Share

Bab 7

Penulis: Naimatun Niqmah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

PART 7

"Astagfirullah ... kok pada ribut! Itu Azkia jatuh!" ucap Bulek Tarmi. Seketika aku menoleh ke asal suara.

"Hah? Azkia jatuh?" teriaku mengulang kata itu. Menghentikanku memukuli Mas Bima. Aku segera melangkah keluar. Ingin melihat kondisi Azkia. Tak kupedulikan semuanya.

"Hu hu hu, Mama!" tangis Azkia.

"Astagfirullah!" ucapku. Lutut Azkia terlihat berdarah. Segera aku menggendongnya masuk ke dalam rumah. Ternyata Abah, Emak dan Mas Bima mengikuti dan semua ikut masuk ke dalam rumah lagi.

"Emak punya bertadin, bentar, Emak ambilkan!" ucap Emak. Aku segera berlalu menuju ke dapur. Mengambilkan air dan kain. Untuk membersihkan darahnya.

"Sakit, Ma ...." isak Azkia.

"Sabar, ya, Nak! Tahan, ya! Nggak begitu sakit kok," ucapku menguatkan anak perempuan. Seraya membersihkan luka baru itu.

"Nggak becus kamu ngurus anak!" sungut Mas Bima. Segera aku menoleh ke arahnya.

"Kalau aku nggak becus, apalagi kamu!" balasku. Mas Bima terlihat sedikit terkejut. Mungkin ia pikir aku berani melawan sekarang. Kalau dulu, aku hanya menahan makian yang ia lontarkan.

"Kalau kamu becus, anak nggak akan luka seperti ini!" ucap Mas Bima.

"Sudah! Stop! sama-sama nggak becus kalian! Dan kamu, Bima! Orang dari tadi sama-sama bertengkar di sini, bisa-bisanya bilang Ratih nggak becus ngurus anak!" sungut Emak.

"Bima, pulanglah!" ucap Abah. Mas Bima menoleh ke arah Abah.

"Abah ngusir Bima?" tanya Mas Bima.

"Kalau kamu mikirnya seperti itu terserah! Abah hanya mau anak dan cucu Abah hidup tenang. Karena Abah lihat rumah tangga kalian sudah tak sehat!" jawab Abah. Aku kembali memberikan betadin kepada lutut Azkia.

"Kita ke kamar, ya, Nduk!" ajak Emak.

"Iya, Nek!" balas Azkia. Akhirnya, Azkia di gendong Emak untuk menuju ke kamar. Lebih baik seperti itu, agar Azkia tak mendengar cekcok kami.

"Bima, Emak dan Abah masih sanggup mengurus mereka. Emak percaya dengan Ratih. Emak lihat banyak sekali kebohongan di sorot matamu!" ucap Ema dengan menekan kata 'matamu', setelah itu baru melangkah menuju ke kamar.

Mas Bima terlihat diam. Mendengar ucapan Emak, hati ini sedikit lega. Semoga memang beneran percaya denganku.

"Ya, Abah kenal bagaimana sifat Ratih. Ia tak pandai berbohong. Walau sebelumnya ia pandai menutupi aibmu, tapi Abah sebenarnya tahu. Cuma karena Ratih masih memilihmu, jadi Abah tak ikut campur. Tapi kali ini, Abah harus ikut campur karena Ratih sudah menyerah. Dari pada Ratih gila hidup bersamamu!" jelas Abah.

Alhamdulillan, ternyata Abah dan Emak tetap percaya denganku. Syukurlah.

"Sudah aku duga, jelas kalian percaya dengan anak kandung kalian. Dari pada denganku yang hanya anak mantu!" ucap Mas Bima. Yang seolah masih pembelaan diri.

"Owh, jelas. Sama seperti orang tuamu bukan? Jelas lebih percaya denganmu, dari pada dengan anak menantunya bukan?" balas Abah.

Mas Bima terdiam. Seolah mati kutu. Mendengar ucapan Abah, hati ini semakin lega.

"Mental Ratih, Abah lihat sudah kena. Kalau terus-terus bersamamu, nggak bisa Abah bayangin! Abah menyesal telah memberikan anak Abah untukmu!" ucap Abah terdengar jelas dan cukup menggetarkan hati. Mas Bima terlihat memainkan bibirnya.

"Tih ... kamu yakin tak ingin pulang bersamaku?" tanya Mas Bima. Masih berani dia tanya.

"Yakin! Aku juga tak mau gila jika terus-terusan hidup bersamamu!" balasku.

"Ok! Aku pastikan kalian akan menyesal telah memperlakukan ini padaku!" sungut Mas Bima. Seolah mengancam.

"Kamu mengancam? Aku tak peduli!" sungutku.

"Ok! Aku terima tantanganmu! Siapa yang akan lebih sukses hidupnya!" ucap Mas Bima.

"Memang itu yang aku inginkan! Kamu menerima tantanganku!" balasku.

"Baiklah! Kita lihat saja! Karena tak akan ada kata maaf, karena sebelumnya, aku sudah memintamu untuk kembali!" ancam Mas Bima. Masih sempat ia mengancamku.

"Juga tak ada kata maaf untukmu! Apalagi kalau aku sudah sukses dan move on darimu!" balasku.

"Silahkan urus orang tuamu! Aku yakin ujung-ujungnya tak ada warisan. Karena pasti akan di shodaqohkan!" ucap Mad Bima, berbisik di telingaku. Terdengar menyindir di telinga ini. Kemudian ia langsung neloyor begitu saja. Tanpa pamit dengan Abah.

Entahlah, Abah dengar atau tidak. Semoga tidak. Kalaupun mau mengurus masa tua orang tua, tak sedikit pun aku mengharapkan warisan dari mereka. Karena hanya itu bukti sayangku kepada mereka.

Saat kupastikan Mas Bima benar-benar sudah keluar dari rumah Abah, tangisku semakin tumpah. Isakku semakin menjadi. Hidupku terasa hancur. Perjuanganku atas dirinya, seolah sudah tak ia ingat lagi.

"Sabar, Tih!" ucap Emak, yang entah dari kapan ia datang lagi. Kemudian menenggelamkan kepalaku di dadanya. Seolah menguatkan dan menenangkanku.

"Terimakasih, Mak! Terimakasih, Bah! Kalian percaya dengan Ratih. Tak termakan ucapan Mas Bima," ucapku.

"Kalau bukan kami orang tuamu, siapa lagi yang akan menolongmu?" tanya Abah. Ucapan Abah barusan semakin membuatku terenyuh.

Kutarik pelan badanku dari pelukan Emak. Menyeka pelan air mataku.

"Bah, jujur saja, Ratih lega, kalian tak jadi bagi warisan!" ucapku lirih. Masih ada sedikit isakan.

"Abah sebenarnya memang berniat membagi warisan. Tapi melihat istri Budi dan suamimu, jadi Abah urungkan saja! Setidaknya dari sini Abah bisa menilai mereka!" jelas Abah.

"Iya, punya mantu kok kayak gitu. Dan Budi, ya Allah ... segitu nurutnya sama Luna. Entah apa yang Luna berikan, hingga Budi senurut itu," ucap Emak.

"Entahlah! Selama anak kita masih suka, biarkan saja. Kita nggak usah ikut campur. Tapi kalau dia sudah mau bercerita, barulah kita memberikan saran dan arahan," balas Abah.

"Iya," lirih Emak.

"Azkia masih di kamar, Mak?" tanyaku. Emak mengangguk.

"Iya, udah tidur dia. Mungkin kecapekan nangis!" jawab Emak.

"Syukurlah kalau sudah tidur. Pasti masih terasa sakit cenut-cenut itu!" balasku. Emak terlihat mengangguk.

Dreet dreet dreet ....

Gawaiku terasa bergetar. Tak berselang lama berbunyi.

"Siapa?" tanya Emak. Aku mengerutkan kening, melihat layar ponselku.

"Nggak tahu, Mak, nomor baru!" balasku.

"Angkat saja, siapa tahu penting!" titah Emak. Aku segera mengangguk.

"Hallo ...." ucapku mendahului.

"Iya, hallo ... Maaf, dengan Bu Ratih, istrinya Pak Bima?" tanya balik dengan suara lelaki dari seberang. Segera aku meloundspeaker gawaiku. Agar Abah dan Emak mendengarnya juga.

"Iya, ini siapa?" tanyaku.

"Ini kami dari leasing motor, Bu. Suami Ibu belum membayar angsuran tiga bulan ini. Kami telpon tak di angkat! Ini gimana, Bu?" tanya lelaki itu.

"Maaf, Pak, kok, Bapak tahu nomor saya?" tanyaku.

"Karena Pak Bima saat peminjaman, ia mencantumkan nomor Ibu juga," jawab lelaki itu.

"Maaf, Pak. Pak Bima tak ada ijin dengan saya masalah meminjam uang. Jadi saya nggak tahu!" ucapku.

"Terus ini gimana, Bu?" tanyanya balik.

"Kalau udah tiga bulan tak bayar, tarik aja motornya!" jawabku asal.

"Iya, Bu. Memang seperti itu prosedurnya. Tapi kami masih memberikan peringatan, siapa tahu bisa membayar walau hanya satu angsuran," jelas lelaki itu.

"Maaf, Pak. Saya dan Pak Bima sudah pisah. Jadi saya tak mau tahu urusan dia lagi," ucapku.

"Owh, maaf, Bu. Kami tak tahu. Kalau gitu nanti biar kami datangi rumahnya dan mengambil motor itu!" balas lelaki dari seberang itu.

"Iya, terserah Bapak!" ucapku.

"Yaudah kalau begitu, Bu! Maaf mengganggu!" pamitnya.

"Iya," balasku.

Tit. Komunikasi terputus.

"Bima minjam uang tanpa sepengetahuanmu?" tanya Emak, setelah gawai ini benar-benar sudah terputus.

"Iya, Mak!" balasku singkat.

"Keterlaluan dia! Untuk apalah uangnya itu?" ucap Emak.

"Setidaknya Allah sudah menunjukan satu titik, bahwa pilihan yang kita ambil benar," ucap Abah. Aku mengangguk dengan cepat.

"Iya, Bah! Abah benar!" ucapku.

Ya Allah ... uang leasing motor ia gunakan untuk apa? Dan aku sama sekali tak tahu dan tak ada dia ijin denganku. Berarti aku sudah tak ia anggap selama ini. Syukurlah aku memilih lepas darinya.

Mas Bima, kita lihat saja! Bahkan kamu belum sampai rumah, Allah sudah menunjukan kalau pilihanku tepat.

Aku yakin, aku bisa bangkit walau keluar dari hidupmu, hanya modal uang dua ratus ribu itu, yang sekarang udah habis untuk bayar travel. Dan kamu, aku yakin akan terkikis perlahan.

***********

Bab terkait

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 8

    Part 8Tak terasa sudah tujuh hari aku di rumah Abah. Luka di lutut Azkia juga sudah mengering. Selama tujuh hari ini, tak ada mendengar kabar dari Mas Bima. Entah ia masih hidup atau tidak, aku juga tak tahu. Masalah leasing motor itu pun aku juga tak tahu.Selama tujuh hari ini juga, aku mencari pekerjaan. Susah juga ternyata, tapi aku tetap semangat. Karena aku yakin, aku pasti bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.Pagi ini aku membantu Emak memasak. Abah sudah ke kebun. Beliau sedang menanam timun dan masih perawatan."Hari ini mau kemana?" tanya Emak, sambil mengupas bawang merah."Cari pekerjaan, Mak!" jawabku. Emak terlihat menghela napas panjang."Cari kerjaan susah, Tih. Mending buka usaha sendiri aja!" saran Emak."Usaha apa Emak? Lagian nggak ada modal!" balasku."Usaha apa yang kamu bisa. Tapi, memang semua tak lepas dari dana," sahut Emak. Aku mengangguk pelan."Iya, Mak. Makanya Ratih cari kerjaan dulu. Cari modallah istilahnya," balasku."Emak hanya bisa bantu doa, Ndu

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 9

    Part 9"Maaf, apa anda melihat orang ini?" tanya lelaki berbadan tegap, seraya menyodorkan selembar foto. Foto perempuan yang menabrakku tadi."Emm, nggak!" jawabku tetap berusaha terlihat santai. Agar ia tak curiga."Maaf mengganggu. Kalau melihat orang ini, tolong segera hubungi nomor ini, karena akan mendapatkan imbalan!" ucap lelaki itu, seraya menyodorkan kartu nama. Segera aku menerimanya."Imbalannya apa?" tanyaku polos."Uang." jawabnya."Berapa?"" Yang jelas banyak!" jawabnya."Owhh ... baiklah!" balasku. Lelaki berbadan tegap itu kemudian berlalu, aku lihat ia terus bertanya-tanya dan melakukan hal yang sama kepada semua orang yang ia lihat. Hemm ... siapa sebenarnya perempuan tadi?"Terimakasih," ucap perempuan itu mendekatiku. Tadi ia bersembunyi di antara bangunan kosong. Aku mengedarkan pandang."Semua orang mencarimu, karena ada imbalan yang besar jika berhasil menemukanmu!" ucapku. Perempuan lusuh itu terlihat mengangguk.Aku segera melepas cardigan yang aku pakai. Me

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 10

    PART 10"Kamu itu kesurupan apa gimana? Datang-datang main tampar adikmu!" sungut Emak. Mas Budi dan Bu Putri yang masih saling beradu pandang akhirnya saling melepas pandangan. Bu Putri berlalu menuju ke kamarku begitu saja. Tanpa pamit. Entahlah, ada hubungan apa mereka.Mas Budi kembali menatapku. Dengan memegangi pipiku yang masih terasa panas, kubalas tatapan itu. Rasanya sakit hati sekali."Luna nangis-nangis pulang dari sini! Karena ucapan Ratih!" jelas Mas Budi."Emang kapan Luna ke sini?" tanya Emak."Tadi pagi," jawab Mas Budi."Benar Ratih? Mbakmu ke sini tadi pagi?" tanya Emak dan aku mengangguk."Emang kamu ngomong apa?" tanya Emak."Mbak Luna duluan, Mak, yang nyindir-nyindir! Kayak biasanya gitulah," jawabku."Halaah ... alasan! Pinter banget ngomong. Mau aku gampar lagi mulutmu itu? Biar bisa sopan dengan kakak iparmu!" sungut Mas Budi. Ya Allah ... segitunya dia membela istrinya."Ya, silahkan kalau mau nampar! Silahkan! Ni ... ayok tampar lagi!" balasku seraya menyod

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Kekacauan. 11

    KEKACAUANPART 11"Mbak cukup!" teriakku lantang. Karena semakin ke sini, aku semakin geram dan muak dengan tingkah Mbak Luna yang semakin tak berwibawa dan menurutku semakin ke kanak-kanakan.Mbak Luna seketika diam, menghentikan aksinya menarik-narik Bu Putri. Menoleh ke arahku dengan mata mendelik. Seolah tak suka aku berteriak lantang.Kalau biasanya aku segan dan tak enak hati dengan Mas Budi, karena membentak istrinya yang sok cantik ini, tidak untuk kali ini. Karena Mas Budi juga sama saja kayak Mbak Luna. Sama-sama semakin membuatku muak."Heh ... nggak sopan teriak-teriak sama orang yang lebih tua!" sungut Mbak Luna. Kuhela panjang napas ini."Emang, Mbak pikir, Mbak itu udah paling sopan? Ngaca! Intropeksi diri!" balasku. Makin mendelik saja matanya itu."Jelas lebih sopan aku dari pada kamu! Kamu yang harusnya ngaca! Dan kamu juga yang harusnya istropeksi diri!" sungut Mbak Luna semakin menjadi."Iyakah? Teriak-teriak di rumah Mertua malam kayak gini, apakah itu sopan?" tan

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Penjelasan. 12

    PENJELASANPART 12"Sebaiknya jangan cerita di sini, Bah! Karena menurut Ratih sudah tak aman!" ucapku, kemudian kuedarkan pandang, untuk memastikan semua masih baik-baik saja. Karena hati semakin tak enak."Benar kata Ratih!" sahut Emak yang juga ikutan mengedarkan pandang. Mungkin juga merasakan perasaan yang sama.Abah terlihat menghela napas sejenak, kemudian mengangguk pelan."Tapi, kalau rumah kosong total, mencurigakan. Jadi tetap harus ada yang tinggal," ucap Abah. Aku mengangguk."Biar Emak aja yang tinggal. Nanti Emak bisa Abah ceritakan," ucap Emak. Abah mengangguk."Gimana menurutmu, Nduk?" tanya Abah dengan tatapan, mengarah ke Bu Putri."Saya nurut saja. Karena saya sendiri bingung mengambil keputusan," jawab Bu Putri. Memang kalau yang mengalami masalah, pasti akan susah mengambil keputusan. Jadi menurutku memang lebih nurut, selama masih masuk logika."Ok, kalau gitu kita segera bersiap. Ratih, pinjamkan baju-bajumu untuk ganti Putri. Kita segera berangkat ke rumah alm

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Penjelasan lanjutan. 13

    PART 13Bu Putri menggantungkan ucapannya di udara. Aku dan Abah saling beradu pandang, saling penasaran juga tentunya."Segitu beratnya ingin bercerita?" tanya Abah. Bu Putri dengan cepat menggeleng."Nggak Bah. Cuma masih menata hati saja, terlalu berat ganjalan di dalam sini," jawab Bu Putri.Aku masih bersabar untuk menunggu. Karena aku sendiri jika berada di posisi Bu Putri juga belum tentu setegar dia."Emm ... aku mulai dari masalah aku jadi buronan mereka dulu saja," ucap Bu Putri mengambil keputusan. Abah terlihat mengangguk pelan."Silahkan!" balas Abah. Yang mana aku lihat sedang membenahi jaketnya. Hawa dingin semakin menusuk."Nama saya Putri Marendra. Anak tunggal Putra Aksa Marendra," jelasnya terlebih dahulu. Abah terlihat melipat kening."Astaga ... kamu anaknya Pak Putra Aksa Marendra?" tanya Abah seolah memastikan. Bu Putri mengangguk pelan."Iya, Abah ... Abah kenal dengan Papa saya?" tanya balik Bu Putri. Abah masih terlihat tercengang."Siapa yang tak kenal denga

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Ide Untuk Masalah. 14

    IDE UNTUK MASALAHPART 14"Emm, waktu sudah semakin larut. Kalian istirahat dulu. Pembahasan dilanjutkan besok saja. Tetap harus jaga kesehatan, karena kesehatan lebih penting dari pada apapun," titah Abah. Padahal aku sudah penasaran sekali dengan rencana Bu Putri."Benar juga kata Abah, Bu. Lebih baik kita istirahat dulu, kesehatan dan stamina harus terjaga dan stabil," ucapku. Bu Putri mengangguk pelan."Iya. Kita memang harus menjaga kesehatan," balas Bu Putri. Gantian aku yang mengangguk."Kalian istirahat di kamar! Abah di sini saja," ucap Abah."Baik, Bah!" balasku kemudian beranjak. Pun Bu Putri juga ikut beranjak.Aku melangkahkan kaki menuju ke kamar. Bu Putri mengekor di belakangku. Segera aku nyalakan lampu dan aku keluarkan kasur lipat yang ditaruh di dalam lemari. Menggelarnya di atas ranjang.Karena sudah lama tak di tempati, maka ruangan terlihat kotor berdebu."Besok saja kita bersihin, ya, Bu. Penting sekarang istirahat dulu!" ucapku. Bu Putri terlihat tersenyum."Iy

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Menemui Orang Kepercayaan. 15

    MENEMUI ORANG KEPERCAYAAN.PART 15Dengan mengendarai motor, aku segera meluncur ke alamat yang di berikan Bu Putri. Jujur saja rasa cemas dan khawatir menggelayut di dalam sini, karena meninggalkan Bu Putri seorang diri. Karena dia sedang dalam pencarian ketat.Aku memang baru mengenal Bu Putri, tapi aku sangat mencemaskan dia. Bahkan lebih cemas dibanding dengan masalahku sendiri.Aku sudah berhenti di parkiran kantor milik keluarga Marendra. Bahkan nama kantor tersebut langsung memakai nama Marendra. Luar biasa memang. Tapi siapa sangka, jika di dalam keluarga Marendra saling berebut harta dan kekuasaan.Kuedarkan pandang. Bangunan itu terlihat menjulang tinggi. Mobil berjejer dengan rapi. Mobil kelas menengah ke atas semua.Motor juga berjejer dengan rapi. Mungkin kalau motor untuk yang bekerja sebagai OB di perusahaan Marendra ini.Bismillah, segera aku turun dari motor setelah melepas helm tentunya. Merapikan baju sejenak.Kuamati bajuku. Haduh ... terasa tak pantas masuk ke dal

Bab terbaru

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   TAMAT

    "Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 41

    "Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 40

    Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 39

    Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 38

    "Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 37

    "Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 36

    "Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 35

    "Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 34

    "Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda

DMCA.com Protection Status