KEJADIANPART 35Aku segera berlalu dari tempat mengupingku, sebelum ketahuan. Karena aku lihat, ia sudah menyelesaikan telponnya. Bisa habis jika aku ketahuan menguping. Apalagi Pak Revando memang tak suka akan hadirku di kantor ini.Dengan perasaan hati yang tak bisa lagi aku jelaskan, aku segera bergegas menuju ke ruangan Pak Maftuh. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku.Kubanting pantat ini di kursi. Menenangkan hati yang berkemelut hebat. Ya, untuk pertama kalinya aku berada pada posisi ini. Menjadi orang kaya dan ternama aku pikir menyenangkan, dambaan semua orang, karena di segani banyak kalangan. Ternyata tak semanis yang dipikirkan.Kuatur napas yang terasa tersengal-sengal ini. Karena melihat dan mendengar kejadian hari ini, membuat jantungku berpacu lebih kencang tak seperti biasanya.Sungguh aku tak habis pikir, Bu Sukma adalah adik kandung Pak Putra Aksa Marendra. Tega sekali ia melakukan itu kepada suadara kandungnya sendiri. Hanya demi sebuah harta, yang ingin ia k
TERBONGKARPART 36Mendengar kabar dari Bu Putri, badanku terasa langsung lemas. Walau sudah memberikan saran, masih saja kepikiran. Semoga mereka segera sampai ke kantor Polisi dengan aman.Dalam keadaan seperti ini, mau duduk, mau berdiri, mau mondar mandir, semua terasa tak enak. Semua terasa tak nyaman.Entah sudah berapa kali, kaki ini keluar masuk. Tiap ada suara motor atau mobil, hati langsung berdebar dan berlari menuju pintu. Melongok keluar, berharap mereka datang.Ya Allah ... mereka memang orang lain, bahkan baru aku kenal. Tapi, rasanya seperti sudah mengenal mereka lama.Kuletakan pantatku di tikar. Sesekali memainkan gawai. Berharap ada kabar. Atau terkadang juga ingin menelpon. Tapi aku urungkan terus. Karena takut mengganggu konsentrasi mereka.Tiba-tiba telinga ini mendengar suara motor lagi. Kali ini berhenti di teras rumah. Mataku langsung mengarah. Hati ini pun berdebar kencang.Ya Allah ... semoga itu kedatangan mereka. Walau aku tahu, mereka membawa mobil, tapi
SIAPA YANG DATANG?PART 37Bismillahirrahmanirrahim.Dengan hati yang berdebar nggak jelas, aku terus melangkah menuju ke pintu depan rumah Buyut. Keringat dingin keluar, membuat badan ini terasa melemas.Kuhentikan langkah kaki ini sejenak. Mau melaju lagi, hati ini semakin terasa ragu. Ya, aku sangat amat ragu, untuk membuka pintu rumah itu.Kuatur dulu napas yang terasa semakin sesak ini. Kutekan dada ini pelan, dengan terus mengatur napas ini. Agar sedikit tenang.Kupejamkan mata sejenak, membuang segala keraguan. Yakin yang datang orang baik. Bukan orang yang mau mencelakai, atau orang yang sedang mencari Bu Putri.Melajukan lagi langkah kaki, saat tangan hendak membuka pintu, aku mulai ragu lagi. Akhirnya aku memutuskan untuk menarik niat. Mengusap wajah sejenak.Kudekati jendela, untuk mengintip siapa yang datang. Biar tak penasaran dan tak ragu untuk membuka pintu.Dari celah kecil, kudekatkan mata ini. Untuk bisa melihat siapa yang datang."Assalamualaikum, Mbak Ratih?" terde
TANTANGANPART 38"Tak ada yang saya sembunyikan," ucap Pak Maftuh, setelah diam sejenak."Lalu, apa maksudnya Pak Revando ngomong menerima tantangan?" tanyaku. Pak Maftuh terlihat menghela napas panjang.Kulihat sorot mata Bu Putri masih mengarah ke Pak Maftuh. Sorot mata penuh rasa curiga yang aku lihat."Iya, Pak Maftuh, apa maksud tantangan yang ia terima. Jangan ada kebohongan di antara kita," ucap Bu Putri dengan nada masih terdengar datar.Pak Maftuh terlihat menggeleng pelan. Raut wajahnya masih tenang. Seolah meyakinkan kalau memang tak ada sesuatu yang ia tutup-tutupi."Demi apapun, saya siap dan berani bersumpah, kalau memang tak ada yang saya tutup-tutupi," ucap Pak Maftuh, terdengar sangat tegas."Bisa jelaskan tantangan apa yang ia terima. Kalau Pak Revando berkata siap menerima tantangan, berarti Bapak yang memberikan tantangan itu," balas Bu Putri semakin mengintrogasi.Pak Maftuh mengusap pelan wajahnya. Aku masih terdiam, mencerna dan mengawasi raut wajah yang Pak Ma
VIDEOPART 39"Siap berangkat?" tanya Pak Maftuh, sepagi ini ia menjemputku, hampir setiap hari.Sepagi ini? Ya, karena kalau jemputnya siangan terlalu beresiko. Kalau pagi, belum banyak mata-mata, seperti itu anggapan kami."Emm," aku tak melanjutkan ucapanku, masih memikirkan sesuatu."Kenapa?" tanya Pak Maftuh seraya menatapku, keningnya terlihat melipat."Hati ini tak tenang meninggalkan Bu Putri," jelasku."Kenapa? Bukankah biasanya seperti itu?" tanya Pak Maftuh. Aku mengangguk sejenak."Iya, tapi kali ini, keberadaan Bu Putri sudah di ketahui Mbak Luna!" jelasku. Pak Maftuh terlihat meneguk ludah sejenak."Iya juga, ya, Aku sampai lupa kalau kakak iparmu itu sudah tahu keberadaan Bu Putri," ucap Pak Maftuh."Itulah, dari tadi hati ini tak tenang," ucapku."Lalu?""Bagaimana kalau Bu Putri kita ungsikan dulu. Di hotel, kek, atau di mana gitu. Yang penting aman," pintaku."Iya, Mbak Ratih benar," ucap Pak Maftuh kemudian kami masuk lagi ke dalam rumah buyut."Loh, kalian belum be
PENGINTAIANPART 40"Duh ... udah lah lari-larinya, ngos-ngosan," ucap Pak Maftuh. Kami sudah sampai ruangan kerja. Ia merebahkan badannya di sofa kecil.Pun aku juga tak kalah ngos-ngosan, mau nyubit pinggangnya, akhirnya kuurungkan niat. Tak tega. Hi hi hi.Ah, percuma lari-lari ngejar, saat yang di kejar udah nyerah, aku juga tak ngapa-ngapain dia. Pengen nyubit aja nggak berani. Padahal niat ngejar pengen nonjok gitu. Ha ha haKuambil air mineral, meneguknya hingga tuntas. Aku juga tak lupa menyodorkan air mineral untuk lelaki itu."Minum dulu, Pak, biar tak dehidrasi," pintaku. Ia segera menerima uluran air mineral yang aku berikan."Terimakasih," balasnya. Aku mengangguk pelan. Kemudian duduk tak jauh darinya.Kulihat ia meneguk air mineral itu, hingga tuntas juga."Jadi nggak sabar, menunggu reaksi mereka," ucapku."Iya, sama, pasti seru," balas Pak Maftuh."Yaudah, saya mau membagikan gaji karyawan, tinggal kirim ke rek masing-masing," ucap Pak Maftuh."Lalu tugas saya apa?" t
DUEL MAUTPART 41Hawa tegang dan semakin memanas. Aku tetap memantau di tempatku, belum berpindah tempat. Masih kunikmati keadaan ini.Keadaan Mas Bima dan Bu Sukma yang berantem hebat. Sungguh aku menunggu saat-saat ini. Tak sabar melihat mereka duel maut hingga saling memutuskan. Jelas mantap sekali.Menunggu hancurnya dua sejoli, yang sama-sama tak punya malu. Yang sama-sama sudah putus urat malunya. Menjadi terasa semakin tak sabar, melihat adegan real pertengkaran mereka.Membayangkannya saja sudah menegangkan, apalagi asli tengkar hebatnya? Hemmm ... jelas bikin senam jantung."Berani kamu menamparku?" sungut Mas Bima. Ya, aku tahu lelaki itu, memang pantang di tampar oleh perempuan."Karena kamu memang pantas untuk di tampar! Dasar laki-laki brengs*k!" balas Bu Sukma tak kalah lantang."Kamu jangan gampang percaya gitu saja! Aku yakin ada yang menjebak kita!" ucap Mas Bima. Seolah ingin menenangkan Bu Sukma dan membela dirinya."Menjebak gimana? Jelas-jelas ini videomu sama si
LANJUTAN DUEL MAUTPART 42Aku tahu ini keadaan genting, tapi suasana hatiku? Ya Allah ... lumer ... seolah aku terbang ke angkasa, menyusuri indahnya kelok pelangi.Pak Maftuh terlihat melangkah untuk mendekati Bu Sukma dan calon mantan suamiku, aku tahu mereka itu nanti, akan terjadi ledakan nuklir selanjutnya. Tapi, kok, hati ini berbunga-bunga. Tak cemas jika nuklir itu di ledakan? Aneh. Astaga ... cinta memang aneh. Aku merasakan keanehan cinta itu.Aih, apa aku jatuh cinta lagi? Jatuh cinta di saat keadaan genting? Di saat keadaan hendak meledakan bom atom? Saat akan ada duel lanjutan?Entahlah. Cinta memang datang kapan saja dan dalam keadaan yang tak terduga. Bahkan dalam keadaan genting sekali pun, tetap terasa sweet sekali.Seperti aku ini, jatuh cinta di saat hendak duel maut dengan pasangan sejoli yang sama-sama tak tahu diri itu. Mau duel maut, tapi hati berbunga-bunga? Aneh kamu Ratih! Aneh! Semoga aku masih waras.Aku belum melangkahkan kaki, belum mengikuti jejak Pak M
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda