KABAR DARI MANG ROJAKPART 52"Di mana Putri tinggal sekarang?" tanya Pak Radit."Di apartemen lama," jawab Pak Maftuh. Pak Radit terlihat mengangguk pelan."Kalau gitu, biar saya saja yang mendatangi Putri. Kasihan anak itu," ucap Pak Radit. Pak Maftuh mengangguk."Iya, itu lebih baik. Bakar terus semangat Bu Putri, agar ia merasa lebih percaya diri!" pinta Pak Maftuh."Pasti! Karena memang itu tujuan saya," balas Pak Radit."Apakah Pak Radit sudah tahu, kalau suaminya Bu Putri memihak pada mereka?" tanya Pak Maftuh."Iya, saya tahu," jawab Pak Radit, seraya mengangguk."Saya tak habis pikir dengan Pak Haikal," balas Pak Maftuh. Pak Radit terlihat mengulas senyum."Saya tak kaget, mendengar Haikal memihak pada Sukma," ucap Pak Radit. Pak Maftuh terlihat melipat kening."Anda tahu sedari awal?" tanya Pak Maftuh. Pak Radit terlihat manggut-manggut. "Ya.""Kok bisa?" tanya Pak Maftuh, seolah penasaran."Karena yang mengenalkan Radit dan Putri secara tak langsung adalah Sukma. Tapi, terl
LANJUTANPART 53Aku dan Pak Maftuh sudah keluar dari rumah Mang Rojak, dengan perasaan yang tak bisa di jelaskan.Sesak saat mengetahui, kalau Pak Aksa tak bersama mereka. Lalu beliau di mana?Astaga ... otak ini benar-benar terasa buntu. Seolah sudah tak bisa berpikir lagi.Di mana pun Pak Aksa, semoga beliau baik-baik saja. Hanya itulah harapan kami.Karena sudah siang, sudah waktunya makan, aku dan Pak Maftuh memilih untuk mampir dulu di warung makan. Menikmati soto babat.Kulihat Pak Maftuh sedari tadi diam saja. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Rasanya makan siang ini"Pak?" sapaku."Ya?" balasnya. Aku berani menyapa, juga karena kami sudah selesai makan."Bapak yakin dengan informasi dari Mang Rojak?" tanyaku. Lelaki di hadapanku itu terlihat menghela napasnya panjang."Entahlah, setahu saya, Mang Rojak tak pandai berbohong. Apalagi ini bersangkutan dengan Pak Aksa," jawab Pak Maftuh."Semoga saja, ya, Pak. Karena saya sudah tak bisa mikir lagi, di mana Pak Aksa sekarang, kasi
PENYELIDIKANPART 54*************"Apakah kita tetap menceritakan kepada Bu Putri?" tanyaku."Harus," jawab Pak Maftuh."Tapi ....""Apa?""Nggak tega.""Sama. Tapi kita harus bercerita. Dari pada Bu Putri tahu selain dari kita. Itu akan membuatnya marah, bukan hanya marah saja, tapi pasti juga akan kecewa dengan kita. Saya tak mau mengambil resiko," jelas Pak Maftuh.Aku hanya bisa manggut-manggut. Benar kata Pak Maftuh, tapi kenapa aku merasa tak tega menyampaikannya."Masalah Gibran, apakah juga akan kita sampaikan?" tanyaku lagi."Kita tunggu kabar dulu dari Pak Bisri dulu. Kalau masalah anak, kita harus sangat hati-hati menyampaikannya," jawab Pak Maftuh."Ya Allah ... kasihan Bu Putri. Seolah masalah yang ia hadapi, terus menerus berdatangan, seolah tak kunjung selesai," ucapku."Iya, kasihan Bu Putri, memiliki suami seperti Pak Haikal, sungguh Pak Haikal tak pantas untuk wanita sebaik Bu Putri," ucap Pak Maftuh."Iya, Pak. Aku kira masalahku ini sudah besar, tapi, ternyata mas
TEKA TEKI PAK AKSAPART 55"Pak Aksa? Anda?" ucap Pak Maftuh, masih dengan mata membelalak sempurna.Jujur saja aku bingung, ada apa ini? Aku belum pernah melihat Pak Aksa sebelumnya. Apa lelaki ini Pak Aksa?Katanya beliau lumpuh? Tapi ini terlihat biasa-bisa saja. Lelaki yang di panggil Pak Aksa tersebut mengedarkan pandang. Kemudian segera memasang masker di wajahnya."Pak Maftuh. Ikuti saya!" perintahnya. Pak Maftuh terlihat mengangguk dengan cepat.Lelaki itu masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa. Mobil itu segera berlalu, aku dan Pak Maftuh mengikuti dari belakang."Itu Pak Aksa?" tanyaku. Karena jiwa penasaran sudah tak terbenduh. Ingin segera tahu jawabannya."Iya.""Katanya beliau lumpuh? Tapi kayaknya beliau sehat?" tanyaku lagi."Entahlah, setahuku juga beliau lumpuh, bahkan mata ini juga melihat, saat Pak Aksa berdiam diri di kursi roda," jawab Pak Maftuh."Apa maksudnya, ya?" tanyaku."Entahlah, kita ikuti saja Pak Aksa, kita tunggu penjelas dari beliau, pasti ada alas
Pak Aksa Bertemu Bu PutriPART 56"Pak, aku nggak nyangka, dunia bisnis seribet dan sekejam ini," ucapku, kami sudah berada di motor. Menuju ke apartemen Bu Putri."Mengerikan, ya?" tanya Pak Maftuh balik."Iya, padahal satu saudara Pak Aksa dan Bu Sukma. Tapi, kok, ya seperti itu?" balasku."Kalau itu, menurut saya, Bu Sukma yang salah," jelas Pak Maftuh."Iya, kejam dan jahat dia," balasku, geram juga."Iya, karena Bu Sukma sudah di pengaruhi Pak Bima," jelas Pak Maftuh."Nah itu yang aku heran, Pak. Bisa-bisanya Bu Sukma mengkhianati suaminya? Padahal suaminya sudah gagah dan tajir juga. Eh, malah kepincut dengan Mas Bima, yang menurutku mereka sangatlah beda level, bagaikan langit dan bumi. Eh, masih kurang jauh lagi, bagiaikan langit dan sumur," tanya dan jelasku."Iya, juga, sih, Mbak. Tapi, katanya sih, ya ... emmm ...." Pak Maftuh, menggantungkan ucapannya. Membuatku penasaran. Kulihat raut wajahnya di spion. Dia terlihat memainkan bibirnya."Emm, apa? Katanya apa?" tanyaku, k
RUNDINGANBAB 57Pertemuan Bu Putri dan papanya cukup mengharukan dan menguras air mata. Sungguh hati ini ikut merasa lega, dengan keadaan Pak Aksa.Selama ini aku hanya mendengar cerita saja, kalau Pak Aksa itu orang baik. Ternyata benar, Pak Aksa memang baik. Jiwa sosialnya seolah menurun ke anaknya. Bu Putri Marendra.Walau keduanya tak ada hubungan darah, tapi sungguh sangat luar biasa sekali emosional mereka. Melebihi anak kandung, kalau menurutku. Bikin haru yang melihat kedekatan emosional mereka.Pagi ini, aku telah bersiap rapi. Siap menuju ke kantor. Menunggu jemputan sopir pribadi. Pak Maftuh Ardika. Ya Allah ... orang semapan itu, aku anggap sopir. Marah nggak ya orangnya kalau tahu aku anggap sopir? Ha ha ha."Ratih?!""Ya, Bu?""Emm, hatiku, kok, nggak tenang, ya?" ucap Bu Putri. Aku melipat kening, menatap ke arah Bu Putri."Kenapa?" tanyaku, Bu Putri terlihat mengangkat kedua bahunya."Entahlah, yang jelas aku mengkhawatirkan, Papa," jelas Bu Putri. Aku hanya bisa mang
Menjemput AzkiaBAB 58***********"Jadi Gibran sehat?" tanya Pak Maftuh saat aku baru saja sampai di ruangannya."Iya, Alhamdulillah. Benar dugaan kita, hanya akal-akalan Pak Haikal saja!" jawab Pak Bisri.Aku duduk di kursi kerjaku. Agak jauh, tapi telinga ini masih bisa mendengar obrolan mereka."Keterlaluan. Demi uang, sampai segitunya Pak Haikal. Benar-benar nggak ada otak! Bapak macam apa itu?" sungut Pak Maftuh. Terdengar geram sendiri."Itulah manusia, Pak. padahal Pak Haikal kurang kaya gimana lagi. Tapi, tetap saja merasa kurang, masih ingin menguasai harta mertua," balas Pak Bisri. Pak Maftuh terlihat mengangguk pelan."Tapi, setidaknya hati ini tenang, dengar keadaan Gibran yang sehat. Untung kemarin kita tak langsung lapor ke Bu Putri, tahu sendiri lah Bu Putri, kalau berurusan dengan anak," ucap Pak Maftuh. Gantian Pak Bisri yang mengangguk."Ya, untunglah!" balas Pak Bisri. Kemudian terlihat mengusap pelan wajahnya."Emm, kalau begitu saya permisi dulu, saya harus kemba
REAKSI LUNABAB 59"Emak ada?" tanyaku. Mbak Luna terlihat melipatkan kening. Mungkin merasa tak asing dengan wajahku ini."Ada yang salah?" tanyaku, karena matanya menyipit dengan tatapan lekat.Pak Maftuh aku lihat ia diam saja. Mungkin dia faham maksudku, lagian aku pernah menceritakan siapa Mbak Luna.Tak berselang lama Mas Budi keluar. Owh ... ternyata ada Mas Budi juga di sini."Ada yang salah?" tanyaku lagi sedikit menegaskan suara. Kemudian ia terlihat sedikit terkejut."Eh, nggak ada yang salah, cuma mirip dengan adik ipar saya. Cuma cantikan Mbaknya," ucap Mbak Luna. Aku hanya nyengir saja."Kamu Ratih bukan?" tanya Mas Budi. Aku mengangkat sedikit alisku."Emm, perkenalkan namaku Melisa," jawabku seraya mengulurkan tangan ke Mas Budi.Mas Budi menerima uluran tanganku. Agak sedikit lama, sengaja. Kan ngerjain Mbak Luna. ha ha ha.Tiba-tiba tangan Mas Budi di tarik begitu saja oleh Mbak Luna. Kayaknya sih dia cemburu. Ha ha ha."Nggak usah lama-lama pegangan sama suami orang
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda