Melihat pintu ruang kerjanya di buka, Arman bergegas mengakhiri pembicaraannya dengan Rama. Seperti janjinya dia langsung mengirim pesan kepada putranya. Ia menarik napas panjang, menatap sejenak layar ponsel sebelum menekan tombol kunci dan menyelipkannya ke dalam saku jas.Langkahnya segera berubah tenang, tegas, seperti tak ada yang mengusik pikirannya pagi itu. Dia menghampiri Widya yang sudah berdiri di ambang pintu ruang kerjanya.Dengan balutan gaun satin lembut berwarna biru langit dan rambut yang tersanggul rapi, Widya menatapnya dengan sorot mata tajam yang tidak bisa ia sembunyikan. Mata itu menyimpan kecurigaan, juga ketidaksetujuan yang sudah sangat dikenalnya.Arman tersenyum tipis, berusaha menetralkan suasana. “Pagi, kamu sudah bangun?”Widya tidak membalas senyuman itu. Ia menyilangkan tangan di dada. “Kamu bicara dengan Rama?”Arman tidak menjawab langsung. Ia hanya menarik kursi dan duduk, mengambil secangkir kopi dari meja. “Ya. Dia minta perpanjangan cuti.”“Dan k
Cinta menatap Rama yang terlihat lahap menikmati makan paginya di restoran yang terdapat di hotel tempatnya menginap. Setelah mendapat pesan dari Arman, dia langsung bergerak cepat sebelum masalah semakin membesar dan menjadi skandal.“Aku tidak tahu harus menceritakan masalah ini dengan siapa.” Lirih suara Cinta terdengar penuh kerapuhan. “Menceritakan masalah ini, sama saja menyebarkan aib sendiri.”Rama terlihat kesal, tapi tetap mengunyah makanannya lebih cepat. Dia harus mengisi tubuhnya dengan asupan makanan untuk sumber energi menghadapi semua masalah yang sudah di depan mata.“Seharusnya kau langsung memberi tahu aku.”Cinta menggelengkan kepalanya lemah. Baginya urusannya dengan Rama sudah selesai sesuai kontrak. Dan semua yang terjadi antara dirinya dengan Nora adalah bagian dari risiko pekerjaan yang harus dia terima.Rama menyelesaikan makannya, lalu meraih gelas di hadapannya dan menghabiskan isinya hingga tandas. Dia meletakkan gelas ke meja, agak kasar hingga terdengar
Suara ketukan di kaca mobilnya yang semakin keras menyadarkan Rama dari lamunannya. Dilihatnya wajah mungil Chiara menempel di kaca mobilnya, dan Cinta tampak berdiri di belakangnya.“Om Rama!”Beberapa kali Rama menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Dia merapikan penampilannya, berharap dirinya tidak terlalu berantakan, padahal Cinta meninggalkannya tidak terlalu lama.Tadi, setelah Cinta turun dari mobil, dia mengamati dengan saksama langkah anggun Perempuan pujaan hatinya, tetapi hal itu sudah cukup membuat imajinasinya melanglang buana mendaki gunung dan menyusuri lembah kenikmatan.Setelah merasa tenang dan penampilannya lebih baik, Rama membuka pintu mobil dengan senyum lebar. Dia membungkuk, menyambut tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. Dia menggendong Chiara dengan lembut."Maaf, Om ketiduran.""Om Rama, capek?" tanya Chiara dengan wajah yang terlihat khawatir. "Kalau begitu biar Mama yang saja yang menyetir," sambungnya dengan polos.“Tidak perlu, Om masih kuat.
“Percayalah padaku,” ujar Rama lirih, berusaha meyakinkan Cinta. “Aku akan membereskan ini. Semua. Aku tidak akan membiarkan Chiara mendengar satu pun berita buruk tentang mamanya. Tidak sekarang, tidak selamanya.”“Terima kasih.”Rama masih menggenggam tangan Cinta dengan hangat, seolah ingin memindahkan semua kekuatan dan ketenangannya lewat sentuhan itu.Cinta menunduk, menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia tahu Rama tidak hanya bicara, tapi berjanji. Dan janji dari pria seperti Rama bukan sembarang kata-kata.Rama melirik ke arah Chiara yang sedang tertawa kecil karena sushi kesukaannya disajikan dengan potongan wajah kartun lucu. Gadis kecil itu begitu polos, tak tahu badai tengah mengintai. Dia begitu bahagia di dunianya sendiri. Dunia yang ingin Rama lindungi mati-matian.“Ayo!” ajak Rama lembut. “Kita kembali ke meja. Jangan sampai Chiara tahu kita sedang dalam masalah. Dia butuh kita, tapi lebih dari itu, dia butuh bahagia.”Cinta mengangguk pelan. Mereka kembali berjalan
Lilian menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu saat mendengar pertanyaan Kevin. Ia berbalik perlahan, matanya menyala tajam. Sepatu hak tingginya berdecit halus saat ia kembali masuk ke dalam ruangan, menghampiri meja kerja Kevin dengan tatapan menyala-nyala.“Ulangi!” ucap Lilian lirih, bernada memerintah dan penuh amarah. “Ulangi apa yang baru saja kamu katakana, Kev.”Kevin mengangkat kepalanya. “Mama benar-benar ingin aku rujuk dengan Cinta, meski Mama tahu dia pernah jadi….”“Cukup!” bentak Lilian, suaranya menggema di ruangan berlapis kaca dan kayu mahal itu. “Kamu pikir kamu suci? Kamu pikir kamu lebih baik darinya? Dia seperti ini juga karena kamu!”Kevin terdiam. Matanya menatap mamanya, tak menduga akan mendapat semburan amarah yang begitu dahsyat.“Berapa kali mama harus menjelaskan kepadamu, Kevin? Kamu tahu alasan mama, dan tidak perlu kamu pertanyakan lagi.”Kevin memutar kursi, membelakangi sang mama, lalu menatap kota dari jendela besar di belakangnya. Ada banyak
Di sudut kafe yang mulai lengang, aroma kopi dan wangi kue-kue panggang menyelimuti ruangan. Tiara duduk bersandar di kursinya, memperhatikan Chiara yang duduk di seberangnya. Gadis kecil itu tampak begitu ceria, matanya berbinar-binar saat menceritakan petualangannya hari ini.“Tadi Om Rama jemput aku lagi. Kak. Terus aku diajak makan sushi!” ujar Chiara sambil mengayun-ayunkan kaki kecilnya. Ia mengeluarkan boneka baru, lalu meletakkannya di atas meja. “Ini dikasih Om Rama juga. Lucu, kan?”Tiara tersenyum lembut, tangannya terulur membelai rambut Chiara yang halus. “Lucu banget. Namanya siapa?”“Belum aku kasih nama. Tapi mungkin... Shushi, biar kayak makanan tadi,” katanya sambil tertawa geli, lalu menirukan gaya Om Rama saat menyuapi sushi dengan sumpit.Tiara ikut tertawa pelan, meskipun hatinya terasa sedikit menghangat bercampur perasaan getir. Ia senang melihat Chiara begitu bahagia, tapi di balik sorot mata anak itu, ia bisa merasakan kerinduan yang tak pernah benar-benar pa
Di sebuah rumah megah yang terletak di perumahan elite, Mama Lisa mondar-mandir dengan wajah pucat. Tangannya gemetar memegang ponsel, beberapa kali dia mencoba menghubungi orang-orang penting yang selama ini menjadi tameng untuk bisnis gelapnya.Matanya menatap layar televisi yang menayangkan berita soal penggerebekan besar-besaran terhadap jaringan prostitusi kelas atas. Wajah-wajah para pria yang biasa bermain aman kini tersebar di layar, buram, tapi Mama Lisa tahu pasti siapa mereka.“Astaga… ini gak mungkin. Ini gak pernah terjadi sebelumnya…” gumamnya. Dia menjatuhkan diri di sofa, napasnya terengah.Di meja ruang tamu, puluhan dokumen dan catatan transaksi tercecer. Mama Lisa menatap semua itu dengan pandangan cemas. Ini bukan hanya soal uang. Ini soal nyawa. Orang-orang yang dia layani bukan sembarang orang. Sekali saja mereka merasa tidak puas, hidupnya bisa tamat.Mama Lisa meraih ponselnya lagi, kali ini dengan tangan yang benar-benar gemetar. Dicarinya satu nama di daftar
Ini bukan pertama kalinya bisnis kotor Mama Lisa bermasalah. Tapi yang membuat kali terasa lebih berat, karena sang jendral yang biasa membeckingnya angkat tangan. Selain itu pemberitaan yang begitu cepat menyebar di era media sosial saat ini, membuatnya seolah tidak punya tempat lagi untuk bersembunyi.Tangannya masih memegang map yang terbuka, namun matanya kosong menatap dinding. Dia tidak pernah menduga urusan asmara di masa lalu antara klien dan perempuan yang dia sediakan akan menghancurkan bisnisnya.Rama. Nama itu jadi kunci dari kekacauan ini. Mama Lisa terlalu buta untuk menyadarinya sejak awal, karena mengira pria itu hanya klien biasa yang membutuhkan pelampiasan saja.“Mam, kita harus kabur sekarang, sebelum mereka datang ke rumah ini.”Mama Lisa mengangkat tangan, menyuruh Nora diam. “Mau lari juga harus pakai strategi, lari tanpa rencana itu bunuh diri. Kita belum tahu seberapa besar pengaruh dia.”Mama Lisa mendengus kasar, jika sampai sang jendral angkat tangan sudah
Sore itu langit berwarna kelabu, dan udara terasa lembab seperti habis diguyur hujan sebentar. Di halaman panti asuhan sederhana yang dikelilingi pagar hijau tua, suara tawa anak-anak terdengar dari arah belakang bangunan. Bunda Aminah tengah merapikan berkas donatur saat tatap matanya teralihkan ke mobil mewah yang memasuki halaman panti asuhan.Meski sudah lama tidak datang, tapi Bunda Aminah masih sangat mengenali mobil tersebut. Jenis mobil yang tidak pasaran dan sangat jarang dia lihat.Bunda Aminah bangkit dari duduknya, Bersiap menyambut tamu agung yang datang. Ada senyum santun di wajah tenangnya, menutupi gejolak lain di dadanya.Pintu mobil terbuka perlahan. Sosok perempuan yang berpenampilan elegan turun dari mobil. Rambutnya tersisir rapi, blus krem mahal membalut tubuhnya yang masih terlihat bugar meski usia tidak lagi muda. Aroma parfum mahal samar tercium di udara, meski jarak mereka masih jauh.“Selamat datang bu Widya.” Dengan ramah dan santun Bunda Aminah menyapa tam
Ruang kerja Cinta yang berada di lantai dua menjadi tempat yang dipilih Rama untuk bicara berdua dengan Cinta.Cinta berdiri membelakangi jendela, sinar matahari menyinari sebagian wajahnya, memperjelas sorot mata yang sendu tapi mantap. Rama maju selangkah, ingin rasanya memeluknya dari belakang mencium harum aroma tubuhnya. Tapi Rama berusaha mengendalikan diri, dan hanya menggenggam tangan Cinta.“Cinta…” ucap Rama pelan, tapi tegas, “aku ingin kau jadi istriku. Menjadi ibu untuk anakku, untuk Chiara juga. Aku bersungguh-sungguh dengan segenap hatiku.”Cinta diam beberapa saat. Matanya tertuju ke luar jendela, melihat gedung-gedung lain di hadapannya. Lalu perlahan ia menarik tangannya dari genggaman Rama.“Maaf, Rama…” ucap Cinta lirih, “aku nggak bisa menerima lamaranmu.”Rama terdiam. Seolah angin pun berhenti bergerak. Dadanya terasa sesak.Setelah penantian yang begitu lama, dan segala pengorbanan yang dia berikan, ternyata tidak bisa meluluhkan hati perempuan pujaan hatinya.
Kevin melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang mulai dipadati kendaraan. Pikirannya tak sepenuhnya fokus pada kemudi. Bayangan Cinta dan Chiara terus memenuhi benaknya, wajah ceria Chiara, suara tawanya yang riang, dan Cinta yang kini terasa semakin jauh.Merasa bersalah? Tidak.Kevin hanya bingung bagaimana memberi penjelasan kepada Lilian. Tentu akan banyak penjelasan yang dituntut oleh sang mama atas kegagalannya membawa kembali Cinta dan Chiara.Dalam suasana kebatinan yang sedang tidak baik-baik saja, ponsel Kevin yang terletak di konsol tengah bergetar. Sebuah panggilan masuk, dan tampak nama Maira yang terpampang di layar. Dengan satu tangan tetap di setir, Kevin menekan tombol speaker.“Iya, Maira?”“Maaf mengganggu, Pak.” Kali ini suara Maira terdengar formal, itu artinya ada hal penting yang berhubungan dengan pekerjaan.“Saya hanya ingin mengingatkan, malam ini Bapak ada jadwal makan malam dengan Pak Arvino dari Singapura. Kita akan bahas kelan
Di tempat berbeda, sinar matahari pagi menari pelan di antara tirai vila yang setengah terbuka. Cinta sedang merapikan koper kecil berisi pakaian dan alat bantu jalan milik Chiara.Di sampingnya, bocah perempuan itu duduk di sofa, menggenggam boneka kelincinya erat-erat. Matanya menatap pintu, seolah berharap sosok yang ia nanti tiba-tiba muncul dan membawanya pulang.“Mama,” suara Chiara lirih, nyaris seperti bisikan. “Papa mana? Kok belum jemput kita?”Cinta terdiam sejenak, lalu menoleh lembut. Sebelum ia sempat menjawab, Rama muncul dari dapur kecil dengan dua gelas susu di tangannya. Ia meletakkan satu di hadapan Chiara dan satu lagi di dekat Cinta.“Papa Kevin sedang ada urusan penting, Chia,” ujar Rama pelan, suaranya hati-hati. “Tadi malam dia harus pergi duluan.”Chiara menunduk. Jemarinya bermain di telinga bonekanya, mencoba menahan sesuatu yang tak ia mengerti sepenuhnya.“Tapi Chia belum main sama Papa…” gumam Chiara pelan, terdengar penuh kecewa. “Chia masih kangen, tapi
Rama tersenyum tipis. “Maaf, reflek. Tapi tenang saja, itu tidak akan membuatmu demam.”Meski Rama yakin saat ini hati Kevin sedang panas dingin dengan berbagai praduga yang disulut oleh rambut basahnya.Kevin mendekat, wajahnya makin tegang. “Kau pikir kau sudah menang?”“Menang?” Rama mendongak sedikit, seolah berpikir. “Aku tahu datang bukan tanpa tujuan. Bukan karena kau merindukan anakmu, tapi kau menginginkan ibunya.”“Asal kau tahu, Cinta adalah ibu dari anakku, dan itu akan menghubungkan kami selamanya.”“Tapi Cinta adalah mantan istrimu, jangan lupakan itu!” Tegas Rama membalas menatap langsung ke mata Kevin. “Aku hanya mengisi ruang yang kau tinggalkan. Menyembuhkan lukanya. Mengisi kesepiannya. Menghilangkan rasa takutnya. Semua yang kau abaikan, aku peluk. Itu bedanya kita.”Kevin mengatupkan rahangnya.“Kau bisa meniduri Cinta malam ini, Rama. Tapi dia tetap ibu dari anakku. Aku punya ikatan darah dengan Chiara, dan kau tak bisa beli itu.”Rama tertawa pendek. “Kau benar.
Di kamar yang temaram hanya diterangi cahaya dari lampu tidur, Chiara telah tertidur pulas. Nafasnya tenang, tubuh kecilnya terbungkus selimut hangat. Cinta membelai rambut putrinya pelan, lalu perlahan ingin merebahkan tubuh di sampingnya.Namun sebelum tubuhnya menyentuh kasur, pintu kamar terbuka perlahan. Rama berdiri di ambang pintu. Pandangannya jatuh pada Chiara sejenak, lalu pada Cinta.“Dia sudah tidur?” bisik Rama.Cinta mengangguk. “Pulas sekali. Kelelahan.” Suaranya nyaris tak terdengar.Tanpa banyak bicara, Rama melangkah masuk. Dengan hati-hati, ia meraih tubuh Cinta dan mengangkatnya. Terkejut, Cinta berusaha menolak, tapi Rama tidak menggubris.“Rama, turunkan aku…,” ucap Cinta, panik.“Temani aku malam ini. Seperti dulu,” bisik Rama lirih, dengan langkah lebar dia membawa Cinta ke kamarnya.Sejak terakhir kali menyentuh Cinta, Rama belum lagi melampiaskan hasratnya. Setelah sekian lamanya berpuasa, kini dia mendapat kembali kesempatan itu.Rama merebahkan Cinta di at
82.Rencana makan bersama yang awalnya Kevin bayangkan akan menjadi kesempatan hangat untuk mendekatkan diri kembali pada Cinta dan Chiara, justru berubah menjadi pukulan pelan tapi menyakitkan.Restoran tepi pantai yang mereka datangi begitu indah, dengan suara debur ombak dan aroma laut yang menyatu dengan sajian seafood segar. Meja bundar telah mereka tempati, tapi Kevin sadar sejak langkah pertama mereka masuk, dia terasa seperti tamu tak diundang.Chiara duduk di antara Cinta dan Rama. Bocah itu tertawa riang setiap kali Rama menyuapkan potongan cumi goreng atau membantu Chia menikmati kerrang saus tiram. Sesekali, Rama menyeka sisa saus di pipi Chiara dengan tisu, lalu tertawa kecil sambil mencubit gemas pipi anak itu.Kevin hanya bisa tersenyum kaku. Ia duduk tepat di seberang mereka, mengambil udang satu-dua dan lebih banyak mengaduk saus di piringnya tanpa selera. Tatapannya tertuju pada kebersamaan yang kini terasa asing baginya, padahal dulu, itu adalah dunianya.Setelah me
Langit sore mulai berubah warna, semburat jingga melapisi awan tipis yang berarak. Udara sejuk membelai kulit, dan di depan kafe yang mulai lengang, keempat orang itu keluar bersamaan.Para karyawan Cinta yang melihat kejadian itu hanya diam, tak memberi komentar. Yang mereka tahu, ada hubungan rumit di antara mereka. Dan Chiara dengan segala kepolosannya justru terlihat sangat menikmati kebersamaan yang sebenarnya penuh bara dan gemuruh di dada.Kevin menggendong Chiara, ingin menunjukkan kepada dunia jika dia adalah seorang ayah yang menyayangi anaknya, berusaha menutupi noktah dan cela yang berhasil menghancurkan keluarga bahagianya.Sesekali Kevin mencium pipi Chiara yang tergelak karena geli. Chiara memeluk leher ayah kandungnya erat. Wajahnya di penuhi binar Bahagia, kerinduan yang sudah lama dia pendam akhirnya bisa terluapkan.Sementara itu, di belakang mereka, Rama dan Cinta berjalan pelan sambil bergandengan tangan. Lebih tepatnya Rama yang menggenggam tangan Cinta dengan er
Cinta terdiam. Pandangannya turun ke lantai, lalu ke meja, dan berakhir pada wajah tampan di hadapannya, sosok pria yang selama ini secara terang-terangan menyusun harapan untuk hidup bersamanya. “Kevin baru datang," ucap Cinta sama sekali tidak menjawab pertanyaan. "Chiara sudah lama tidak bertemu papanya, aku tidak tega merusak kebahagiaannya.” "Kau belum menjawab pertanyaanku." Tatap mata tajam dan suara bernada dingin dari Rama, membuat Cinta mengalihkan pandangannya. Sulit bagi Cinta memberi jawaban, bukan karena dia berkeinginan untuk kembali pada Kevin, tapi tidak ingin memberi harapan pada Rama. Untuk alasan, tidak bisa dia ungkap di hadapan Rama. “Jawab aku, Ta!” Lirih, tapi penuh penekanan Tak ada jawaban. Semakin dipaksa, Cinta justru semakin bungkam. Rama menyipitkan mata. “Bagaimana dengan aku?” tanyanya, nyaris berbisik. “Apa kamu juga butuh waktu untuk tahu perasaanku?” Cinta memejamkan mata sejenak. Berat. Semua ini terlalu rumit. Ada Chiara. Ada masa lalu. Ad