi mengabaikannya. Gadis itu mengambil sebuah kardigan berwarna toska. Ia mematut-matutnya ke cermin yang ada di sudut toko. Senyum terkembang di bibirnya."Cantik nggak, kak?" tanyanya pada Rindi.Rindi melihat sekilas. "Cantik," jawabnya singkat.Gadis itu tersenyum. "Bungkus, kak!" perintahnya pada Rindi. Rindi mengambil kardigan itu dan membungkusnya ke dalam kantong plastik khusus yang dicetak dengan nama toko.Gadis itu kembali melihat-lihat lagi barang yang ada di toko. Cukup lama ia berkeliling, tapi ia tidak lagi menemukan barang yang sesuai dengan seleranya."Mana bungkusan tadi, kak? Aku pulang saja, ah! Nggak ada yang cantik lagi," ujarnya.Rindi menyerahkan bungkusan itu padanya. Gadis itu langsung pergi tanpa mengatakan apapun. Bahkan ucapan terima kasih kepada Rindi pun tidak.Aku tercengang melihatnya. Aku bingung bagaimana mencatat barang yang diambil gadis itu dengan gratis. Apa aku mencatatnya di bagian penjualan, ataukah tidak perlu mencatatnya? Agar nanti sore aku tidak bingung saat menghitung uang penjualan hari ini. Karena sudah tentu uang yang diterima berkurang dibandingkan barang yang laku terjual."Kak, nanti ditandai saja di barang yang diambil Elisa itu. Pas toko tutup, kakak kurangi penjualan dengan harga barang yang diambilnya," jelas Rindi seakan mengerti dengan kebingunganku.Aku bernafas lega. "Terima kasih, Rin! Untung ada kamu, kalau tidak bisa bingung aku menjelaskannya pada bang Arman," ucapku."Tidak apa, kak. Dia itu memang biasa ke sini buat ambil barang. Apalagi kalau dia tahu ada barang baru. Sudah bisa dipastikan dia datang bersama ibunya," imbuh Rindi."Ibunya? berarti mantan istri bang Arman?" tanyaku ragu.Rindi mengangguk. "Iya, kak. Ibunya nggak kalah sombong dari dia!" ucap Rindi yang kemudian segera menutup mulutnya dengan tangan. Rindi menatapku jengah, sepertinya ia merasa keceplosan berbicara tentang mantan istri bang Arman denganku.Aku tertawa melihat Rindi yang salah tingkah. Melihatku tertawa, Rindi pun terkekeh."Memangnya bang Arman tidak keberatan mereka mengambil barang tanpa seizinnya?" tanyaku."Sebenarnya keberatan, kak. Tapi mau bagaimana lagi. Bang Arman itu lembek kalau sudah berurusan dengan anak dan mantan istrinya itu. Apalagi kalau mantan istrinya sudah menggunakan air mata buaya, bang Arman langsung terdiam dan mati kutu!" cerita Rindi.Aku menghela nafas. Terus terang, aku sedikit takut setelah mendengar cerita Rindi tentang anak dan mantan istri bang Arman. Jika bang Arman bersikap selunak itu, tentulah ia tidak bisa membelaku bila suatu saat aku terlibat konflik dengan mereka. Aku bergidik ngeri. Mudah-mudahan, mereka mengabaikanku. Aku betul-betul tidak mau berurusan dengan mereka, harapku."Kalau tidak salah, bang Arman punya dua anak ya, Rin? Satunya lagi bagaimana?" tanyaku penasaran. Memang selama kami kenalan, bang Arman tidak pernah menceritakan tentang anak-anaknya. Aku bahkan tahu jika anak bang Arman dari istrinya terdahulu itu dua dari Paman Surya."Kalau yang satunya baik, kak. Nggak sombong kayak adik dan ibunya. Namanya Ridho, dia kuliah tahun pertama sekarang. Tapi dia jarang kesini. Palingan dia baru ke sini kalau di suruh papanya untuk membantu saat toko sangat ramai," jelas Rindi.Aku sedikit lega mendengarnya. Setidaknya hanya ada dua orang yang mungkin akan berkonflik denganku. Namun harapan semoga mereka mau menerimaku dengan lapang dada.Aku menceritakan kejadian tadi siang pada bang Arman. Kejadian saat Elisa datang dengan membawa satu kardigan tanpa meminta izin padanya. Wajah bang Arman langsung berubah masam setelah mendengar penuturanku. "Kenapa kamu tidak bilang dulu sama Abang sebelum memberinya kardigan itu?" tanya bang Arman. Ia seakan menyalahkan aku atas perbuatan yang dilakukan putrinya. "Aku tidak tahu, bang. Kata Rindi, dia memang biasa melakukannya," aku mencoba membela diri. "Ya, meskipun dia biasa melakukannya, bukan berarti kamu membiarkannya, dek! Kita bisa rugi jika dia terus melakukan itu!" tukas bang Arman menyalahkan aku. Keningku bertaut menatapnya. Aku jadi tidak mengerti. Kenapa sekarang seakan-akan aku yang mengambil kardigan itu? "Bang, bukan aku yang mengambil kardigan itu. Tapi anak Abang!" ucapku berusaha selembut mungkin untuk meredakan emosinya. "Abang tahu. Setidaknya kamu bisa mencegahnya. Jangan cuma diam seperti patung!" suara bang Arman mulai m
"Dek, apa benar kamu bertengkar dengan mamanya Elisa?" tanya bang Arman saat kami dalam perjalanan pulang. "Sebenarnya bukan bertengkar, bang. Aku hanya menuruti keinginan Abang untuk menjaga harta kita dari orang yang ingin menjarahnya," ucapku. "Apa Abang marah?" tanyaku cemas. Bang Arman tertawa lepas. "Kenapa harus marah, dek? Yang kamu lakukan itu sudah betul. Abang yakin dia tidak akan berani datang lagi ke toko kita," ucap bang Arman masih sambil tertawa. "Abang bangga padamu, dek!"Aku tersenyum senang. Alhamdulillah, bang Arman senang dengan tindakan aku tadi siang. Jika sudah begini, aku akan semakin percaya diri menghadapi mantan istri bang Arman. ***"Dek, hari ini kita tidak ke toko. Kakak sepupu Abang ada acara nikahan. Anaknya yang paling besar sudah dilamar. Kita kesana pagi ini," kata bang Arman ketika kami baru selesai sarapan. "Sekarang hari pestanya, bang?" tanyaku sambil menumpuk piring kotor. "Bukan. Hari ini masak-masak dulu. Tidak banyak masak-masaknya, de
Aku sudah mau menutup tokoku ketika Elisa datang. "Mana uangku?!" tanyanya dengan ketus. Aku menatap bingung padanya. Uang apa yang dia maksud. Aku menunggu ia menjelaskan uang apa yang dia pinta. Namun, Elisa hanya menggoyang-goyangkan tangannya tanda ia tidak sabar. "Uang apa?" tanyaku bingung. Ia mendelik menatapku. Aku memilih untuk mengabaikannya dan terus melanjutkan membantu Rindi dan Anton menutup toko. Elisa menjadi marah. Ia menarik tanganku hingga aku terdorong ke belakang. Melihat itu, Anton dan Rindi menoleh padanya. Wajah mereka tampak geram. Anton berniat membantuku, namun Rindi menarik tangannya dan geleng-geleng kepala. Anton kembali melanjutkan tugasnya menutup toko. "Lo jangan pura-pura bodoh, deh! Jangan mentang-mentang lo udah jadi bini bapak gue, lo bisa menguasai duit bapak gue! Gue nggak akan biarkan itu! Tahu nggak, lo?!" hardiknya kasar. Mataku melebar menatap gadis belia ini. Wajah cantiknya tidak sesuai dengan sikap buruknya. "Aku sudah nanya, uang
"Lima juta, pa!" ucap Elisa lirih. "Apa?!" Mata bang Arman terbelalak mendengar angka yang cukup besar itu. Elisa mendongak menatap papanya. "Iya, pa. Itu sudah termasuk biaya pesawat dan penginapan. Pa, apa aku bilang saja sama wali kelas aku kalau aku tidak jadi ikut?" ucapnya dengan wajah memelas."Kenapa?""Uang itu terlalu besar. Aku bilang saja, jika uang papa tidak cukup. Aku nggak mau dibilang anak tidak tahu di untung," ucap Elisa seraya melirik sinis padaku. "Jangan!" ucap bang Arman cepat. Dia kemudian merogoh kantong di tasnya. Ia mengeluarkan lembaran uang ratusan ribu. Ia menyerahkan pada Elisa. "Ambillah! Ikuti studi tour itu!" ucap bang Arman.Mata Elisa berbinar senang. Ia kemudian memeluk papanya. "Terima kasih, papa. Terima kasih! Tadinya Elisa pikir, papa berubah jika sudah punya istri lagi. Elisa takut papa mengabaikan Elisa dan bang Ridho." "Sampai kapanpun, kamu dan Ridho adalah anak papa. Papa tidak mungkin mengabaikan kalian demi orang lain," ucap bang Arm
Bang Arman menguraikan pelukannya. Ia menatap wajahku dengan tatapan memohon. "Bisakah adek memaafkan, Abang?" tanyanya penuh harap. Aku mengangguk. Ya, dia sudah minta maaf dan aku memaafkannya. Lagi pula tidak baik mengabaikan permintaan maaf seseorang apalagi dari suami sendiri. Wajah sendu bang Arman berubah ceria kembali. Ia tersenyum lebar padaku dan kembali memelukku. "Terima kasih, dek! Hati Abang lega sekarang," ucapnya. Wajahku masih kaku. Sulit bagiku tersenyum ketika hatiku masih sakit. Ya, meskipun aku memang sudah memaafkan bang Arman. Tapi aku butuh waktu untuk kembali bersikap ceria di depannya. "Adek mau makan mie instan?" tanya bang Arman seraya menatapku penuh perhatian. Mendengar pertanyaan bang Arman, aku jadi ingat dengan perutku yang berbunyi dari tadi. "Abang lapar?" tanyaku. Bang Arman mengangguk. "Karena itu Abang buat mie tadi," ia tersenyum. "Adek mau? Biar Abang buatkan," ucapnya. "Tidak baik makan mie malam-malam, bang. Jika Abang mau, aku akan b
"Mau apa kalian ke sini?!" tanya Anton ketus ketika melihat wajah kami. Bang Arman menelan ludah karena merasa tidak enak hati. Ia berusaha tersenyum meskipun terlihat kaku. Sedangkan Anton tetap memperlihatkan raut wajah tidak bersahabat. "Abang....Abang boleh masuk, Ton?" tanya bang Arman berusaha bersikap ramah. Anton hanya mendengus. Ia melipat kedua tangannya di dada tanpa menjawab pertanyaan bang Arman. Bang Arman menghela nafas berat. Sebenarnya ia sudah merendahkan dirinya untuk datang ke sini dan minta maaf. Bang Arman benar-benar menyesal dan mengaku salah. Sehingga ia bisa memaklumi sikap Anton padanya. "Begini, Ton. Abang sudah tahu cerita yang sebenarnya. Abang ke sini mau minta maaf sama Anton karena percaya begitu saja dengan fitnahan anak Abang. Abang tidak mengecek dulu kebenarannya melalui CCTV." Bang Arman menatap Anton dengan wajah penuh harap.Anton hanya diam tanpa ingin menanggapi. "Abang juga membawa Elisa bersama Abang." Bang Arman menarik tangan Elisa ag
Aku sangat bahagia. Aku mengirim pesan pada ibu jika bang Arman akan membayar ongkosnya ke Jakarta. Ibu sangat terkejut dan menolaknya. Ia bilang, ia merasa malu pada bang Arman. Aku mengatakan jika bang Arman memaksa untuk membayarkan ongkos ibu. "Bang, ibu bilang ia sangat berterima kasih pada Abang," laporku. Bang Arman tertawa kecil. "Ada-ada saja ibu ini. Masak seorang anak mengiriminya ongkos, dia pakai berterima kasih segala," tukasnya. Aku tersenyum bahagia melihat ketulusan suamiku pada ibu. ***"Sudah ditransfer uang untuk ibu, dek?" tanya bang Arman siang itu. "Belum, bang. Masih banyak pembeli. Tunggulah! Sebentar lagi!" sahutku sembari membungkus barang yang dibeli pelanggan. "Sudah! Biar Abang yang melayani pembeli. Kamu pergi sekarang mentransfer uangnya. Jangan biarkan ibu terlalu lama menunggu! Transfer sekarang! Biar ibu bisa langsung membeli tiket pesawat hari ini," jelas bang Arman panjang lebar. "Baik, bang! Kalau begitu aku pergi dulu." Bang Arman mengang
Untuk sementara Yudi tinggal bersamaku dan bang Arman sampai dia mendapatkan tempat kos di sekitar lokasi Tanah Abang. Besoknya, Yudi langsung bekerja di toko yang ada di blok A sebagai pengganti Anton. Sementara itu, aku tetap di rumah untuk menemani ibu. Bang Anton sendiri yang memintaku untuk menemani ibu sampai beliau kembali ke kampung. Aku sangat senang mendengarnya. Aku bisa melepas kerinduanku sepuasnya dengan ibu. Lagi pula aku sedikit lega karena sudah ada Yudi di toko. "Yun, ibu lihat Arman sangat baik padamu. Ibu merasa sangat lega, Yun!" ucap ibu di kala kami memasak untuk makan malam buat bang Arman. Aku tertegun. Iya, bang Arman memang baik. Tapi bang Arman tidak tegas jika itu menyangkut anaknya. Dia sering berlaku tidak adil padaku. Namun kalimat itu aku simpan dalam hati. Aku tersenyum menanggapi perkataan ibu. "Beberapa hari yang lalu, ibu sering melihatmu dalam mimpi. Kamu berjalan pelan menemui ibu. Ibu bisa melihat air matamu. Ibu memanggilmu. Namun kamu cum
Mama tiba-tiba meneleponku dan memintaku melakukan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehku. Aku memang tidak senang ketika mendengar ibu tiriku itu sedang mengandung anak papaku. Tapi aku juga tidak ingin menyakitinya. Aku cuma ingin hidup damai. Masalahku sudah sangat berat yang terkadang membuatku ingin pergi dari dunia ini. Tapi desakan mama membuatku seakan terdoktrin untuk melakukan itu. Mama bilang masalah harta warisan atau apapun itu, aku sungguh tidak peduli. Tapi ucapan mama adalah perintah bagiku. Aku tidak mau mama terus memakiku. Aku berpapasan dengan Tante Yuni. Kami terdiam kaku sejenak. Kemudian Tante Yuni tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan senyum kaku. "Apa kabar, Elisa!" sapa Tante Yuni padaku. "Baik," jawabku singkat lalu kembali ke kamarku. Aku bisa melihat sekilas raut kekecewaan di wajah Tante Yuni. Aku bisa apa? Aku tidak bisa akrab dengannya karena dia itu ibu tiriku. Bangun tidur, aku mendengar suara ribut dan juga tawa. Sepertinya sangat rama
Aku menatap nanar pada semua orang yang memandangku. Mereka menatapku dengan tatapan menyudutkan ku. Wajahku sudah memerah. Laki-laki asing ini begitu kurang ajar. Seenaknya saja dia ikut campur dengan urusanku bersama si Yuni ini. Bukan salahku jika wanita tua itu pingsan. Dia yang terlalu berlebihan. Sudah tahu tua, masih saja sok melawan. Seharusnya para benalu ini kembali ke kampung halamannya. Tidak mau menjadi tatapan orang-orang di kompleks perumahan kumuh ini, aku memutuskan pergi. Hatiku puas karena berhasil menyakiti maduku itu. Aku tetap menganggapnya madu meskipun aku sudah lama bercerai dari bang Arman. Wanita itu sudah membuat kesempatan aku untuk kembali pada bang Arman hilang. Aku mendengar kabar jika bang Arman berhasil membujuk wanita itu kembali bersamanya. Ini membuatku marah. Dan aku semakin marah ketika mengetahui jika wanita kampung itu sedang hamil anak bang Arman. Ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus melakukan sesuatu agar mereka cepat bercerai. Sebenarny
Aku mengejap-ngejapkan mataku begitu sinar putih itu menerpaku, saat aku membuka mata. Aku melihat ruang yang serba putih dan beraroma obat. Aku tahu, sekarang aku sedang berbaring di rumah sakit. "Yun!" Aku menoleh pada suara yang memanggilku. Ibu menatapku dengan wajah cemasnya. Ia menggenggam erat tanganku. "Ibu...?" Aku berucap lemah. "Bagaimana keadaan kamu, nak?" tanya ibu. "Aku tidak tahu, Bu! Tenagaku seakan..terkuras habis," jawabku. "Aduh, Yun! Kamu buat jantung ibu seakan copot. Ibu sudah bilang berkali-kali agar kamu istirahat saja. Tapi kamu keras kepala! Hamil muda malah ikut bantu di warung!" omel ibu. "Jadi ibu tahu kalau Yuni sedang hamil?" Suara bang Arman membuat kami tersentak kaget. Ia menatap ibu dengan pandangan kecewa. Ia juga menatapku dengan pandangan yang sama. "Kenapa kalian tidak memberitahu aku?"Ibu dan aku saling pandang. "Jawab, Yun! Kenapa kamu merahasiakannya pada Abang?" tuntut bang Arman. "Karena Yuni ingin bercerai dari kamu, Man!" jawab
Kehamilanku membuatku susah bergerak. Aku sering kali muntah dan merasa lemas. Padahal aku sudah meminum obat yang mengurangi muntah. Warung lebih sering dikelola ibu, kadang di bantu oleh Yudi dan Rindi. Tubuhku sangat lemas, sehingga aku tidak ikut keluar membantu ibu berjualan. Aku duduk di depan kamarku, yang menghadap langsung ke warung.Jantungku berdetak cepat, ketika melihat bang Arman datang. Seperti biasa ia memesan makanannya. Ibu melayani dengan wajah masam. Aku melihat bang Arman celingukan. Matanya menemukan sosokku yang duduk di depan jendela. Ia tersenyum ketika kami bertatapan. Aku buang muka. Aku mendadak gugup ketika bang Arman datang menghampiriku. Aku segera berdiri dan berjalan ke ranjangku. Aku berbaring dan berharap bang Arman tidak ke sini. "Yun!"Aku terperanjat kaget ketika bang Arman sudah berdiri di depan jendelaku dan memanggilku. Aku pura-pura tidak dengar dan mengabaikannya. "Kamu kenapa tidak membantu ibu jaga warung, Yun? Apa kamu sakit?" tanya b
Aku masih dalam diam ku. Sesungguhnya aku tidak pernah berpikir untuk cerai dan menjadi jadi. Tapi, pernikahan yang kujalani dengan bang Arman juga tidak membuat aku bahagia. "Yun! Apa yang kamu pikirkan lagi? Untuk apa kamu pertahankan laki-laki seperti Arman?!" Ibu menatapku dengan kesal. Begitulah ibu. Jika ibu merasa keputusannya tepat, dia akan terus mendesak ku untuk menjalankannya. Sama halnya saat beliau memaksaku untuk menerima pinangan bang Arman dulu. "Bu, aku tidak tahu, Bu. Aku masih belum siap jadi janda.""Jadi janda bukan suatu aib, Yun. Yang paling penting kebahagiaan kamu. Menikah dengan Arman hanya akan membuat kamu sengsara. Karena Arman masih terikat sama anak dan mantan istrinya. Kamu akan terus dibuat makan hati oleh mereka. Jadi, lepaskan saja Arman itu. Siapa tahu besok kamu dapat jodoh yang lebih baik," bujuk ibuku gencar.Aku kembali terdiam. "Yun!" Ibu menggenggam erat tanganku. "Ibu sedih melihat hidupmu sekarang. Rasanya hati ibu remuk ketika melihat m
Aku menunggu dengan gelisah. Aku sangat cemas hingga air mataku mengalir keluar. Seorang perawat datang menemui ku. "Apa mbak anaknya Bu Yanti?" tanyanya. "Iya, saya!" jawabku cepat. "Bu Yanti sudah stabil kondisinya, mbak. Dokter menyarankan agar Bu Yanti dirawat inap saja sambil melihat perkembangan kondisi kesehatannya. Kami langsung rujuk ke dokter jantung saja ya, mbak," jelas perawat itu padaku."Iy, suster! Lakukan yang terbaik saja buat ibuku," ujarku. "Kalau begitu, silakan di urus administrasinya, mbak!" "Baik, sus!" Aku bergegas ke ruang administrasi rumah sakit. ***Ibu sudah dibawa ke ruang rawat inap. Wajahnya yang tertidur terlihat begitu tenang. Aku meraih tangan ibu dan menggenggamnya kuat. Aku sangat lega karena ibu bisa melewati serangan jantungnya. Jika terjadi apa-apa pada ibu, mungkin aku bisa ikut mati bersamanya. Aku tidak pernah membayangkan akan kehilangan ibuku. Tubuhku masih gemetar ketika mengingat kejadian saat ibu tiba-tiba terkulai lemas.Drrrt..
Namaku Adam, aku seorang guru SMA di sebuah sekolah swasta yang cukup terkenal di kota ini. Setahun yang lalu aku kehilangan istriku yang meninggal karena suatu penyakit. Kami belum sempat punya anak. Meninggalnya istriku sempat membuat aku begitu terpuruk. Hidupku mulai tidak teratur. Aku sering menyendiri dan duduk termenung mengenang Mitha, istriku. Bagiku dia wanita yang sempurna. Cantik, lembut dan juga pandai masak. Sejak kepergiannya, aku tidak lagi makan teratur karena semua yang aku makan tidak sesuai seleraku. Aku hanya makan untuk sekedar menghilangkan rasa lapar, bukan untuk menikmatinya, seperti saat istriku masih hidup. Suatu ketika, aku lewat di gang sebelah. Aku melihat ada warung makan yang baru buka. Warung itu kecil namun terlihat bersih. Aku masuk ke dalam. Seorang wanita muda tersenyum padaku. "Silakan masuk, pak! Mau makan apa?" tanyanya ramah. Aku melirik pada etalase yang memajang aneka masakan. "Ayam bakar, Bu," jawabku sambil duduk di kursi yang sudah dise
Bang Arman selalu datang ke warungku untuk sarapan dan juga makan siang. Padahal aku dan ibu menampakkan wajah tidak suka kami padanya, namun bang Arman terlihat tidak peduli. "Yun! Kamu bilang sama Arman agar dia tidak ke sini terus. Ibu khawatir jika warga salah paham sama kamu. Mereka akan mengira jika kamu perempuan tidak benar," kata ibu ketika bang Arman pulang setelah makan siang di warungku. Aku menghela nafas. "Aku sudah bilang, Bu. Tapi bang Arman bilang jika dia juga berhak beli di warung kita. Aku tidak mau ribut, Bu. Malu sama tetangga," ucapku mengatakan alasanku. Ibu terdiam. Wajahnya terlihat kusut. "Sudahlah, Bu! Lagi pula dia cuma makan saja di sini. Lama-lama Yuni yakin, dia akan bosan sendiri.""Tapi kamu harus memperjelas hubungan kamu dengan Arman, Yun! Jika kamu memang berniat menceraikannya, sebaiknya kamu urus surat perceraian kamu itu. Jika kamu masih ingin menjadi istrinya, kamu tidak boleh tinggal terpisah darinya," nasihat ibuku. Aku terdiam. Sesunggu
"Bang Arman?" Aku tercengang menatap sosok yang ada di hadapanku. Bang Arman berjalan mendekatiku. "Yun!" Ia menyebut namaku dan berusaha tersenyum. Aku hanya membalasnya dengan senyum tipis yang dipaksakan. "Dari mana Abang tahu aku ada di sini?" tanyaku ketus. "Dari Rindi," jawab bang Arman. Mataku mendelik. Rindi melanggar janjinya padaku. "Kamu jangan memarahi Rindi, Yun. Abang hanya mendengar pembicaraannya, jika ia membawa bekal lontong dari warungmu."Aku diam. Aku memang tidak pantas marah pada Rindi. Rindi sangat berjasa padaku. "Untuk apa Abang ke sini?" tanyaku dingin. Aku masih mengingat betapa wajahnya angkuh saat terakhir kali aku melihatnya. "Maafkan Abang, Yun!" pintanya dengan wajah menunduk.Aku terperangah. Sosok angkuh ini ternyata bisa juga meminta maaf. Tapi aku tidak semudah itu terperdaya lagi olehnya. Dia sering kali menyakitiku dan menganggap semua ucapan aku tidak penting. Aku tidak menginginkan suami seperti itu. Lebih baik aku hidup sendiri dari pada