BERTEMU TANTE SUKMAPART 22"Jelas boleh, dong ... aku minta WAnya?" ucap Mas Bima seraya mengedipkan mata. Membuatku risih, walau dia masih berstatus suamiku. Tapi tetap saja risih. Dasar buaya darat!Ternyata seperti ini, kelakuan ia di luar, kalau ketemu cewek yang ia lihat cantik. Ah, aku terlalu polos selama ini. Setiap hari hanya menggunakan daster lusuh. Pantas ia semakin tak meresponku dan semakin semena-mena. Ternyata seperti ini tingkahnya di luar."Bu, mari masuk!" ajak Pak Maftuh. Aku mengangguk pelan. Aku ingat-ingat pesan Pak Maftuh untuk tak bersuara dulu. Karena aku tak mau juga, kalau Mas Bima tahu siapa aku. Karena diam-diam terbesit ide cantik dari otakku ini, untuk mengerjai Mas Bima. Itu pun aku harus tetap berunding dulu dengan Bu Putri dan Pak Maftuh.Aku melangkah masuk mengikuti Pak Maftuh. Sengaja mencueki Mas Bima si buaya darat itu.Masalah Pak Revando ngajak bicara empat mata dengan Pak Maftuh tadi, kayaknya tak diindahkan oleh Pak Maftuh. Terbukti Pak Rev
ADU MULUTPART 23"Kamu benar, Sayang! Ini perempuan yang aku ceritakan tadi!" ucap Mas Bima. Sungguh tega sekali dia. Teganya dia memfitnahku meminta no WA nya? Yang ada di yang meminta no WAku. Dasar buaya darat! Sok kegantengan banget dia."Heh, dia itu pacar saya! Jadi jangan ganjen sama dia!" sungut Bu Sukma. Aku mengulas senyum. Tetap terus aku kontrol emosi ini. Agar tak meledak.Kuatur napas ini. Aku ingin menjawab ucapan perempuan itu, semoga Mas Bima tak mengenali suaraku."Ehemm ... dia pacar anda? Kirain anaknya!" ucapku santai. Perempuan bernama Sukma itu terlihat mendelik."Jaga ucapanmu!" sungutnya. Aku tetap melemparkan senyum. Jelas ia semakin geram. "Emm," ucapku seraya menatap mereka begantian. Sorot tatapan menjatuhkan yang aku berikan."Memang pantasnya kalian itu anak dan Emak! Nggak Malu, Mas, pacaran sama perempuan yang pantasnya jadi mertuamu?" ledekku. Mas Bima terlihat tak suka dengan ucapan yang aku berikan."Kalau bukan sekertaris Pak Maftuh, habis kamu!
KLARIFIKASIPART 24[Mbak, kalau mau makan siang, bisa ke kantin, ya! Rundingan saya dengan Pak Bisri belum selesai. Mungkin agak telat kembali ke kantor.]Seperti pesan singkat dari Pak Maftuh.[Ok!] hanya balasan singkat yang aku berikan dan kirimkan.Kulirihk jam, jam menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Perut memang sudah sangat keroncongan. Memang sudah waktunya untuk di isi.Aku segera beranjak dan segera melangkah menuju ke kantin. Tadi di kasih pegangan satu juta oleh Bu Putri. Lumayan lah.Sebenarnya aku belum tahu di mana kantinnya. Tapi, aku mengikuti saja langkah para karyawan yang sedang beristirahat.Jelas mereka juga pasti menuju ke katin. Dengan langkah pasti dan percaya diri aku segera menuju ke kantin seorang diri.Setibanya di kantin, aku segera memesan makanan dan minuman. Tak berselang lama, apa yang aku pesan sudah di antar.Nasi goreng dan es teh manis. Hanya itu, karena melihat menu-menunya, harganya cukup membuatku membelalak. Nggak enak sama Bu Putri,
REAKSIPART 25"Hah? Bima segitunya?" ucap Bu Putri terkejut saat aku ceritakan semuanya. Aku mengangguk dengan cepat.Ya, aku sudah pulang dan sudah menceritakan semuanya. Sudah sampai di rumah buyut. Pak Maftuh yang mengantarkan. Beliau masih di sini juga. Juga ikut terperangah mendengar ceritaku."Nampaknya Pak Bima suka dengan Melisa," tebak Pak Maftuh."Iya, Pak. Kalau mendengar cerita Ratih, nampaknya iya. Pak Bima suka sama Melisa," sahut Bu Putri. Pak Maftuh manggut-manggut."Iya, kita bisa manfaatkan ini," ucap Bu Putri lagi."Iya, Bu. Lagian aku bisa balas dendam secara langsung," balasku. Bu Putri mengulas senyum seraya manggut-manggut."Bodoh si Bima! Bisa-bisanya ia tak mengenali istri sendiri," ucap Pak Maftuh."Itu karena tidak perhatiannya ia sama Ratih. Jadi saat Ratih dandan sedikit menor dan berpenampilan glamor, ia tak mengenali istrinya sendiri. Bodoh!" sahut Bu Putri.Ya, benar juga ucapan Bu Putri. Karena saking tak perhatiannya denganku selama ini, ia tak menge
BIMA TAHU?PART 26"Nggak usah bohong kamu!" ucap Mas Bima. Aku melipat kening."Apa maksudmu?" tanyaku berusaha santai. Mas Bima terlihat mengulas senyum. Ia mainkan ekspresi wajahnya. Membuatku semakin penasaran apa maksudnya. Apa ia beneran tahu?Ah, semoga saja ia tak tahu siapa diriku? Tapi, kalau tahu? Apa yang harus aku lakukan."Aku tahu, kamu pasti juga memikirkan ku kan?" tanyanya. Cukup membuatku menganga.Hah? Astagaaa ... jadi ini yang ia maksud dia tahu dan aku berbohong? percaya diri sekali lelaki ini. Tapi, cukup membuatku lega. Karena aku pikir dia tahu siapa aku. Ternyata ia hanya kegeeran saja. Alias sok kegantengan."Anda terlalu percaya diri!" ucapku. Mas Bima memainkan alisnya. Bibirnya terlihat mengembang."Tak ada perempuan yang bisa menolak saya! Pasti kamu juga memikirkan saya. Akui saja! Aku tahu itu," jelasnya semakin percaya diri yang luar biasa."Segitu percaya dirinya anda. Apa anda merasa laki-laki paling tampan di dunia?" tanyaku, dengan suara yang aku
PERMINTAANPaRT 27"Bima semakin menjadi?" tanya Bu Putri, setelah aku ceritakan semuanya. Aku mengangguk. "Iya.""Bagus! Itu artinya Bima sudah mulai agresif kepada Melisa, kalau bisa manfaatkan keadaan itu!" ucap Bu Putri. Aku mengangguk lagi.Ya, aku memang sudah pulang, seperti biasa diantar Pak Maftuh dan beliau sudah pulang.Sampai detik ini masih aman. Semoga akan selalu aman. Karena belum ada informasi apapun tentang di mana Pak Aksa di sekap.Walau sebenarnya selalu deg-degan jika Pak Maftuh mengantarkanku pulang ke rumah buyut. Karena takut ada yang membuntuti."Iya, Bu. Jujur saya sangat jijik, walau dia masih sah menjadi suami saya. Benar-benar hidung belang! Benar-benar tak menyangka dia seperti itu,"ucapku geram jika mengingat kejadian tadi siang."Ya, wajar jika kamu jijik, Ratih. Saya saja juga kesal dan jijik mendengarnya," balas Bu Putri.Lagi, kuatur napas ini. Jika mengingat kejadian tadi, rasanya masih merasa sesak hati ini. Dan masih juga terasa tak percaya.Aku
TINDAKANPART 28Aku sudah di kantor sekarang. Keadaan sangat riweh. Semenjak dana dibekukan, keadaan kantor ini semakin memburuk."Pak, apa yang terjadi? Kenapa keadaan di luar seperti itu?" tanyaku kepada Pak Maftuh."Terjadi demo, karena gaji karyawan belum cair," jawab Pak Maftuh.Bibirku melongo mendengarnya. Astagaaa ... apa yang akan terjadi?"Lalu?" tanyaku. Pak Maftuh menggeleng."Entahlah. Hanya Bu Putri yang bisa mencairkan uang perusahaan Marendra," jelas Pak Maftuh.Kuatur napas ini sejenak. Mencerna semua yang aku dengar."Kalau keadaan uang membeku terus menerus, kantor ini akan gulung tikar, karena kehilangan pekerjanya," lirihku."Ya, kamu benar," balas Pak Maftuh."Emm, aku hubungi Bu Putri dulu," ucapku."Tunggu! Terlalu berbahaya jika menelpon di sini," balas Pak Maftuh."Lalu?""Aku akan jaga di pintu. Takut ada orang yang menguping," ucap Pak Maftuh. Aku mengangguk. Kemudian Pak Maftuh segera melangkah menuju ke pintu.Setelah Pak Maftuh sudah berada di pintu, ak
SATU LANGKAHPART 29"Keadaan kantor memang lagi genting. Beri kami waktu, untuk menyelesaikan masalah ini. Secepatnya akan kami bayar gaji kalian semua. Bari kami waktu, selambat-lambatnya tujuh hari."Seperti itulah ucapan Pak Maftuh tadi, memberikan janji kepada para karyawan.Kehadiran Pak Maftuh masih sangat berpengaruh ternyata. Mereka terlihat diam dan nurut. Mungkin mereka masih mempercayai ucapan Pak Maftuh."Pak Maftuh berani sekali anda memberikan janji. Satu Minggu waktu yang singkat. Apakah Anda yakin uang akan cair? Atau jangan-jangan Anda tahu di mana Bu Putri sekarang?" ucap Bu Sukma.Ya, Mas Bima dan pacarnya masuk ke ruangan Pak Maftuh. Lebih tepatnya memaksa.Raut wajah Pak Maftuh terlihat tenang. Ia justru mengulas senyum."Kalau tak ada yang berani keluar, apa akan membiarkan mereka tetap melakukan demo di luar sana?" tanya balik Pak Maftuh."Lebih baik diam. Dari pada memberikan janji yang tak pasti!" sungut Bu Sukma.Lagi, Pak Maftuh masih melempar senyum."Di s
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda