KEKACAUAN
PART 11
"Mbak cukup!" teriakku lantang. Karena semakin ke sini, aku semakin geram dan muak dengan tingkah Mbak Luna yang semakin tak berwibawa dan menurutku semakin ke kanak-kanakan.
Mbak Luna seketika diam, menghentikan aksinya menarik-narik Bu Putri. Menoleh ke arahku dengan mata mendelik. Seolah tak suka aku berteriak lantang.
Kalau biasanya aku segan dan tak enak hati dengan Mas Budi, karena membentak istrinya yang sok cantik ini, tidak untuk kali ini. Karena Mas Budi juga sama saja kayak Mbak Luna. Sama-sama semakin membuatku muak.
"Heh ... nggak sopan teriak-teriak sama orang yang lebih tua!" sungut Mbak Luna. Kuhela panjang napas ini.
"Emang, Mbak pikir, Mbak itu udah paling sopan? Ngaca! Intropeksi diri!" balasku. Makin mendelik saja matanya itu.
"Jelas lebih sopan aku dari pada kamu! Kamu yang harusnya ngaca! Dan kamu juga yang harusnya istropeksi diri!" sungut Mbak Luna semakin menjadi.
"Iyakah? Teriak-teriak di rumah Mertua malam kayak gini, apakah itu sopan?" tanyaku. Mbak Luna terlihat gelagapan.
"Owhhh ... jadi orang tua Mbak Luna, seperti ini mengajarkan sopan santun?! Luar biasa!" cercaku. Sengaja, karena aku semakin muak dengan karakternya yang sok kecantikan itu.
"Heh ... jangan bawa-bawa orang tua!" sungut Mbak Luna.
"Kalau gitu, jangan buat ulah juga di rumah orang tuaku!" balasku tak mau kalah. Karena semakin ngalah sama model orang Mbak Luna seperti ini, akan semakin di injak.
"Mas, kamu lihat sendiri tingkah adikmu. Berani dia sama aku. Aku merasa tak di hargai! Nggak sopan!" adu Mbak Luna kepada Mas Budi.
"Ngadu aja terus. Yang di aduin juga otaknya udah ketutup rok istri! Takut nggak dapat jatah!" sindirku. Sengaja memang. Karena memang sudah geram sampai ke ubun-ubun.
"Ratih! Jaga mulutmu!" sungut Mas Budi. Nampak tak terima dengan apa yang aku katakan.
"Mulut istrimu itu yang harusnya di jaga!" balasku. Mas Budi nampak mendelik.
"CUKUP!!!" teriak Emak. Semua mata seketika menoleh ke arah Emak.
Raut wajah kecewa yang aku lihat di raut tuanya itu. Abah terlihat duduk dengan tangan mengelus dada.
"Budi! Bawa istrimu pulang! Malam-malam datang ke sini hanya buat keributan saja! Malu harusnya! Kalian ini orang terpelajar. Dan kamu Luna! Kalau ke sini hanya buat huru hara dan panasnya hati, lebih baik nggak usah ke sini!" ucap Emak. Nada suara kecewa yang aku dengar.
"Hemm ... di mana-mana anak mantu selalu salah! Dan selalu anak kandung yang di bela!" balas Mbak Luna dengan memainkan bibirnya. Seperti itukah yang ia bilang sopan?
"Emak nggak bela siapa-siapa. Emak hanya membela yang benar menurut Emak!" balas Emak.
"Jelas anak kandunglah yang benar menurut Emak! Bukan anak mantu!" balas Mbak Luna. Semakin menjadi menurutku, sudah tak ada rasa segan sama sekali dengan mertua. Karena ia merasa, suaminya pasti membela dia. Makanya dia semena-mena.
"Kalian selalu memojokan Luna!" sahut Mas Budi. Tuh benerkan? Baru juga di bahas.
Astaga ... entah apa yang di berikan Mbak Luna, hingga Mas Budi seperti itu. Semakin ke sini, aku semakin tak mengenali karakter saudara kandungku itu.
"Budi! Kamu harusnya bisa menilai. Dan semakin ke sini, Abah semakin tak mengenalimu!" ucap Abah lirih. Tapi masih terdengar di telinga.
"Jadi Abah juga menilai aku dan Luna yang salah?" tanya balik Mas Budi.
"Karena faktanya kamu memang salah!" balas Abah seraya menatap tajam anak sulungnya itu.
Mas Budi nampak menghela napas panjang. Mbak Luna semakin menunjukan ekspresi terdzolimi. Mambuatku semakin muak.
"Kalian ini menyembunyikan buronan! Kita laporkan saja ke keluarganya. Dapat imbalan uang yang banyak. Kalian ini gimana sih! Dia ajak kaya kok susah amat! Senang banget hidup miskin!" sungut Mbak Luna.
Kuhela napas ini. Memang sudah nggak ada otak perempuan bergelar iparku ini. Sudah tak punya rasa malu juga.
"Hebat! Kelakuan seperti ini yang di bilang beretika?" ledekku lagi. Mas Budi semakin mendelik menatapku.
"Ratih!" bentak Mas Budi.
"Bentak istrimu itu! Jangan bentak aku terus! Jadi suami kok kayak gitu!" sungutku. Kulihat tangan lelaki itu mengepal. Mungkin dia menahan amarah.
"Semua ini gara-gara kamu!" sungut Mas Budi seraya menunjuk Bu Putri. Yang di tunjuk jelas terkejut.
"Nah, iya! Ngapain juga nyembunyiin orang kayak gini. Bisa-bisa malah jadi masalah. Kecuali dia mau nyogok mahal kita, untuk tutup mulut! Setidaknya setara dengan imbalan yang saudaranya berikan!" ucap Mbak Luna. Yang menurutku semakin keterlaluan.
"Mbak Luna, kamu itu dari tadi ngomong nggak nyambung. Abah dan Emak murka karena apa, eh, kamu malah kemana-mana!" sindirku.
"Ratih! Yang nggak nyambung itu kamu. Jelas-jelas nemu Emas, bukannya cepat-cepat di jual, malah disembunyikan! Keburu ilang ntar!" sahut Mbak Luna.
"Bu Putri bukan Emas. Dia orang biasa. Dan dia memang membutuhkan pertolongan!" balasku. Entahlah, hati ini lebih percaya ke Bu Putri dari pada ke Mbak Iparku itu.
"Halaah ... di tolong juga belum tentu ada balas budinya!" sungut Mbak Luna. Lagi, dengan memainkan bibirnya.
"Itukan kamu Mbak! Jangan samakan dirimu dengan orang lain!" balasku.
"Apa maksudmu ngomong kayak gitu?" tanya Mbak Luna.
"Pikir aja ndiri!" balasku.
"Ratih!" bentak Mas Budi lagi. Kuusap kasar telinga.
"Bisa nggak, sih, kamu itu nggak usah teriak-teriak? Panas telingaku. Putus pita suaramu baru tahu rasa!" sungutku.
"Kamu ...."
"CUKUP!!" teriak Bu Putri seraya menangkap tangan Mas Budi, yang hampir saja mendarat di pipiku.
"Asragfirullah ...." lirib Abah. Kemudian memejamkan sejenak kelopak matanya.
"Ya Allah ... Emak merasa salah mendidik kalian!" desah Emak dengan nada kecewa. Sedangkan tangan Bu Putri masih memegang tangan Mas Budi.
"Udah, nggak usah lama-lama megang tangan suami orang! Dasar gatel!" sungut Mbak Luna, seraya mendorong Bu Putri. Membuat Bu Putri mundur beberapa langkah. Tapi bola mata Bu Putri dan Mas Budi masih saling beradu pandang.
"Hebat!" ucap Bu Putri. Sorot mata kebencian yang aku lihat. Pun Mas Budi.
Hebat? Entah apa maksudnya, aku tak faham.
"Awas saja kalau kamu sampai macam-macam di sini!" ucap Mas Budi. Bu Putri terlihat menyeringai.
"Bukannya kamu dan istrimu ini, yang macam-macam di sini?" sekak Bu Putri. Mas Budi terlihat memainkan bibirnya, tanda tak suka.
Kulihat Bu Putri memandang ke arah Mbak Luna. Sorot mata tajam yang ia pancarkan.
"Dan kamu! Kalau ingin lapor, silahkan! Tapi aku pastikan, kamu akan menyesal dan menangis darah telah melakukan itu!" ancam Bu Putri.
"Eh ... kamu ngancam? Kamu pikir aku takut dengan ancamanmu? Nggak sama sekali!" sungut Mbak Luna.
"Kalian kalau belum puas bertengkar, silahkan pergi ke lapangan. Abah sama Emak mau istirahat!" ucap Emak. Mungkin sudah kesal melihat keributan kami yang tak ada habisnya.
"Astagfirullah! Abah dan Emak kalian masih hidup, kalian sudah tengkar seperti ini. Abah nggak bayangin kalau kami telah tiada nanti. Anak laki-laki satu-satunya, yang Abah harapkan bisa mengayomi keluarga, nampaknya tak bisa di andalkan!" ucap Abah. Lagi, telinga ini mendengar nada kekecewaan.
Kami semua terdiam.
"Ayok Mas kita pulang. Stres aku lama-lama kumpul keluargamu. Diajak kaya secara instan kok susah banget. Memang cocoknya miskin terus sampai mati!" ucap Mbak Luna.
Kalau tak ingat ada Emak dan Abah, ingin rasanya aku tampol itu mulut.
"Ya, sana pulang! Nggak usah ke sini-sini lagi!" sungutku.
"Kalau mereka tak mau melaporkan perempuan buron ini, kita aja yang lapor. Malah enak duitnya nggak bagi-bagi!" ucap Mbak Luna.
Astagfirullah, di otaknya hanya uang dan uang. Tak ada yang lainnya lagi.
"Iya, kamu benar. Susah memang ngomong sama mereka. Dan kamu memang sudah harusnya pulang kekeluargamu! Karena tempatmu bukan di sini!" ucap Mas Budi, seraya menunjuk ke arah wajah Bu Putri.
"Dia tamu Abah! Kamu tak ada hak ngomong seperti itu!" balas Abah. Membuat Mas Budi menyeringai.
"Hebat kamu! Orang tuaku sudah berhasil kamu cuci otaknya!" sindir Mas Budi.
"Sudahlah! Mual perutku lama-lama di sini! Ayok kita pulang!" ucap Mbak Luna seraya menyeret suaminya. Yang di seret juga nurut dan pasrah saja.
Bu Putri terlihat menghela napas panjang. Kemudian mendekat ke arah Abah dan Emak. Setelah memastikan Mas Budi dan istrinya telah berlalu.
"Maafkan saya! Jika kehadiran saya membuat keributan!" ucapnya. Abah terlihat diam dan meneguk ludah.
"Nggak usah di pikir, ya! Tapi posisimu sekarang sudah tak aman. Kamu harus pergi dari sini!" ucap Abah.
"Abah ngusir saya?" tanya Bu Putri.
"Bukan. Bukan seperti itu. Justru saya nggak mau, Ibu di laporkan menantu saya. Karena Luna orangnya nekad. Saya sebagai mertuanya, tak bisa bertindak apa-apa," jawab Abah.
"Bah, tapi malam-malam gini, Bu Putri harus pergi ke mana?" tanyaku. Karena aku tak tega melihat keadaan Bu Putri.
"Akan Abah antar ke rumah Almarhum buyutmu! Rumah kosong lama. Abah yakin di sana aman. Tapi, Abah minta satu syarat!" ucap Abah.
"Syarat apa, Bah?" tanya Bu Putri. Abah terlihat menghela napas panjang. Kemudian saling beradu pandang dengan Emak.
"Emm ... Abah ingin tahu, apa masalahmu, hingga menjadi burunan keluargamu? Bahkan merela berani bayar uang mahal, bagi yang menemukan. Bisa kamu menceritakan semuanya?" jawab dan tanya Abah.
Aku segera menatap ke arah Bu Putri. Dia terlihat mengangguk pelan.
"Sekalian, ada hubungan apa kamu sama Budi. Kok nampaknya kalian juga sudah kenal lama dan ada masalah berat juga?" tanya Emak.
"Baiklah, akan saya ceritakan semuanya, termasuk saya juga kenal dengan menantu kalian, Bima," ucap Bu Putri. Abah dan Emak nampak sedikit terkejut. Dan kemudian mengangguk. siap mendengarkan penjelasan dari Bu Putri.
Nah, iya, aku juga penasaran sama hubungan dia dan Mas Bima. Ada ikatan apa mereka?
**********
PENJELASANPART 12"Sebaiknya jangan cerita di sini, Bah! Karena menurut Ratih sudah tak aman!" ucapku, kemudian kuedarkan pandang, untuk memastikan semua masih baik-baik saja. Karena hati semakin tak enak."Benar kata Ratih!" sahut Emak yang juga ikutan mengedarkan pandang. Mungkin juga merasakan perasaan yang sama.Abah terlihat menghela napas sejenak, kemudian mengangguk pelan."Tapi, kalau rumah kosong total, mencurigakan. Jadi tetap harus ada yang tinggal," ucap Abah. Aku mengangguk."Biar Emak aja yang tinggal. Nanti Emak bisa Abah ceritakan," ucap Emak. Abah mengangguk."Gimana menurutmu, Nduk?" tanya Abah dengan tatapan, mengarah ke Bu Putri."Saya nurut saja. Karena saya sendiri bingung mengambil keputusan," jawab Bu Putri. Memang kalau yang mengalami masalah, pasti akan susah mengambil keputusan. Jadi menurutku memang lebih nurut, selama masih masuk logika."Ok, kalau gitu kita segera bersiap. Ratih, pinjamkan baju-bajumu untuk ganti Putri. Kita segera berangkat ke rumah alm
PART 13Bu Putri menggantungkan ucapannya di udara. Aku dan Abah saling beradu pandang, saling penasaran juga tentunya."Segitu beratnya ingin bercerita?" tanya Abah. Bu Putri dengan cepat menggeleng."Nggak Bah. Cuma masih menata hati saja, terlalu berat ganjalan di dalam sini," jawab Bu Putri.Aku masih bersabar untuk menunggu. Karena aku sendiri jika berada di posisi Bu Putri juga belum tentu setegar dia."Emm ... aku mulai dari masalah aku jadi buronan mereka dulu saja," ucap Bu Putri mengambil keputusan. Abah terlihat mengangguk pelan."Silahkan!" balas Abah. Yang mana aku lihat sedang membenahi jaketnya. Hawa dingin semakin menusuk."Nama saya Putri Marendra. Anak tunggal Putra Aksa Marendra," jelasnya terlebih dahulu. Abah terlihat melipat kening."Astaga ... kamu anaknya Pak Putra Aksa Marendra?" tanya Abah seolah memastikan. Bu Putri mengangguk pelan."Iya, Abah ... Abah kenal dengan Papa saya?" tanya balik Bu Putri. Abah masih terlihat tercengang."Siapa yang tak kenal denga
IDE UNTUK MASALAHPART 14"Emm, waktu sudah semakin larut. Kalian istirahat dulu. Pembahasan dilanjutkan besok saja. Tetap harus jaga kesehatan, karena kesehatan lebih penting dari pada apapun," titah Abah. Padahal aku sudah penasaran sekali dengan rencana Bu Putri."Benar juga kata Abah, Bu. Lebih baik kita istirahat dulu, kesehatan dan stamina harus terjaga dan stabil," ucapku. Bu Putri mengangguk pelan."Iya. Kita memang harus menjaga kesehatan," balas Bu Putri. Gantian aku yang mengangguk."Kalian istirahat di kamar! Abah di sini saja," ucap Abah."Baik, Bah!" balasku kemudian beranjak. Pun Bu Putri juga ikut beranjak.Aku melangkahkan kaki menuju ke kamar. Bu Putri mengekor di belakangku. Segera aku nyalakan lampu dan aku keluarkan kasur lipat yang ditaruh di dalam lemari. Menggelarnya di atas ranjang.Karena sudah lama tak di tempati, maka ruangan terlihat kotor berdebu."Besok saja kita bersihin, ya, Bu. Penting sekarang istirahat dulu!" ucapku. Bu Putri terlihat tersenyum."Iy
MENEMUI ORANG KEPERCAYAAN.PART 15Dengan mengendarai motor, aku segera meluncur ke alamat yang di berikan Bu Putri. Jujur saja rasa cemas dan khawatir menggelayut di dalam sini, karena meninggalkan Bu Putri seorang diri. Karena dia sedang dalam pencarian ketat.Aku memang baru mengenal Bu Putri, tapi aku sangat mencemaskan dia. Bahkan lebih cemas dibanding dengan masalahku sendiri.Aku sudah berhenti di parkiran kantor milik keluarga Marendra. Bahkan nama kantor tersebut langsung memakai nama Marendra. Luar biasa memang. Tapi siapa sangka, jika di dalam keluarga Marendra saling berebut harta dan kekuasaan.Kuedarkan pandang. Bangunan itu terlihat menjulang tinggi. Mobil berjejer dengan rapi. Mobil kelas menengah ke atas semua.Motor juga berjejer dengan rapi. Mungkin kalau motor untuk yang bekerja sebagai OB di perusahaan Marendra ini.Bismillah, segera aku turun dari motor setelah melepas helm tentunya. Merapikan baju sejenak.Kuamati bajuku. Haduh ... terasa tak pantas masuk ke dal
Menyampaikan SuratPART 16"Jangan bicara di sini! Terlalu berbahaya, karena ada musuh dalam selimut!" ucap Pak Maftuh. Aku mengangguk pertanda menyetujui. "Iya, Pak.""Emm, Dek, maaf, kamu di sini dulu, ya!" pintaku. Karena aku tak mau dia ikut dan tahu semua masalah ini. Karena juga baru kenal."Tapi, Mbak! Daftar OB nya gimana?" tanya balik perempuan muda itu. Pak Maftuh memandang ke arah perempuan muda itu."Temui Pak Hasan di lantai bawah! Kalau mau daftar OB!" saran Pak Maftuh."Owh ... baik, Pak. Terimakasih!" sahut perempuan itu dengan bibir melebar. Kemudian dia segera berlalu masuk ke dalam lift."Ikut saya!" pinta Pak Maftuh dan aku segera mengangguk. Untung tadi aku mendengar percakapan mereka. Jadi aku tahu mana yang benar-benar tulus dan mana yang tidak. Jadi aku tak salah orang, untuk menyampaikan surat itu.Kasihan juga Bu Putri, dalam kondisi terpuruk, salah satu orang kepercayaannya, ada yang menikungnya. Tak bisa membayangkan, jika rekaman ini sampai ke tangan Bu Pu
RINTANGAN DAN TINDAKANPART 17"Ratih!" teriak Mas Bima. Seketika aku menghentikan langkah. Kuurungkan untuk masuk mobil. Kubalikan badan ini perlahan."Ada apa?" tanyaku. Ia terlihat mendekat. Mata ini masih melihat sosok Pak Maftuh berdiri tegap ditempatnya."Pisah denganku, miris sekali nasibmu. Menjadi babu di rumah orang!" maki Mas Bima. Seketika hati ini semakin membuncah. Kuterus mencoba menahan gejolak di dalam sini. Agar tak terpancing.Kusunggingkan senyum tipis di bibir. Berusaha santai, seolah tak merasa sakit hati."Miris? Itukan hanya penilaianmu. Tapi hati ini sangat bahagia bisa terlepas dari lelaki sepertimu!" jawabku santai. Mas Bima terlihat menyeringai, seolah hendak menjatuhkan."Iyakah? Tapi, aku tak percaya! Mana ada orang bahagia kerja jadi babu!" ucapnya."Percaya atau tidak, itu urusanmu, bukan urusanku!" balasku masih terus berusaha santai. Bahkan tetap aku usahakan dengan nada suara tenang."Kamu pasti menyesal memilih pisah dariku!" ucapnya penuh dengan pe
RENCANAPART 18"Makan dulu, Bu!" pintaku. Karena tadi aku sempatkan beli dua nasi bungkus."Terimakasih," balasnya. Aku mengulas senyum."Sama-sama, Bu!" ucapku.Segera aku buka nasi bungkus yang aku beli tadi, dengan lauk ikan Nila bakar. Sama dengan lauk yang aku belikan untuk Bu Putri.Aku segera beranjak. Mengambil mangkuk berisi air untuk cuci tangan. Bu Putri aku lihat sudah membuka nasi bungkusnya."Ini cuci tangannya, Bu!" ucapku. Bu Putri mengangguk."Terimakasih," balasnya."Maaf, Bu. Aku nggak tahu selera Ibu apa. Jadi aku belikan lauk seleraku," ucapku."Pokok makan kenyang! Pokok lauknya halal," sahut Bu Putri. Kemudian dia segera melahap nasi bungkus itu.Hemm ... dia orang kaya, tapi tak sok kaya. Semoga saja memang seperti itu sifat aslinya. Bukan karena dalam kondisi terjepit seperti ini.Aku segera ikut melahap nasi bungkus yang aku beli itu. Karena perut sudah sangat keroncongan.******************"Tih, untung kamu merekam percakapan Revan dan Maftuh," ucap Bu Put
MEMBUNTUTIPART 19"Ya Allah, Nduk, banyak sekali!" ucap Emak saat aku kasih uang tiga juta rupiah."Uang Bu Putri, Bu! sahutku. Emak terlihat melipat kening."Banyak sekali uangnya? Dapat dari mana? Dia kan keluar dari rumah hanya pakai baju yang menempel di badan?" tanya Emak. Jelas beliau penasaran."Panjang ceritanya, Mak. Tapi Emak tenang saja. Ini uang halal, kok," jawabku."Udah, uangnya buat pegangan kalian saja! Emak masih punya uang, kok," ucap Emak."Ini Bu Putri yang minta, Mak. Lagian kami masih megang tujuh juta. Tadi habis narik sepuluh juta," jelasku."Hah? Banyak amat uangnya? Pasti habis itu isi rekeningnya!" ucap Emak."Banyak, Mak, isi rekening ATM ini. Tadi aku cek isinya hampir sepuluh milyar," jelasku."Hah? Uang semua itu?" tanya Emak nampak terkejut."Iya, uang semua. Aku aja juga kaget, Mak!" jawabku."Astagfirullah ... sebanyak apa, ya, uang sepuluh milyar itu?" tanya Emak."Banyaklah, Mak. Bu Putri itu calon generasi perusahaan Marendra, Mak. Makanya jadi b
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda