Lebih mengejutkan lagi, ketika dari sisi yang lain turun sesosok wanita yang sama persis dengan yang dikirimkan oleh orang suruhan Mas Hakim ke ponselku.Dialah Fena? Selingkuhan Mas Rian yang lainnya?Ada yang mencoba menganga kembali di dalam hati, rasa kecewa dan amarah saat melihat wanita itu. Cantik dengan postur tubuh yang proporsional.Jika tak kutahan amarah yang membalut jiwa dengan zikir dan istighfar, mungkin aku akan meninggalkan mereka dan membiarkan kedua manusia busuk itu menghancurkan Mas Rian. Toh semua penyakit ini dia yang mencarinya sendiri. Tapi jika mengingat Aa, egoku sedikit tertahan.Aku kasihan jika suatu saat dia telah paham dan tahu bahwa ayahnya pernah sangat hancur karena dihinakan oleh kemaksiatan yang pernah dilakukannya. Jika bisa aku mau Aa tak pernah tahu kesalahan Mas Rian. Aku ingin aib ini benar-benar ditutupi bukan diumbar hingga seluruh dunia tahu dan mencatatkan sepanjang sejarah.Mata kembali fokus pada kedua makhluk itu. Sejenak pikiran ini l
Untuk sepersekian detik dia terdiam, entah kenapa aku menyimpulkan bahwa diamnya pertanda iya. Iya jika Syaina masih mencintai mantan suaminya. Terbukti dari sikap wanita itu yang bahkan sampai mau mengurusi masalah yang kini menimpa Rian.Cemburu? Entahlah, bukankah tidak ada hak untukku mencemburuinya."Nggak."Tiba-tiba Syaina kembali memmbua suara suara."Serius? Tapi entah kenapa aku justru menangkap kebohongan dari nada ucapanmu.""Memangnya Mas paranormal sampai bisa menebak sesuatu dari nada suara?""Hehe, nggak juga. Hanya insting saja. Biasa kalau jawabannya memang benar tidak, maka tidak perlu jeda untuk mengatakannya. Sementara kamu 'kan butuh waktu untuk menjawab. Itu artinya kamu membutuh sedikit kesempatan untuk berpikir. Berpikir di sini dalam arti harus jawab jujur atau bohong."Dia tersenyum manis, entah kenapa di sini aku justru semakin berdebar. Jujur sempat heran, mengapa wanita secantik dan seanggun Syaina bisa diselingkuhi dengan wanita lain. Padahal menurutku d
Meninggalkan Mas Hakim, aku dan Aa kini kembali berjalan hingga sampai di ruang rawatan Mas Rian. Pelan mengetuk pintu lalu mama membukakan pintu tersebut."Rian sudah sadar."Aku terhenyak sekaligus ikut berbahagia dengan kabar yang disampaikan mantan mama mertua barusan. Seketika tubuh ini memasuki ruangan, sementara Aa sudah lebih dulu berlari mendekati papanya."Papa, Papa udah sadar? Ini aku Pa, Aa."Aa tampak bersemangat, Papa mertua sampai harus bangkit dan memintanya untuk tidak terlalu berisik karena ternyata meski sudah sadar kesehatan Mas Rian belum sempurna pulih."Papa kenapa nggak nyahut aku, Ma? Papa kayak nggak kenal siapa aku?"Aku yang kebingungan hanya menatap mama mencari tahu seperti apa kondisi Mas Rian saat ini."Rian mengalami kerusakan saraf di otak."Deg.Aku menelan ludah, seperti ada yang menusuk dada perlahan. Meski sudah berpisah, tapi kenyataan ini mampu membuat dadaku terasa nyeri. Diri hanya bisa menghela napas."Apa itu kerusakan saraf otak, Oma?" tan
Apa lagi maunya?Setelah Mas Rian dan semua yang mengantarnya menghilang, aku langsung mengeluarkan tubuh dan menghampiri Friska. Wanita itu tampak masih melamun. "Lihat hasil perbuatanmu? Apa benar ini yang kamu inginkan?"Dia menatapku tajam."Iya, inilah yang kuinginkan. Sebagai lelaki, Mas Rian tidak bertanggung jawab dan patut mendapatkan hukuman seperti ini.""Dasar wanita gila.""Iya, aku memang sudah gila. Dan itu karena perbuatanmu dan lelaki itu. Aku puas karena dia sudah mendapatkan hukuman yang pantas, sekarang giliranmu."Kedua alisku bertaut mendengar ucapannya. Friska benar-benar sudah tidak waras."Seharusnya kau bertaubat, bukan semakin merajalela. Jangan biarkan hatimu penuh oleh kebencian.""Kenapa, kau takut?""Aku tidak takut padamu, ketakutanku hanya pada Allah. Aku hanya kasihan padamu, Fris. Sampai saat ini kamu bahkan tak paham bahwa semua rasa sakit yang kau terima itu karena ulahmu sendiri. Harusnya kau tahu resiko mendekati lelaki beristri. Jika kau pikir
Tangis Aa langsung pecah mendengar perkataan Bude."Aku nggak mau Papa meninggal," ucap Aa seraya menyapu air matanya yang berderai begitu saja."Aa tenang dulu Nak, barangkali Bude salah. Coba deh kita cek dengan menelpon Oma," ucapku mencoba menenangkannya.Berat hati, tapi karena berita yang disampaikan Bude ini akhirnya aku menelpon jua ke ponsel Mama Mas Rian.Tut ...Tut ..."Hallo."Deg."Assalamualaikum Ma.""Waalaikum salam. Apa kabar Sya? Aa sama Dedek gimana, sehat semua 'kan?""Alhamdulillah semua sehat Ma. Mama di sana gimana, sehat juga 'kan?""Alhamdulillah. Mama sehat.""Papa gimana?""Alhamdulillah Papa juga sehat."Belum sempat aku menanyakan kabar Mas Rian, Aa sudah terlebih dahulu bertanya."Oma, Papa nggak meninggal 'kan?""Hah, meninggal? Kata siapa?""Kata Bude.""Astaghfirullah, nggak Nak. Papa kamu Alhamdulillah sekarang menunjukkan perubahan yang sangat baik. Kedua kakinya mulai bisa digerakkan. Hanya belum bisa bicara. Papa masih harus terapi lagi Sayang.""
Sejenak aku tertegun mendengar lamaran yang diungkapkan oleh Mas Hakim. Antara kaget dan tak siap. Ini terlalu cepat, baru satu bulan lepas massa iddah rasanya semua baru terjadi kemarin. Sungguh hati belum ingin untuk mencoba kembali.Beberapa detik suasana hening, jemariku memilih ujung khimar. Bingung, apa yang harus kukatakan?Akhirnya hanya tatapan kami yang saling beradu sampai datanglah seorang perawat masuk ke ruangan ini. Dia melempar sebuah pertanyaan."Maaf Dok, apa sudah bisa dimulai praktiknya?""Lima menit lagi."Dokter Hakim langsung menjawab pertanyaan suster tersebut. Dengan cepat wanita itu keluar dan kembali menutup pintu."Tidak apa 'kan mengulur jadwalmu?"Aku hanya menghela napas mengusir kegugupan, sedikit aneh melihat sikap Mas Hakim pagi ini. Akhirnya kuanggukkan kepala."Oke, kembali ke cincin ini? Apa kamu ingin aku menyimpannya kembali?"Tak punya banyak waktu untuk berpikir apalagi menimbang dengan mengandalkan hati nurani paling dalam. Di detik ini juga a
Pov Rian"Aku ingin bicara dengan Syaina.""Syaina sedang masuk ke rumah, tas nya ketinggalan."Deg.Dada ini semakin dalam tertusuk. Apa yang sedang mereka lakukan berdua?"Ponsel Syaina kenapa ada padamu?""Dia meninggalkan ponsel dalam mobilku. Kebetulan aku melihat ada panggilan dari nomor tanpa nama di layar ponselnya, yasudah langsung saja aku angkat.""Tanpa nama?" tanyaku memperjelas."Iya, dilayar hanya muncul nomor tanpa nama. Kupikir itu pasien. Maaf, apa ada yang bisa kusampaikan pada Syaina?"Aku membuang napas berat."Tidak ada, aku hanya ingin bicara dengan anakku.""Dia tidak ada di rumah, sedang mengikuti English Course."Entah kenapa ada yang semakin menyesakkan dada tatkala pada kenyataan, sekarang Hakim lebih tahu segala hal tentang Aa dan mantan istriku. Kucoba untuk menguatkan hati."Oke, nanti aku akan menghubunginya kembali.""Baik."Ponsel di tangan kuletakkan kembali ke atas nakas. Harusnya aku tak cemburu apalagi marah, bukankah Syaina telah lepas massa idda
Lebih baik Syaina membersihkan diri saja dulu, nanti malam saja kita bicara sekalian Pak Candra makan malam di rumah. Gimana?" jawab Papa menyambut ucapan Mama."Em boleh juga, pasti Syaina dan Hakim sama-sama capek. Pertemuan kita pun sudah lama, lebih baik kami pulang saja dulu. Jangan malam inilah, lain kali saja kita makan malamnya. Bukan begitu lebih baik, Ma?"Papa Mas Hakim bertanya pada istrinya."Iya, Papa benar. Lebih baik kami pulang saja dulu. Hakim juga pastinya sangat lelah," jawab ibunda Mas Hakim. Aku hanya terdiam, sedikit mengumbar senyum meski tubuh terasa amat lelah."Yasudah kalau memang begitu keputusannya, kami tidak bisa memaksa," ucap Papa menanggapi perkataan Papa Mas Hakim."Baiklah kalau begitu, kami langsung pamit. Terima kasih atas jamuan sore ini. Semoga lain kali bisa lebih sering mampir silaturrahmi seperti ini."Ibunda Mas Hakim memeluk Mama, lalu setelahnya beliau memelukku. Sementara itu Papa menyalami Papanya Mas Hakim.Pandangan ini tak sengaja te