Part 8
Tak terasa sudah tujuh hari aku di rumah Abah. Luka di lutut Azkia juga sudah mengering. Selama tujuh hari ini, tak ada mendengar kabar dari Mas Bima. Entah ia masih hidup atau tidak, aku juga tak tahu. Masalah leasing motor itu pun aku juga tak tahu.
Selama tujuh hari ini juga, aku mencari pekerjaan. Susah juga ternyata, tapi aku tetap semangat. Karena aku yakin, aku pasti bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.
Pagi ini aku membantu Emak memasak. Abah sudah ke kebun. Beliau sedang menanam timun dan masih perawatan.
"Hari ini mau kemana?" tanya Emak, sambil mengupas bawang merah.
"Cari pekerjaan, Mak!" jawabku. Emak terlihat menghela napas panjang.
"Cari kerjaan susah, Tih. Mending buka usaha sendiri aja!" saran Emak.
"Usaha apa Emak? Lagian nggak ada modal!" balasku.
"Usaha apa yang kamu bisa. Tapi, memang semua tak lepas dari dana," sahut Emak. Aku mengangguk pelan.
"Iya, Mak. Makanya Ratih cari kerjaan dulu. Cari modallah istilahnya," balasku.
"Emak hanya bisa bantu doa, Nduk! Emak nggak bisa bantu apa-apa," ucap Emak. Ucapan Emak barusan terasa menyentuh di dalam sini.
"Doa Emak itu yang membuat Ratih semangat dan kuat. Dan doa Emak itu yang Ratih harapkan!" balasku. Emak terlihat meneguk ludah. Kemudian mengiris tipis bawang merah yang telah beliau kupas.
"Semoga hari ini kamu dapat kerjaan, ya, Nduk! Biar bisa membungkam mulut Bima!" harap Emak.
"Aamiin!" balasku singkat.
"Owh, ya, Emak nanti mau ke rumah Bu Harun. Mau ikut nggak?" tanya Emak.
"Emm, ada urusan apa Mak sama Bu Harun?" tanyaku balik.
"Biasalah ibu-ibu PKK," jawab Emak.
"Nggaklah, Mak! Ratih agak siangan nanti mau keluar cari kerjaan aja. Siapa tahu rejeki hari ini," balasku.
"Owh, yaudahlah! Kalau gitu nanti Azkia biar Emak bawa," ucap Emak.
"Iya, Mak. Sekali lagi, maaf, ya, Mak, ngerepotin," ucapku. Emak terlihat menggeleng.
"Nggak ada ngerepotin. Emak malah seneng kalian di sini. Jadi Emak dan Abah ada kawannya. Nggak hanya berdua. Nampaknya punya anak tiga. Giliran di masa tua kayak gini, hidup berdua lagi, heeemmm," ucap Emak.
"Iya, ya, Mak, punya anak tiga padahal," balasku.
"Makanya ... giliran udah tua gini, kayak nggak punya anak saja! Nasib! Nasib!" balas Emak. Hingga akhirnya kami tertawa lirih.
"Nanti sebelum kamu keluar, antar makanan Abah dulu, ya, ke kebun!" titah Emak.
"Iya, Mak. Pasti!" balasku. Emak terlihat menyunggingkan senyum.
Abah memang sudah berangkat ke kebun. Hanya minum kopi dan camilan ringan saja. Untuk sarapan nasinya, Abah suka di kirim. Karena kata Abah lebih terasa nikmat.
**********
"Assalamualaikum!" terdengar suara salam. Aku masih di dalam kamar. Bersiap mau keluar cari pekerjaan. Sarapan Abah juga sudah aku antar. Emak dan Azkia sudah berangkat ke rumah Bu Harun.
"Walaikum salam!" jawabku masih di dalam kamar, karena masih merapikan diri.
Aku segera keluar dari kamar. Melihat siapa yang datang.
"Owalaahh ... Mbak Luna," ucapku.
"Loh, kok, kamu masih di sini?" tanya Mbak Luna seolah terkejut melihatku.
"Emang kenapa kalau aku masih di sini? Lagian rumah orang tuaku ini," tanyaku balik. Mbak Luna terlihat memainkan bibirnya.
"Hemm ... pasti kamu mengincar warisan Abah, ya?" tuduh Mbak Luna.
"Astagfirullah!" lirihku.
"Kan Abah dulu itu memutuskan, siapa yang mau merawat Abah dan Emak sampai mereka tiada, maka warisannya akan jatuh ke orang itu. Pasti kamu ingin itukan!" terka Mbak Luna, seraya duduk di kursi.
"Suka-suka kamu lah, Mbak, mau ngomong apa! Yang penting kamu senang!" balasku.
Mbak Luna terlihat mengedarkan pandang. Ia datang seorang diri.
"Abah sama Emak kemana?" tanyanya.
"Kepo!" balasku. Mbak Luna terlihat mencebikan mulutnya.
"Ditanya baik-baik juga!" balasnya tanpa merasa bersalah, apalagi merasa berdosa. Blasss ... nggak merasa.
"Eh, kamu pasti berantem kan sama Bima? Makanya kamu masih di sini!" tanya Mbak Luna lagi.
"Kepo!" kujawab gitu lagi. Kulihat ekspresi mukanya semakin tak suka.
"Demi mendapatkan warisan. Ampe segitunya kamu Tih!" ucap Mbak Luna. Yang seolah ingin memancing emosiku.
"Anak kandung mah wajar ngarep warisan. Yang nggak wajar anak mantu yang ngarep warisan," balasku seraya memasang kaos kaki. Matanya terlihat menyalang tajam menatapku.
"Apa maksudmu ngomong kayak gitu?" tanya Mbak Luna seolah memastikan.
"Pikir aja ndiri!" balasku. Berhadapan dengan orang kayak Mbak Luna gini, tak perlu menggunakan otot. Karena hanya bikin darah tinggi saja.
"Lama-lama kamu itu nggak ada sopan-sopannya, ya, ngomong sama Ipar!" sungut Mbak Luna. Nampaknya dia yang tersulut emosinya.
"Tergantung iparnya juga, sih!" balasku semakin santai. Kuamati badan iparku itu. Mata ini melihat ada kresek hitam yang ia bawa.
Aku segera mendekati, karena penasaran isi kresek hitam itu.
"Mau nyogok Abah Emak, ya! Bawa-bawaan ginian?" ledekku gantian. Aku lihat isi kresek itu berisi sembako.
"Jangan asal nuduh kamu!" sungutnya.
"Emm, kalau gitu Mbak Luna juga jangan asal nuduh dong! Nggak enakan dibilang kayak gitu!" balasku semakin santai. Mbak Luna terlihat membuang muka.
"Mana kesininya sendirian lagi. Pasti mau carmuk, ya, sama Abah Emak!" ledekku lagi.
"Heeh ... ati-ati kalau ngomong! Mikir bikin orang sakit ati apa nggak!" sungut Mbak Luna. Nampak sekali tak terima mendengar ucapanku.
"Owwhh ... sakit hati, to! Syukurlah kalau masih punya hati! Makanya Mbak Luna juga kalau ngomong juga di pikir! Nggak enakan rasanya di gituin orang!" balasku.
"Huufft ... Ya Allah ... nggimpi apa aku tadi malam, kok, bisa-bisanya ketemu kamu! Jadi nyesel ke sini!" sungut Mbak Luna.
"Ha ha ha, pasti mimpi buruk! Ha ha ha," sengaja kuledakan tawa. Karena itu pasti akan membuatnya semakin kesal.
"Udahlah! Karena ketahuan aku pulang saja! Nyesel ke sini!" sungutnya.
"Ketahuan? Ketahuan apa? Ketahuan mau nyogok?" tanyaku. Mbak Luna terlihat membungkam reflek mulutnya.
"Eh, maksudku, karena ketemu kamu aku pulang saja. Bukan karena ketahuan. Salah ngomong! Gara-gara ketemu kamu, jadi gelepotan aku ngomong! Bay!" jelasnya, yang menurut ngasal dia.
"Ha ha ha," semakin aku ledakan tawa ini, terlihat Mbak Luna bergegas keluar dari rumah Abah dan bawaan yang ia bawa, ia bawa pulang lagi.
"Kalau memang nggak untuk nyogok Abah dan Emak, ditinggal dong bawaannya!" ledekku.
"Bay!!!" balas Mbak Luna. Kemudian segera berlalu dengan motor maticnya. Karena rumah Mbak Luna, tak jauh. Hanya beda desa saja.
Astagfirullah ... Mas Budi dulu dapat dari mana, perempuan model begitu.
Karena Mbak Luna sudah berlalu, aku segera bersiap untuk keluar. Bismillah mencari pekerjaan lagi. Semoga rejeki hari ini bagus untukku.
***********
Matahari sudah tergelincir dan aku belum medapatkan pekerjaan. Ya Allah ... sungguh susah sekali.
Karena terik matahari lagi panas-panasnya, aku memilih membeli es kocok dipinggir jalan.
Kuedarkan pandang. Keadaan sangat ramai. Kendaraan memadati jalanan. Ya Allah ... kemana lagi aku harus mencari pekerjaan?
Tiiiinnnnn ....
Suara klakson mobil cukup mengagetkanku. Segera aku menoleh ke arah mobil itu. Tak berselang lama kaca mobil itu terbuka.
"Mas Bima?" lirihku. Ia nampak mengulas senyum. Kemudian ia terlihat turun dari mobil mewah itu. Entah mobil siapa yang ia pakai.
"Gimana pisah dengan aku? Pasti kamu nyesal kan? Pasti kamu susah cari kerjaan!" ledek Mas Bima. Kuusap pelan wajahku. Aku harus terlihat santai, dan jangan sampai tersulut emosi.
"Nyesal? Sama sekali nggak Pak Bima!" balasku santai. Ia terlihat menyunggingkan senyum menjatuhkan.
"Kamu dengar Ratih! Selama kamu ada di kota ini, kamu tak akan medapatkan pekerjaan yang layak. Kalau pun dapat pekerjaan, mungkin pekerjaan yang rendahan!" ucap Mas Bima. Aku harus terus mengontrol emosi ini.
"Iyakah? Tapi, aku tak mencari pekerjaan! Pekerjaan yang menghampiriku!" balasku asal. Mas Bima terlihat melipat keningnya.
"Pekerjaan apa yang menghampirimu?" tanyanya seolah ia sangat penasaran. Aku memandang ke arah mobil mewah yang ia pakai. Mata ini melihat ada sosok wanita di dalam mobil itu.
"Ehem ... yang jelas pekerjaanku tak seperti pekerjaanmu, yang bermain dengan tante-tante begituan!" balasku. Sorot matanya seketika mendelik, dan aku aku mengulas senyum.
"Kalau kamu tahu pekerjaanku, aku takut kamu mengejar-ngejarku lagi!" ucapku lagi dan semakin santai. Dengan senyum menjatuhkan, walau sebenarnya sama sekali belum mendapatkan pekerjaan apapun.
"Emmm, sana masuk mobil! Di tungguin tuh, ntar kena pecat lagi, sebagai simpenan tante-tante! Aku mau pulang, karena mau ngabari Abah, kalau sudah aku dapatkan pekerjaan yang sangat layak!" ucapku lagi. Aku lihat tangan Mas Bima mengepal, dan aku segera berlalu.
Ya Allah ... Engkau Maha Mengetahui. Aku sengaja berbicara bohong, karena lelaki itu memang harus di gitukan.
Astagfirullah ... semoga ada pekerjaan yang layak untukku.
"Ratih! Kamu tak mungkin mendapatkan pekerjaan. Kamu hanya bohong!" sungut Mas Bima. Tak aku tanggapi, aku terus berlalu.
Entahlah, apa maksunya dia ngomong seperti itu. Apa mungkin semua bos di kota ini, sudah ia hasut. Atau tante selingkuhannya itu orang ternama di kota ini? Ah, tapi aku yakin, aku pasti medapatkan pekerjaan yang layak.
Bismillah ....
Braaagghhh ....
Tiba-tiba secara kilat, badan ini bertumburan dengan seorang Ibu-ibu yang terlihat sangat kusut dan nampak ketakutan.
"Astagfirullah!" ucapku reflek. Karena badan ini tersungkur ke tanah.
"Maaf! maaf!" ucapnya gugup.
"Nggak apa-apa. Ibu baik-baik saja?" tanyaku memastikan.
"Tolong saya! Tolong saya!" ucapnya, cukup membuatku bingung.
**********
Part 9"Maaf, apa anda melihat orang ini?" tanya lelaki berbadan tegap, seraya menyodorkan selembar foto. Foto perempuan yang menabrakku tadi."Emm, nggak!" jawabku tetap berusaha terlihat santai. Agar ia tak curiga."Maaf mengganggu. Kalau melihat orang ini, tolong segera hubungi nomor ini, karena akan mendapatkan imbalan!" ucap lelaki itu, seraya menyodorkan kartu nama. Segera aku menerimanya."Imbalannya apa?" tanyaku polos."Uang." jawabnya."Berapa?"" Yang jelas banyak!" jawabnya."Owhh ... baiklah!" balasku. Lelaki berbadan tegap itu kemudian berlalu, aku lihat ia terus bertanya-tanya dan melakukan hal yang sama kepada semua orang yang ia lihat. Hemm ... siapa sebenarnya perempuan tadi?"Terimakasih," ucap perempuan itu mendekatiku. Tadi ia bersembunyi di antara bangunan kosong. Aku mengedarkan pandang."Semua orang mencarimu, karena ada imbalan yang besar jika berhasil menemukanmu!" ucapku. Perempuan lusuh itu terlihat mengangguk.Aku segera melepas cardigan yang aku pakai. Me
PART 10"Kamu itu kesurupan apa gimana? Datang-datang main tampar adikmu!" sungut Emak. Mas Budi dan Bu Putri yang masih saling beradu pandang akhirnya saling melepas pandangan. Bu Putri berlalu menuju ke kamarku begitu saja. Tanpa pamit. Entahlah, ada hubungan apa mereka.Mas Budi kembali menatapku. Dengan memegangi pipiku yang masih terasa panas, kubalas tatapan itu. Rasanya sakit hati sekali."Luna nangis-nangis pulang dari sini! Karena ucapan Ratih!" jelas Mas Budi."Emang kapan Luna ke sini?" tanya Emak."Tadi pagi," jawab Mas Budi."Benar Ratih? Mbakmu ke sini tadi pagi?" tanya Emak dan aku mengangguk."Emang kamu ngomong apa?" tanya Emak."Mbak Luna duluan, Mak, yang nyindir-nyindir! Kayak biasanya gitulah," jawabku."Halaah ... alasan! Pinter banget ngomong. Mau aku gampar lagi mulutmu itu? Biar bisa sopan dengan kakak iparmu!" sungut Mas Budi. Ya Allah ... segitunya dia membela istrinya."Ya, silahkan kalau mau nampar! Silahkan! Ni ... ayok tampar lagi!" balasku seraya menyod
KEKACAUANPART 11"Mbak cukup!" teriakku lantang. Karena semakin ke sini, aku semakin geram dan muak dengan tingkah Mbak Luna yang semakin tak berwibawa dan menurutku semakin ke kanak-kanakan.Mbak Luna seketika diam, menghentikan aksinya menarik-narik Bu Putri. Menoleh ke arahku dengan mata mendelik. Seolah tak suka aku berteriak lantang.Kalau biasanya aku segan dan tak enak hati dengan Mas Budi, karena membentak istrinya yang sok cantik ini, tidak untuk kali ini. Karena Mas Budi juga sama saja kayak Mbak Luna. Sama-sama semakin membuatku muak."Heh ... nggak sopan teriak-teriak sama orang yang lebih tua!" sungut Mbak Luna. Kuhela panjang napas ini."Emang, Mbak pikir, Mbak itu udah paling sopan? Ngaca! Intropeksi diri!" balasku. Makin mendelik saja matanya itu."Jelas lebih sopan aku dari pada kamu! Kamu yang harusnya ngaca! Dan kamu juga yang harusnya istropeksi diri!" sungut Mbak Luna semakin menjadi."Iyakah? Teriak-teriak di rumah Mertua malam kayak gini, apakah itu sopan?" tan
PENJELASANPART 12"Sebaiknya jangan cerita di sini, Bah! Karena menurut Ratih sudah tak aman!" ucapku, kemudian kuedarkan pandang, untuk memastikan semua masih baik-baik saja. Karena hati semakin tak enak."Benar kata Ratih!" sahut Emak yang juga ikutan mengedarkan pandang. Mungkin juga merasakan perasaan yang sama.Abah terlihat menghela napas sejenak, kemudian mengangguk pelan."Tapi, kalau rumah kosong total, mencurigakan. Jadi tetap harus ada yang tinggal," ucap Abah. Aku mengangguk."Biar Emak aja yang tinggal. Nanti Emak bisa Abah ceritakan," ucap Emak. Abah mengangguk."Gimana menurutmu, Nduk?" tanya Abah dengan tatapan, mengarah ke Bu Putri."Saya nurut saja. Karena saya sendiri bingung mengambil keputusan," jawab Bu Putri. Memang kalau yang mengalami masalah, pasti akan susah mengambil keputusan. Jadi menurutku memang lebih nurut, selama masih masuk logika."Ok, kalau gitu kita segera bersiap. Ratih, pinjamkan baju-bajumu untuk ganti Putri. Kita segera berangkat ke rumah alm
PART 13Bu Putri menggantungkan ucapannya di udara. Aku dan Abah saling beradu pandang, saling penasaran juga tentunya."Segitu beratnya ingin bercerita?" tanya Abah. Bu Putri dengan cepat menggeleng."Nggak Bah. Cuma masih menata hati saja, terlalu berat ganjalan di dalam sini," jawab Bu Putri.Aku masih bersabar untuk menunggu. Karena aku sendiri jika berada di posisi Bu Putri juga belum tentu setegar dia."Emm ... aku mulai dari masalah aku jadi buronan mereka dulu saja," ucap Bu Putri mengambil keputusan. Abah terlihat mengangguk pelan."Silahkan!" balas Abah. Yang mana aku lihat sedang membenahi jaketnya. Hawa dingin semakin menusuk."Nama saya Putri Marendra. Anak tunggal Putra Aksa Marendra," jelasnya terlebih dahulu. Abah terlihat melipat kening."Astaga ... kamu anaknya Pak Putra Aksa Marendra?" tanya Abah seolah memastikan. Bu Putri mengangguk pelan."Iya, Abah ... Abah kenal dengan Papa saya?" tanya balik Bu Putri. Abah masih terlihat tercengang."Siapa yang tak kenal denga
IDE UNTUK MASALAHPART 14"Emm, waktu sudah semakin larut. Kalian istirahat dulu. Pembahasan dilanjutkan besok saja. Tetap harus jaga kesehatan, karena kesehatan lebih penting dari pada apapun," titah Abah. Padahal aku sudah penasaran sekali dengan rencana Bu Putri."Benar juga kata Abah, Bu. Lebih baik kita istirahat dulu, kesehatan dan stamina harus terjaga dan stabil," ucapku. Bu Putri mengangguk pelan."Iya. Kita memang harus menjaga kesehatan," balas Bu Putri. Gantian aku yang mengangguk."Kalian istirahat di kamar! Abah di sini saja," ucap Abah."Baik, Bah!" balasku kemudian beranjak. Pun Bu Putri juga ikut beranjak.Aku melangkahkan kaki menuju ke kamar. Bu Putri mengekor di belakangku. Segera aku nyalakan lampu dan aku keluarkan kasur lipat yang ditaruh di dalam lemari. Menggelarnya di atas ranjang.Karena sudah lama tak di tempati, maka ruangan terlihat kotor berdebu."Besok saja kita bersihin, ya, Bu. Penting sekarang istirahat dulu!" ucapku. Bu Putri terlihat tersenyum."Iy
MENEMUI ORANG KEPERCAYAAN.PART 15Dengan mengendarai motor, aku segera meluncur ke alamat yang di berikan Bu Putri. Jujur saja rasa cemas dan khawatir menggelayut di dalam sini, karena meninggalkan Bu Putri seorang diri. Karena dia sedang dalam pencarian ketat.Aku memang baru mengenal Bu Putri, tapi aku sangat mencemaskan dia. Bahkan lebih cemas dibanding dengan masalahku sendiri.Aku sudah berhenti di parkiran kantor milik keluarga Marendra. Bahkan nama kantor tersebut langsung memakai nama Marendra. Luar biasa memang. Tapi siapa sangka, jika di dalam keluarga Marendra saling berebut harta dan kekuasaan.Kuedarkan pandang. Bangunan itu terlihat menjulang tinggi. Mobil berjejer dengan rapi. Mobil kelas menengah ke atas semua.Motor juga berjejer dengan rapi. Mungkin kalau motor untuk yang bekerja sebagai OB di perusahaan Marendra ini.Bismillah, segera aku turun dari motor setelah melepas helm tentunya. Merapikan baju sejenak.Kuamati bajuku. Haduh ... terasa tak pantas masuk ke dal
Menyampaikan SuratPART 16"Jangan bicara di sini! Terlalu berbahaya, karena ada musuh dalam selimut!" ucap Pak Maftuh. Aku mengangguk pertanda menyetujui. "Iya, Pak.""Emm, Dek, maaf, kamu di sini dulu, ya!" pintaku. Karena aku tak mau dia ikut dan tahu semua masalah ini. Karena juga baru kenal."Tapi, Mbak! Daftar OB nya gimana?" tanya balik perempuan muda itu. Pak Maftuh memandang ke arah perempuan muda itu."Temui Pak Hasan di lantai bawah! Kalau mau daftar OB!" saran Pak Maftuh."Owh ... baik, Pak. Terimakasih!" sahut perempuan itu dengan bibir melebar. Kemudian dia segera berlalu masuk ke dalam lift."Ikut saya!" pinta Pak Maftuh dan aku segera mengangguk. Untung tadi aku mendengar percakapan mereka. Jadi aku tahu mana yang benar-benar tulus dan mana yang tidak. Jadi aku tak salah orang, untuk menyampaikan surat itu.Kasihan juga Bu Putri, dalam kondisi terpuruk, salah satu orang kepercayaannya, ada yang menikungnya. Tak bisa membayangkan, jika rekaman ini sampai ke tangan Bu Pu
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda