Widya menatap foto-foto itu dengan amarah yang terlihat mulai merayap di wajahnya. Jemarinya yang lentik tampak menegang, kala menggenggam kertas foto dengan kekuatan yang nyaris merobeknya. Matanya bergerak cepat dari satu foto ke foto lain, hingga akhirnya berhenti pada satu gambar yang memperlihatkan Rama sedang memeluk Cinta dari belakang kepalanya menunduk, bibirnya hampir menempel di leher perempuan itu. Dan Cinta memejamkan mata seolah menikmatinya dengan penuh gairah.Evita memperhatikan perubahan raut wajah Widya dengan tenang, meskipun ada kegelisahan yang samar di sorot matanya.“Kau yakin ini bukan rekayasa?” tanya Widya penuh keraguan dan tidak percaya.Bagaimana mungkin setelah luka yang dibolehkan oleh Cinta, Rama kembali takluk dan bertekuk lutut pada pesona Cinta.Evita menelan ludah. Napasnya tertahan sejenak. “Saya yakin, Tante,” ujarnya lirih. “Saya tidak akan datang membawa semua ini kalau saya tidak yakin. Saya tahu ini menyakitkan. Tapi… saya pikir Tante berhak
Sepulang dari pertemuannya dengan Evita, langkah Widya terlihat berat. Meski tubuhnya berada di dalam mobil mewah yang melaju nyaman menuju rumahnya, tetapi pikirannya tak henti berputar. Foto-foto itu masih membayang jelas di benaknya, kemesraan Rama dan Cinta, sorot mata anaknya yang penuh gairah dan ketertarikan yang tak terelakkan, seolah menemukan dunianya kembali. Namun bukan itu yang paling membuatnya cemas. Ucapan Evita tentang Cinta sebagai perempuan bayaran, membuat segala harapan dan keyakinannya runtuh satu demi satu. Widya merasa menjadi ibu yang gagal mendidik dan menjaga arah hidup anaknya. Dan lebih dari itu, ia merasa dikhianati oleh masa lalu yang tak pernah benar-benar selesai antara Rama dan Cinta. Sesampainya di rumah, Widya menyambut kehangatan sore yang mulai meredup. Di dalam kamar, Arman sedang duduk bersandar di ranjang. Senyumnya langsung merekah ketika melihat istrinya sudah pulang. “Kamu kelihatan lelah,” ucap Arman pelan sambil meletakkan buku yang
Mendengar perintah sang mama membuat jantung Rama seolah berhenti berdetak sejenak. Dia menduga jika pembicaraan tentang Cinta sudah berakhir, dan setelah dia menemukan perempuan pujaan hatinya restu akan segera tergapai. Ternyata semua tak semudah dugaan Rama. Sang mama masih tetap pada pendiriannya. Rama menatap wajah Widya dengan saksama, mencoba mencari gurauan di wajah itu, namun tak jua dia temukan. Hanya ketegasan bercampur amarah yang terlihat mendominasi. “Mama bilang apa?” tanya Rama pelan, dia ingin mendengar sekali lagi untuk memastikan jika telinganya tidak salah dengar.. “Lepaskan Cinta. Hentikan semua ini sebelum kamu terlanjur jauh. Cinta bukan perempuan yang tepat untukmu,” ucap Widya, nadanya dingin tapi tak bernada marah. Rama menghela napas dalam-dalam, menahan gejolak dalam dadanya. Pencariannya selama ini belum membuahkan hasil, tetapi sang mama sudah memintanya untuk melepaskan Cinta. "Ada banyak perempuan di luar sana, mengapa kau harus memilih pel*c
Suasana pagi di rumah keluarga Narendra terasa lebih hangat dari biasanya. Sinar matahari menembus tirai-tirai putih yang digantung rapi di jendela besar ruang makan. Aroma sup ayam buatan salah satu koki pribadi yang dipekerjakan di rumah mewah itu menyebar ke seluruh ruangan, menciptakan nuansa rumah yang hangat dan akrab.Arman yang baru saja keluar dari kamar, mengenakan kaus hangat dan celana panjang, mematung sesaat di ambang pintu saat melihat Rama keluar dari kamar masa kecilnya.“Rama?” ucap Arman, sedikit terkejut.Rama tersenyum kecil, langkahnya santai. “Pagi, Pa.”“Papa sempat tidak percaya saat mamamu bilang kalau kau menginap. Ternyata dia tidak berbohong.”Rama menarik kursi dan duduk. “Selama Papa belum balik ke perusahaan, aku akan menginap di sini. Biar laporannya lebih cepat. Kita bisa membicarakannya kapan saja."Mereka bertiga berkumpul di ruang makan. Widya sudah menata sarapan dengan rapi, matanya hanya melirik Rama sesekali, tanpa banyak bicara. Arman terseny
Chiara menggigit bibirnya, mencoba menahan sesuatu. Tapi akhirnya air mata itu menetes juga. “Kalau nanti teman-teman aku… ngejek aku, gimana, Ma?” Suara Chiara pelan, terdengar patah-patah. “Bagaimana kalau mereka nggak mau temenan sama aku?” Cinta merengkuh tubuh mungil Chiara ke dalam dekapannya, membiarkan bocah itu menyandarkan kepala di dadanya. “Apapun yang terjadi, jangan jadikan kakimu sebagai penghalang untuk maju." Cinta mengurai pelukan setelah mengakhiri kalimatnya. Dipandanginya wajah polos putrinya dengan saksama. Ada rasa bersalah bercokol di hatinya karena tidak bisa melindungi Chiara dari kecelakaan siang itu. "Dengar, Chia. Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Chia tahu, kaki Chia sakit, jadi Chia harus giat belajar untuk bisa menunjukkan kelebihan lain yang dimiliki Chia. Chia tidak boleh putus asa." "Chia takut, Chia malu, Ma." Cinta menghembuskan napas secara kasar, merasakan beban berat di pundaknya. Bukan hanya memikirkan biaya pe
Bisik-bisik kecil mulai terdengar di antara mereka. "Itu Pak Davin, kan?" "Beneran dia balik ke sini?" "Ngapain dia ke sini lagi?""Penampilannya sekarang beda, ya?"Davin menulikan telinganya dari bisikan-bisikan mantan karyawannya dulu. Saat ada hal yang lebih penting yang harus dia selesaikan.Setelah antrean di kasir mulai mereda dan suasana sedikit lebih tenang, pria itu melangkah mendekati meja kasir. Sosoknya tinggi, tegas, dengan mata tajam yang seolah menyapu setiap sudut ruangan. Davin, mantan suami Anisa sekaligus pemilik lama kafe itu, kini berdiri tepat di hadapan Cinta.Meski tak pernah berkenalan secara langsung, Cinta mengenali pria yang saat berada di hadapannya. Ingatan Cinta berputar saat pertama kali menginjakkan kaki di kafe ini, dia harus menyaksikan perdebatan sengit antara Davin dan Anisa.Davin menyapanya dengan nada singkat. “Bu Cinta?”Cinta mengangguk sopan. “Ya. Ada yang bisa saya bantu?”“Ada hal penting yang harus kita bicarakan,” ucap Davin, langsung
Malam menurunkan sunyinya pelan-pelan, memeluk bangunan kafe yang kini telah sepi. Lampu-lampu temaram di sudut-sudut ruang memantulkan bayangan yang tenang di dinding kayu. Setelah memastikan Chiara sudah benar-benar terlelap di kamarnya, Cinta melangkahkan kakinya ke tempat Tiara sedang duduk berselonjor di sofa kecil dekat dapur, menyeruput teh hangat yang baru saja ia seduh.Cinta ikut duduk di sampingnya, menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Tadi siang Davin datang.”Tiara melirik, sedikit terkejut namun tak sepenuhnya heran. “Pak Davin? Maksudnya… mantan bos besar?”Cinta mengangguk pelan. “Dia minta kerja. Katanya Farah sebentar lagi melahirkan, dan dia butuh penghasilan tetap.”Tiara menghela napas panjang, meletakkan cangkirnya di atas meja kecil di depan mereka. Ia menatap Cinta dengan sorot tajam namun penuh kepedulian. “Mbak Cinta serius mempertimbangkannya?”“Aku masih bingung,” jawab Cinta jujur. “Mau nolak kasihan, mau terima juga gimana. Mbak ingat pesan
