Beranda / Pernikahan / Kamu Berulah, Waspadalah! / Rintangan dan Tindakan. 17

Share

Rintangan dan Tindakan. 17

Penulis: Naimatun Niqmah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

RINTANGAN DAN TINDAKAN

PART 17

"Ratih!" teriak Mas Bima. Seketika aku menghentikan langkah. Kuurungkan untuk masuk mobil. Kubalikan badan ini perlahan.

"Ada apa?" tanyaku. Ia terlihat mendekat. Mata ini masih melihat sosok Pak Maftuh berdiri tegap ditempatnya.

"Pisah denganku, miris sekali nasibmu. Menjadi babu di rumah orang!" maki Mas Bima. Seketika hati ini semakin membuncah. Kuterus mencoba menahan gejolak di dalam sini. Agar tak terpancing.

Kusunggingkan senyum tipis di bibir. Berusaha santai, seolah tak merasa sakit hati.

"Miris? Itukan hanya penilaianmu. Tapi hati ini sangat bahagia bisa terlepas dari lelaki sepertimu!" jawabku santai. Mas Bima terlihat menyeringai, seolah hendak menjatuhkan.

"Iyakah? Tapi, aku tak percaya! Mana ada orang bahagia kerja jadi babu!" ucapnya.

"Percaya atau tidak, itu urusanmu, bukan urusanku!" balasku masih terus berusaha santai. Bahkan tetap aku usahakan dengan nada suara tenang.

"Kamu pasti menyesal memilih pisah dariku!" ucapnya penuh dengan pe
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Rencana. 18

    RENCANAPART 18"Makan dulu, Bu!" pintaku. Karena tadi aku sempatkan beli dua nasi bungkus."Terimakasih," balasnya. Aku mengulas senyum."Sama-sama, Bu!" ucapku.Segera aku buka nasi bungkus yang aku beli tadi, dengan lauk ikan Nila bakar. Sama dengan lauk yang aku belikan untuk Bu Putri.Aku segera beranjak. Mengambil mangkuk berisi air untuk cuci tangan. Bu Putri aku lihat sudah membuka nasi bungkusnya."Ini cuci tangannya, Bu!" ucapku. Bu Putri mengangguk."Terimakasih," balasnya."Maaf, Bu. Aku nggak tahu selera Ibu apa. Jadi aku belikan lauk seleraku," ucapku."Pokok makan kenyang! Pokok lauknya halal," sahut Bu Putri. Kemudian dia segera melahap nasi bungkus itu.Hemm ... dia orang kaya, tapi tak sok kaya. Semoga saja memang seperti itu sifat aslinya. Bukan karena dalam kondisi terjepit seperti ini.Aku segera ikut melahap nasi bungkus yang aku beli itu. Karena perut sudah sangat keroncongan.******************"Tih, untung kamu merekam percakapan Revan dan Maftuh," ucap Bu Put

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Membuntuti. 19

    MEMBUNTUTIPART 19"Ya Allah, Nduk, banyak sekali!" ucap Emak saat aku kasih uang tiga juta rupiah."Uang Bu Putri, Bu! sahutku. Emak terlihat melipat kening."Banyak sekali uangnya? Dapat dari mana? Dia kan keluar dari rumah hanya pakai baju yang menempel di badan?" tanya Emak. Jelas beliau penasaran."Panjang ceritanya, Mak. Tapi Emak tenang saja. Ini uang halal, kok," jawabku."Udah, uangnya buat pegangan kalian saja! Emak masih punya uang, kok," ucap Emak."Ini Bu Putri yang minta, Mak. Lagian kami masih megang tujuh juta. Tadi habis narik sepuluh juta," jelasku."Hah? Banyak amat uangnya? Pasti habis itu isi rekeningnya!" ucap Emak."Banyak, Mak, isi rekening ATM ini. Tadi aku cek isinya hampir sepuluh milyar," jelasku."Hah? Uang semua itu?" tanya Emak nampak terkejut."Iya, uang semua. Aku aja juga kaget, Mak!" jawabku."Astagfirullah ... sebanyak apa, ya, uang sepuluh milyar itu?" tanya Emak."Banyaklah, Mak. Bu Putri itu calon generasi perusahaan Marendra, Mak. Makanya jadi b

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Siapa Yang Membuntuti. 20

    Siapa yang membuntuti?PART 20“Siapa kamu?” tanyaku karena pemakai helm full kaca gelap itu tak jadi membuka kaca helm yang ia gunakan.Dia masih saja diam. Aku amati postur tubuhnya, nampaknya laki-laki. Kuedarkan pandang. Keadaan masih ramai. Kalau ia macam-macam, aku bisa teriak kencang. Jelas tak mungkin, jika tak ada yang menolongku.“Kamu dari tadi buntuti akukan? Kamu siapa? Dan apa maumu?” tanyaku lagi. Walau ia tak menjawab pertanyaanku, tapi rasanya tetap ingin bertanya. Karena sangat penasaran.“Jangan khawatir, tak ada niat jahat,” jawabnya. Kukerutkan kening, memahami suara lelaki itu. Suara siapa? Terdengar tak asing nada suara itu. Ah, entahlah.“Kamu siapa? Buka helmmu!” pintaku.“Sabar!” jawabnya.“Sabar gimana? Kamu itu ngikuti aku. Bikin nggak tenang tahu!” sungutku seraya mendelik.“Jangan mendelik! Ntar lepas matanya,” ledeknya. Ish ... asli ngeselin sekali. Siapa sih dia?“Nggak usah banyak omong! Cepat lepas helmmu!” sungutku geram sendiri. Karena ia seakan mem

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Pertemuan. 21

    PERTEMUANPART 21Pak Maftuh sudah pulang. Aku merebahkan badan di kasur. Badan terasa sangat lelah. Aku lihat Bu Putri sedang mengutak atik laptop yang di bawakan Pak Maftuh tadi.Ya, Pak Maftuh tadi datang membawakan laptop kantor. Agar Bu Putri memeriksa semuanya. Kuamati perempuan berparas cantik itu. Sungguh jika sedang fokus ke layar monitor, aura Big Bosnya semakin terpancar jelas.“Sialan!” ucap Bu Putri dengan mata terus fokus ke layar monitor itu. Entah dia kenapa. Mungkin ia menemukan ketidakberesan didalam pemeriksaannya.Karena aku menjadi penasaran, akhirnya aku beranjak dan mendekat. Ikut melihat ke layar monitor itu. Banyak sekali angka yang terlihat, dan aku tak tahu dan tak faham sama sekali.“Kenapa, Bu? Ada yang salah?” tanyaku. Bu Putri terlihat menghela napas sejenak dan mengangguk pelan.“Ya, banyak sekali pengeluaran yang tak penting. Aku rasa ini hanya akal-akalan saja. Agar Pak Bisri mau mengeluarkan uang,” jelas Bu Putri.“Pak Bisri itu yang memegang keuanga

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bertemu Tante Sukma. 22

    BERTEMU TANTE SUKMAPART 22"Jelas boleh, dong ... aku minta WAnya?" ucap Mas Bima seraya mengedipkan mata. Membuatku risih, walau dia masih berstatus suamiku. Tapi tetap saja risih. Dasar buaya darat!Ternyata seperti ini, kelakuan ia di luar, kalau ketemu cewek yang ia lihat cantik. Ah, aku terlalu polos selama ini. Setiap hari hanya menggunakan daster lusuh. Pantas ia semakin tak meresponku dan semakin semena-mena. Ternyata seperti ini tingkahnya di luar."Bu, mari masuk!" ajak Pak Maftuh. Aku mengangguk pelan. Aku ingat-ingat pesan Pak Maftuh untuk tak bersuara dulu. Karena aku tak mau juga, kalau Mas Bima tahu siapa aku. Karena diam-diam terbesit ide cantik dari otakku ini, untuk mengerjai Mas Bima. Itu pun aku harus tetap berunding dulu dengan Bu Putri dan Pak Maftuh.Aku melangkah masuk mengikuti Pak Maftuh. Sengaja mencueki Mas Bima si buaya darat itu.Masalah Pak Revando ngajak bicara empat mata dengan Pak Maftuh tadi, kayaknya tak diindahkan oleh Pak Maftuh. Terbukti Pak Rev

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Adu Mulut. 23

    ADU MULUTPART 23"Kamu benar, Sayang! Ini perempuan yang aku ceritakan tadi!" ucap Mas Bima. Sungguh tega sekali dia. Teganya dia memfitnahku meminta no WA nya? Yang ada di yang meminta no WAku. Dasar buaya darat! Sok kegantengan banget dia."Heh, dia itu pacar saya! Jadi jangan ganjen sama dia!" sungut Bu Sukma. Aku mengulas senyum. Tetap terus aku kontrol emosi ini. Agar tak meledak.Kuatur napas ini. Aku ingin menjawab ucapan perempuan itu, semoga Mas Bima tak mengenali suaraku."Ehemm ... dia pacar anda? Kirain anaknya!" ucapku santai. Perempuan bernama Sukma itu terlihat mendelik."Jaga ucapanmu!" sungutnya. Aku tetap melemparkan senyum. Jelas ia semakin geram. "Emm," ucapku seraya menatap mereka begantian. Sorot tatapan menjatuhkan yang aku berikan."Memang pantasnya kalian itu anak dan Emak! Nggak Malu, Mas, pacaran sama perempuan yang pantasnya jadi mertuamu?" ledekku. Mas Bima terlihat tak suka dengan ucapan yang aku berikan."Kalau bukan sekertaris Pak Maftuh, habis kamu!

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Klarifikasi. 24

    KLARIFIKASIPART 24[Mbak, kalau mau makan siang, bisa ke kantin, ya! Rundingan saya dengan Pak Bisri belum selesai. Mungkin agak telat kembali ke kantor.]Seperti pesan singkat dari Pak Maftuh.[Ok!] hanya balasan singkat yang aku berikan dan kirimkan.Kulirihk jam, jam menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Perut memang sudah sangat keroncongan. Memang sudah waktunya untuk di isi.Aku segera beranjak dan segera melangkah menuju ke kantin. Tadi di kasih pegangan satu juta oleh Bu Putri. Lumayan lah.Sebenarnya aku belum tahu di mana kantinnya. Tapi, aku mengikuti saja langkah para karyawan yang sedang beristirahat.Jelas mereka juga pasti menuju ke katin. Dengan langkah pasti dan percaya diri aku segera menuju ke kantin seorang diri.Setibanya di kantin, aku segera memesan makanan dan minuman. Tak berselang lama, apa yang aku pesan sudah di antar.Nasi goreng dan es teh manis. Hanya itu, karena melihat menu-menunya, harganya cukup membuatku membelalak. Nggak enak sama Bu Putri,

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Reaksi. 25

    REAKSIPART 25"Hah? Bima segitunya?" ucap Bu Putri terkejut saat aku ceritakan semuanya. Aku mengangguk dengan cepat.Ya, aku sudah pulang dan sudah menceritakan semuanya. Sudah sampai di rumah buyut. Pak Maftuh yang mengantarkan. Beliau masih di sini juga. Juga ikut terperangah mendengar ceritaku."Nampaknya Pak Bima suka dengan Melisa," tebak Pak Maftuh."Iya, Pak. Kalau mendengar cerita Ratih, nampaknya iya. Pak Bima suka sama Melisa," sahut Bu Putri. Pak Maftuh manggut-manggut."Iya, kita bisa manfaatkan ini," ucap Bu Putri lagi."Iya, Bu. Lagian aku bisa balas dendam secara langsung," balasku. Bu Putri mengulas senyum seraya manggut-manggut."Bodoh si Bima! Bisa-bisanya ia tak mengenali istri sendiri," ucap Pak Maftuh."Itu karena tidak perhatiannya ia sama Ratih. Jadi saat Ratih dandan sedikit menor dan berpenampilan glamor, ia tak mengenali istrinya sendiri. Bodoh!" sahut Bu Putri.Ya, benar juga ucapan Bu Putri. Karena saking tak perhatiannya denganku selama ini, ia tak menge

Bab terbaru

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   TAMAT

    "Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 41

    "Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 40

    Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 39

    Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 38

    "Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 37

    "Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 36

    "Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 35

    "Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 34

    "Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda

DMCA.com Protection Status