Untuk sepersekian detik dia terdiam, entah kenapa aku menyimpulkan bahwa diamnya pertanda iya. Iya jika Syaina masih mencintai mantan suaminya. Terbukti dari sikap wanita itu yang bahkan sampai mau mengurusi masalah yang kini menimpa Rian.Cemburu? Entahlah, bukankah tidak ada hak untukku mencemburuinya."Nggak."Tiba-tiba Syaina kembali memmbua suara suara."Serius? Tapi entah kenapa aku justru menangkap kebohongan dari nada ucapanmu.""Memangnya Mas paranormal sampai bisa menebak sesuatu dari nada suara?""Hehe, nggak juga. Hanya insting saja. Biasa kalau jawabannya memang benar tidak, maka tidak perlu jeda untuk mengatakannya. Sementara kamu 'kan butuh waktu untuk menjawab. Itu artinya kamu membutuh sedikit kesempatan untuk berpikir. Berpikir di sini dalam arti harus jawab jujur atau bohong."Dia tersenyum manis, entah kenapa di sini aku justru semakin berdebar. Jujur sempat heran, mengapa wanita secantik dan seanggun Syaina bisa diselingkuhi dengan wanita lain. Padahal menurutku d
Meninggalkan Mas Hakim, aku dan Aa kini kembali berjalan hingga sampai di ruang rawatan Mas Rian. Pelan mengetuk pintu lalu mama membukakan pintu tersebut."Rian sudah sadar."Aku terhenyak sekaligus ikut berbahagia dengan kabar yang disampaikan mantan mama mertua barusan. Seketika tubuh ini memasuki ruangan, sementara Aa sudah lebih dulu berlari mendekati papanya."Papa, Papa udah sadar? Ini aku Pa, Aa."Aa tampak bersemangat, Papa mertua sampai harus bangkit dan memintanya untuk tidak terlalu berisik karena ternyata meski sudah sadar kesehatan Mas Rian belum sempurna pulih."Papa kenapa nggak nyahut aku, Ma? Papa kayak nggak kenal siapa aku?"Aku yang kebingungan hanya menatap mama mencari tahu seperti apa kondisi Mas Rian saat ini."Rian mengalami kerusakan saraf di otak."Deg.Aku menelan ludah, seperti ada yang menusuk dada perlahan. Meski sudah berpisah, tapi kenyataan ini mampu membuat dadaku terasa nyeri. Diri hanya bisa menghela napas."Apa itu kerusakan saraf otak, Oma?" tan
Apa lagi maunya?Setelah Mas Rian dan semua yang mengantarnya menghilang, aku langsung mengeluarkan tubuh dan menghampiri Friska. Wanita itu tampak masih melamun. "Lihat hasil perbuatanmu? Apa benar ini yang kamu inginkan?"Dia menatapku tajam."Iya, inilah yang kuinginkan. Sebagai lelaki, Mas Rian tidak bertanggung jawab dan patut mendapatkan hukuman seperti ini.""Dasar wanita gila.""Iya, aku memang sudah gila. Dan itu karena perbuatanmu dan lelaki itu. Aku puas karena dia sudah mendapatkan hukuman yang pantas, sekarang giliranmu."Kedua alisku bertaut mendengar ucapannya. Friska benar-benar sudah tidak waras."Seharusnya kau bertaubat, bukan semakin merajalela. Jangan biarkan hatimu penuh oleh kebencian.""Kenapa, kau takut?""Aku tidak takut padamu, ketakutanku hanya pada Allah. Aku hanya kasihan padamu, Fris. Sampai saat ini kamu bahkan tak paham bahwa semua rasa sakit yang kau terima itu karena ulahmu sendiri. Harusnya kau tahu resiko mendekati lelaki beristri. Jika kau pikir
Tangis Aa langsung pecah mendengar perkataan Bude."Aku nggak mau Papa meninggal," ucap Aa seraya menyapu air matanya yang berderai begitu saja."Aa tenang dulu Nak, barangkali Bude salah. Coba deh kita cek dengan menelpon Oma," ucapku mencoba menenangkannya.Berat hati, tapi karena berita yang disampaikan Bude ini akhirnya aku menelpon jua ke ponsel Mama Mas Rian.Tut ...Tut ..."Hallo."Deg."Assalamualaikum Ma.""Waalaikum salam. Apa kabar Sya? Aa sama Dedek gimana, sehat semua 'kan?""Alhamdulillah semua sehat Ma. Mama di sana gimana, sehat juga 'kan?""Alhamdulillah. Mama sehat.""Papa gimana?""Alhamdulillah Papa juga sehat."Belum sempat aku menanyakan kabar Mas Rian, Aa sudah terlebih dahulu bertanya."Oma, Papa nggak meninggal 'kan?""Hah, meninggal? Kata siapa?""Kata Bude.""Astaghfirullah, nggak Nak. Papa kamu Alhamdulillah sekarang menunjukkan perubahan yang sangat baik. Kedua kakinya mulai bisa digerakkan. Hanya belum bisa bicara. Papa masih harus terapi lagi Sayang.""
Sejenak aku tertegun mendengar lamaran yang diungkapkan oleh Mas Hakim. Antara kaget dan tak siap. Ini terlalu cepat, baru satu bulan lepas massa iddah rasanya semua baru terjadi kemarin. Sungguh hati belum ingin untuk mencoba kembali.Beberapa detik suasana hening, jemariku memilih ujung khimar. Bingung, apa yang harus kukatakan?Akhirnya hanya tatapan kami yang saling beradu sampai datanglah seorang perawat masuk ke ruangan ini. Dia melempar sebuah pertanyaan."Maaf Dok, apa sudah bisa dimulai praktiknya?""Lima menit lagi."Dokter Hakim langsung menjawab pertanyaan suster tersebut. Dengan cepat wanita itu keluar dan kembali menutup pintu."Tidak apa 'kan mengulur jadwalmu?"Aku hanya menghela napas mengusir kegugupan, sedikit aneh melihat sikap Mas Hakim pagi ini. Akhirnya kuanggukkan kepala."Oke, kembali ke cincin ini? Apa kamu ingin aku menyimpannya kembali?"Tak punya banyak waktu untuk berpikir apalagi menimbang dengan mengandalkan hati nurani paling dalam. Di detik ini juga a
Pov Rian"Aku ingin bicara dengan Syaina.""Syaina sedang masuk ke rumah, tas nya ketinggalan."Deg.Dada ini semakin dalam tertusuk. Apa yang sedang mereka lakukan berdua?"Ponsel Syaina kenapa ada padamu?""Dia meninggalkan ponsel dalam mobilku. Kebetulan aku melihat ada panggilan dari nomor tanpa nama di layar ponselnya, yasudah langsung saja aku angkat.""Tanpa nama?" tanyaku memperjelas."Iya, dilayar hanya muncul nomor tanpa nama. Kupikir itu pasien. Maaf, apa ada yang bisa kusampaikan pada Syaina?"Aku membuang napas berat."Tidak ada, aku hanya ingin bicara dengan anakku.""Dia tidak ada di rumah, sedang mengikuti English Course."Entah kenapa ada yang semakin menyesakkan dada tatkala pada kenyataan, sekarang Hakim lebih tahu segala hal tentang Aa dan mantan istriku. Kucoba untuk menguatkan hati."Oke, nanti aku akan menghubunginya kembali.""Baik."Ponsel di tangan kuletakkan kembali ke atas nakas. Harusnya aku tak cemburu apalagi marah, bukankah Syaina telah lepas massa idda
Lebih baik Syaina membersihkan diri saja dulu, nanti malam saja kita bicara sekalian Pak Candra makan malam di rumah. Gimana?" jawab Papa menyambut ucapan Mama."Em boleh juga, pasti Syaina dan Hakim sama-sama capek. Pertemuan kita pun sudah lama, lebih baik kami pulang saja dulu. Jangan malam inilah, lain kali saja kita makan malamnya. Bukan begitu lebih baik, Ma?"Papa Mas Hakim bertanya pada istrinya."Iya, Papa benar. Lebih baik kami pulang saja dulu. Hakim juga pastinya sangat lelah," jawab ibunda Mas Hakim. Aku hanya terdiam, sedikit mengumbar senyum meski tubuh terasa amat lelah."Yasudah kalau memang begitu keputusannya, kami tidak bisa memaksa," ucap Papa menanggapi perkataan Papa Mas Hakim."Baiklah kalau begitu, kami langsung pamit. Terima kasih atas jamuan sore ini. Semoga lain kali bisa lebih sering mampir silaturrahmi seperti ini."Ibunda Mas Hakim memeluk Mama, lalu setelahnya beliau memelukku. Sementara itu Papa menyalami Papanya Mas Hakim.Pandangan ini tak sengaja te
Jujur ada perasaan senang, tapi entah kenapa ada satu sebab yang muncul di dalam dada yang pada akhirnya menuntutku untuk bersikap sebiasa mungkin. "Mama, Papa datang," teriak Aa begitu bahagia. Aku hanya tersenyum dan melangkah masuk perlahan. Kusalami mantan papa dan mama mertua lalu mengucapkan tangan ke arah Mas Rian yang terlihat lebih kurus dari dahulu. Wajahnya lebih tirus apalagi dengan model rambut cepak tipis. Ya Allah, kasihan sekali jika melihatnya demikian. Sosok yang dahulu begitu gagah, kini lemah tak bersemangat. "Sudah lama, Ma?"Kualihkan kedua netra dari Mas Rian dan melempar pertanyaan pada mantan mama mertua."Baru sekitar lima belas menit yang lalu.""Owh, sudah lama balik ke Indonesia?""Baru nyampe kemarin. Seharusnya Rian masih istirahat, tapi dia udah nggak bisa nahan pengen ketemu Aa, Lita sama kamu."Wajahku langsung tertuju kembali pada Mas Rian. Dia hanya sedikit menarik bibirnya lalu menunduk."Lita mana, Ma?" tanyaku kemudian pada Mama."Lagi ganti p
Satpam yang melihat gambar CCTV yang menunjukkan Kamil, ibunya serta seorang wanita menarik paksa tangan ibunda Rian tampak begitu terhenyak. Lelaki itu segera masuk ke dalam rumah untuk mengecek keadaan.Pintu kamar terbuka, menampakkan kondisi ibunda Rian yang sangat menyedihkan. Wanita itu tergeletak di atas ranjang dengan keadaan lemah. "Ibu, Ibu kenapa, Bu?"Pak Yanto segera membantu ibunda Rian untuk bisa duduk."Kamil dan Ibunya telah membuat saya seperti ini, Pak. Tolong telpon polisi. Mereka ingin menguasai rumah ini.""Ba-baik, Bu."Pak Yanto segera menelpon polisi sementara ibunda Rian menelpon anaknya sendiri. "Hallo, Ma."Suara ibunda Rian terdengar bergetar. Membuat sang anak di seberang sana menjadi khawatir."Rian.""Iya, Ma.""Maafkan Mama Rian. Melani dan keluarganya tak sebaik yang Mama pikirkan. Mereka telah membuat masalah di rumah kita.""Masalah apa, Ma? Mama baik-baik aja 'kan?""Iya, Mama baik-baik saja. Kamil dan Ibunya, mereka ingin menghancurkan keluarga
"Sedang apa kau di sini? Apa yang mau kau lakukan pada istriku? Kau menggodanya?" teriak Kamil lantang.Tak menunggu penjelasanku, dia yang tak sabaran segera melayangkan sebuah bogem ke wajah ini hingga aku tersungkur ke lantai."Mas, sudah jangan bertengkar. Mas Rian kemari karena aku yang minta. Dia ingin membenarkan channel televisi yang rusak.""Aku nggak percaya, pasti kamu diancam 'kan sama dia? Sudah ngaku aja, kalau iya dia sudah melakukan hal tidak senonoh sama kamu, kita bawa dia langsung ke kantor polisi.""Nggak Mas, Mas Rian tidak melakukan apapun padaku."Kamil masih diluar kendali, ia terus ingin menghajarku. Syukurlah Ika menahannya. Tak menunggu lama, aku segera turun ke bawah. Tidak mungkin membela diri disaat dia sedang berapi-api dan kondisikupun sangat tidak stabil. Akhirnya dengan pertolongan Ika, aku lepas dari amukan Kamil.Sampai di gundakan terakhir tangga, tampak lah di hadapan. Mama tengah berdiri dan menatap penuh tanya ke arah diri ini."Mama sudah baika
"Itu Dokter Anita bukan, Mas?" tanyaku penasaran, melihat gaya berpakaian serta cadar yang menutupi wajahnya mirip sekali dengan salah satu dokter yang dikabarkan sedang proses hijrah. "Nggak tahu, tadi sewaktu Mas buka pintu kita udah sempat tatap-tatapan tapi kemudian dia seperti enggan masuk ke rumah ini. Kamil berusaha membujuk tapi wanita itu tetap ingin pergi." "Jika benaran itu dokter Anita, jadi suami yang udah buat dia hijrah itu Mas Kamil? Tapi kenapa aku merasa nggak mungkin ya Mas?" "Sepertinya bukan Anita, mungkin orang lain yang hanya mirip saja dengannya. Apalagi kalau sudah bercadar kebanyakan wajah hampir mirip-mirip begitu. Apa mungkin karena hanya kelihatan mata doank? Ah sudahlah jika mereka tak mau masuk biarkan saja. Ayo kita masuk, Yank." Mas Rian mengajakku masuk dan kembali ke ruang makan. "Siapa Rian?" tanya mama mertua yang sudah menyelesaikan makan malamnya. "Kamil sama istrinya." "Lo, mereka sudah pulang? Kenapa tidak masuk?" tanya Bu Mel kelihatan
"Rumah? Kamu kalau minta sesuatu itu yang wajar."Suara Mas Rian terdengar sedikit meninggi."Kau kalau bicara yang sopan, aku ini Abangmu.""Sudah, sudah. Rian, jangan lagi berdebat. Begini Nak Kamil dan Ibunda, ini adalah rumah yang sudah kami tempat semenjak dahulu, semenjak pertama kali saya dan Mas Arya menikah. Jadi rumah ini punya banyak sejarah yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Mengenai hak waris, sesuai aturan semua harta peninggalan almarhum akan dikumpulkan menjadi satu lalu barulah dibagi sesuai dengan aturan pembagian hak waris menurut Islam.""Oke, saya mengerti maksud Mbak tersebut. Tapi maksud anak saya mengharap rumah ini, karena sebagai anak kandung Mas Arya, dia tak pernah mendapatkan apa yang seharusnya juga dia dapatkan seperti Rian. Tinggal di rumah mewah, disekolahkan sampai menjadi dokter, mau kemana-mana dengan mobil mewah. Padahal Kamil dan Rian statusnya sama, sama-sama anak kandung. Jadi coba Mbak bayangkan, wajar tidak jika kini Kamil menginginkan
Hari ini adalah hari paling membahagiakan, setelah tiga bulan menanti akhirnya benih yang telah bertumbuh di dalam rahim kini terlihat jelas jenis kelaminnya."Gimana Mira, laki-laki atau perempuan?" tanyaku antusias. Mas Rian hanya tersenyum, baginya perempuan atau lelaki tak masalah yang penting sehat dan lahir dengan selamat. Tapi tidak dengan diri ini, semenjak awal dinyatakan positif hamil, aku sudah mengidam-idamkan anak perempuan. Supaya Lita punya teman bermain."Masya Allah ...."Mira tersenyum menatapku. "Seperti keinginanmu Sya, perempuan," ucapnya semangat yang kusambut dengan senyum bahagia. Mas Rian ikut semang dan merangkul bahu ini."Perkembangannya gimana, Dek? Sehat 'kan?" tanya Mas Rian yang lebih mengkhawatirkan kondisi fisik bayi kami. Tersebab sudah bertahun-tahun dia mendapati kemoterapi dan sangat takut akan rusaknya gen-gen yang seharusnya menjadi pembentuk bayi kami.Awalnya Mas Rian memang melarangku hamil, dia bahkan meminta agar aku memakai spiral. Tapi a
Tangis haru mewarnai pemakaman papa pagi ini. Mama masih tak stabil, sebentar pingsan, nanti sadarkan diri kembali. Begitulah semenjak semalam. Namun, tiga jam ini keadaannya sudah lebih membaik. Lebih tiga jam sudah ia sadarkan diri.Walaupun begitu, aku tetap tak bisa mengantar jenazah Papa untuk terakhir kalinya. Sebab tak mungkin meninggalkan Mama yang tak stabil seorang diri di rumah. Meski keinginan sedemikian besar, tapi kucoba mengikhlaskan dan menyerahkan pemakaman papa sepenuhnya pada Mas Rian dan adik semata wayang, Biantara Atha Arif.Kurang lebih dua jam, semua kembali ke rumah. Arif kini mendekati Mama dan memeluk wanita itu sejenak, postur tinggi serta bentuk tubuh dan wajah yang mewarisi Papa sepenuhnya, membuatku seolah melihat papalah yang kini tengah memeluk Mama."Sudah selesai pemakaiannya?" tanya Mama dengan suara serak. "Udah, Ma.""Sekarang Papa kalian sudah sendiri, biasanya semua Mama yang ngurus. Sekarang Papa kalian gimana? Dia pasti merasa sedih."Mama ke
Sungguh terhenyak diri ini saat pintu kamar mandi terbuka, bahkan ponsel di tangan sampai jatuh ke atas ranjang."Ma, kenapa?"Mas Rian yang melihatku tiba-tiba berdiri kaku langsung mengambil ponsel dan mengecek isinya. Dia membaca pesan Friska yang belum kukeluarkan dari layar utama. Usai membaca, lelaki itu menatapku."Aamminnn, semoga doanya diijabah."Mas Rian mematikan ponsel lalu meletakkan di atas nakas. Dia kemudian berjalan mendekatiku yang nyaris tak bergerak tersebab perasaan dipenuhi tanda tanya, bagaimana Friska bisa tahu bahwa hari ini aku dan Mas Rian menikah? Lalu perihal keluhan wanita itu, sepertinya aku menangkap jika ternyata Friska telah menikah lagi dan suaminya kemungkinan selingkuh. Benarkah?"Bagamana Friska bisa tahu jika hari ini kita menikah?" tanyaku menatap Mas Rian, seketika rasa cemburu menyergap. Apakah mereka masih berkomunikasi?"Papa nggak tahu, Ma.""Kalian masih berhubungan, ya 'kan?""Demi Tuhan, nggak Ma. Jika kami masih berhubungan kenapa dia
"Boleh lebih dekat?"Mas Rian memintaku untuk lebih rapat dengannya, usai pemasangan cincin dan menerima sebuah kecupan. Kini saatnya sesi foto-foto, meski tidak berdiri di atas pelaminan dan hanya duduk di atas sebuah karpet tebal berbulu lembut, acara ini tetap sesakral pernikahan pertama kami yang dilaksanakan begitu meriah.Mas Rian menyentuh kembali jemariku lalu sebuah foto tercetak dua kali."Selanjutnya foto bareng anak-anak."Seorang fotografer meminta kedua anakku bergabung. Setelah selesai mencetak foto berempat, lelaki itu kembali meminta seluruh keluarga untuk bergabung."Oke, satu dua tiga."Blast. "Sudah cukup, seadanya saja. Karena kami masih masa berkabung," ucap mama mertua meminta fotografer tidak lagi mengambil gambar. Lelaki itupun berbicara dengan Mas Rian lalu pamit pulang. Seminggu setelah jenazah Papa mertua dikebumikan adalah waktu yang baik yang sudah ditentukan oleh dua belah keluarga untuk melangsungkan pernikahan ini. Seharusnya ini menjadi suatu hal ya
Entah kenapa di detik ini kedua netraku tiba-tiba basah, terlebih saat melihatnya memeluk Talita seraya berucap terima kasih."Terima kasih Mama. Papa janji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua yang Mama berikan ini."Lagi-lagi dia meluapkan rasa bahagia pada Lita dengan mengecup pucuk kepalanya, membuat anakku keheranan."Papa kenapa sih tiba-tiba peluk dedek?""Papa sedang terharu, Nak.""Terharu karena bahagia?""Iya.""Karena Aa hebat, ya?""Salah satunya.""Dedek juga hebat?""Iya Papa tahu, kamu pasti sehebat Mamamu," ucap Mas Rian kini seraya membawa anakku dalam pelukan.Lita pun tersenyum sembari mengeratkan pelukan papanya. Melihat pemandangan itu, wajah tertunduk sejenak. Tak ada penyesalan saat niat ini sudah mantap menerimanya kembali. Setiap manusia memang sangat mungkin berbuat kesalahan, tapi Mas Rian membuktikan bahwa dia melakukan hal yang baik dengan meninggalkan kesalahannya dan beritikad untuk kembali padaku semenjak dahulu.Maaf Mas telah membuatmu terus be