Rama menarik napas panjang, berusaha meneguhkan fokus meski pikirannya berkelindan antara paparan proyek dan kabar dari Selo Ardi. Rama tetap berdiri tegap di hadapan jajaran direksi dan calon investor yang duduk menyimak. Seorang investor senior dari Jepang, Mr. Takahashi, mengangkat tangan.“Mr. Rama, bagaimana Anda memastikan teknologi energi surya ini dapat diimplementasikan secara efisien di iklim tropis seperti Indonesia, mengingat musim hujan yang panjang?”Rama tersenyum tenang. “Pertanyaan yang sangat baik, Mr. Takahashi. Kami telah bekerja sama dengan mitra teknologi dari Eropa dan Singapura untuk menciptakan panel surya dengan sistem penyimpanan energi yang lebih efisien. Dengan baterai lithium-iron phosphate generasi terbaru, daya tetap bisa disuplai selama 48 jam bahkan tanpa sinar matahari. Kami juga sudah menguji prototipe di Jawa Barat dengan hasil yang sangat menjanjikan.”Salah satu petinggi lokal, Pak Ardiansyah, menyusul bertanya, “Bagaimana dengan kepercayaan mas
Suara ketukan di kaca mobilnya yang semakin keras menyadarkan Rama dari lamunannya. Dilihatnya wajah mungil Chiara menempel di kaca mobilnya, dan Cinta tampak berdiri di belakangnya.“Om Rama!”Beberapa kali Rama menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Dia merapikan penampilannya, berharap dirinya tidak terlalu berantakan, padahal Cinta meninggalkannya tidak terlalu lama.Tadi, setelah Cinta turun dari mobil, dia mengamati dengan saksama langkah anggun Perempuan pujaan hatinya, tetapi hal itu sudah cukup membuat imajinasinya melanglang buana mendaki gunung dan menyusuri lembah kenikmatan.Setelah merasa tenang dan penampilannya lebih baik, Rama membuka pintu mobil dengan senyum lebar. Dia membungkuk, menyambut tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. Dia menggendong Chiara dengan lembut."Maaf, Om ketiduran.""Om Rama, capek?" tanya Chiara dengan wajah yang terlihat khawatir. "Kalau begitu biar Mama yang saja yang menyetir," sambungnya dengan polos.“Tidak perlu, Om masih kuat.
Cinta menatap Rama yang terlihat lahap menikmati makan paginya di restoran yang terdapat di hotel tempatnya menginap. Setelah mendapat pesan dari Arman, dia langsung bergerak cepat sebelum masalah semakin membesar dan menjadi skandal.“Aku tidak tahu harus menceritakan masalah ini dengan siapa.” Lirih suara Cinta terdengar penuh kerapuhan. “Menceritakan masalah ini, sama saja menyebarkan aib sendiri.”Rama terlihat kesal, tapi tetap mengunyah makanannya lebih cepat. Dia harus mengisi tubuhnya dengan asupan makanan untuk sumber energi menghadapi semua masalah yang sudah di depan mata.“Seharusnya kau langsung memberi tahu aku.”Cinta menggelengkan kepalanya lemah. Baginya urusannya dengan Rama sudah selesai sesuai kontrak. Dan semua yang terjadi antara dirinya dengan Nora adalah bagian dari risiko pekerjaan yang harus dia terima.Rama menyelesaikan makannya, lalu meraih gelas di hadapannya dan menghabiskan isinya hingga tandas. Dia meletakkan gelas ke meja, agak kasar hingga terdengar
Melihat pintu ruang kerjanya di buka, Arman bergegas mengakhiri pembicaraannya dengan Rama. Seperti janjinya dia langsung mengirim pesan kepada putranya. Ia menarik napas panjang, menatap sejenak layar ponsel sebelum menekan tombol kunci dan menyelipkannya ke dalam saku jas.Langkahnya segera berubah tenang, tegas, seperti tak ada yang mengusik pikirannya pagi itu. Dia menghampiri Widya yang sudah berdiri di ambang pintu ruang kerjanya.Dengan balutan gaun satin lembut berwarna biru langit dan rambut yang tersanggul rapi, Widya menatapnya dengan sorot mata tajam yang tidak bisa ia sembunyikan. Mata itu menyimpan kecurigaan, juga ketidaksetujuan yang sudah sangat dikenalnya.Arman tersenyum tipis, berusaha menetralkan suasana. “Pagi, kamu sudah bangun?”Widya tidak membalas senyuman itu. Ia menyilangkan tangan di dada. “Kamu bicara dengan Rama?”Arman tidak menjawab langsung. Ia hanya menarik kursi dan duduk, mengambil secangkir kopi dari meja. “Ya. Dia minta perpanjangan cuti.”“Dan k
Malam itu kafe sudah lengang. Lampu utama telah dimatikan, hanya menyisakan pencahayaan redup dari lampu-lampu gantung di sudut dapur dan ruang kasir.Di atas meja panjang dekat jendela, Cinta duduk dengan punggung sedikit membungkuk, jari-jarinya sibuk merapikan lembar-lembar catatan pembukuan. Di sebelahnya ada tumpukan kecil uang tunai yang baru saja dihitung, siap untuk digunakan belanja keesokan harinya. Setiap bagian sudah memberikan daftar kebutuhan yang sudah menipis stocknya.Cinta menghembuskan napas pelan. Ia lelah, tapi tetap fokus. Di kamarnya, Chiara sudah terlelap. Hari ini gadis kecil itu terlalu banyak tertawa dan berjalan, hingga tubuh mungilnya menyerah pada kantuk lebih cepat dari biasanya.Tiara datang dari arah dapur, membawa dua gelas minuman hangat. Aroma kayu manis dari wedang jahe menyeruak di udara. Ia meletakkan satu gelas di depan Cinta, lalu duduk di seberangnya sambil memperhatikan sosok yang sudah dia anggap sebagai kakak itu.“Tadi Mas Kevin datang ya,
Kini gantian Cinta yang mendorong pintu kafe dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menahan agar pintu tidak membentur Rama yang berjalan di belakangnya sambil menggendong Chiara yang tertidur pulas. Beberapa karyawan menyapa pelan, menyadari Chiara yang tertidur.Cinta sempat menoleh ke arah Rama dan berbisik, lalu mengulurkan tangannya untuk mengambil alih Chiara.“Terima kasih, biar aku tidurkan sekarang.”Rama menggeleng pelan. “Biar aku antar langsung ke kamarnya. Kamu tunjukkan saja. Kasihan kalau dioper-oper.”Ada ketegasan lembut dalam nada suara Rama. Bukan memerintah, tapi menegaskan niat untuk melindungi. Cinta sempat ingin membantah, tapi akhirnya hanya mengangguk dan berjalan lebih dulu, menuntun Rama melewati lorong sempit yang memisahkan area kafe dan ruang tinggal mereka di belakang.Cinta membuka pintu kamar Chiara dan menyalakan lampu temaram. Ruangan itu kecil, tapi rapi. Ada boneka-boneka kecil di pojok, rak buku mungil berisi cerita anak-anak, dan tempat ti
Rama duduk di dalam mobilnya dengan kepala bersandar di sandaran kursi. Angin dari pendingin ruangan mengusap wajahnya yang masih panas karena pertemuan singkat dan menggantung dengan Cinta. Dia teringat pada pesan sang papa beberapa hari sebelum keberangkatannya menemui Cinta."Kalau kau ingin meraih hati seorang gadis, taklukkan orang tuanya. Tapi kalau dia seorang janda, taklukkan anaknya. Karena anak adalah dunia mereka."Kata-kata itu kini bergema kuat di benaknya, itu sebabnya dia tidak akan menyia-nyiakan sekecil apa pun kesempatan untuk bias dekat dengan Chiara.Tiba-tiba Rama menegakkan posisi duduknya saat melihat Cinta menggandeng Chiara. Ada yang menggetarkan hatinya saat menyaksikan Chiara berjalan dengan langkah yang agak terpincang.Naluri Rama langsung melonjak. Ia turun dari mobil dengan langkah cepat, menghampiri mereka tanpa pikir panjang.Kini Rama sudah berlutut di depan Chiara, sejajar dengan pandangan anak itu. Ia menatapnya lekat-lekat, lalu tersenyum. Senyum y
Layaknya seorang pria sejati Rama membuka pintu kafe dengan tenang, menahannya lebar-lebar agar Cinta bisa lewat tanpa harus menyentuhnya.Cinta menatap Rama sekilas, sejenak, lalu mengangguk kecil. Tak ada senyum, hanya anggukan yang seperti ucapan terima kasih tanpa suara. Rama mengangguk pula, membalas dengan gaya yang serupa.Di belakang mereka, para karyawan yang sejak tadi mengintip dari balik meja kasir dan sela dapur, hanya bisa menatap. Rizka menggigit bibir, lalu melirik pada dua pelayan yang berdiri kaku.“Apa yang terjadi barusan?” bisik salah satu dari mereka.“Entahlah,” jawab Rizka lirih tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.“Semoga Mbak Cinta baik-baik saja, ya?”“Biar bagaimanapun, kafe ini milik Mbak Cinta. Kalau sampai ada apa-apa dengannya, akan berpengaruh kepada nasib kita juga…”Tak ada yang melanjutkan kalimat itu, tapi semua tahu maksudnya. Jika Cinta tidak baik-baik saja, maka semua yang mereka bangun bersama bisa ikut tenggelam. Dan tak ada yang ingin keh
Rama menegakkan posisi duduknya. Tangannya menggenggam erat ujung meja, mencoba menenangkan diri. Terasa bagai ujian berat saat harus menahan gairah, sedangkan perempuan yang diincarnya sudah berada di hadapannya.Beberapa bulan yang lalu Rama bisa berbicara begitu arogan di hadapan Cinta. Saat itu hanya dendam yang menguasai hatinya. Tetapi saat ini terasa begitu berbeda, perasaan cintanya yang tulus membuatnya ingin memperlakukan perempuan di hadapannya dengan baik, jangan sampai melukainya. Dan itu sangat sulit, Rama sangat berhati-hati.Bagi Rama, berbicara di hadapan Cinta lebih sulit daripada bernegosiasi dengan klien, lebih sulit daripada memperoleh kontrak bernilai miliaran. Otak cerdasnya serasa buntu untuk menemukan cara mengungkapkan perasaan dan niat kedatangannya.Sementara itu, tidak beda jauh dengan Cinta. Janda beranak satu itu menunduk dan tidak berani beradu tatap. Dia sungguh menyesali bibirnya yang lancang mengeluarkan desahan."Kalian nyaman tinggal di sini?" tany
Waktu seakan berhenti. Tidak ada suara lain yang terdengar di telinga Rama, selain degup jantungnya sendiri.Ingin rasanya Rama bangkit dari tempat duduknya, berlari dan merengkuh pinggang Cinta. Ingin rasanya menculiknya dan langsung membawanya ke hotel terdekat. Rama sudah tidak sanggup menahan gairah, dia ingin mengulang saat-saat intim bersama Cinta.Tapi akal sehat Rama masih menahannya di kursi, duduk manis hanya menatap, dan menunggu reaksi pertama dari Cinta.Dan Cinta… masih berdiri di tempat. Seolah hatinya belum memutuskan apakah dia harus menghampiri Rama, atau justru kembali melangkah menjauh sebelum semuanya dimulai kembali.“Mbak, tamunya nunggu sudah lama,” ucap Rizka pelan dan ragu-ragu, karena melihat reaksi Cinta yang sangat berbeda. Sangat serius dan ada ketakutan.Cinta mengangguk pelan diikuti hembusan napas kasar. “Ya, aku akan ke sana.”Tidak ada guna lari, karena Rama akan terus mengejarnya. Seperti halnya masalah dengan Nora, dia pun akan menghadapi Rama.Di