Tangis Aa langsung pecah mendengar perkataan Bude."Aku nggak mau Papa meninggal," ucap Aa seraya menyapu air matanya yang berderai begitu saja."Aa tenang dulu Nak, barangkali Bude salah. Coba deh kita cek dengan menelpon Oma," ucapku mencoba menenangkannya.Berat hati, tapi karena berita yang disampaikan Bude ini akhirnya aku menelpon jua ke ponsel Mama Mas Rian.Tut ...Tut ..."Hallo."Deg."Assalamualaikum Ma.""Waalaikum salam. Apa kabar Sya? Aa sama Dedek gimana, sehat semua 'kan?""Alhamdulillah semua sehat Ma. Mama di sana gimana, sehat juga 'kan?""Alhamdulillah. Mama sehat.""Papa gimana?""Alhamdulillah Papa juga sehat."Belum sempat aku menanyakan kabar Mas Rian, Aa sudah terlebih dahulu bertanya."Oma, Papa nggak meninggal 'kan?""Hah, meninggal? Kata siapa?""Kata Bude.""Astaghfirullah, nggak Nak. Papa kamu Alhamdulillah sekarang menunjukkan perubahan yang sangat baik. Kedua kakinya mulai bisa digerakkan. Hanya belum bisa bicara. Papa masih harus terapi lagi Sayang.""
Sejenak aku tertegun mendengar lamaran yang diungkapkan oleh Mas Hakim. Antara kaget dan tak siap. Ini terlalu cepat, baru satu bulan lepas massa iddah rasanya semua baru terjadi kemarin. Sungguh hati belum ingin untuk mencoba kembali.Beberapa detik suasana hening, jemariku memilih ujung khimar. Bingung, apa yang harus kukatakan?Akhirnya hanya tatapan kami yang saling beradu sampai datanglah seorang perawat masuk ke ruangan ini. Dia melempar sebuah pertanyaan."Maaf Dok, apa sudah bisa dimulai praktiknya?""Lima menit lagi."Dokter Hakim langsung menjawab pertanyaan suster tersebut. Dengan cepat wanita itu keluar dan kembali menutup pintu."Tidak apa 'kan mengulur jadwalmu?"Aku hanya menghela napas mengusir kegugupan, sedikit aneh melihat sikap Mas Hakim pagi ini. Akhirnya kuanggukkan kepala."Oke, kembali ke cincin ini? Apa kamu ingin aku menyimpannya kembali?"Tak punya banyak waktu untuk berpikir apalagi menimbang dengan mengandalkan hati nurani paling dalam. Di detik ini juga a
Pov Rian"Aku ingin bicara dengan Syaina.""Syaina sedang masuk ke rumah, tas nya ketinggalan."Deg.Dada ini semakin dalam tertusuk. Apa yang sedang mereka lakukan berdua?"Ponsel Syaina kenapa ada padamu?""Dia meninggalkan ponsel dalam mobilku. Kebetulan aku melihat ada panggilan dari nomor tanpa nama di layar ponselnya, yasudah langsung saja aku angkat.""Tanpa nama?" tanyaku memperjelas."Iya, dilayar hanya muncul nomor tanpa nama. Kupikir itu pasien. Maaf, apa ada yang bisa kusampaikan pada Syaina?"Aku membuang napas berat."Tidak ada, aku hanya ingin bicara dengan anakku.""Dia tidak ada di rumah, sedang mengikuti English Course."Entah kenapa ada yang semakin menyesakkan dada tatkala pada kenyataan, sekarang Hakim lebih tahu segala hal tentang Aa dan mantan istriku. Kucoba untuk menguatkan hati."Oke, nanti aku akan menghubunginya kembali.""Baik."Ponsel di tangan kuletakkan kembali ke atas nakas. Harusnya aku tak cemburu apalagi marah, bukankah Syaina telah lepas massa idda
Lebih baik Syaina membersihkan diri saja dulu, nanti malam saja kita bicara sekalian Pak Candra makan malam di rumah. Gimana?" jawab Papa menyambut ucapan Mama."Em boleh juga, pasti Syaina dan Hakim sama-sama capek. Pertemuan kita pun sudah lama, lebih baik kami pulang saja dulu. Jangan malam inilah, lain kali saja kita makan malamnya. Bukan begitu lebih baik, Ma?"Papa Mas Hakim bertanya pada istrinya."Iya, Papa benar. Lebih baik kami pulang saja dulu. Hakim juga pastinya sangat lelah," jawab ibunda Mas Hakim. Aku hanya terdiam, sedikit mengumbar senyum meski tubuh terasa amat lelah."Yasudah kalau memang begitu keputusannya, kami tidak bisa memaksa," ucap Papa menanggapi perkataan Papa Mas Hakim."Baiklah kalau begitu, kami langsung pamit. Terima kasih atas jamuan sore ini. Semoga lain kali bisa lebih sering mampir silaturrahmi seperti ini."Ibunda Mas Hakim memeluk Mama, lalu setelahnya beliau memelukku. Sementara itu Papa menyalami Papanya Mas Hakim.Pandangan ini tak sengaja te
Jujur ada perasaan senang, tapi entah kenapa ada satu sebab yang muncul di dalam dada yang pada akhirnya menuntutku untuk bersikap sebiasa mungkin. "Mama, Papa datang," teriak Aa begitu bahagia. Aku hanya tersenyum dan melangkah masuk perlahan. Kusalami mantan papa dan mama mertua lalu mengucapkan tangan ke arah Mas Rian yang terlihat lebih kurus dari dahulu. Wajahnya lebih tirus apalagi dengan model rambut cepak tipis. Ya Allah, kasihan sekali jika melihatnya demikian. Sosok yang dahulu begitu gagah, kini lemah tak bersemangat. "Sudah lama, Ma?"Kualihkan kedua netra dari Mas Rian dan melempar pertanyaan pada mantan mama mertua."Baru sekitar lima belas menit yang lalu.""Owh, sudah lama balik ke Indonesia?""Baru nyampe kemarin. Seharusnya Rian masih istirahat, tapi dia udah nggak bisa nahan pengen ketemu Aa, Lita sama kamu."Wajahku langsung tertuju kembali pada Mas Rian. Dia hanya sedikit menarik bibirnya lalu menunduk."Lita mana, Ma?" tanyaku kemudian pada Mama."Lagi ganti p
Melihatku, dua netranya basah lagi."Kau pasti melihatku tadi dipermalukan di depan umum, iya 'kan?""Iya, aku tidak mungkin menutup mata karena memang kejadiannya di depan mataku."Dia tersenyum menyembunyikan tangisannya."Puas? Puas kau melihat aku dipermalukan seperti itu?""Kau selalu berpikir aku akan bahagia jika melihatmu sengsara. Apa kamu pikir hatiku sekotor itu?"Dia terdiam, tapi langkahnya tak terangkat sedikitpun."Sudahi memperburuk citramu sebagai dokter, Fris."Dia menatapku dengan tatapan yang begitu dalam, seperti ingin minta tolong tapi mungkin keangkuhan diri tak dapat membuatnya berserah begitu saja."Percayalah masih ada lelaki single yang baik-baik yang berhak kau cintai."Dia masih bergeming, tapi air mata jatuh perlahan di kedua sudut. Dengan kasar Friska mengusap pipinya."Anak-anakmu pasti akan senang jika melihatmu bahagia, sebab itu gapailah bahagiamu dengan tidak menyakiti hati orang lain, Fris."Aku tak lagi menunggu, setelah mengatakan kalimat terakhi
Sudah biasa jika aku menelpon, dia tak mengangkat. Tapi apa kali ini pun tetap sama, setelah pertemuan kami tadi?Satu kali panggilan dibiarkan sampai berhenti dengan sendirinya, tapi aku masih merasa tak boleh menyerah, kembali kulakukan panggilan ulang.Tut ...Tut ..."Hallo."Diangkat?Kupikir ini adalah sebuah keajaiban yang berhasil membuat perasaan ini amat sangat bahagia."Syaina.""Aa sudah tidur Mas, jika mau bicara dengannya besok pagi saja."Dia langsung ke pokok tujuan, seperti biasa saat aku menelpon."Jangan ditutup dulu telponnya, jika Aa sudah tidur tidak apa. Tapi apa apa boleh Mas bicara dengan ibunya saja?"Dia terdiam beberapa waktu, hingga kembali menjawab,"Maaf Mas, saya juga mau istirahat. Assalamualai-""Tunggu sebentar.""Ada apa lagi?""Besok apa kamu ada waktu? Aku ingin mengajakmu dan anak-anak ke suatu tempat.""Maaf Mas aku udah janjian sama Mbak Fera mauke salon. Mas kalau mau jalan-jalan sama Aa, datang aja seperti biasa."Sudah dua bulan semenjak ka
Aa tersenyum ke arahku, entah kenapa dua netra ini langsung menatap ke depan memastikan siapa supir taksi ini. Seketika harus kumembuang napas kasar menyaksikan senyum semringah Mas Rian yang duduk di balik kemudi. "Silahkan masuk Mbak, saya akan mengantar sampai tujuan." Entah kenapa melihat kelakuannya aku sedikit kesal. "Nggak ada kerjaan lain, Mas?" Mas Rian terdiam, tahu aku tidak suka. "Ini taksi siapa?" "Taksi orang Ma, Papa bayar untuk jemput Mama dan ajak aku jalan-jalan." Aku menghela napas panjang melihat sikap mantan suamiku itu. "Mas nggak perlu repot-repot seperti ini, aku bisa pulang sendiri." Masih berdiri di depan pintu, aku mencoba menolak ajakannya. "Nggak repot kok, tadi Aa yang bilang kalau mobilmu di pinjam Arif. Makanya Mas sekalian yang jemput." "Ayo Ma, masuk." Ajakan Aa membuat egoku sedikit turun, lalu dengan sungguh terpaksa aku melangkah masuk dan duduk di samping Aa. "Mau langsung pulang atau keliling-keliling dulu." "Pulang." "Keliling-kel