Share

Tantangan. 38

Author: Naimatun Niqmah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

TANTANGAN

PART 38

"Tak ada yang saya sembunyikan," ucap Pak Maftuh, setelah diam sejenak.

"Lalu, apa maksudnya Pak Revando ngomong menerima tantangan?" tanyaku. Pak Maftuh terlihat menghela napas panjang.

Kulihat sorot mata Bu Putri masih mengarah ke Pak Maftuh. Sorot mata penuh rasa curiga yang aku lihat.

"Iya, Pak Maftuh, apa maksud tantangan yang ia terima. Jangan ada kebohongan di antara kita," ucap Bu Putri dengan nada masih terdengar datar.

Pak Maftuh terlihat menggeleng pelan. Raut wajahnya masih tenang. Seolah meyakinkan kalau memang tak ada sesuatu yang ia tutup-tutupi.

"Demi apapun, saya siap dan berani bersumpah, kalau memang tak ada yang saya tutup-tutupi," ucap Pak Maftuh, terdengar sangat tegas.

"Bisa jelaskan tantangan apa yang ia terima. Kalau Pak Revando berkata siap menerima tantangan, berarti Bapak yang memberikan tantangan itu," balas Bu Putri semakin mengintrogasi.

Pak Maftuh mengusap pelan wajahnya. Aku masih terdiam, mencerna dan mengawasi raut wajah yang Pak Ma
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Video. 39

    VIDEOPART 39"Siap berangkat?" tanya Pak Maftuh, sepagi ini ia menjemputku, hampir setiap hari.Sepagi ini? Ya, karena kalau jemputnya siangan terlalu beresiko. Kalau pagi, belum banyak mata-mata, seperti itu anggapan kami."Emm," aku tak melanjutkan ucapanku, masih memikirkan sesuatu."Kenapa?" tanya Pak Maftuh seraya menatapku, keningnya terlihat melipat."Hati ini tak tenang meninggalkan Bu Putri," jelasku."Kenapa? Bukankah biasanya seperti itu?" tanya Pak Maftuh. Aku mengangguk sejenak."Iya, tapi kali ini, keberadaan Bu Putri sudah di ketahui Mbak Luna!" jelasku. Pak Maftuh terlihat meneguk ludah sejenak."Iya juga, ya, Aku sampai lupa kalau kakak iparmu itu sudah tahu keberadaan Bu Putri," ucap Pak Maftuh."Itulah, dari tadi hati ini tak tenang," ucapku."Lalu?""Bagaimana kalau Bu Putri kita ungsikan dulu. Di hotel, kek, atau di mana gitu. Yang penting aman," pintaku."Iya, Mbak Ratih benar," ucap Pak Maftuh kemudian kami masuk lagi ke dalam rumah buyut."Loh, kalian belum be

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Pengintaian. 40

    PENGINTAIANPART 40"Duh ... udah lah lari-larinya, ngos-ngosan," ucap Pak Maftuh. Kami sudah sampai ruangan kerja. Ia merebahkan badannya di sofa kecil.Pun aku juga tak kalah ngos-ngosan, mau nyubit pinggangnya, akhirnya kuurungkan niat. Tak tega. Hi hi hi.Ah, percuma lari-lari ngejar, saat yang di kejar udah nyerah, aku juga tak ngapa-ngapain dia. Pengen nyubit aja nggak berani. Padahal niat ngejar pengen nonjok gitu. Ha ha haKuambil air mineral, meneguknya hingga tuntas. Aku juga tak lupa menyodorkan air mineral untuk lelaki itu."Minum dulu, Pak, biar tak dehidrasi," pintaku. Ia segera menerima uluran air mineral yang aku berikan."Terimakasih," balasnya. Aku mengangguk pelan. Kemudian duduk tak jauh darinya.Kulihat ia meneguk air mineral itu, hingga tuntas juga."Jadi nggak sabar, menunggu reaksi mereka," ucapku."Iya, sama, pasti seru," balas Pak Maftuh."Yaudah, saya mau membagikan gaji karyawan, tinggal kirim ke rek masing-masing," ucap Pak Maftuh."Lalu tugas saya apa?" t

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Duel Maut. 41

    DUEL MAUTPART 41Hawa tegang dan semakin memanas. Aku tetap memantau di tempatku, belum berpindah tempat. Masih kunikmati keadaan ini.Keadaan Mas Bima dan Bu Sukma yang berantem hebat. Sungguh aku menunggu saat-saat ini. Tak sabar melihat mereka duel maut hingga saling memutuskan. Jelas mantap sekali.Menunggu hancurnya dua sejoli, yang sama-sama tak punya malu. Yang sama-sama sudah putus urat malunya. Menjadi terasa semakin tak sabar, melihat adegan real pertengkaran mereka.Membayangkannya saja sudah menegangkan, apalagi asli tengkar hebatnya? Hemmm ... jelas bikin senam jantung."Berani kamu menamparku?" sungut Mas Bima. Ya, aku tahu lelaki itu, memang pantang di tampar oleh perempuan."Karena kamu memang pantas untuk di tampar! Dasar laki-laki brengs*k!" balas Bu Sukma tak kalah lantang."Kamu jangan gampang percaya gitu saja! Aku yakin ada yang menjebak kita!" ucap Mas Bima. Seolah ingin menenangkan Bu Sukma dan membela dirinya."Menjebak gimana? Jelas-jelas ini videomu sama si

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Lanjutan Duel Maut. 42

    LANJUTAN DUEL MAUTPART 42Aku tahu ini keadaan genting, tapi suasana hatiku? Ya Allah ... lumer ... seolah aku terbang ke angkasa, menyusuri indahnya kelok pelangi.Pak Maftuh terlihat melangkah untuk mendekati Bu Sukma dan calon mantan suamiku, aku tahu mereka itu nanti, akan terjadi ledakan nuklir selanjutnya. Tapi, kok, hati ini berbunga-bunga. Tak cemas jika nuklir itu di ledakan? Aneh. Astaga ... cinta memang aneh. Aku merasakan keanehan cinta itu.Aih, apa aku jatuh cinta lagi? Jatuh cinta di saat keadaan genting? Di saat keadaan hendak meledakan bom atom? Saat akan ada duel lanjutan?Entahlah. Cinta memang datang kapan saja dan dalam keadaan yang tak terduga. Bahkan dalam keadaan genting sekali pun, tetap terasa sweet sekali.Seperti aku ini, jatuh cinta di saat hendak duel maut dengan pasangan sejoli yang sama-sama tak tahu diri itu. Mau duel maut, tapi hati berbunga-bunga? Aneh kamu Ratih! Aneh! Semoga aku masih waras.Aku belum melangkahkan kaki, belum mengikuti jejak Pak M

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Kedatangan Bu Putri. 43

    Kedatangan Bu PutriPART 43Hati ini berdebar lebih hebat saat mengetahui Bu Putri datang. Lebih hebat d banding saat hendak duel dengan Bu Sukma dan pacarnya itu.Entahlah, aku lebay atau gimana, tapi memang itu yang aku rasakan. Teramat sangat mengkhawatirkan keadaan Bu Putri.Ya Allah lindungi Bu Putri! Segera berikan jalan untuk masalah ini.Pak Maftuh terlihat tergesa-gesa melangkahkan kakinya. Pun aku tak kalah bergegas dengan hati yang tak bisa aku dijelaskan.Keringat dingin seolah membanjiri. Pertanda aku memang sedang dalam keadaan tak baik. Karena hati terasa bergemuruh hebat.Semua karyawan nampak sangat antusias saat mendengar kedatangan Bu Putri."Beneran Bu Putri datang?" telinga ini mendengar kasak kusuk karyawan sedang berbicara."Iya katanya. Semoga, ya?! Nggak ada beliau perusahaan ini tinggal hancurnya! Kalau perusahaan ini hancur, kita jelas di PHK masal," jawab yang lainnya."Jangan dong ... cari kerjaan sekarang susah banget," celetuk yang lainnya.Kucerna ucapa

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Perlawanan. 44

    PERLAWANANPART 44***********Semua telah berhambur, kembali ke ruangan masing-masing. Untuk melanjutkan kembali pekerjaan mereka.Tantangan apa juga tak di jelaskan oleh Bu Putri. Karena selepasnya Bu Putri hanya menyampaikan permintaan maaf saja. Permintaan maaf, atas ketidak nyamanan selama ia pergi. Termasuk molor terima gaji.Aku dan Pak Maftuh juga sudah berada di dalam ruangan. Mau mendekati Bu Putri juga belum berani.Bu Putri masih bersama Pak Bisri. Jelas banyak sekali masalah keuangan yang harus di bahas. Karena kabarnya, keuangan perusahaan Marendra ini, menjadi nggak jelas keluar masuknya uang, selama hilangnya Bu Putri.Semoga Bu Putri bisa menyelesaikan masalah ini semua. Dan Pak Aksa segera di temukan kabarnya. Jadi penasaran siapa yang menculik Pak Aksa. Ya allah ... Pak Aksa itu sudah lumpuh, tapi masih menjadi incaran dan di manfaatkan oknum-oknum yang tak bertanggungjawab. Kasihan sekali."Pak.""Iya?""Aku ingin bertemu Bu Putri. Penasaran," ucapku. Menyampaikan

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Perlawanan Lanjutan. 45

    PERLAWANAN LANJUTANPART 45Reflek aku meraih tangan Pak Maftuh, karena melihat Bu Putri murka, hati ini berdebar tak jelas.Pak Maftuh nampak diam saja, saat aku sentuh tangannya. Matanya masih mengarah ke mereka. Fokus dan tajam."Pak Maftuh, Bu Melisa silahkan masuk!" pinta Bu Putri.Hemm, Bu Putri langsung memanggilku dengan nama samaran. Aku dan Pak Maftuh hampir bersamaan mengangguk.Pak Maftuh melangkah, langsung aku ikuti. Kami berjalan beriringan, seraya ku lepas pelan tautan tangan ini. Karena merasa tak enak sendiri, walau di dalam sini berdegub tak karu-karuan.Pak Revando ikut menoleh ke arah kami. Lebih tepatnya ia memandang ke arah Pak Maftuh. Sorot mata dendam yang aku lihat."Silahkan duduk!" pinta Bu Putri, Pak Maftuh terlihat mengangguk dan aku hanya bisa meneguk ludah dengan hati yang semakin bergemuruh hebat.Sesekali kutekan dada ini. Agar sedikit tenang."Bu Melisa ini, saya yang menariknya ke sini. Ia bukan orang Pak Maftuh," ucap Bu Putri, dengan menatap ke ar

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Akal Licik. 46

    AKAL LICIKPART 46"Kita harus ambil tindakan sesegera mungkin. Saya tak Sudi menggaji seorang pengkhianat seperti Pak Revando!" sungut Bu Putri dengan napas yang naik turun.Aku, Pak Maftuh dan Bi Putri sekarang berada di apartemen milik Bu Putri. Dengan penjagaan ketat dari Polisi.Ya, Bu Putri sudah berani keluar, karena ia sudah memiliki kekuatan lagi. Ia sudah memegang uang sekarang. Karena dalam keadaan seperti ini, uang memang berkuasa.Dulu ia bersembunyi, karena semua di sita oleh Bu Sukma. Termasuk gawai dan semua kartu-kartu nya. Jadi Bu Putri tak bisa bergerak. Bahkan mau menghubungi Pak Maftuh atau Pak Bisri beliau tak bisa. Belum lagi ancaman, mereka akan membunuh papanya.Ya Allah .... astagfirullah ... sesak sekali jika berada di Posisi Bu Putri. Astagfirullah.Sekarang aku baru tahu, betapa berpengaruhnya Bu Putri Marendra. Bahkan ia bisa di bilang memiliki kekuatan dahsyat dalam dunia bisnis.Beliau di segani. Walau darahnya bukan darah dari keluarga Marendra, tapi j

Latest chapter

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   TAMAT

    "Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 41

    "Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 40

    Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 39

    Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 38

    "Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 37

    "Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 36

    "Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 35

    "Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 34

    "Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda

DMCA.com Protection Status