Bab 4
"Mbak, aku ini ada salah apa, sih, sama kamu?" sungutku, perempuan berbadan semox itu terlihat masih mengutak atik gawainya. Aku tak ingin ia menelpon Mas Bima. Bisa hancur semuanya. Memang lah ipar satu ini suka sekali cari gara-gara denganku.
"Nggak ada salah, sih ... karena aku kan kakak ipar yang baik, jadi selalu memaafkanmu, walau kamu tak meminta maaf, padahal kamu selalu membuat kesalahan, karena ketemu kamu saja itu sudah salah," ucapnya santai tapi membuat hati dan otak ini terasa mendidih.
Kutarik napas ini kuat-kuat, kulepaskan perlahan. Mengatur emosi yang sudan naik ke ubun-ubun. Terasa ingin aku jambak-jambak rambut smootingnya itu. Dan ingin aku maki ia kasar-kasar.
"Emmm, nomor Bima masih yang ujungnya 78 nggak, ya?" tanyanya semakin membuat panasnya hati ini terasa ingin meledak.
"Mbak, kalau aku ke sini, tanpa bersama Mas Bima, apa urusannya denganmu? Kalau Mas Bima nggak ikut kesini, itu artinya dia lagi sibuk! Banyak kerjaan!" ucapku asal, masih terus mengontrol amarah.
"Masa', sih, say? Kok, aku nggak percaya, ya? Kamu suka bohong, sih ... jadi aku nggak gampang percaya!" balasnya. Semakin membuat napas ini memburu.
"Assalamualaikum!" terdengar suara salam. Segera aku menoleh ke arah salam itu. "Waalaikum salam."
"Mbak Ratih ....!" teriak Lastri. Anak bungsu Abah dan Emak. Ia langsung berhambur memelukku. Seolah pelukan rindu yang aku aku rasakan.
"Lastri! Apa kabar?" tanyaku masih erat ia memelukku.
"Makin cantik dong!" balas Lastri. Aku mengulas senyum kemudian melepas pelan pelukan kami.
"Duh ... aku mau meluk kakak ipar juga dosa nggak, sih?" ledek Miko. Suami Lastri.
"Hemmm ...." lirik Lastri, membuat Miko garuk-garuk kepala. Kemudian ia berjabat tangan denganku dan Mbak Luna.
"Eh, Mbak Luna! Apa kabar? Masih waras kan?" tanya Lastri yang juga memeluk Mbak Luna. Lastri memang seperti itu, lebih ceplas ceplos di banding aku.
"Seperti yang kamu lihat! Makin sukses lah ... dan makin di sayang oleh masmu!" jawab Mbak Luna tak mau kalah.
"Owwh ... iyakah? Syukur kalau gitu," jawab Lastri kemudian duduk di kursi dan diikuti suaminya.
"Kalian ini, berdua terus ... emang nggak bosen? Cuma kalian looo yang belum punya anak!" ucap Mbak Luna. Selalu itu yang ia bahas jika bersama Lastri. Karena memang di situ kelemahan Lastri.
Ya, Mbak Luna memang suka membahas yang menjurus ke kelemahan orang.
"Emm, Mbak Luna tadi ke sini nggak lupa bawa obatnya kan? Udah di minum belum obatnya?" balas Lastri. Aku ingin ketawa rasanya. Karena melihat raut wajah Mbak Luna, yang seketika merasa muram.
"Eh, Abah sama Emak mana?" tanya Miko, seolah ingin mengalihkan pembicaraan. Karena aku juga tahu, pembahasan anak, bagi yang belum punya anak itu masalah sensitif.
"Ke makam Mbah!" jawabku singkat.
"Owh ...."
"Sabar dong, Ko ... emmm, gitu tak sabarnya yang mau dapat warisan dari Mertua. Ha ha ha," ledek Mbak Luna. Pokokny apapun yang keluar dari mulut Mbak Luna memang bikin darah tinggi. Entahlah, nasib kami mendapatkan ipar modelan begini. Tapi nyatanya Mas Budi cinta mati sama ini orang.
"Emm, kayaknya yang nggak sabar Mbak Luna, deh ... iyakan?" balas Lastri. Mbak Luna terlihat mencebikan mulutnya.
"Eh, kalian jangan macam-macam sama aku, bentar lagi hidupku akan lebih sukses di banding kalian-kalian Karena tentu saja Mas Budi akan mendapatkab warisan lebih banyak di banding kalian, ha ha ha," sahut Mbak Luna. Sungguh cewek ini benar-benar tak punya malu. Mungkin urat malu sudah ia gadaikan. Eh,
"Tuh, kan, obatnya belum di minum! Minum obat dulu sana, Mbak! Biar nggak oleng!" ledek Lastri masih dengan nada santai. Tapi, memang seperti itu menghadapi Mbak Luna. Karena kalau lawannya ngegas ia tambah suka. Karena memang itu yang ia cari.
Mbak Luna seketika mencebikan mulutnya.
"Eh, Mas Bima mana? Apa ia ikut ke makam?" tanya Miko.
"Nggak, Ko! Mas Bima nggak bisa ikut, lagi banyak urusan!" jawabku asal. Miko terlihat manggut-manggut.
"Eh, iya ... hampiiir saja lupa. Aku kan tadi mau nelpon Bima. Makasih, Miko, udah kamu ingetin!" ucap Mbak Luna, yang membuat hati ini mendidih lagi.
Mbak Luna terlihat beranjak dan berlalu menuju ke teras depan. Aku lihat Miko nampak bingung.
"Ada apa, Mbak?" tanya Miko padaku. Kuhela napas panjang, kemudian menggeleng. Terserahlah, lagian model Mbak Luna kayak gini, nggak bisa di tekan. Semakin nggak di perbolehkan dia akan semakin maksa dan kepo maksimal.
Kalau pun Mas Bima datang, setidaknya aku sudah ceritakan semua ke Abah dan Emak. Pasti mereka mikir saat mau mengambil keputusan. Kalau Mas Bima memang datang.
<span;>**************
Abah, Emak dan Mas Budi baru saja pulang dari makam. Mbak Luna juga baru saja mematikan gawainya. Ia memang menghubungi Mas Bima.
Aku hanya bisa pasrah, semoga Mas Bima tak datang ke sini. Kalau ia datang, entahlah, aku tak tahu apa yang akan terjadi.
Aku melihat Azkia dan Rezki saling bermain. Kami semua sudah berkumpul di ruang tamu. Sudah aku siapkah teh hangat dan camilan dari mereka yang membawa.
Mas Budi membawakan buah-buahan dan roti. Kalau Lastri membawa gula, kopi dan lain-lain.
Hanya aku yang datang tanpa membawa apa-apa. Karena hanya memegang uang dua ratus ribu. Untung aku datangnya duluan, jadi mereka tak tahu kalau aku hanya datang orang saja.
"Assalamualaikum," terdengar suara salam. Kami semua segera menoleh ke arah salam itu.
Benar, Mas Bima yang mengucap salam itu. Membuatku serasa sesak napas semakin menjadi.
Aku menoleh ke arah Mbak Luna. Ia terlihat menyunggingkan senyum. Seolah senyum puas yang ia lemparkan.
Kuteguk ludah ini sejenak. Berharap Abah tak jadi membagikan warisannya.
"Abah, Mas Bima kayaknya ke sini. Tadi di telpon Mbak Luna, dan Mbak Luna bilang kalau hari ini, Abah mau bagi-bagi warisan." ucapku tadi kepada Abah. Yang jelas tanpa sepengetahuan Mbak Luna dan lainnya.
"Eh, Bim, masuk!" pinta Mas Budi. Mas Bima tampak mengangguk polos. Membuatku semakin muak. Aku lihat lelaki bermuka dua ini, membawakan banyak sekali oleh-oleh. Seolah kayak mau nyogok, agar mendapatkan banyak bagian.
Dasar! Giliran tahu Abah mau bagi-bagi warisan, banyak sekali ia membawa oleh-oleh. Biasanya juga datang dengan tangan kosong.
"Maaf, Bah, kemarin banyak sekali pekerjaan, jadi saya tak bisa mengantar Ratih, dan Ratih nggak sabar ingin ke sini, jadi dia berangkat sendiri bersama Azkia," ucap Mas Bima. Hanya alasan saja. Tak ada aku mencium punggung tangannya seperti biasanya. Karena hati ini sudah terlanjur sakit.
Abah hanya manggut-manggut saja!
"Emm, kalian semua bisa berkumpul tanpa satu pun yang absen karena tahu Abah mau bagi warisan," ucap Abah memulai.
Abah memandangi satu persatu anak dan menantunya.
"Abah kok ngomong gitu, sih? Kok gimanaaa gitu ya di dengar!" ucap Mbak Luna.
"Faktanya kan? Padahal saat Abah sakit, yang menemani Abah hanya Ratih dan Lastri. Yang lain jangankan datang menjenguk. Nelpon menanyakan kabar saja tidak," jelas Abah. Seolah menampar halus anak dan menantunya.
Mas Budi terlihat nyengir. Karena dia anak laki-laki yang di bangga-banggakan, tak datang saat Abah sakit. Terlalu nurut di bawah rok istrinya.
"Kalian tahu, sengaja Abah undang kalian ke sini, dengan surat yang berisi akan bagi warisan, itu hanya alasan saja! Karena sejatinya Abah ingin tahu, bagaimana aslinya anak-anak Abah!" ucap Abah. Cukup membuat kami semua terkejut.
Tapi, aku justru merasa legaaa ....
"Tapi, Bah! berarti Abah ingkar janji! Abah membohongi kami semua?" ucap Mbak Luna. Malah dia yang ngeyel dan seolah merasa di permainkan.
Abah terlihat mengulas senyum. Gantian aku yang yang tersenyum puas memandang Mbak Luna yang angkuh itu. Terlihat raut wajah tak suka yang ia pancarkan.
***********
AKU LELAHTITIK LELAHPART 5“Abah kecewa dengan kalian!” ucap Abah dengan nada suara yang memang terdengar sangat kecewa. Semua menunduk. Abah memang jarang marah, tapi sekali marah mengerikan. Membuat lawan seolah tak kuasa menatapnya. “Maafkan saya, Bah!” ucap Mas Budi. Aku melirik ke arah Abah. Bibirnya terlihat menyungging tipis.“Maaf? Apa kesalahanmu meminta maaf?” tanya Abah. Entah apa maksud Abah. Ruangan ini terasa mencekam.Aku melirik ke arah Mas Budi, ia nampak nyengir dan seolah bingung. Sepuluh jemarinya terlihat saling menautkan.“Kenapa diam? Yang namanya meminta maaf, jelas memiliki kesalahan. Apa kesalahanmu? Apa permintaan maafmu itu hanya cari muka?” tanya Abah, dengan nada suara yang sangat terdengar berwibawa di telingaku.Aku melirik lagi ke arah Mas Budi, ia nampak semakin nyegir. “Bah, anaknya minta maaf, kok, di persulit,” ucap Mbak Luna. Hemm ... sebagai status menantu, menurutku dia cukup berani. Aku melirik ke Abah lagi. Senyum tipisnya menyungging lag
Part 6Mas Bima sudah duduk tak jauh dari Abah. Pun aku juga ikut duduk. Penasaran juga, apa yang ingin Abah sampaikan kepada Mas Bima.Mas Bima terlihat menundukan pandang. Seperti itulah lelaki ini. Bermuka dua kalau aku bilang. Karena dia selalu terlihat manis jika di depan semua orang, terutama orang tuaku. Tapi terlihat menyebelkan jika di hadapanku sendiri.Abah terlihat menatap tajam ke arah Mas Bima. Tatapan tajam Abah itu, terlihat cukup membuat Mas Bima gerogi. Terbukti ia terlihat tak nyaman duduknya Berkali-kali membenahi posisi.Sebenarnya aku juga merasa tak nyaman. Karena aku sendiri faham betul watak lelaki bergelar suamiku ini. Bisa saja dia berbalik kata, seolah aku yang salah. Hemm ... tapi aku percaya sama Abah. Karena Abah bukan tipikal orang yang gampang percaya. Bukan orang yang menelan mentah-mentah apa yang beliau dengar.Aku lihat Emak keluar dari dapur. Kemudian mengarah kepada kami. Matanya terlihat menyipit. Kemudian memutuskan untuk melangkah mendekat. Du
PART 7"Astagfirullah ... kok pada ribut! Itu Azkia jatuh!" ucap Bulek Tarmi. Seketika aku menoleh ke asal suara."Hah? Azkia jatuh?" teriaku mengulang kata itu. Menghentikanku memukuli Mas Bima. Aku segera melangkah keluar. Ingin melihat kondisi Azkia. Tak kupedulikan semuanya."Hu hu hu, Mama!" tangis Azkia."Astagfirullah!" ucapku. Lutut Azkia terlihat berdarah. Segera aku menggendongnya masuk ke dalam rumah. Ternyata Abah, Emak dan Mas Bima mengikuti dan semua ikut masuk ke dalam rumah lagi."Emak punya bertadin, bentar, Emak ambilkan!" ucap Emak. Aku segera berlalu menuju ke dapur. Mengambilkan air dan kain. Untuk membersihkan darahnya."Sakit, Ma ...." isak Azkia."Sabar, ya, Nak! Tahan, ya! Nggak begitu sakit kok," ucapku menguatkan anak perempuan. Seraya membersihkan luka baru itu."Nggak becus kamu ngurus anak!" sungut Mas Bima. Segera aku menoleh ke arahnya."Kalau aku nggak becus, apalagi kamu!" balasku. Mas Bima terlihat sedikit terkejut. Mungkin ia pikir aku berani melawa
Part 8Tak terasa sudah tujuh hari aku di rumah Abah. Luka di lutut Azkia juga sudah mengering. Selama tujuh hari ini, tak ada mendengar kabar dari Mas Bima. Entah ia masih hidup atau tidak, aku juga tak tahu. Masalah leasing motor itu pun aku juga tak tahu.Selama tujuh hari ini juga, aku mencari pekerjaan. Susah juga ternyata, tapi aku tetap semangat. Karena aku yakin, aku pasti bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.Pagi ini aku membantu Emak memasak. Abah sudah ke kebun. Beliau sedang menanam timun dan masih perawatan."Hari ini mau kemana?" tanya Emak, sambil mengupas bawang merah."Cari pekerjaan, Mak!" jawabku. Emak terlihat menghela napas panjang."Cari kerjaan susah, Tih. Mending buka usaha sendiri aja!" saran Emak."Usaha apa Emak? Lagian nggak ada modal!" balasku."Usaha apa yang kamu bisa. Tapi, memang semua tak lepas dari dana," sahut Emak. Aku mengangguk pelan."Iya, Mak. Makanya Ratih cari kerjaan dulu. Cari modallah istilahnya," balasku."Emak hanya bisa bantu doa, Ndu
Part 9"Maaf, apa anda melihat orang ini?" tanya lelaki berbadan tegap, seraya menyodorkan selembar foto. Foto perempuan yang menabrakku tadi."Emm, nggak!" jawabku tetap berusaha terlihat santai. Agar ia tak curiga."Maaf mengganggu. Kalau melihat orang ini, tolong segera hubungi nomor ini, karena akan mendapatkan imbalan!" ucap lelaki itu, seraya menyodorkan kartu nama. Segera aku menerimanya."Imbalannya apa?" tanyaku polos."Uang." jawabnya."Berapa?"" Yang jelas banyak!" jawabnya."Owhh ... baiklah!" balasku. Lelaki berbadan tegap itu kemudian berlalu, aku lihat ia terus bertanya-tanya dan melakukan hal yang sama kepada semua orang yang ia lihat. Hemm ... siapa sebenarnya perempuan tadi?"Terimakasih," ucap perempuan itu mendekatiku. Tadi ia bersembunyi di antara bangunan kosong. Aku mengedarkan pandang."Semua orang mencarimu, karena ada imbalan yang besar jika berhasil menemukanmu!" ucapku. Perempuan lusuh itu terlihat mengangguk.Aku segera melepas cardigan yang aku pakai. Me
PART 10"Kamu itu kesurupan apa gimana? Datang-datang main tampar adikmu!" sungut Emak. Mas Budi dan Bu Putri yang masih saling beradu pandang akhirnya saling melepas pandangan. Bu Putri berlalu menuju ke kamarku begitu saja. Tanpa pamit. Entahlah, ada hubungan apa mereka.Mas Budi kembali menatapku. Dengan memegangi pipiku yang masih terasa panas, kubalas tatapan itu. Rasanya sakit hati sekali."Luna nangis-nangis pulang dari sini! Karena ucapan Ratih!" jelas Mas Budi."Emang kapan Luna ke sini?" tanya Emak."Tadi pagi," jawab Mas Budi."Benar Ratih? Mbakmu ke sini tadi pagi?" tanya Emak dan aku mengangguk."Emang kamu ngomong apa?" tanya Emak."Mbak Luna duluan, Mak, yang nyindir-nyindir! Kayak biasanya gitulah," jawabku."Halaah ... alasan! Pinter banget ngomong. Mau aku gampar lagi mulutmu itu? Biar bisa sopan dengan kakak iparmu!" sungut Mas Budi. Ya Allah ... segitunya dia membela istrinya."Ya, silahkan kalau mau nampar! Silahkan! Ni ... ayok tampar lagi!" balasku seraya menyod
KEKACAUANPART 11"Mbak cukup!" teriakku lantang. Karena semakin ke sini, aku semakin geram dan muak dengan tingkah Mbak Luna yang semakin tak berwibawa dan menurutku semakin ke kanak-kanakan.Mbak Luna seketika diam, menghentikan aksinya menarik-narik Bu Putri. Menoleh ke arahku dengan mata mendelik. Seolah tak suka aku berteriak lantang.Kalau biasanya aku segan dan tak enak hati dengan Mas Budi, karena membentak istrinya yang sok cantik ini, tidak untuk kali ini. Karena Mas Budi juga sama saja kayak Mbak Luna. Sama-sama semakin membuatku muak."Heh ... nggak sopan teriak-teriak sama orang yang lebih tua!" sungut Mbak Luna. Kuhela panjang napas ini."Emang, Mbak pikir, Mbak itu udah paling sopan? Ngaca! Intropeksi diri!" balasku. Makin mendelik saja matanya itu."Jelas lebih sopan aku dari pada kamu! Kamu yang harusnya ngaca! Dan kamu juga yang harusnya istropeksi diri!" sungut Mbak Luna semakin menjadi."Iyakah? Teriak-teriak di rumah Mertua malam kayak gini, apakah itu sopan?" tan
PENJELASANPART 12"Sebaiknya jangan cerita di sini, Bah! Karena menurut Ratih sudah tak aman!" ucapku, kemudian kuedarkan pandang, untuk memastikan semua masih baik-baik saja. Karena hati semakin tak enak."Benar kata Ratih!" sahut Emak yang juga ikutan mengedarkan pandang. Mungkin juga merasakan perasaan yang sama.Abah terlihat menghela napas sejenak, kemudian mengangguk pelan."Tapi, kalau rumah kosong total, mencurigakan. Jadi tetap harus ada yang tinggal," ucap Abah. Aku mengangguk."Biar Emak aja yang tinggal. Nanti Emak bisa Abah ceritakan," ucap Emak. Abah mengangguk."Gimana menurutmu, Nduk?" tanya Abah dengan tatapan, mengarah ke Bu Putri."Saya nurut saja. Karena saya sendiri bingung mengambil keputusan," jawab Bu Putri. Memang kalau yang mengalami masalah, pasti akan susah mengambil keputusan. Jadi menurutku memang lebih nurut, selama masih masuk logika."Ok, kalau gitu kita segera bersiap. Ratih, pinjamkan baju-bajumu untuk ganti Putri. Kita segera berangkat ke rumah alm
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda