AKU LELAH
TITIK LELAH
PART 5
“Abah kecewa dengan kalian!” ucap Abah dengan nada suara yang memang terdengar sangat kecewa. Semua menunduk.
Abah memang jarang marah, tapi sekali marah mengerikan. Membuat lawan seolah tak kuasa menatapnya.
“Maafkan saya, Bah!” ucap Mas Budi. Aku melirik ke arah Abah. Bibirnya terlihat menyungging tipis.
“Maaf? Apa kesalahanmu meminta maaf?” tanya Abah. Entah apa maksud Abah. Ruangan ini terasa mencekam.
Aku melirik ke arah Mas Budi, ia nampak nyengir dan seolah bingung. Sepuluh jemarinya terlihat saling menautkan.
“Kenapa diam? Yang namanya meminta maaf, jelas memiliki kesalahan. Apa kesalahanmu? Apa permintaan maafmu itu hanya cari muka?” tanya Abah, dengan nada suara yang sangat terdengar berwibawa di telingaku.
Aku melirik lagi ke arah Mas Budi, ia nampak semakin nyegir.
“Bah, anaknya minta maaf, kok, di persulit,” ucap Mbak Luna. Hemm ... sebagai status menantu, menurutku dia cukup berani. Aku melirik ke Abah lagi. Senyum tipisnya menyungging lagi.
“Dipersulit? Masa’ seperti itu mempersulit? Bukannya Budi yang mempersulit? Apa susahnya menjawab apa kesalahan dia? Apa memang tak mengakui kesalahan dia?” balas Abah. Mbak Luna terlihat sedikit memainkan bibirnya.
“Kalian itukan anak sekolah. Mana mungkin Abah bagi-bagi warisan. Orang Abah masih hidup!” ucap Abah. Aku lihat sorot matanya, mengedarkan pandangan tajam, ke semua yang ada di sini.
“Kami masih memiliki sedikit harta saja, kalian tak peduli dengan kami. Nggak bayangin kalau kami ini memang kere,” ucap Emak.
Jleb.
Ucapan Emak terasa menembus jantung. Menampar keras menurutku. Entah kalau bagi yang lain.
“Betul yang di bilang Emak kalian. Abah sengaja mengirim surat kepada kalian semua dengan perihal warisan, agar Abah tahu, bagaimana sifat kalian. Hemmm ... ternyata datang semua tanpa terkecuali. Dan kamu Bima, sebelum tahu kami bagi-bagi warisan, kamu nggak mau ke sini mengantar anak istrimu. Giliran di telpon Luna, secepat kilat sampai ke sini. Malu Abah melihat sikap lelakimu itu!” ucap Abah.
Aku melirik ke arah Mas Bima, ia terlihat menyeka dahinya. Ia masih menunduk, mungkin ia malu.
“Maaf, Bah!” hanya itu jawaban Mas Bima.
“Apa kesalahanmu?” tanya Abah balik. Mas Bima terlihat nyengir.
“Minta maaf itu nampaknya gampang sekali, ya! Tapi saat di tanya apa kesalahannya, berat sekali mengakui,” ucap Abah.
Lagi, ucapan Abah memang terasa menembus jantung. Tapi, memang benar kata Abah. Banyak orang yang mau minta maaf, tapi seolah susah mengakui kesalahannya. Kalau aku bilang, hanya kata maaf di bibir, tapi sebenarnya hati tak mengakui kalau ia bersalah. Kasarnya ngomong hanya untuk pantes-pantes saja.
“Sudahlah! Abah putuskan, tak akan Abah bagi warisan! Yang bisa menerima sedikit harta ini adalah kalian yang mau merawat Abah dan Emak, hingga nyawa kami kembali ke Sang Pencipta. Nggak peduli anak ataupun cucu. Bahkan orang lain sekalipun. Yang mau merawat Abah dan Emak, dialah yang berhak,” ucap Abah.
Seketika bibir ini tersenyum, lega! Setidaknya menurutku keputusan Abah telah tepat. Karena dari sini, aku pun jadi tahu bagaimana anak dan menantu Abah.
Abah terlihat beranjak dari duduknya. Kemudian berlalu menuju ke teras depan.
“Budi! Bima! Emak kecewa sama kalian! Sampai Abah mengakhiri, kalian tak mau mengakui kesalahan!” ucap Emak, kemudian juga ikut berdiri. Mengikuti langkah Abah.
“Ish ... bisa-bisanya Abah ngeprank kita. Orang tua macam apa itu!” ucap Mbak Luna lirih.
“heh, Mbak! Intropeksi diri! Kamu itu yang menantu macam apa? Mertua sakit nggak mau tahu. Mertua bagi warisan, garcep! Enak saja nyalahin Abah!” balas Lastri.
“Kasihan, ya! Udah datang ke sini, bawa oleh-oleh buanyak, sok manis juga, ternyata Abah hanya ngeprank. Aku lega, sih. Karena aku juga tak mau, Abah bagi warisannya sekarang. Kalau di bagi sekarang, bisa-bisa menjauhi Abah dan Emak semua!” balasku, sengaja menyindir. Bagi yang merasa tersindir.
“Apa maksudmu? Kamu menyindirku?” tanya Mas Bima.
“Iya, kamu menyindirku juga?” tanya Mas Budi juga.
“Eh, kalian merasa? Baguslah! Jadi tak perlu menjelaskan!” balasku. Raut wajah Mas Bima terlihat memerah. Kudekatkan bibir ini di telinga lelaki yang masih bergelar suamiku itu.
“Katanya rumah orang tuaku reot. Tapi, mau datang ke sini karena dengar bagi warisan. Ngarep juga rumah reot ini? Eh, walau rumah Abah reot, tapi lokasi tanah Abah ini memang strategis, ya! Laku mahal kalau di jual!” bisikku.
Mas Bima mendelikan mata. Aku tersenyum menjatuhkan. Tak mungkin ia akan berteriak kasar, seperti yang ia lakukan di rumah. Karena di sini ada semua saudaraku.
Ya, selama ini aku selalu menutupi kesalahannya. Jadi ia selalu nampak manis di mata semua saudaraku.
“Mbak Ratih! Aku juga lega, Abah nggak jadi bagi warisan. Karena tadi ada yang udah ngarep dapat warisan paling banyak. Karena merasa suaminya anak laki-laki Abah satu-satunya. Ha ha ha,” ledek Lastri, kemudian menggelegarkan tawa.
“Nah, iya, Tri ... kasihan, ya! Mudah-mudahan saja nggak gila, ha ha ha,” balasku juga ikut tertawa lepas. Karena aku memang sangat puas. Karena memang sudah berniat tak akan kembali ke rumah Mas Bima, makanya sesukaku juga aku berkata. Tak takut kena semprot sampai rumah.
Ya, selama ini hanya hawa takut yang aku rasakan. Takut kalau aku melakukan sedikit kesalahan, dan di maki sama Mas Bima ketika sampai rumah. Karena ada salah atau pun tidak, aku tetap salah di mata lelaki ini.
“Kita pulang sajalah, Mas! Panas aku di sini! Apa juga yang mau di tunggu lama-lama. Nggak jadi bagi warisan ini,” ucap Mbak Luna.
“Iya,” balas Mas Budi. Entahlah, ramuan apa yang di berikan Mbak Luna ke Mas Budi. Sehingga Mas Budi nurut seperti itu.
“Hemm ... yang takut keluar dari rok istrinya!” sindir Lastri.
“Lastri! Jaga ucapanmu!” sungut Mas Budi.
“Loh, emang aku ngomongin kamu? Orang aku ngomong sama suamiku, kok,” balas Lastri. Merasa tak berdosa.
“Sudahlah, Mas! Nggak penting ngeladeni mereka. Rezky! Ayo kita pulang!” terika mbak Luna.
“Kok, pulang? Aku masih kangen sama adik Azkia!” balas Rezki, yang mana memang Rezki terlihat sangat sayang dengan adik sepupunya itu.
“Kapan-kapan main lagi! Kita pulang!” balas Mbak Luna.
“Hemmm ....” balas Rezki yang seolah berat untuk pulang. Dengan langkah terlihat tak bersemangat ia mendekati orang tuanya.
************
Semua sudah pulang. Tinggal aku dan Mas Bima. Mas Bima memang ngajak pulang, tapi aku memang tak mau.
“Terakhir kalinya aku memintamu pulang! Jangan ngarep aku akan memintamu lagi!” ucap Mas Bima.
“Mau terakhir kali atupun nggak, aku sudah memutuskan tetap tak mau pulang! Aku tak akan menjilat ludahku sendiri! Lagian aku keluar dari rumahmu, hanya bawa uang dua ratus ribukan? Tak bawa apa-apa. Apa mau aku kembalikan uang dua ratus ribu itu?” balasku. Raut wajahnya nampak tak suka.
“Owh, jadi kamu menentangku sekarang?” tanya Mas Budi. Kami berada di dalam kamar. Saling bersahutan dengan suara lirih.
“Iya. Kita buktikan saja! Aku keluar dari rumah yang sama-sama kita bangun, karena sadar diri itu tanahnya dari orang tuamu, hanya dengan warisan dua ratus ribu darimu, dan kamu menguasai semua yang kita punya selama menikah, kira-kira siapa yang bisa bangkit! Justru siapa yang terpuruk! Kali ini aku yang menantangmu!” ucapku.
“Jelas akulah! Kamu bisa apa? Paling nikah sama om-om tajir, yang bisa membuat kaya!” ucap Mas Bima, yang terasa sangat merendahkan. Sebenarnya hati ini bergemuruh hebat. Tapi, aku tetap berusaha menguasai diri ini.
“Iyakah? Bisa jadi kamu yang menikahi tante-tante girang banyak duitnya!” ledekku.
“Jangan coba-coba mengancamku!” ucap Mas Bima.
“Kenapa? Takut?” balasku.
“Tak ada kata takut! Karena bagiku, kamu sudah tak penting. Apalagi sudah berani ngelawanku!” balasnya.
“Syukurlah, kalau aku sudah tak penting. Karena kamu memang perlu di lawan! Terlalu lama aku memendam rasa sakit hati, setiap mendengar ucapanmu, yang tak punya hati itu!” ucapku.
“Terserah!” balasnya.
“Terserah juga!" balasku. Yang mana dia memutuskan untuk keluar dari kamar ini. Aku pun juga ikut mengikuti.
“Bima, Abah mau bicara!” panggil Abah, yang mana aku lihat Abah duduk di kursi ruang tamu. Mungkin Abah mendengar gemuruh lirih kami saat di kamar. Tapi entahlah.
Mas Bima nampak menghentikan langkah. Aku lihat ia menghela napas panjang kemudian melangkah mendekati Abah.
Apa yang akan Abah bicarakan?
*********
Part 6Mas Bima sudah duduk tak jauh dari Abah. Pun aku juga ikut duduk. Penasaran juga, apa yang ingin Abah sampaikan kepada Mas Bima.Mas Bima terlihat menundukan pandang. Seperti itulah lelaki ini. Bermuka dua kalau aku bilang. Karena dia selalu terlihat manis jika di depan semua orang, terutama orang tuaku. Tapi terlihat menyebelkan jika di hadapanku sendiri.Abah terlihat menatap tajam ke arah Mas Bima. Tatapan tajam Abah itu, terlihat cukup membuat Mas Bima gerogi. Terbukti ia terlihat tak nyaman duduknya Berkali-kali membenahi posisi.Sebenarnya aku juga merasa tak nyaman. Karena aku sendiri faham betul watak lelaki bergelar suamiku ini. Bisa saja dia berbalik kata, seolah aku yang salah. Hemm ... tapi aku percaya sama Abah. Karena Abah bukan tipikal orang yang gampang percaya. Bukan orang yang menelan mentah-mentah apa yang beliau dengar.Aku lihat Emak keluar dari dapur. Kemudian mengarah kepada kami. Matanya terlihat menyipit. Kemudian memutuskan untuk melangkah mendekat. Du
PART 7"Astagfirullah ... kok pada ribut! Itu Azkia jatuh!" ucap Bulek Tarmi. Seketika aku menoleh ke asal suara."Hah? Azkia jatuh?" teriaku mengulang kata itu. Menghentikanku memukuli Mas Bima. Aku segera melangkah keluar. Ingin melihat kondisi Azkia. Tak kupedulikan semuanya."Hu hu hu, Mama!" tangis Azkia."Astagfirullah!" ucapku. Lutut Azkia terlihat berdarah. Segera aku menggendongnya masuk ke dalam rumah. Ternyata Abah, Emak dan Mas Bima mengikuti dan semua ikut masuk ke dalam rumah lagi."Emak punya bertadin, bentar, Emak ambilkan!" ucap Emak. Aku segera berlalu menuju ke dapur. Mengambilkan air dan kain. Untuk membersihkan darahnya."Sakit, Ma ...." isak Azkia."Sabar, ya, Nak! Tahan, ya! Nggak begitu sakit kok," ucapku menguatkan anak perempuan. Seraya membersihkan luka baru itu."Nggak becus kamu ngurus anak!" sungut Mas Bima. Segera aku menoleh ke arahnya."Kalau aku nggak becus, apalagi kamu!" balasku. Mas Bima terlihat sedikit terkejut. Mungkin ia pikir aku berani melawa
Part 8Tak terasa sudah tujuh hari aku di rumah Abah. Luka di lutut Azkia juga sudah mengering. Selama tujuh hari ini, tak ada mendengar kabar dari Mas Bima. Entah ia masih hidup atau tidak, aku juga tak tahu. Masalah leasing motor itu pun aku juga tak tahu.Selama tujuh hari ini juga, aku mencari pekerjaan. Susah juga ternyata, tapi aku tetap semangat. Karena aku yakin, aku pasti bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.Pagi ini aku membantu Emak memasak. Abah sudah ke kebun. Beliau sedang menanam timun dan masih perawatan."Hari ini mau kemana?" tanya Emak, sambil mengupas bawang merah."Cari pekerjaan, Mak!" jawabku. Emak terlihat menghela napas panjang."Cari kerjaan susah, Tih. Mending buka usaha sendiri aja!" saran Emak."Usaha apa Emak? Lagian nggak ada modal!" balasku."Usaha apa yang kamu bisa. Tapi, memang semua tak lepas dari dana," sahut Emak. Aku mengangguk pelan."Iya, Mak. Makanya Ratih cari kerjaan dulu. Cari modallah istilahnya," balasku."Emak hanya bisa bantu doa, Ndu
Part 9"Maaf, apa anda melihat orang ini?" tanya lelaki berbadan tegap, seraya menyodorkan selembar foto. Foto perempuan yang menabrakku tadi."Emm, nggak!" jawabku tetap berusaha terlihat santai. Agar ia tak curiga."Maaf mengganggu. Kalau melihat orang ini, tolong segera hubungi nomor ini, karena akan mendapatkan imbalan!" ucap lelaki itu, seraya menyodorkan kartu nama. Segera aku menerimanya."Imbalannya apa?" tanyaku polos."Uang." jawabnya."Berapa?"" Yang jelas banyak!" jawabnya."Owhh ... baiklah!" balasku. Lelaki berbadan tegap itu kemudian berlalu, aku lihat ia terus bertanya-tanya dan melakukan hal yang sama kepada semua orang yang ia lihat. Hemm ... siapa sebenarnya perempuan tadi?"Terimakasih," ucap perempuan itu mendekatiku. Tadi ia bersembunyi di antara bangunan kosong. Aku mengedarkan pandang."Semua orang mencarimu, karena ada imbalan yang besar jika berhasil menemukanmu!" ucapku. Perempuan lusuh itu terlihat mengangguk.Aku segera melepas cardigan yang aku pakai. Me
PART 10"Kamu itu kesurupan apa gimana? Datang-datang main tampar adikmu!" sungut Emak. Mas Budi dan Bu Putri yang masih saling beradu pandang akhirnya saling melepas pandangan. Bu Putri berlalu menuju ke kamarku begitu saja. Tanpa pamit. Entahlah, ada hubungan apa mereka.Mas Budi kembali menatapku. Dengan memegangi pipiku yang masih terasa panas, kubalas tatapan itu. Rasanya sakit hati sekali."Luna nangis-nangis pulang dari sini! Karena ucapan Ratih!" jelas Mas Budi."Emang kapan Luna ke sini?" tanya Emak."Tadi pagi," jawab Mas Budi."Benar Ratih? Mbakmu ke sini tadi pagi?" tanya Emak dan aku mengangguk."Emang kamu ngomong apa?" tanya Emak."Mbak Luna duluan, Mak, yang nyindir-nyindir! Kayak biasanya gitulah," jawabku."Halaah ... alasan! Pinter banget ngomong. Mau aku gampar lagi mulutmu itu? Biar bisa sopan dengan kakak iparmu!" sungut Mas Budi. Ya Allah ... segitunya dia membela istrinya."Ya, silahkan kalau mau nampar! Silahkan! Ni ... ayok tampar lagi!" balasku seraya menyod
KEKACAUANPART 11"Mbak cukup!" teriakku lantang. Karena semakin ke sini, aku semakin geram dan muak dengan tingkah Mbak Luna yang semakin tak berwibawa dan menurutku semakin ke kanak-kanakan.Mbak Luna seketika diam, menghentikan aksinya menarik-narik Bu Putri. Menoleh ke arahku dengan mata mendelik. Seolah tak suka aku berteriak lantang.Kalau biasanya aku segan dan tak enak hati dengan Mas Budi, karena membentak istrinya yang sok cantik ini, tidak untuk kali ini. Karena Mas Budi juga sama saja kayak Mbak Luna. Sama-sama semakin membuatku muak."Heh ... nggak sopan teriak-teriak sama orang yang lebih tua!" sungut Mbak Luna. Kuhela panjang napas ini."Emang, Mbak pikir, Mbak itu udah paling sopan? Ngaca! Intropeksi diri!" balasku. Makin mendelik saja matanya itu."Jelas lebih sopan aku dari pada kamu! Kamu yang harusnya ngaca! Dan kamu juga yang harusnya istropeksi diri!" sungut Mbak Luna semakin menjadi."Iyakah? Teriak-teriak di rumah Mertua malam kayak gini, apakah itu sopan?" tan
PENJELASANPART 12"Sebaiknya jangan cerita di sini, Bah! Karena menurut Ratih sudah tak aman!" ucapku, kemudian kuedarkan pandang, untuk memastikan semua masih baik-baik saja. Karena hati semakin tak enak."Benar kata Ratih!" sahut Emak yang juga ikutan mengedarkan pandang. Mungkin juga merasakan perasaan yang sama.Abah terlihat menghela napas sejenak, kemudian mengangguk pelan."Tapi, kalau rumah kosong total, mencurigakan. Jadi tetap harus ada yang tinggal," ucap Abah. Aku mengangguk."Biar Emak aja yang tinggal. Nanti Emak bisa Abah ceritakan," ucap Emak. Abah mengangguk."Gimana menurutmu, Nduk?" tanya Abah dengan tatapan, mengarah ke Bu Putri."Saya nurut saja. Karena saya sendiri bingung mengambil keputusan," jawab Bu Putri. Memang kalau yang mengalami masalah, pasti akan susah mengambil keputusan. Jadi menurutku memang lebih nurut, selama masih masuk logika."Ok, kalau gitu kita segera bersiap. Ratih, pinjamkan baju-bajumu untuk ganti Putri. Kita segera berangkat ke rumah alm
PART 13Bu Putri menggantungkan ucapannya di udara. Aku dan Abah saling beradu pandang, saling penasaran juga tentunya."Segitu beratnya ingin bercerita?" tanya Abah. Bu Putri dengan cepat menggeleng."Nggak Bah. Cuma masih menata hati saja, terlalu berat ganjalan di dalam sini," jawab Bu Putri.Aku masih bersabar untuk menunggu. Karena aku sendiri jika berada di posisi Bu Putri juga belum tentu setegar dia."Emm ... aku mulai dari masalah aku jadi buronan mereka dulu saja," ucap Bu Putri mengambil keputusan. Abah terlihat mengangguk pelan."Silahkan!" balas Abah. Yang mana aku lihat sedang membenahi jaketnya. Hawa dingin semakin menusuk."Nama saya Putri Marendra. Anak tunggal Putra Aksa Marendra," jelasnya terlebih dahulu. Abah terlihat melipat kening."Astaga ... kamu anaknya Pak Putra Aksa Marendra?" tanya Abah seolah memastikan. Bu Putri mengangguk pelan."Iya, Abah ... Abah kenal dengan Papa saya?" tanya balik Bu Putri. Abah masih terlihat tercengang."Siapa yang tak kenal denga
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda