PART 10
"Kamu itu kesurupan apa gimana? Datang-datang main tampar adikmu!" sungut Emak. Mas Budi dan Bu Putri yang masih saling beradu pandang akhirnya saling melepas pandangan. Bu Putri berlalu menuju ke kamarku begitu saja. Tanpa pamit. Entahlah, ada hubungan apa mereka.
Mas Budi kembali menatapku. Dengan memegangi pipiku yang masih terasa panas, kubalas tatapan itu. Rasanya sakit hati sekali.
"Luna nangis-nangis pulang dari sini! Karena ucapan Ratih!" jelas Mas Budi.
"Emang kapan Luna ke sini?" tanya Emak.
"Tadi pagi," jawab Mas Budi.
"Benar Ratih? Mbakmu ke sini tadi pagi?" tanya Emak dan aku mengangguk.
"Emang kamu ngomong apa?" tanya Emak.
"Mbak Luna duluan, Mak, yang nyindir-nyindir! Kayak biasanya gitulah," jawabku.
"Halaah ... alasan! Pinter banget ngomong. Mau aku gampar lagi mulutmu itu? Biar bisa sopan dengan kakak iparmu!" sungut Mas Budi. Ya Allah ... segitunya dia membela istrinya.
"Ya, silahkan kalau mau nampar! Silahkan! Ni ... ayok tampar lagi!" balasku seraya menyodorkan pipiku. Kulihat tangannya mengepal. Mungkin menahan amarah.
"Budi! Kamu sama Ratih itu kakak adik. Kenal dari kecil, harusnya tahu karakter adikmu! Kalian ini saudara," ucap Abah.
"Justru karena aku tahu karakter dia, Bah! Makanya aku marah. Memang Ratih itu minta di tabok mulutnya. Biar ngerti sopan santun!" sungut Mas Budi. Abah terlihat mengusap pelan wajahnya.
"Emang istrimu itu, ngerti sopan santun?" tanya Abah balik. Mas Budi terlihat terkejut saat Abah tanya seperti itu.
"Apa maksud Abah tanya seperti itu?" tanya balik Mas Budi. Abah terlihat menghela napas panjang.
"Kamu nggak nyadar kalau istrimu itu, nggak punya sopan santun? Bagimu dia sempurna dan terbaik. Tapi, kamu nyalahin adikmu!" ucap Abah. Mas Budi terlihat melipat kening.
"Ya Allah ... Bud ... jangan langsung percaya gitu saja! Kebiasaan kamu itu, selalu menelan mentah-mentah! tanpa mencari tahu dulu kebenaranya," ucap Emak.
"Emak dan Abah, pasti sudah di pengaruhi sama Ratih. Makanya kalian selalu menganggap sebelah mata, apalagi tentang istriku!" tuduh Mas Budi. "Benar kata Ratih, kalian sebagai orang tua nggak bisa adil."
"Kamu yang sudah dipengaruhi buruk sama Luna. Makanya kamu sekaku itu sekarang! Tak percaya dengan adikmu! Dan sekarang juga tak percaya dengan orang tuamu sendiri!" balas Emak.
"Susah ngomong sama kalian! Apapun yang aku ucapkan nggak akan ada benarnya! selalu salah di mata kalian! Selalu Ratih yang benar!" sungut Mas Budi.
"Yasudah kalau kamu menilai kami seperti itu. Yang ada kami juga merasakan hal yang sama denganmu. Kamu yang selalu dan terlalu percaya dengan semua ucapan Luna!" balas Emak.
"Terserah kalian mau ngomong apa! Suatu hari nanti, kalian akan menyesal telah berbuat seperti ini denganku dan Luna!" ucap Mas Budi kemudian segera berlalu. Kemudian dia menghentikan langkahnya. Membalikan badan sejenak.
"Hati-hati kalian dengan Putri Marendra!" pesan Mas Budi, kemudian dia segera berlalu begitu saja tanpa memberikan penjelasan lagi. Aku, Abah dan Emak, saling beradu pandangan bergantian.
Hah? Kenapa Mas Budi pesan seperti itu. Siapa sebenarnya Putri Marendra itu? Sungguh membuat semakin penasaran dengan ini semua.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Emak seraya memegang pundakku. Aku menghela napas panjang.
"Panasnya pipi sudah mendingan, Mak!" jawabku.
"Memang keterlaluan masmu itu," ucap Emak, Abah aku lihat menghela napas panjang.
Ya, bagiku Mas Budi hari ini sangat keterlaluan, dan Mbak Luna, dia memang pintar sekali bermuka dua. Membolak balikan keadaan.
Sialnya, Mas Budi percaya begitu saja. Aku yakin jelas Mbak Luna melebih-lebihkan fakta sebenarnya. Atau malah memang tak sesuai fakta saat ia ngadu ke suaminya.
Hemm ... bisa jadi seperti itu. Karena Mas Budi nampak murka sekali. Entah seperti apa aduan dari Mbak Luna.
*****************
"Bu," sapaku. Bu Putri menoleh. Dia masih diam, kalau tak di tanya duluan, ia tak akan tanya. Menikmati diamnya itu. Entah apa yang ia pikirkan.
"Iya?" balasnya singkat. Aku segera duduk di sebelahnya. Malam semakin larut. Emak dan Abah sudah masuk ke kamarnya. Dan Azkia sudah tidur nyenyak.
"Belum ngantuk?" tanyaku basa basi. Ia menggeleng.
"Nggak bisa tidur! Keinget anak," lirihnya. Hati ini terasa nano nano. Ya Allah ... nggak bisa bayangin kalau aku ada di posisi dia. Terpisah oleh anak, adalah hal yang sangat menyakitkan dari pada apapun.
Berkali-kali aku amati wajah cantik Bu Putri. Dia nampaknya orang baik. Tapi kenapa Mas Budi berpesan seperti tadi?
"Bu, kalau Ibu percaya dengan saya, Ibu bisa berbagi masalah Ibu dengan saya," ucapku. Ia memandangku sejenak. Kemudian menghela napas.
"Hidupku sangatlah berliku," lirihnya. Aku mengangguk pelan.
"Saya siap mendengarkan, itu pun kalau Ibu percaya," balasku.
"Bukannya tak percaya. Tapi saya belum bisa menceritakan. Jika bercerita, hati ini terasa sangat sakit," ucapnya, kali ini dengan mata berkaca-kaca.
"Jangan di paksakan kalau gitu, Bu!" balasku akhirnya.
"Maaf, ya! Kalau hati dan pikiranku sudah tenang, aku pasti ceritakan semuanya. Karena aku percaya denganmu," balasnya. Aku mengangguk dengan melempar senyum tipis.
"Ini sudah malam, suamimu tak pulang?" tanya Bu Putri. Gantian aku yang merasa sesak. Hemmm ... masalahku cuma seperti ini aja sesak jika di bahas. Apalagi masalah Bu Putri. Yang mana sampai menyebarkan info, akan mendapatkan uang jika menemukannya.
"Saya dan suami sudah berpisah," balasku pelan.
"Owh, maaf," ucapnya. Aku mengulas senyum.
"Biasa saja, Bu! Ibu nggak salah, tak perlu minta maaf," balasku.
"Ratih, sekali lagi terimakasih telah membantuku. Mungkin kalau bukan kamu, aku sudah di adukan ke mereka. Karena ada imbalan uang," ucap Bu Putri.
"Nggak semua orang bisa melakukan apa saja demi uang, Bu!" balasku.
"Iya dan saya bersyukur sekali bertemu kamu!" ucapnya. Kemudian meraih tanganku dan sedikit meremasnya.
Bu Putri kemudian mendongakan kepalanya. Seolah menahan air mata yang akan terjatuh.
"Saya seperti ini, karena keteledoran salah satu karyawan saya, dan dia orang terpercaya saya yang menusuk saya dari belakang," ucapnya. Aku melipat kening. Mencerna semua ucapannya.
Kalau dia bilang seperti itu, berarti dia bukan orang sembarangan. Dan nampaknya dia mulai mau membuka sedikit masalahnya.
"Ibu bekerja sebagai apa?" tanyaku.
Dreet dreet dreet ....
Tiba-tiba gawaiku bergetar. Pertanda ada panggilan masuk. 'Mas Bima,' ia dia yang menelponku. Tapi, aku enggan mengangkatnya. Sedangkan pertanyaanku, lenyap gitu saja tanpa ada tanggapan.
"Kok nggak di angkat?" tanya Bu Putri.
"Mas Bima yang nelpon. Ayahnya Azkia," balasku.
"Suamimu?" tanyanya. Aku mengangguk.
"Sekarang masih suamiku, bentar lagi akan jadi mantan suami," balasku.
"Nama suamimu sama dengan nama karyawan yang mengkhianatiku. Hingga membuatku seperti ini," ucap Bu Putri. Aku melipat kening.
Segera aku meraih hape dan mencari foto Mas Bima.
"Ini wajah suami saya!" ucapku seraya menyodorkan gawaiku padanya. Bu Putri segera menerima gawaiku itu.
"Bima Akbar?" ucap Bu Putri dengan mata mendelik.
"Pokoknya aku ingin menampar sendiri mulut Ratih! Aku nggak terima. Dasar adikmu itu nggak punya sopan santun!" tiba-tiba telinga ini, mendengar suara nyerocos Mbak Luna.
Hah? Ngapain malam-malam dia ke sini?
"Tapi, Dek, ini udah malam," telinga ini juga mendengar suara Mas Budi.
Aku dan Bu Putri langsung diam. Tak melanjutkan obrolan.
"Aku tak peduli. Sakit hati sekali sama tingkahnya! Kamu nggak ngerasain apa yang aku rasain!" balas Mbak Luna.
Kreekk ....
Pintu kamar Abah terbuka.
"Ada apa ini malam-malam ribut!" ucap Abah. Aku dan Bu Putri mendekat.
"Maaf, Bah. Ganggu ...."
"Halah ... nggak perlu minta maaf. Ratih yang salah. Ratih yang harusnya minta maaf! Bukan kamu, Mas. Apalagi aku," potong Mbak Luna.
"Salah saya apa?" tanyaku, seketika Mbak Luna mengarah kepadaku. Wajahnya terlihat terkejut, saat melihat Bu Putri.
"Loh ... kamu kok mirip sama poster-poster yang di tempelin di jalanan, ya. Yang bisa menemukanmu, dapat imbalan uang. Waahhh ... rejeki nomplok!" ucap Mbak Luna, yang raut wajahnya berubah drastis. Yang tadi marah-marah, sekarang nampak girang. Kemudian mendekat ke arah kami, tanpa merasa berdosa.
"Untung tadi aku nyimpan nomor dan alamat di poster itu. Ayok aku antar pulang! Biar aku dapat uang itu! Ha ha ha, rejeki istri sholikhah!" ucap Mbak Luna yang membuat Bu Putri nampak kebingungan.
***********
KEKACAUANPART 11"Mbak cukup!" teriakku lantang. Karena semakin ke sini, aku semakin geram dan muak dengan tingkah Mbak Luna yang semakin tak berwibawa dan menurutku semakin ke kanak-kanakan.Mbak Luna seketika diam, menghentikan aksinya menarik-narik Bu Putri. Menoleh ke arahku dengan mata mendelik. Seolah tak suka aku berteriak lantang.Kalau biasanya aku segan dan tak enak hati dengan Mas Budi, karena membentak istrinya yang sok cantik ini, tidak untuk kali ini. Karena Mas Budi juga sama saja kayak Mbak Luna. Sama-sama semakin membuatku muak."Heh ... nggak sopan teriak-teriak sama orang yang lebih tua!" sungut Mbak Luna. Kuhela panjang napas ini."Emang, Mbak pikir, Mbak itu udah paling sopan? Ngaca! Intropeksi diri!" balasku. Makin mendelik saja matanya itu."Jelas lebih sopan aku dari pada kamu! Kamu yang harusnya ngaca! Dan kamu juga yang harusnya istropeksi diri!" sungut Mbak Luna semakin menjadi."Iyakah? Teriak-teriak di rumah Mertua malam kayak gini, apakah itu sopan?" tan
PENJELASANPART 12"Sebaiknya jangan cerita di sini, Bah! Karena menurut Ratih sudah tak aman!" ucapku, kemudian kuedarkan pandang, untuk memastikan semua masih baik-baik saja. Karena hati semakin tak enak."Benar kata Ratih!" sahut Emak yang juga ikutan mengedarkan pandang. Mungkin juga merasakan perasaan yang sama.Abah terlihat menghela napas sejenak, kemudian mengangguk pelan."Tapi, kalau rumah kosong total, mencurigakan. Jadi tetap harus ada yang tinggal," ucap Abah. Aku mengangguk."Biar Emak aja yang tinggal. Nanti Emak bisa Abah ceritakan," ucap Emak. Abah mengangguk."Gimana menurutmu, Nduk?" tanya Abah dengan tatapan, mengarah ke Bu Putri."Saya nurut saja. Karena saya sendiri bingung mengambil keputusan," jawab Bu Putri. Memang kalau yang mengalami masalah, pasti akan susah mengambil keputusan. Jadi menurutku memang lebih nurut, selama masih masuk logika."Ok, kalau gitu kita segera bersiap. Ratih, pinjamkan baju-bajumu untuk ganti Putri. Kita segera berangkat ke rumah alm
PART 13Bu Putri menggantungkan ucapannya di udara. Aku dan Abah saling beradu pandang, saling penasaran juga tentunya."Segitu beratnya ingin bercerita?" tanya Abah. Bu Putri dengan cepat menggeleng."Nggak Bah. Cuma masih menata hati saja, terlalu berat ganjalan di dalam sini," jawab Bu Putri.Aku masih bersabar untuk menunggu. Karena aku sendiri jika berada di posisi Bu Putri juga belum tentu setegar dia."Emm ... aku mulai dari masalah aku jadi buronan mereka dulu saja," ucap Bu Putri mengambil keputusan. Abah terlihat mengangguk pelan."Silahkan!" balas Abah. Yang mana aku lihat sedang membenahi jaketnya. Hawa dingin semakin menusuk."Nama saya Putri Marendra. Anak tunggal Putra Aksa Marendra," jelasnya terlebih dahulu. Abah terlihat melipat kening."Astaga ... kamu anaknya Pak Putra Aksa Marendra?" tanya Abah seolah memastikan. Bu Putri mengangguk pelan."Iya, Abah ... Abah kenal dengan Papa saya?" tanya balik Bu Putri. Abah masih terlihat tercengang."Siapa yang tak kenal denga
IDE UNTUK MASALAHPART 14"Emm, waktu sudah semakin larut. Kalian istirahat dulu. Pembahasan dilanjutkan besok saja. Tetap harus jaga kesehatan, karena kesehatan lebih penting dari pada apapun," titah Abah. Padahal aku sudah penasaran sekali dengan rencana Bu Putri."Benar juga kata Abah, Bu. Lebih baik kita istirahat dulu, kesehatan dan stamina harus terjaga dan stabil," ucapku. Bu Putri mengangguk pelan."Iya. Kita memang harus menjaga kesehatan," balas Bu Putri. Gantian aku yang mengangguk."Kalian istirahat di kamar! Abah di sini saja," ucap Abah."Baik, Bah!" balasku kemudian beranjak. Pun Bu Putri juga ikut beranjak.Aku melangkahkan kaki menuju ke kamar. Bu Putri mengekor di belakangku. Segera aku nyalakan lampu dan aku keluarkan kasur lipat yang ditaruh di dalam lemari. Menggelarnya di atas ranjang.Karena sudah lama tak di tempati, maka ruangan terlihat kotor berdebu."Besok saja kita bersihin, ya, Bu. Penting sekarang istirahat dulu!" ucapku. Bu Putri terlihat tersenyum."Iy
MENEMUI ORANG KEPERCAYAAN.PART 15Dengan mengendarai motor, aku segera meluncur ke alamat yang di berikan Bu Putri. Jujur saja rasa cemas dan khawatir menggelayut di dalam sini, karena meninggalkan Bu Putri seorang diri. Karena dia sedang dalam pencarian ketat.Aku memang baru mengenal Bu Putri, tapi aku sangat mencemaskan dia. Bahkan lebih cemas dibanding dengan masalahku sendiri.Aku sudah berhenti di parkiran kantor milik keluarga Marendra. Bahkan nama kantor tersebut langsung memakai nama Marendra. Luar biasa memang. Tapi siapa sangka, jika di dalam keluarga Marendra saling berebut harta dan kekuasaan.Kuedarkan pandang. Bangunan itu terlihat menjulang tinggi. Mobil berjejer dengan rapi. Mobil kelas menengah ke atas semua.Motor juga berjejer dengan rapi. Mungkin kalau motor untuk yang bekerja sebagai OB di perusahaan Marendra ini.Bismillah, segera aku turun dari motor setelah melepas helm tentunya. Merapikan baju sejenak.Kuamati bajuku. Haduh ... terasa tak pantas masuk ke dal
Menyampaikan SuratPART 16"Jangan bicara di sini! Terlalu berbahaya, karena ada musuh dalam selimut!" ucap Pak Maftuh. Aku mengangguk pertanda menyetujui. "Iya, Pak.""Emm, Dek, maaf, kamu di sini dulu, ya!" pintaku. Karena aku tak mau dia ikut dan tahu semua masalah ini. Karena juga baru kenal."Tapi, Mbak! Daftar OB nya gimana?" tanya balik perempuan muda itu. Pak Maftuh memandang ke arah perempuan muda itu."Temui Pak Hasan di lantai bawah! Kalau mau daftar OB!" saran Pak Maftuh."Owh ... baik, Pak. Terimakasih!" sahut perempuan itu dengan bibir melebar. Kemudian dia segera berlalu masuk ke dalam lift."Ikut saya!" pinta Pak Maftuh dan aku segera mengangguk. Untung tadi aku mendengar percakapan mereka. Jadi aku tahu mana yang benar-benar tulus dan mana yang tidak. Jadi aku tak salah orang, untuk menyampaikan surat itu.Kasihan juga Bu Putri, dalam kondisi terpuruk, salah satu orang kepercayaannya, ada yang menikungnya. Tak bisa membayangkan, jika rekaman ini sampai ke tangan Bu Pu
RINTANGAN DAN TINDAKANPART 17"Ratih!" teriak Mas Bima. Seketika aku menghentikan langkah. Kuurungkan untuk masuk mobil. Kubalikan badan ini perlahan."Ada apa?" tanyaku. Ia terlihat mendekat. Mata ini masih melihat sosok Pak Maftuh berdiri tegap ditempatnya."Pisah denganku, miris sekali nasibmu. Menjadi babu di rumah orang!" maki Mas Bima. Seketika hati ini semakin membuncah. Kuterus mencoba menahan gejolak di dalam sini. Agar tak terpancing.Kusunggingkan senyum tipis di bibir. Berusaha santai, seolah tak merasa sakit hati."Miris? Itukan hanya penilaianmu. Tapi hati ini sangat bahagia bisa terlepas dari lelaki sepertimu!" jawabku santai. Mas Bima terlihat menyeringai, seolah hendak menjatuhkan."Iyakah? Tapi, aku tak percaya! Mana ada orang bahagia kerja jadi babu!" ucapnya."Percaya atau tidak, itu urusanmu, bukan urusanku!" balasku masih terus berusaha santai. Bahkan tetap aku usahakan dengan nada suara tenang."Kamu pasti menyesal memilih pisah dariku!" ucapnya penuh dengan pe
RENCANAPART 18"Makan dulu, Bu!" pintaku. Karena tadi aku sempatkan beli dua nasi bungkus."Terimakasih," balasnya. Aku mengulas senyum."Sama-sama, Bu!" ucapku.Segera aku buka nasi bungkus yang aku beli tadi, dengan lauk ikan Nila bakar. Sama dengan lauk yang aku belikan untuk Bu Putri.Aku segera beranjak. Mengambil mangkuk berisi air untuk cuci tangan. Bu Putri aku lihat sudah membuka nasi bungkusnya."Ini cuci tangannya, Bu!" ucapku. Bu Putri mengangguk."Terimakasih," balasnya."Maaf, Bu. Aku nggak tahu selera Ibu apa. Jadi aku belikan lauk seleraku," ucapku."Pokok makan kenyang! Pokok lauknya halal," sahut Bu Putri. Kemudian dia segera melahap nasi bungkus itu.Hemm ... dia orang kaya, tapi tak sok kaya. Semoga saja memang seperti itu sifat aslinya. Bukan karena dalam kondisi terjepit seperti ini.Aku segera ikut melahap nasi bungkus yang aku beli itu. Karena perut sudah sangat keroncongan.******************"Tih, untung kamu merekam percakapan Revan dan Maftuh," ucap Bu Put
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda