Dia tampak sangat terkejut dengan kehadiranku. Bahkan menyuruh masuk saja tidak."Kamu tidak ingin menyuruhku masuk, Mas?" tanyaku membuat keterkejutannya sirna."Hah, mungkin ada baiknya kita keluar saja," sanggahnya seraya bangkit dari kursi dan berjalan mendekatiku, mungkin berniat mau membuka pintu. Namun, aku yang berdiri di depannya langsung mencoba memeluk.Untuk sepersekian detik dia terdiam, kucoba memeluk lebih erat."Tolong lepaskan aku."Deg.Ucapannya bagai panah yang menusuk hati ini begitu dalam. Sakit ketika kita masih berharap bersama tapi dianya justru menolak.Apa gunanya kuserahkan semua cinta dan hidup, jika pada akhirnya dicampakkan seperti ini."Aku tak menuntut apapun, Mas. Tidak juga untuk kau sah kan kembali hubungan ini. Aku hanya minta tetaplah bersamaku, sebab aku mencintaimu. Sangat mencintaimu."Dua tangannya berusaha melepas jemariku, sungguh di detik ini aku pasrah. Tak dapat kutahan air mata yang luruh begitu saja. Menjadi yang terabaikan ternyata ras
Pov Syaina"Aku ketemu mantan suamimu Sya di rumah sakit."Wajahku seketika tertuju pada Mbak Fera, sepupuku yang kerja di rumah sakit pemerintah di kota ini."Oh ya?"Aku mencoba menanggapi dengan santai. "Dia nggak tahu kalau aku sepupumu. Ya ... mana tahu juga dia, 'kan aku nggak pernah ketemu sama dia ya selama sepuluh tahun kalian menikah.""Mbak sih sombong banget, selalu aja ada acara atau kesibukan. Nikah juga nggak datang, pas akunya mudik juga Mbaknya malah keluar kota. Entah lah mau ngomong apa.""Iya iya, sorry. Emang udah begitu scedulenya, bukan dibuat-buat.""Iya deh, aku maklumi. Terus gimana pada akhirnya Mas Rian bisa tahu kalau Mbak sepupuku?""Ya Mbak lah yang kasih tahu. Tadinya dia cuma ingat kalau Mbak pernah satu angkatan pas di Fakultas Kedokteran Umum dulu. Yaudah sekalian aja Mbak kasih clue tentang kita.""Pasti seru ya Mbak ketemu teman lama?""Biasa aja sih sebenarnya.""Dulu waktu kuliah Mas Rian gimana sih orangnya Mbak?""Ya gitu, sok cool. Emang sih
Orang baik punya masa lalu dan orang yang buruk punya masa depan. Jangan pernah berhenti berubah untuk menjadi pribadi yang lebih baik karena Allah menyukai orang yang salah namun mau bertaubat.***Mataku memanas melihat Syaina tampak sangat mesra dengan si Hakim itu. Apa sih lebihnya, duda juga. Aku tidak akan membiarkan lelaki itu mendapatkan cinta dari seorang wanita yang tak lain adalah ibu dari anak-anakku. "Mas Rian?"Suara Fera membuat tatapanku teralihkan."Ayo Mas aku temani ambil makanan."Sebenarnya aku tidak lapar tapi entah kenapa tak ikhlas saja jika pada akhirnya Syaina hanya makan berdua dengan Hakim. Sebab itu kuambil saja walau hanya sedikit.Setelah selesai, justru sudah tidak lagi melihat Syaina dan Hakim. Kemana mereka?"Syaina kemana?" tanyaku pada Fera."Mungkin mereka di ruang tengah Mas."Akhirnya kami pun beranjak ke ruang itu. Benar saja, Syaina dan Hakim sudah duduk berbaur bersama staf rumah sakit yang lain. Mungkin di kota ini tidak banyak yang tahu jik
Lebih mengejutkan lagi, ketika dari sisi yang lain turun sesosok wanita yang sama persis dengan yang dikirimkan oleh orang suruhan Mas Hakim ke ponselku.Dialah Fena? Selingkuhan Mas Rian yang lainnya?Ada yang mencoba menganga kembali di dalam hati, rasa kecewa dan amarah saat melihat wanita itu. Cantik dengan postur tubuh yang proporsional.Jika tak kutahan amarah yang membalut jiwa dengan zikir dan istighfar, mungkin aku akan meninggalkan mereka dan membiarkan kedua manusia busuk itu menghancurkan Mas Rian. Toh semua penyakit ini dia yang mencarinya sendiri. Tapi jika mengingat Aa, egoku sedikit tertahan.Aku kasihan jika suatu saat dia telah paham dan tahu bahwa ayahnya pernah sangat hancur karena dihinakan oleh kemaksiatan yang pernah dilakukannya. Jika bisa aku mau Aa tak pernah tahu kesalahan Mas Rian. Aku ingin aib ini benar-benar ditutupi bukan diumbar hingga seluruh dunia tahu dan mencatatkan sepanjang sejarah.Mata kembali fokus pada kedua makhluk itu. Sejenak pikiran ini l
Untuk sepersekian detik dia terdiam, entah kenapa aku menyimpulkan bahwa diamnya pertanda iya. Iya jika Syaina masih mencintai mantan suaminya. Terbukti dari sikap wanita itu yang bahkan sampai mau mengurusi masalah yang kini menimpa Rian.Cemburu? Entahlah, bukankah tidak ada hak untukku mencemburuinya."Nggak."Tiba-tiba Syaina kembali memmbua suara suara."Serius? Tapi entah kenapa aku justru menangkap kebohongan dari nada ucapanmu.""Memangnya Mas paranormal sampai bisa menebak sesuatu dari nada suara?""Hehe, nggak juga. Hanya insting saja. Biasa kalau jawabannya memang benar tidak, maka tidak perlu jeda untuk mengatakannya. Sementara kamu 'kan butuh waktu untuk menjawab. Itu artinya kamu membutuh sedikit kesempatan untuk berpikir. Berpikir di sini dalam arti harus jawab jujur atau bohong."Dia tersenyum manis, entah kenapa di sini aku justru semakin berdebar. Jujur sempat heran, mengapa wanita secantik dan seanggun Syaina bisa diselingkuhi dengan wanita lain. Padahal menurutku d
Meninggalkan Mas Hakim, aku dan Aa kini kembali berjalan hingga sampai di ruang rawatan Mas Rian. Pelan mengetuk pintu lalu mama membukakan pintu tersebut."Rian sudah sadar."Aku terhenyak sekaligus ikut berbahagia dengan kabar yang disampaikan mantan mama mertua barusan. Seketika tubuh ini memasuki ruangan, sementara Aa sudah lebih dulu berlari mendekati papanya."Papa, Papa udah sadar? Ini aku Pa, Aa."Aa tampak bersemangat, Papa mertua sampai harus bangkit dan memintanya untuk tidak terlalu berisik karena ternyata meski sudah sadar kesehatan Mas Rian belum sempurna pulih."Papa kenapa nggak nyahut aku, Ma? Papa kayak nggak kenal siapa aku?"Aku yang kebingungan hanya menatap mama mencari tahu seperti apa kondisi Mas Rian saat ini."Rian mengalami kerusakan saraf di otak."Deg.Aku menelan ludah, seperti ada yang menusuk dada perlahan. Meski sudah berpisah, tapi kenyataan ini mampu membuat dadaku terasa nyeri. Diri hanya bisa menghela napas."Apa itu kerusakan saraf otak, Oma?" tan
Apa lagi maunya?Setelah Mas Rian dan semua yang mengantarnya menghilang, aku langsung mengeluarkan tubuh dan menghampiri Friska. Wanita itu tampak masih melamun. "Lihat hasil perbuatanmu? Apa benar ini yang kamu inginkan?"Dia menatapku tajam."Iya, inilah yang kuinginkan. Sebagai lelaki, Mas Rian tidak bertanggung jawab dan patut mendapatkan hukuman seperti ini.""Dasar wanita gila.""Iya, aku memang sudah gila. Dan itu karena perbuatanmu dan lelaki itu. Aku puas karena dia sudah mendapatkan hukuman yang pantas, sekarang giliranmu."Kedua alisku bertaut mendengar ucapannya. Friska benar-benar sudah tidak waras."Seharusnya kau bertaubat, bukan semakin merajalela. Jangan biarkan hatimu penuh oleh kebencian.""Kenapa, kau takut?""Aku tidak takut padamu, ketakutanku hanya pada Allah. Aku hanya kasihan padamu, Fris. Sampai saat ini kamu bahkan tak paham bahwa semua rasa sakit yang kau terima itu karena ulahmu sendiri. Harusnya kau tahu resiko mendekati lelaki beristri. Jika kau pikir
Tangis Aa langsung pecah mendengar perkataan Bude."Aku nggak mau Papa meninggal," ucap Aa seraya menyapu air matanya yang berderai begitu saja."Aa tenang dulu Nak, barangkali Bude salah. Coba deh kita cek dengan menelpon Oma," ucapku mencoba menenangkannya.Berat hati, tapi karena berita yang disampaikan Bude ini akhirnya aku menelpon jua ke ponsel Mama Mas Rian.Tut ...Tut ..."Hallo."Deg."Assalamualaikum Ma.""Waalaikum salam. Apa kabar Sya? Aa sama Dedek gimana, sehat semua 'kan?""Alhamdulillah semua sehat Ma. Mama di sana gimana, sehat juga 'kan?""Alhamdulillah. Mama sehat.""Papa gimana?""Alhamdulillah Papa juga sehat."Belum sempat aku menanyakan kabar Mas Rian, Aa sudah terlebih dahulu bertanya."Oma, Papa nggak meninggal 'kan?""Hah, meninggal? Kata siapa?""Kata Bude.""Astaghfirullah, nggak Nak. Papa kamu Alhamdulillah sekarang menunjukkan perubahan yang sangat baik. Kedua kakinya mulai bisa digerakkan. Hanya belum bisa bicara. Papa masih harus terapi lagi Sayang.""