Share

Akal Licik. 46

Author: Naimatun Niqmah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

AKAL LICIK

PART 46

"Kita harus ambil tindakan sesegera mungkin. Saya tak Sudi menggaji seorang pengkhianat seperti Pak Revando!" sungut Bu Putri dengan napas yang naik turun.

Aku, Pak Maftuh dan Bi Putri sekarang berada di apartemen milik Bu Putri. Dengan penjagaan ketat dari Polisi.

Ya, Bu Putri sudah berani keluar, karena ia sudah memiliki kekuatan lagi. Ia sudah memegang uang sekarang. Karena dalam keadaan seperti ini, uang memang berkuasa.

Dulu ia bersembunyi, karena semua di sita oleh Bu Sukma. Termasuk gawai dan semua kartu-kartu nya. Jadi Bu Putri tak bisa bergerak. Bahkan mau menghubungi Pak Maftuh atau Pak Bisri beliau tak bisa. Belum lagi ancaman, mereka akan membunuh papanya.

Ya Allah .... astagfirullah ... sesak sekali jika berada di Posisi Bu Putri. Astagfirullah.

Sekarang aku baru tahu, betapa berpengaruhnya Bu Putri Marendra. Bahkan ia bisa di bilang memiliki kekuatan dahsyat dalam dunia bisnis.

Beliau di segani. Walau darahnya bukan darah dari keluarga Marendra, tapi j
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Sebuah Jawaban. 47

    SEBUAH JAWABANPART 47Masih setia menunggu jawaban Bu Putri. Tapi nampaknya yang di tunggu, masih enggan memberikan jawabannya. Terlihat dari ekspresi wajahnya.Aku dan Pak Maftuh saling beradu pandang, kemudian saling menghela napas. Karena Bu Putri nampaknya memang masih berat untuk menjawab dua pertayaan dariku tadi.Entahlah, kalau sang pemberi jawaban tak mau menjawab, aku bisa apa? Secara aku juga tak berani memaksa seorang Bu Putri untuk menjawab pertanyaanku."Maaf, saya mau istirahat dulu. Saya janji pasti akan saya ceritakan, jika keadaan hati saya sudah membaik," ucap Bu Putri akhirnya.Mau tak mau, harus puas dengan jawaban itu. Aku hanya bisa memaksa untuk mengangguk, dengan menahan semua rasa penasaran ini.Kuperhatikan Pak Maftuh, nampaknya ia juga sama keadaannya denganku. Sama-sama menahan rasa penasaran akut ini.Bu Putri terlihat beranjak dari tempatnya. Kemudian berlalu ke kamarnya."Sabar ... sabar ... ini ujian ...." ucapku asal."He'em, memang harus sabar," bal

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Siapa yang bersama Revando? 48

    Siapa Yang Bersama Revando?PART 48Aku mengikuti langkah kaki Pak Maftuh. Entah mau kemana, tapi memang tak mengarah ke rumah yang terlihat kumuh itu."Kita mau kemana?" tanyaku karena napas ini sudah ngos-ngosan."Ikut saja! Kita harus mendapatkan informasi," jawab Pak Maftuh.Kuteguk ludah ini sejenak, sudah terasa kering."Iya, kemana?" tanyaku lagi."Bentar lagi sampai, bersabarlah!" jelasnya."Baiklah!" balasku dengan penuh rasa penasaran. Bagaimana tidak? Rasa penasaran siapa laki-laki bersama Pak Revando itu belum terjawab, kini harus penasaran lagi, kemana kaki akan melangkah.Kami berjalan beriringan, terkadang aku juga ketinggalan."Itu rumahnya," ucap Pak Maftuh seraya menunjuk."Rumah siapa? Kenapa nggak naik mobil saja?" tanyaku double."Kamu nggak lihat, ini jalannya nggak bisa buat lewat mobil?" tanya balik Pak Maftuh. Kuedarkan pandang. Baru menyadari kalau jalannya sempit."Eh, iya juga, ya! Lalu itu rumah siapa?" tanyaku lagi."Rumah Mang Rojak," jawabnya."Dia siap

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Jawaban dari suatu tantangan. 49

    JAWABAN DARI SUATU TANTANGAN.PART 49"Mang Rojak tadi siapa? Kok nampaknya tahu seluk beluk Pak Revando dan Bapak," tanyaku, kami sudah ada di warung makan. Mengisi perut karena sudah semakin keroncongan."Dia dulu yang menunggu rumah lama Pak Revando," jawab Pak Maftuh singkat.Kutarik tissue dan mengelap bibir yang terasa basah. Sudah selesai makan, pun Pak Maftuh. Ia juga terlihat menarik tissue, melakukan hal yang sama denganku."Owh, pantas, terlihat akrab," ucapku.Pak Maftuh terlihat manggut-manggut. Kemudian menyeruput kopi yang ia pesan. Aku menyedot es teh. Karena bagiku, apapun makanannya minumnya tetaplah es teh. Tak ada yang lain."Iya, jelas kami akrab dengan Mang Rojak, karena saya dulu juga akrab dengan Pak Revando, hampir setiap hari mendatangi rumah lama itu. Jadi sering ketemu dengan Mang Rojak," jelas Pak Maftuh."Apakah Mang Rojak bisa di percaya?" tanyaku memastikan. Pak Maftuh terlihat mengangguk."Saya yakin dengan Mang Rojak. Beliau insyallah setia dengan Pak

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Perintah. 50

    PERINTAHPART 50"Siapa?" tanya Bu Putri. Pak Maftuh masih terlihat memikirkan sesuatu. Terlihat dari sorot matanya yang seolah sedang membayangkan sesuatu."Iya, Pak, siapa?" tanyaku lagi, karena aku juga sangat amat penasaran. Siapa orang yang mengirimkan pesan itu."Saya belum bisa menjawab, saya akan pastikan dulu. Yang jelas, yang memberikan tantangan ini, orang baik. Terlihat dari tulisannya, bahwa ia sedang membakar semangat Ibu, bukan?" ucap Pak Maftuh.Emm, iya juga sih, aku pun menilai, kalau yang mengirim kan pesan lewat DM bukanlah orang jahat. Melainkan ingin memberikan semangat, dan membuka jalan pikir, Bu Putri, untuk melawan rasa takut yang membebani selama ini.Bu Putri terlihat mengangguk pelan. Kemudian menghela napasnya panjang."Pak Maftuh benar, karena DM itulah, terbuka jalan pikiran saya, yang selama ini buntu. Kalau dulu saya takut Papa akan di bunuh Tante Sukma, sekarang apa lagi yang akan saya takutkan? Papa sudah tak berada di tangan Tante Sukma," balas Bu

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Informasi. 51

    **************INFORMASIBab 51**************"Loh, kita mau kemana?" tanyaku, karena mobil tak melaju ke arah jalanan kantor. Pun juga tak melaju ke arah jalanan rumah lama Pak Revando kemarin. Jadi, cukup membuatku penasaran, mobil ini hendak melaju ke mana."Menemui orang yang menurut saya yang mengirimkan pesan itu," balas Pak Maftuh."Owh ...." lirihku seraya sedikit manggut-manggut. Pak Maftuh terlihat fokus ke jalanan. Pun aku, mata ini juga fokus ke jalanan.Keadaan masih pagi. Tapi, jalanan sudah padat mobil dan motor. Demi mengais rejeki."Emang siapa, sih, yang mengirimkan pesan kepada Bu Putri?" tanyaku. Pak Maftuh terlihat melirikku sebentar."Nanti, Mbak Ratih juga akan tahu," jawab Pak Maftuh, sungguh tak memuaskan hati ini.Kuhela napas panjang. "Susah, ya, nyebutin nama? Aku looo penasaran," tanyaku. Pak Maftuh mengulas senyum tipis."Nggak, sih, tapi biar Mbak Ratih penasaran aja, ha ha ha," jawab Pak Maftuh, membuatku memutarkan bola mata. Agak sedikit kesal menden

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Kabar dari Mang Rojak. 52

    KABAR DARI MANG ROJAKPART 52"Di mana Putri tinggal sekarang?" tanya Pak Radit."Di apartemen lama," jawab Pak Maftuh. Pak Radit terlihat mengangguk pelan."Kalau gitu, biar saya saja yang mendatangi Putri. Kasihan anak itu," ucap Pak Radit. Pak Maftuh mengangguk."Iya, itu lebih baik. Bakar terus semangat Bu Putri, agar ia merasa lebih percaya diri!" pinta Pak Maftuh."Pasti! Karena memang itu tujuan saya," balas Pak Radit."Apakah Pak Radit sudah tahu, kalau suaminya Bu Putri memihak pada mereka?" tanya Pak Maftuh."Iya, saya tahu," jawab Pak Radit, seraya mengangguk."Saya tak habis pikir dengan Pak Haikal," balas Pak Maftuh. Pak Radit terlihat mengulas senyum."Saya tak kaget, mendengar Haikal memihak pada Sukma," ucap Pak Radit. Pak Maftuh terlihat melipat kening."Anda tahu sedari awal?" tanya Pak Maftuh. Pak Radit terlihat manggut-manggut. "Ya.""Kok bisa?" tanya Pak Maftuh, seolah penasaran."Karena yang mengenalkan Radit dan Putri secara tak langsung adalah Sukma. Tapi, terl

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Lanjutan. 53

    LANJUTANPART 53Aku dan Pak Maftuh sudah keluar dari rumah Mang Rojak, dengan perasaan yang tak bisa di jelaskan.Sesak saat mengetahui, kalau Pak Aksa tak bersama mereka. Lalu beliau di mana?Astaga ... otak ini benar-benar terasa buntu. Seolah sudah tak bisa berpikir lagi.Di mana pun Pak Aksa, semoga beliau baik-baik saja. Hanya itulah harapan kami.Karena sudah siang, sudah waktunya makan, aku dan Pak Maftuh memilih untuk mampir dulu di warung makan. Menikmati soto babat.Kulihat Pak Maftuh sedari tadi diam saja. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Rasanya makan siang ini"Pak?" sapaku."Ya?" balasnya. Aku berani menyapa, juga karena kami sudah selesai makan."Bapak yakin dengan informasi dari Mang Rojak?" tanyaku. Lelaki di hadapanku itu terlihat menghela napasnya panjang."Entahlah, setahu saya, Mang Rojak tak pandai berbohong. Apalagi ini bersangkutan dengan Pak Aksa," jawab Pak Maftuh."Semoga saja, ya, Pak. Karena saya sudah tak bisa mikir lagi, di mana Pak Aksa sekarang, kasi

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Penyelidikan. 54

    PENYELIDIKANPART 54*************"Apakah kita tetap menceritakan kepada Bu Putri?" tanyaku."Harus," jawab Pak Maftuh."Tapi ....""Apa?""Nggak tega.""Sama. Tapi kita harus bercerita. Dari pada Bu Putri tahu selain dari kita. Itu akan membuatnya marah, bukan hanya marah saja, tapi pasti juga akan kecewa dengan kita. Saya tak mau mengambil resiko," jelas Pak Maftuh.Aku hanya bisa manggut-manggut. Benar kata Pak Maftuh, tapi kenapa aku merasa tak tega menyampaikannya."Masalah Gibran, apakah juga akan kita sampaikan?" tanyaku lagi."Kita tunggu kabar dulu dari Pak Bisri dulu. Kalau masalah anak, kita harus sangat hati-hati menyampaikannya," jawab Pak Maftuh."Ya Allah ... kasihan Bu Putri. Seolah masalah yang ia hadapi, terus menerus berdatangan, seolah tak kunjung selesai," ucapku."Iya, kasihan Bu Putri, memiliki suami seperti Pak Haikal, sungguh Pak Haikal tak pantas untuk wanita sebaik Bu Putri," ucap Pak Maftuh."Iya, Pak. Aku kira masalahku ini sudah besar, tapi, ternyata mas

Latest chapter

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   TAMAT

    "Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 41

    "Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 40

    Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 39

    Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 38

    "Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 37

    "Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 36

    "Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 35

    "Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 34

    "Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda

DMCA.com Protection Status