Kelas Yoga baru selesai. Di dalam ruangan tersisa dua wanita. Mata Marsha membulat melihat Misella berjalan ke arahnya. Dia baru menyadari Misella ikut kelas Yoga. Keduanya berhadapan, saling memandang cukup lama. "Kerja bagus. Sudah lama bekerja di sini?" Misella berkata lebih dulu untuk mencairkan suasana perang dingin antara keduanya. Dia bersikap tenang, sementara ekspresi Marsha terkejut. Dulu Misella dan Marsha bersahabat, sekarang sudah menjadi musuh. "Aku sudah beberapa bulan bekerja di sini," balasnya. "Untuk apa kamu ikut kelas Yoga?" Marsha bertanya balik. Misella tertawa kecil dengan pertanyaan yang diajukan Marsha. Padahal sudah jelas dulu mereka berdua sering berolahraga bersama. "Sudah lama aku tidak berolahraga. Apa kamu masih berhubungan dengan Alia?" Marsha diam saja. Tidak menjawab. "Kamu masih menguntitku dan melapor pada Alia. Memberi tahu tentang apa yang aku lakukan?" Misella bertanya lagi. Marsha mengalihkan pandangan ke kanan. "Tidak," jawabnya singk
"MAMA ..." teriak Alia. Sesuai janjinya mengunjungi rumah Mama Davina di waktu siang. "Hai, sayang! Akhh ... Kamu sudah datang?!" Davina ikut berteriak, muncul menuruni tangga dengan tergesa-gesa, berlari kecil ke arah putri semata wayangnya lalu memeluk erat untuk melepaskan kerinduan. "Mama sudah kangen berat sama kamu tau." Alia membalas pelukan hangat itu. Kedatangannya telah ditunggu Mama tercinta. "Alia juga, Ma." Pelukan terlepas. Davina mencium kening Alia dengan penuh kasih sayang. "Bagaimana keadaan kamu sayang selama tinggal di apartemen Belleza?" tanyanya, suara terdengar sangat khawatir pada Alia. "Aman, Ma. Aku dan Abian merasa nyaman tinggal di apartemen," jawab Alia, berucap meyakinkan agar Davina tidak mengkhawatirkan dirinya. "Mama bagaimana? Baik, kan? Papa mana?" Alia mengedar pandangan, rumahnya sepi. "Tentu saja keadaan Mama baik." Davina mengelus kedua lengan Alia. "Papa sedang di luar kota, sayang. Besok pulang," imbuhnya memberi tahu. Alia mengecutkan bi
Note sebelum baca;Karena ada kesalahan isi bab 36, 37. Silahkan log out dari akun terus masuk lagi. Isi bab sudah berubah dari bab 36, 37. Biar nyambung baca bab ini. Thanks you!***"Bukankah kamu sibuk?""Tidak terlalu. Kamu sedang di rumah Mama? Salam buat Mama Davina. Maaf tidak bisa ikut.""Nanti aku sampaikan salamnya.""Aku sudah memesan tempat restoran yang bagus." Ini yang Alia suka. Abian adalah type lelaki tanpa basa-basi dan bertanya, langsung menghubungi mengajak dinner dan sudah reservasi meja."Baiklah.""Okay. Sayang ... Maaf ya untuk tadi pagi, aku tidak bermaksud mengacuhkanmu." Abian sadar telah melakukan kesalahan. "Maka dari itu aku menembus kesalahku, mengajakmu makan ma
Makan malam bersama sang istri berjalan tepat seperti yang Abian bayangkan. The dining room, rumah makan mahal dengan dekorasi mewah.Datanglah waiter cantik memberikan daftar menu makanan western dengan ramah. Tangannya sudah memegang note kecil untuk menuliskan pesanan.Alia mulai membaca menu-menu dari atas hingga bawah, dia cukup mengenali makanan western, begitu juga dengan Abian."Kamu pesan dulu sayang."Alia menurut. "Saya pesan Risotto, croissant, macaroni schotel, cream cake, potato skin, dan orange juice."Waiter mulai mencatat pesanan."Kalau saya, Lasagna, meet lover pizza, finger fish, fruit salad. Minuman samain aja dengan istri saya.""Baik." Waiter membaca pesanan Alia dan Abian agar tidak ada kesalahan menu.
"Ya ... seperti yang dikatakan istriku. Sama sekali tak apa. Lagipula kita sudah lama di sini," papar Abian. "Sebentar lagi kita selesai makan."Jadi, tidak masalah bukan?Misella pun duduk lebih dulu diikuti Fahmi. Waiter mulai memberikan buku menu dan bersiap mencatat pesanan.Fahmi hanya membolak-balik buku menu, dalam hati menyalahkan diri sendiri. Kenapa harus meminta rekomen restoran kepada Tony? Pada akhirnya harus bertemu dengan mantan istri, mau tidak mau menyaksikan keromantisan pasangan itu.Ah, Fahmi merasa sedikit cemburu. Posisi Abian dulu miliknya, sekarang bukan miliknya. "Dari sekian banyaknya restoran kenapa harus dipertemukan di sini, sih?" batinnya dongkol."Sayang kamu mau makan apa?""Samain aja, ya," jawab Fahmi seperti tak berminat memesan
"Kenapa cemberut?" Fahmi bertanya setelah kembali dari toilet, melihat wajah Misella yang ditekuk membuatnya bertanya-tanya. Fahmi sempat melirik ke meja sebelah, tidak ada Alia lagi di sana. Fahmi yakin, Abian mengajak Alia pergi pada saat dia berada di toilet. "Jujur saja, kamu terus mencuri pandangan ke mantan istrimu itu, kan?!" jawab Misella penuh kekesalan. Fahmi berusaha santai, agar tidak terlihat gugup. "Ada apa denganmu hari ini?" "Kamu membuatku sensitif hari ini dan membuatku tidak nyaman." Fahmi menghela napas berat. "Apa kamu masih berpikir aku belum melupakan mantan istriku?" Misella diam. "Dengar. Aku sudah melupakannya, sayang. Sekarang memulai hidup baru denganmu, bukan? Percayalah." Misella mengangguk berpura-pura untuk percaya. Dia me
Satu bulan kemudian.Pukul 22.00, malam.Misella putus asa ketika Kayla tak berhenti menangis. Wanita itu kewalahan mengurus bayi satu hari penuh, sebab baby sister sedang mengambil libur satu hari penuh."Ku mohon... berhentilah menangis."Sudah berbagai cara menenangkan Kayla agar tidak menangis, tetap saja tak mampu membuat bayi itu diam, malahan tangisan semakin keras.Tangan Misella terulur untuk menyentuh dahi Kayla. Panas."Jangan-jangan Kayla sakit demam," gumamnya.Seketika Misella panik sendiri, tidak tahu harus berbuat apa saat putrinya sakit demam. Berjalan mondar mandir dengan kekhawatiran dan wajah panik sambil menggendong Kayla. Agak kesal sebab di unit apartemennya yang luas itu
“DIAM! BERHENTILAH MENANGIS!” Misella bak orang gila menyuruh Kayla untuk tidak menangis.Mata Fahmi melebar dengan apa yang Misella lakukan pada putrinya. Melihat Kayla yang hampir kehabisan napas, Fahmi segera menarik tangan Misella dengan cengkraman kuat.“APA-APAAN KAMU INI, HAH?!” Suara Fahmi tidak kalah keras. “KAMU INGIN MEMBUNUH ANAKMU SENDIRI? IYA?! GILA KAMU!”Fahmi tidak percaya dengan kelakuan Misella terhadap Kayla. Lelaki itu menjambak rambut Misella dengan keras hingga terdengar rintihan kesakitan.“L-lepaskan!” Misella baru menyadari kehadiran Fahmi saat suara keras menggelegar. Dia memandang Fahmi dengan penuh amarah dan mencakar tangan Fahmi agar melepaskan jambakan rambut.Fahmi melepaskan jambakan dengan tarikan kuat