Share

Permintaan. 27

Author: Naimatun Niqmah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

PERMINTAAN

PaRT 27

"Bima semakin menjadi?" tanya Bu Putri, setelah aku ceritakan semuanya. Aku mengangguk. "Iya."

"Bagus! Itu artinya Bima sudah mulai agresif kepada Melisa, kalau bisa manfaatkan keadaan itu!" ucap Bu Putri. Aku mengangguk lagi.

Ya, aku memang sudah pulang, seperti biasa diantar Pak Maftuh dan beliau sudah pulang.

Sampai detik ini masih aman. Semoga akan selalu aman. Karena belum ada informasi apapun tentang di mana Pak Aksa di sekap.

Walau sebenarnya selalu deg-degan jika Pak Maftuh mengantarkanku pulang ke rumah buyut. Karena takut ada yang membuntuti.

"Iya, Bu. Jujur saya sangat jijik, walau dia masih sah menjadi suami saya. Benar-benar hidung belang! Benar-benar tak menyangka dia seperti itu,"ucapku geram jika mengingat kejadian tadi siang.

"Ya, wajar jika kamu jijik, Ratih. Saya saja juga kesal dan jijik mendengarnya," balas Bu Putri.

Lagi, kuatur napas ini. Jika mengingat kejadian tadi, rasanya masih merasa sesak hati ini. Dan masih juga terasa tak percaya.

Aku
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Tindakan. 28

    TINDAKANPART 28Aku sudah di kantor sekarang. Keadaan sangat riweh. Semenjak dana dibekukan, keadaan kantor ini semakin memburuk."Pak, apa yang terjadi? Kenapa keadaan di luar seperti itu?" tanyaku kepada Pak Maftuh."Terjadi demo, karena gaji karyawan belum cair," jawab Pak Maftuh.Bibirku melongo mendengarnya. Astagaaa ... apa yang akan terjadi?"Lalu?" tanyaku. Pak Maftuh menggeleng."Entahlah. Hanya Bu Putri yang bisa mencairkan uang perusahaan Marendra," jelas Pak Maftuh.Kuatur napas ini sejenak. Mencerna semua yang aku dengar."Kalau keadaan uang membeku terus menerus, kantor ini akan gulung tikar, karena kehilangan pekerjanya," lirihku."Ya, kamu benar," balas Pak Maftuh."Emm, aku hubungi Bu Putri dulu," ucapku."Tunggu! Terlalu berbahaya jika menelpon di sini," balas Pak Maftuh."Lalu?""Aku akan jaga di pintu. Takut ada orang yang menguping," ucap Pak Maftuh. Aku mengangguk. Kemudian Pak Maftuh segera melangkah menuju ke pintu.Setelah Pak Maftuh sudah berada di pintu, ak

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Satu Langkah. 29

    SATU LANGKAHPART 29"Keadaan kantor memang lagi genting. Beri kami waktu, untuk menyelesaikan masalah ini. Secepatnya akan kami bayar gaji kalian semua. Bari kami waktu, selambat-lambatnya tujuh hari."Seperti itulah ucapan Pak Maftuh tadi, memberikan janji kepada para karyawan.Kehadiran Pak Maftuh masih sangat berpengaruh ternyata. Mereka terlihat diam dan nurut. Mungkin mereka masih mempercayai ucapan Pak Maftuh."Pak Maftuh berani sekali anda memberikan janji. Satu Minggu waktu yang singkat. Apakah Anda yakin uang akan cair? Atau jangan-jangan Anda tahu di mana Bu Putri sekarang?" ucap Bu Sukma.Ya, Mas Bima dan pacarnya masuk ke ruangan Pak Maftuh. Lebih tepatnya memaksa.Raut wajah Pak Maftuh terlihat tenang. Ia justru mengulas senyum."Kalau tak ada yang berani keluar, apa akan membiarkan mereka tetap melakukan demo di luar sana?" tanya balik Pak Maftuh."Lebih baik diam. Dari pada memberikan janji yang tak pasti!" sungut Bu Sukma.Lagi, Pak Maftuh masih melempar senyum."Di s

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Mabok. 30

    MABOKPART 30"Tapi, melihat wajah cantikmu itu, aku merasa tak asing," ucap Mas Bima setelah meneguk minuman yang sudah diberikan obat. Nampaknya belum ada reaksi."Emm, wajahku memang pasaran," jawabku. Mas Bima terlihat menggeleng pelan kepalanya."Nggak juga. Tak ada wajah secantik dirimu, hanya kamu yang memiliki kecantikan itu," ucapnya dengan sorot mata buayanya.Kucebikan bibirku. Andaikan ia memujiku seperti itu. Dalam artian ia sadar jika yang ia puji istrinya, betapa bahagianya aku.Bagaimana aku bisa nampak cantik kala itu, tak ada modal untuk cantik. Memakai bedak juga bedak Azkia yang aku pakai. Karena tak ada Anggaran dana untuk beli makeup.Sekarang mungkin aku nampak cantik, karena memang di modali sama Bu Putri, demi mendekati musuhnya ini."Pak Bima bisa saja. Nampaknya beruntung sekali yang menjadi istri Bapak," ucapku, dia nampak mengusap-usap wajahnya. Mungkin kepalanya sudah berat."Jelas. Jelas beruntung yang menjadi istri saya. Cuma istri saya kurang bersyukur

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Informasi. 31

    INFORMASIPART 31"Di minum dulu, biar makin kuat dan bertenaga!" pintaku. Mas Bima terlihat beranjak. Ia hanya menggunakan boxer saja.Ia nampaknya udah nurut dengan perintahku. Tanpa banyak tanya, ia langsung meneguk minuman yang aku berikan, hingga tuntas.Setelah gelas itu kosong, ia memberikannya padaku. Aku segera menerimanya, dan meletakkannya di atas meja."Sini!" tarik Mas Bima. Aku masih kalah dengan tenaganya. Biarlah aku nurut saja. Yang penting ia tak curiga.Tapi, ucapan Pak Maftuh tadi, cukup membuatku Baper. Cukup membuat hati ini berbunga-bunga."Mas, aku kok jadi penasaran dengan Pak Aksa, ya? Dia ada di mana?" tanyaku santai."Kita mau bersenang-senang, kenapa harus bahas lelaki lumpuh tak guna itu!" balas Mas Bima. Aku membalas pelukannya, agar ia tak curiga."Ya, nggak sih, penasaran aja. Dari pada kita senang-senang tapi aku masih kepikiran, kan, juga jadi nggak enak senang-senangnya," jawabku asal."Emm, iya juga, ya?!" balasnya."Makanya, kalau nggak di kasih t

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Saling Mengancam. 32

    SALING MENGANCAMPART 32"Kenapa kamu meninggalkanku di hotel?" tanya Mas Bima padaku. Nada suara berbisik. Keadaan kantor masih sepi, karena memang masih pagi."Maaf, ada telpon dari Pak Maftuh kemarin. Jadi karena kamu tertidur pulas, aku pergi begitu saja. Mungkin karena saking nikmatnya, hingga kamu tidur begitu saja," jawabku asal. Ia melipat kening."Aku tak merasakan melakukan apapun kepadamu," lirihnya. Seolah takut ada yang mendengar. Sesekali matanya terlihat mengedarkan pandang.Aku mengulas senyum, seolah semua baik-baik saja."Teganya kamu, jadi kalau aku sampai hamil, kamu nggak akan tanggung jawab?" tanyaku asal. Karena ingin tahu seperti apa reaksi lelaki yang ia bisa membodoh-bodohi wanita itu.Ia semakin melipat keningnya. Wajahnya seketika pucat."Kamu nggak mungkin hamil. Aku tak merasa melakukan apapun denganmu," ucapnya, kemudian ia terlihat mengusap wajahnya.Dasar laki-laki buaya darat. Kalau sudah mendapatkan nikmatnya, seolah tak mau bertanggungjawab jika ter

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Adu Mulut. 33

    ADU MULUTPART 33"Sayang, aku muak dengan perempuan ini, yang selalu menggodaku, makanya aku samperin! Agar ia tak terus menerus menggodaku!" ucap Mas Bima. Cukup membuatku terkejut. Sungguh lelaki pecundang.Kuperhatikan Bu Sukma, ia terlihat mengangkat kedua alisnya."Benarkah?" tanyanya."Mana mungkin aku berani berbohong denganmu," jawab Mas Bima. Seolah nampak sekali kalau Bu Sukma tahu.Owh ... dari sini aku menjadi tahu, yang bucin bukan Bu Sukma, tetapi Mas Bima sendiri. Dasar pintar sekali ia membolak balikkan keadaan.Kalau tak ingat pesan Pak Maftuh, untuk menunggu dia, saat memberikan video ini, rasanya ingin aku beritahukan sekarangTapi, aku sudah terlanjur janji, akan memberikan video ini, saat Pak Maftuh juga ada di kantor.Aku juga takut, kalau terjadi apa-apa, Pak Maftuh akan menyalahkan ku. Jadi lebih baik aku nurut saja. Lagian aku masih sangat menikmati keadaan ini.Belum lihat video saja, keadaan sudah menegangkan. Apalagi kalau video itu aku berikan? Hemm ... r

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Suatu Kabar. 34

    SUATU KABARPART 34"Cari sampai ketemu!" sungut Bu Sukma masih dengan gawai ia tempelkan di telinga. Nada suaranya membentak dengan lantang.Komunikasi nampaknya terputus."Ada apa?" tanya Mas Bima. Sorot mata murka semakin terlihat jelas."Mas Aksa nggak ada di tempat," jawabnya dengan nada terlihat emosi."Kok, bisa?" tanya Mas Bima."Ya, mana aku tahu!" sungut Bu Sukma dengan nada suara yang masih lantang. Kemudian ia menatapku tajam."Urusan kita belum selesai! Lihat saja! kamu akan bertekuk lutut meminta maaf padaku!" sungutnya dengan telunjuk tepat di wajahku. Tanpa menunggu jawaban apapun dariku, mereka segera berlalu. Terlihat sangat tergesa-gesa.Kuatur dulu napas ini. Karena dari tadi terasa sesak di dalam sini. Kemudian aku segera melangkah menuju ke ruangan Pak Maftuh. Dengan hati yang tak kalah berdebar.Ya Allah ... semoga mereka baik-baik saja. Dan bisa selamat dari pencarian orang-orang suruhan Bu Sukma. Ya, tak bisa aku pungkiri, kalau perasaan ini sungguh membuatku

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Kejadian. 35

    KEJADIANPART 35Aku segera berlalu dari tempat mengupingku, sebelum ketahuan. Karena aku lihat, ia sudah menyelesaikan telponnya. Bisa habis jika aku ketahuan menguping. Apalagi Pak Revando memang tak suka akan hadirku di kantor ini.Dengan perasaan hati yang tak bisa lagi aku jelaskan, aku segera bergegas menuju ke ruangan Pak Maftuh. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku.Kubanting pantat ini di kursi. Menenangkan hati yang berkemelut hebat. Ya, untuk pertama kalinya aku berada pada posisi ini. Menjadi orang kaya dan ternama aku pikir menyenangkan, dambaan semua orang, karena di segani banyak kalangan. Ternyata tak semanis yang dipikirkan.Kuatur napas yang terasa tersengal-sengal ini. Karena melihat dan mendengar kejadian hari ini, membuat jantungku berpacu lebih kencang tak seperti biasanya.Sungguh aku tak habis pikir, Bu Sukma adalah adik kandung Pak Putra Aksa Marendra. Tega sekali ia melakukan itu kepada suadara kandungnya sendiri. Hanya demi sebuah harta, yang ingin ia k

Latest chapter

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   TAMAT

    "Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 41

    "Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 40

    Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 39

    Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 38

    "Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 37

    "Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 36

    "Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 35

    "Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 34

    "Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda

DMCA.com Protection Status