Tak dapat berkata, aku hanya bisa tersenyum."Jadi yang benarnya yang mana ne, Mas?"Kuhela napas panjang."Apa aja benar, dikondisikan aja."Aku menjawab dengan pembawaan tenang dan santai. Wanita di hadapanku sampai menggeleng-gelengkan kepala."Udah ya, saya mau masuk ruangan dulu.""Em, iya Mas, tar kalau aku ketemu Syaina, aku mau kasih tahu dia kalau kamu dinas di sini."Lagi-lagi aku tak bisa berkata, hanya langkah yang terus terangkat hingga sampai di ruang baru di tempat baru pula. Mengabaikan siapa yang kutemui tadi, jemari justru tergerak untuk menyusun dan menata meja kerja sesuai keinginan, hingga tak lama seorang perawat masuk ke ruangan."Permisi Dok, mau nganter status pasien.""Oya, silahkan taruh di atas meja.""Baik Dok, permisi.""Iya, terima kasih ya. Oya lima belas menit lagi kita mulai.""Baik, Dok."Jam demi jam terlalui, pasien dengan berbagai jenis keluhan datang dan pergi. Ada yang sudah sering rawat jalan dan sangat terhenyak karena tak menemukan dokter yan
Dia tampak sangat terkejut dengan kehadiranku. Bahkan menyuruh masuk saja tidak."Kamu tidak ingin menyuruhku masuk, Mas?" tanyaku membuat keterkejutannya sirna."Hah, mungkin ada baiknya kita keluar saja," sanggahnya seraya bangkit dari kursi dan berjalan mendekatiku, mungkin berniat mau membuka pintu. Namun, aku yang berdiri di depannya langsung mencoba memeluk.Untuk sepersekian detik dia terdiam, kucoba memeluk lebih erat."Tolong lepaskan aku."Deg.Ucapannya bagai panah yang menusuk hati ini begitu dalam. Sakit ketika kita masih berharap bersama tapi dianya justru menolak.Apa gunanya kuserahkan semua cinta dan hidup, jika pada akhirnya dicampakkan seperti ini."Aku tak menuntut apapun, Mas. Tidak juga untuk kau sah kan kembali hubungan ini. Aku hanya minta tetaplah bersamaku, sebab aku mencintaimu. Sangat mencintaimu."Dua tangannya berusaha melepas jemariku, sungguh di detik ini aku pasrah. Tak dapat kutahan air mata yang luruh begitu saja. Menjadi yang terabaikan ternyata ras
Pov Syaina"Aku ketemu mantan suamimu Sya di rumah sakit."Wajahku seketika tertuju pada Mbak Fera, sepupuku yang kerja di rumah sakit pemerintah di kota ini."Oh ya?"Aku mencoba menanggapi dengan santai. "Dia nggak tahu kalau aku sepupumu. Ya ... mana tahu juga dia, 'kan aku nggak pernah ketemu sama dia ya selama sepuluh tahun kalian menikah.""Mbak sih sombong banget, selalu aja ada acara atau kesibukan. Nikah juga nggak datang, pas akunya mudik juga Mbaknya malah keluar kota. Entah lah mau ngomong apa.""Iya iya, sorry. Emang udah begitu scedulenya, bukan dibuat-buat.""Iya deh, aku maklumi. Terus gimana pada akhirnya Mas Rian bisa tahu kalau Mbak sepupuku?""Ya Mbak lah yang kasih tahu. Tadinya dia cuma ingat kalau Mbak pernah satu angkatan pas di Fakultas Kedokteran Umum dulu. Yaudah sekalian aja Mbak kasih clue tentang kita.""Pasti seru ya Mbak ketemu teman lama?""Biasa aja sih sebenarnya.""Dulu waktu kuliah Mas Rian gimana sih orangnya Mbak?""Ya gitu, sok cool. Emang sih
Orang baik punya masa lalu dan orang yang buruk punya masa depan. Jangan pernah berhenti berubah untuk menjadi pribadi yang lebih baik karena Allah menyukai orang yang salah namun mau bertaubat.***Mataku memanas melihat Syaina tampak sangat mesra dengan si Hakim itu. Apa sih lebihnya, duda juga. Aku tidak akan membiarkan lelaki itu mendapatkan cinta dari seorang wanita yang tak lain adalah ibu dari anak-anakku. "Mas Rian?"Suara Fera membuat tatapanku teralihkan."Ayo Mas aku temani ambil makanan."Sebenarnya aku tidak lapar tapi entah kenapa tak ikhlas saja jika pada akhirnya Syaina hanya makan berdua dengan Hakim. Sebab itu kuambil saja walau hanya sedikit.Setelah selesai, justru sudah tidak lagi melihat Syaina dan Hakim. Kemana mereka?"Syaina kemana?" tanyaku pada Fera."Mungkin mereka di ruang tengah Mas."Akhirnya kami pun beranjak ke ruang itu. Benar saja, Syaina dan Hakim sudah duduk berbaur bersama staf rumah sakit yang lain. Mungkin di kota ini tidak banyak yang tahu jik
Lebih mengejutkan lagi, ketika dari sisi yang lain turun sesosok wanita yang sama persis dengan yang dikirimkan oleh orang suruhan Mas Hakim ke ponselku.Dialah Fena? Selingkuhan Mas Rian yang lainnya?Ada yang mencoba menganga kembali di dalam hati, rasa kecewa dan amarah saat melihat wanita itu. Cantik dengan postur tubuh yang proporsional.Jika tak kutahan amarah yang membalut jiwa dengan zikir dan istighfar, mungkin aku akan meninggalkan mereka dan membiarkan kedua manusia busuk itu menghancurkan Mas Rian. Toh semua penyakit ini dia yang mencarinya sendiri. Tapi jika mengingat Aa, egoku sedikit tertahan.Aku kasihan jika suatu saat dia telah paham dan tahu bahwa ayahnya pernah sangat hancur karena dihinakan oleh kemaksiatan yang pernah dilakukannya. Jika bisa aku mau Aa tak pernah tahu kesalahan Mas Rian. Aku ingin aib ini benar-benar ditutupi bukan diumbar hingga seluruh dunia tahu dan mencatatkan sepanjang sejarah.Mata kembali fokus pada kedua makhluk itu. Sejenak pikiran ini l
Untuk sepersekian detik dia terdiam, entah kenapa aku menyimpulkan bahwa diamnya pertanda iya. Iya jika Syaina masih mencintai mantan suaminya. Terbukti dari sikap wanita itu yang bahkan sampai mau mengurusi masalah yang kini menimpa Rian.Cemburu? Entahlah, bukankah tidak ada hak untukku mencemburuinya."Nggak."Tiba-tiba Syaina kembali memmbua suara suara."Serius? Tapi entah kenapa aku justru menangkap kebohongan dari nada ucapanmu.""Memangnya Mas paranormal sampai bisa menebak sesuatu dari nada suara?""Hehe, nggak juga. Hanya insting saja. Biasa kalau jawabannya memang benar tidak, maka tidak perlu jeda untuk mengatakannya. Sementara kamu 'kan butuh waktu untuk menjawab. Itu artinya kamu membutuh sedikit kesempatan untuk berpikir. Berpikir di sini dalam arti harus jawab jujur atau bohong."Dia tersenyum manis, entah kenapa di sini aku justru semakin berdebar. Jujur sempat heran, mengapa wanita secantik dan seanggun Syaina bisa diselingkuhi dengan wanita lain. Padahal menurutku d
Meninggalkan Mas Hakim, aku dan Aa kini kembali berjalan hingga sampai di ruang rawatan Mas Rian. Pelan mengetuk pintu lalu mama membukakan pintu tersebut."Rian sudah sadar."Aku terhenyak sekaligus ikut berbahagia dengan kabar yang disampaikan mantan mama mertua barusan. Seketika tubuh ini memasuki ruangan, sementara Aa sudah lebih dulu berlari mendekati papanya."Papa, Papa udah sadar? Ini aku Pa, Aa."Aa tampak bersemangat, Papa mertua sampai harus bangkit dan memintanya untuk tidak terlalu berisik karena ternyata meski sudah sadar kesehatan Mas Rian belum sempurna pulih."Papa kenapa nggak nyahut aku, Ma? Papa kayak nggak kenal siapa aku?"Aku yang kebingungan hanya menatap mama mencari tahu seperti apa kondisi Mas Rian saat ini."Rian mengalami kerusakan saraf di otak."Deg.Aku menelan ludah, seperti ada yang menusuk dada perlahan. Meski sudah berpisah, tapi kenyataan ini mampu membuat dadaku terasa nyeri. Diri hanya bisa menghela napas."Apa itu kerusakan saraf otak, Oma?" tan
Apa lagi maunya?Setelah Mas Rian dan semua yang mengantarnya menghilang, aku langsung mengeluarkan tubuh dan menghampiri Friska. Wanita itu tampak masih melamun. "Lihat hasil perbuatanmu? Apa benar ini yang kamu inginkan?"Dia menatapku tajam."Iya, inilah yang kuinginkan. Sebagai lelaki, Mas Rian tidak bertanggung jawab dan patut mendapatkan hukuman seperti ini.""Dasar wanita gila.""Iya, aku memang sudah gila. Dan itu karena perbuatanmu dan lelaki itu. Aku puas karena dia sudah mendapatkan hukuman yang pantas, sekarang giliranmu."Kedua alisku bertaut mendengar ucapannya. Friska benar-benar sudah tidak waras."Seharusnya kau bertaubat, bukan semakin merajalela. Jangan biarkan hatimu penuh oleh kebencian.""Kenapa, kau takut?""Aku tidak takut padamu, ketakutanku hanya pada Allah. Aku hanya kasihan padamu, Fris. Sampai saat ini kamu bahkan tak paham bahwa semua rasa sakit yang kau terima itu karena ulahmu sendiri. Harusnya kau tahu resiko mendekati lelaki beristri. Jika kau pikir
Satpam yang melihat gambar CCTV yang menunjukkan Kamil, ibunya serta seorang wanita menarik paksa tangan ibunda Rian tampak begitu terhenyak. Lelaki itu segera masuk ke dalam rumah untuk mengecek keadaan.Pintu kamar terbuka, menampakkan kondisi ibunda Rian yang sangat menyedihkan. Wanita itu tergeletak di atas ranjang dengan keadaan lemah. "Ibu, Ibu kenapa, Bu?"Pak Yanto segera membantu ibunda Rian untuk bisa duduk."Kamil dan Ibunya telah membuat saya seperti ini, Pak. Tolong telpon polisi. Mereka ingin menguasai rumah ini.""Ba-baik, Bu."Pak Yanto segera menelpon polisi sementara ibunda Rian menelpon anaknya sendiri. "Hallo, Ma."Suara ibunda Rian terdengar bergetar. Membuat sang anak di seberang sana menjadi khawatir."Rian.""Iya, Ma.""Maafkan Mama Rian. Melani dan keluarganya tak sebaik yang Mama pikirkan. Mereka telah membuat masalah di rumah kita.""Masalah apa, Ma? Mama baik-baik aja 'kan?""Iya, Mama baik-baik saja. Kamil dan Ibunya, mereka ingin menghancurkan keluarga
"Sedang apa kau di sini? Apa yang mau kau lakukan pada istriku? Kau menggodanya?" teriak Kamil lantang.Tak menunggu penjelasanku, dia yang tak sabaran segera melayangkan sebuah bogem ke wajah ini hingga aku tersungkur ke lantai."Mas, sudah jangan bertengkar. Mas Rian kemari karena aku yang minta. Dia ingin membenarkan channel televisi yang rusak.""Aku nggak percaya, pasti kamu diancam 'kan sama dia? Sudah ngaku aja, kalau iya dia sudah melakukan hal tidak senonoh sama kamu, kita bawa dia langsung ke kantor polisi.""Nggak Mas, Mas Rian tidak melakukan apapun padaku."Kamil masih diluar kendali, ia terus ingin menghajarku. Syukurlah Ika menahannya. Tak menunggu lama, aku segera turun ke bawah. Tidak mungkin membela diri disaat dia sedang berapi-api dan kondisikupun sangat tidak stabil. Akhirnya dengan pertolongan Ika, aku lepas dari amukan Kamil.Sampai di gundakan terakhir tangga, tampak lah di hadapan. Mama tengah berdiri dan menatap penuh tanya ke arah diri ini."Mama sudah baika
"Itu Dokter Anita bukan, Mas?" tanyaku penasaran, melihat gaya berpakaian serta cadar yang menutupi wajahnya mirip sekali dengan salah satu dokter yang dikabarkan sedang proses hijrah. "Nggak tahu, tadi sewaktu Mas buka pintu kita udah sempat tatap-tatapan tapi kemudian dia seperti enggan masuk ke rumah ini. Kamil berusaha membujuk tapi wanita itu tetap ingin pergi." "Jika benaran itu dokter Anita, jadi suami yang udah buat dia hijrah itu Mas Kamil? Tapi kenapa aku merasa nggak mungkin ya Mas?" "Sepertinya bukan Anita, mungkin orang lain yang hanya mirip saja dengannya. Apalagi kalau sudah bercadar kebanyakan wajah hampir mirip-mirip begitu. Apa mungkin karena hanya kelihatan mata doank? Ah sudahlah jika mereka tak mau masuk biarkan saja. Ayo kita masuk, Yank." Mas Rian mengajakku masuk dan kembali ke ruang makan. "Siapa Rian?" tanya mama mertua yang sudah menyelesaikan makan malamnya. "Kamil sama istrinya." "Lo, mereka sudah pulang? Kenapa tidak masuk?" tanya Bu Mel kelihatan
"Rumah? Kamu kalau minta sesuatu itu yang wajar."Suara Mas Rian terdengar sedikit meninggi."Kau kalau bicara yang sopan, aku ini Abangmu.""Sudah, sudah. Rian, jangan lagi berdebat. Begini Nak Kamil dan Ibunda, ini adalah rumah yang sudah kami tempat semenjak dahulu, semenjak pertama kali saya dan Mas Arya menikah. Jadi rumah ini punya banyak sejarah yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Mengenai hak waris, sesuai aturan semua harta peninggalan almarhum akan dikumpulkan menjadi satu lalu barulah dibagi sesuai dengan aturan pembagian hak waris menurut Islam.""Oke, saya mengerti maksud Mbak tersebut. Tapi maksud anak saya mengharap rumah ini, karena sebagai anak kandung Mas Arya, dia tak pernah mendapatkan apa yang seharusnya juga dia dapatkan seperti Rian. Tinggal di rumah mewah, disekolahkan sampai menjadi dokter, mau kemana-mana dengan mobil mewah. Padahal Kamil dan Rian statusnya sama, sama-sama anak kandung. Jadi coba Mbak bayangkan, wajar tidak jika kini Kamil menginginkan
Hari ini adalah hari paling membahagiakan, setelah tiga bulan menanti akhirnya benih yang telah bertumbuh di dalam rahim kini terlihat jelas jenis kelaminnya."Gimana Mira, laki-laki atau perempuan?" tanyaku antusias. Mas Rian hanya tersenyum, baginya perempuan atau lelaki tak masalah yang penting sehat dan lahir dengan selamat. Tapi tidak dengan diri ini, semenjak awal dinyatakan positif hamil, aku sudah mengidam-idamkan anak perempuan. Supaya Lita punya teman bermain."Masya Allah ...."Mira tersenyum menatapku. "Seperti keinginanmu Sya, perempuan," ucapnya semangat yang kusambut dengan senyum bahagia. Mas Rian ikut semang dan merangkul bahu ini."Perkembangannya gimana, Dek? Sehat 'kan?" tanya Mas Rian yang lebih mengkhawatirkan kondisi fisik bayi kami. Tersebab sudah bertahun-tahun dia mendapati kemoterapi dan sangat takut akan rusaknya gen-gen yang seharusnya menjadi pembentuk bayi kami.Awalnya Mas Rian memang melarangku hamil, dia bahkan meminta agar aku memakai spiral. Tapi a
Tangis haru mewarnai pemakaman papa pagi ini. Mama masih tak stabil, sebentar pingsan, nanti sadarkan diri kembali. Begitulah semenjak semalam. Namun, tiga jam ini keadaannya sudah lebih membaik. Lebih tiga jam sudah ia sadarkan diri.Walaupun begitu, aku tetap tak bisa mengantar jenazah Papa untuk terakhir kalinya. Sebab tak mungkin meninggalkan Mama yang tak stabil seorang diri di rumah. Meski keinginan sedemikian besar, tapi kucoba mengikhlaskan dan menyerahkan pemakaman papa sepenuhnya pada Mas Rian dan adik semata wayang, Biantara Atha Arif.Kurang lebih dua jam, semua kembali ke rumah. Arif kini mendekati Mama dan memeluk wanita itu sejenak, postur tinggi serta bentuk tubuh dan wajah yang mewarisi Papa sepenuhnya, membuatku seolah melihat papalah yang kini tengah memeluk Mama."Sudah selesai pemakaiannya?" tanya Mama dengan suara serak. "Udah, Ma.""Sekarang Papa kalian sudah sendiri, biasanya semua Mama yang ngurus. Sekarang Papa kalian gimana? Dia pasti merasa sedih."Mama ke
Sungguh terhenyak diri ini saat pintu kamar mandi terbuka, bahkan ponsel di tangan sampai jatuh ke atas ranjang."Ma, kenapa?"Mas Rian yang melihatku tiba-tiba berdiri kaku langsung mengambil ponsel dan mengecek isinya. Dia membaca pesan Friska yang belum kukeluarkan dari layar utama. Usai membaca, lelaki itu menatapku."Aamminnn, semoga doanya diijabah."Mas Rian mematikan ponsel lalu meletakkan di atas nakas. Dia kemudian berjalan mendekatiku yang nyaris tak bergerak tersebab perasaan dipenuhi tanda tanya, bagaimana Friska bisa tahu bahwa hari ini aku dan Mas Rian menikah? Lalu perihal keluhan wanita itu, sepertinya aku menangkap jika ternyata Friska telah menikah lagi dan suaminya kemungkinan selingkuh. Benarkah?"Bagamana Friska bisa tahu jika hari ini kita menikah?" tanyaku menatap Mas Rian, seketika rasa cemburu menyergap. Apakah mereka masih berkomunikasi?"Papa nggak tahu, Ma.""Kalian masih berhubungan, ya 'kan?""Demi Tuhan, nggak Ma. Jika kami masih berhubungan kenapa dia
"Boleh lebih dekat?"Mas Rian memintaku untuk lebih rapat dengannya, usai pemasangan cincin dan menerima sebuah kecupan. Kini saatnya sesi foto-foto, meski tidak berdiri di atas pelaminan dan hanya duduk di atas sebuah karpet tebal berbulu lembut, acara ini tetap sesakral pernikahan pertama kami yang dilaksanakan begitu meriah.Mas Rian menyentuh kembali jemariku lalu sebuah foto tercetak dua kali."Selanjutnya foto bareng anak-anak."Seorang fotografer meminta kedua anakku bergabung. Setelah selesai mencetak foto berempat, lelaki itu kembali meminta seluruh keluarga untuk bergabung."Oke, satu dua tiga."Blast. "Sudah cukup, seadanya saja. Karena kami masih masa berkabung," ucap mama mertua meminta fotografer tidak lagi mengambil gambar. Lelaki itupun berbicara dengan Mas Rian lalu pamit pulang. Seminggu setelah jenazah Papa mertua dikebumikan adalah waktu yang baik yang sudah ditentukan oleh dua belah keluarga untuk melangsungkan pernikahan ini. Seharusnya ini menjadi suatu hal ya
Entah kenapa di detik ini kedua netraku tiba-tiba basah, terlebih saat melihatnya memeluk Talita seraya berucap terima kasih."Terima kasih Mama. Papa janji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua yang Mama berikan ini."Lagi-lagi dia meluapkan rasa bahagia pada Lita dengan mengecup pucuk kepalanya, membuat anakku keheranan."Papa kenapa sih tiba-tiba peluk dedek?""Papa sedang terharu, Nak.""Terharu karena bahagia?""Iya.""Karena Aa hebat, ya?""Salah satunya.""Dedek juga hebat?""Iya Papa tahu, kamu pasti sehebat Mamamu," ucap Mas Rian kini seraya membawa anakku dalam pelukan.Lita pun tersenyum sembari mengeratkan pelukan papanya. Melihat pemandangan itu, wajah tertunduk sejenak. Tak ada penyesalan saat niat ini sudah mantap menerimanya kembali. Setiap manusia memang sangat mungkin berbuat kesalahan, tapi Mas Rian membuktikan bahwa dia melakukan hal yang baik dengan meninggalkan kesalahannya dan beritikad untuk kembali padaku semenjak dahulu.Maaf Mas telah membuatmu terus be