Pak Aksa Bertemu Bu PutriPART 56"Pak, aku nggak nyangka, dunia bisnis seribet dan sekejam ini," ucapku, kami sudah berada di motor. Menuju ke apartemen Bu Putri."Mengerikan, ya?" tanya Pak Maftuh balik."Iya, padahal satu saudara Pak Aksa dan Bu Sukma. Tapi, kok, ya seperti itu?" balasku."Kalau itu, menurut saya, Bu Sukma yang salah," jelas Pak Maftuh."Iya, kejam dan jahat dia," balasku, geram juga."Iya, karena Bu Sukma sudah di pengaruhi Pak Bima," jelas Pak Maftuh."Nah itu yang aku heran, Pak. Bisa-bisanya Bu Sukma mengkhianati suaminya? Padahal suaminya sudah gagah dan tajir juga. Eh, malah kepincut dengan Mas Bima, yang menurutku mereka sangatlah beda level, bagaikan langit dan bumi. Eh, masih kurang jauh lagi, bagiaikan langit dan sumur," tanya dan jelasku."Iya, juga, sih, Mbak. Tapi, katanya sih, ya ... emmm ...." Pak Maftuh, menggantungkan ucapannya. Membuatku penasaran. Kulihat raut wajahnya di spion. Dia terlihat memainkan bibirnya."Emm, apa? Katanya apa?" tanyaku, k
RUNDINGANBAB 57Pertemuan Bu Putri dan papanya cukup mengharukan dan menguras air mata. Sungguh hati ini ikut merasa lega, dengan keadaan Pak Aksa.Selama ini aku hanya mendengar cerita saja, kalau Pak Aksa itu orang baik. Ternyata benar, Pak Aksa memang baik. Jiwa sosialnya seolah menurun ke anaknya. Bu Putri Marendra.Walau keduanya tak ada hubungan darah, tapi sungguh sangat luar biasa sekali emosional mereka. Melebihi anak kandung, kalau menurutku. Bikin haru yang melihat kedekatan emosional mereka.Pagi ini, aku telah bersiap rapi. Siap menuju ke kantor. Menunggu jemputan sopir pribadi. Pak Maftuh Ardika. Ya Allah ... orang semapan itu, aku anggap sopir. Marah nggak ya orangnya kalau tahu aku anggap sopir? Ha ha ha."Ratih?!""Ya, Bu?""Emm, hatiku, kok, nggak tenang, ya?" ucap Bu Putri. Aku melipat kening, menatap ke arah Bu Putri."Kenapa?" tanyaku, Bu Putri terlihat mengangkat kedua bahunya."Entahlah, yang jelas aku mengkhawatirkan, Papa," jelas Bu Putri. Aku hanya bisa mang
Menjemput AzkiaBAB 58***********"Jadi Gibran sehat?" tanya Pak Maftuh saat aku baru saja sampai di ruangannya."Iya, Alhamdulillah. Benar dugaan kita, hanya akal-akalan Pak Haikal saja!" jawab Pak Bisri.Aku duduk di kursi kerjaku. Agak jauh, tapi telinga ini masih bisa mendengar obrolan mereka."Keterlaluan. Demi uang, sampai segitunya Pak Haikal. Benar-benar nggak ada otak! Bapak macam apa itu?" sungut Pak Maftuh. Terdengar geram sendiri."Itulah manusia, Pak. padahal Pak Haikal kurang kaya gimana lagi. Tapi, tetap saja merasa kurang, masih ingin menguasai harta mertua," balas Pak Bisri. Pak Maftuh terlihat mengangguk pelan."Tapi, setidaknya hati ini tenang, dengar keadaan Gibran yang sehat. Untung kemarin kita tak langsung lapor ke Bu Putri, tahu sendiri lah Bu Putri, kalau berurusan dengan anak," ucap Pak Maftuh. Gantian Pak Bisri yang mengangguk."Ya, untunglah!" balas Pak Bisri. Kemudian terlihat mengusap pelan wajahnya."Emm, kalau begitu saya permisi dulu, saya harus kemba
REAKSI LUNABAB 59"Emak ada?" tanyaku. Mbak Luna terlihat melipatkan kening. Mungkin merasa tak asing dengan wajahku ini."Ada yang salah?" tanyaku, karena matanya menyipit dengan tatapan lekat.Pak Maftuh aku lihat ia diam saja. Mungkin dia faham maksudku, lagian aku pernah menceritakan siapa Mbak Luna.Tak berselang lama Mas Budi keluar. Owh ... ternyata ada Mas Budi juga di sini."Ada yang salah?" tanyaku lagi sedikit menegaskan suara. Kemudian ia terlihat sedikit terkejut."Eh, nggak ada yang salah, cuma mirip dengan adik ipar saya. Cuma cantikan Mbaknya," ucap Mbak Luna. Aku hanya nyengir saja."Kamu Ratih bukan?" tanya Mas Budi. Aku mengangkat sedikit alisku."Emm, perkenalkan namaku Melisa," jawabku seraya mengulurkan tangan ke Mas Budi.Mas Budi menerima uluran tanganku. Agak sedikit lama, sengaja. Kan ngerjain Mbak Luna. ha ha ha.Tiba-tiba tangan Mas Budi di tarik begitu saja oleh Mbak Luna. Kayaknya sih dia cemburu. Ha ha ha."Nggak usah lama-lama pegangan sama suami orang
LUNA MINTA MAAFBAB 60“Jangan gitu dong, Tih! Aku loo hanya bercanda! Jangan lapor-lapor gitu dong!” ucap Mbak Luna. Kuhela panjang napas ini.Kulihat ekspresi Mbak Luna, ia nampaknya memang beneran takut, jika aku laporkan masalah perbuatan tidak menyenangkan ini. Ia terlihat mendekat denganku.“Tih ... pliiiissss ... sumpah, aku cuma bercanda, kitakan saudara, nggak luculah masa’ saudara melaporkan kasus sepele kayak gini,” ucap Mbak Luna lagi.“Hah? Sepele menurutmu, Mbak? Tapi menurutku ini bukan masalah sepele, ini masalah serius, karena menyangkut harga diri. Mbak bilang aku benalu di hidup orang lain. Aku jadi benalu di hidup siapa menurutmu? Hah?” sungutku geram. Sengaja juga menggunakan nada lantang, karena ia pikir aku tak bisa marah apa?Selama ini aku memang banyak diamnya dengan tingkah Mbak Luna ini. Tapi, lama-lama di diamkan ia semakin semena-mena aku lihat.Mbak Luna nampak menggigit bibir bawahnya. Seolah susah mau menanggapin ucapanku. Kuperhatikan Mas Budi, raut w
MELEPAS SESAKPART 61Azkia akhirnya sekarang bersamaku juga. Pulang bersama di rumah apartemen milik Bu Putri. Hati ini sungguh lega sekali. Bisa berkumpul dengan anak. Hati ini juga tenang, setidaknya ikut Bu Putri dengan segala penjagaannya.Entah berapa dana yang di keluarkan Bu Putri, untuk mendanai seluruh penjagaan ini. Tapi, mungkin sekelas Bu Putri, uang nomor sekian, yang terpenting dia aman.“Hai, cantik sekali kamu,” ucap Bu Putri memuji Azkia, yang di puji senyum-senyum polos. Kemudian nyengir memamerkan gigi ompongnya. Seolah terlihat senang sekali di puji cantik oleh Bu Putri.“Makasih, Tante,” balas Azkia lugu.Bu Putri terlihat mencubit gemes Pipi Azkia. Pak Maftuh habis mengantarkanku dan Azkia, beliau langsung pamit pulang. Mungkin ia ingin segera beristirahat, karena keadaan hari ini juga cukup melelahkan.Bertemu setiap hari dengan Pak Maftuh, juga semakin membuat hati ini nyaman. Seolah sudah merasakan ketergantungan. Hemm, tapi aku juga selalu mengingatkan diri
PERSIDANGANBab 62*************Pagi ini, dengan memakai baju khas gaya Melisa, aku siap untuk menuju ke Pengadilan.Bismillahirrahmanirrahim ... semoga segala urusanku, di permudahkan hari ini.Azkia juga sudah siap. Biarkan ia bertemu dengan ayahnya. Mungkin dia rindu, tapi bisa jadi tak berani ia menyampaikan rasa rindunya."Kamu cantik sekali, Melisa," ledek Bu Putri, aku mengulas senyum tipis."Melisa memang cantik, kalau Ratih buruk rupa, ha ha ha," balasku. Bu Putri ikut menambahi tawa ini."Ratih juga cantik, cuma kurang dana saja. Kalau Melisa, sudah over dananya," ucap Bu Putri. Cukup membuatku manggut-manggut seraya menahan tawa yang ingin meledak lagi."Iya, ya, Bu. Cantik karena dana," ucapku."Semua perempuan dilahirkan cantik. Tergantung kita merawat kecantikan itu. Tapi, melihat kamu secantik ini, saya yakin, Pak Bima pasti menyesal, dan meminta untuk rujuk," ucap Bu Putri. Cukup membuatku tertawa lirih."Ah, Ibu ngomong apa? Mas Bima sudah kepincut dengan harta Bu Su
Lanjutan PerceraianBAB 63Alhamdulillah, kami semua sudah keluar dalam ruang sidang.Benar kata Bu Putri, kalau Mas Bima terlihat menyesal. Bahkan terang-terangan meminta maaf dan memintaku untuk rujuk dengannya.Tapi aku memang sudah tak ingin lagi kembali dengannya. Hati ini sudah terlanjur sakit dan hancur berkeping-keping."Aku sudah memaafkanmu, Mas. Memaafkan hal yang mudah, tapi memperbaiki hati yang sudah terlanjur terluka, itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Kalaupun sudah tertata lagi hati ini, itu pun sudah tak seelok dulu. Kita memang sudah tak menjadi sepasang suami istri. Tapi, diantara kita masih ada ikatan anak yang sangat cantik. Azkia tetap anak kita. Sampai kapan pun itu tak bisa di putus. Ikatan pernikahan bisa putus, tapi ikatan anak dan orang tua, sampai kapan pun akan tetap terjalin. Selamat berpisah, semoga bahagia dengan kehidupan masing-masing."seperti itulah ucapanku di hadapan semua orang, dengan mata berkaca-kaca menghadap ke arah Mas Bima. Aku meman
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda