Di sebuah desa kecil, berdiri sebuah penginapan tua yang konon sudah berusia lebih dari seratus tahun. Penginapan itu hampir selalu sepi, jarang ada tamu yang datang. Namun, ada satu kamar yang paling ditakuti oleh semua orang di desa itu
Kamar Nomor 13. Cerita tentang kamar itu bermula puluhan tahun lalu, ketika seorang tamu ditemukan tewas dengan wajah penuh ketakutan di sana. Setelah kejadian itu, berbagai insiden aneh terus terjadi. Suara-suara aneh sering terdengar dari kamar tersebut, meski tak ada seorang pun di dalamnya. Cahaya dari dalam kamar sering berkedip-kedip tanpa sebab, dan ada pula yang mengaku melihat bayangan berjalan di balik tirai jendela. Suatu malam, seorang pemuda bernama Damar yang tidak percaya akan cerita-cerita mistis itu memutuskan untuk menyewa Kamar Nomor 13. Dia menganggap cerita tentang kamar itu hanyalah legenda desa yang dibesar-besarkan. Dengan tekad yang bulat, Damar masuk ke kamar tersebut tanpa rasa takut sedikit pun. Di dalam kamar, Damar merasa ada hawa dingin yang aneh. Lampu kamar tiba-tiba berkedip, dan udara terasa semakin dingin. Saat ia berbaring di tempat tidur, Damar merasa seolah-olah ada seseorang yang mengamatinya dari sudut ruangan. Ia mencoba menenangkan dirinya, berpikir bahwa semua itu hanyalah efek sugesti. Tengah malam, Damar terbangun oleh suara bisikan yang lembut namun menakutkan, "Kenapa kau datang ke sini?" Suara itu terus berulang, semakin keras, hingga terdengar seperti jeritan. Damar bangun dengan keringat dingin, memandang sekeliling kamar dengan cemas, namun tak ada siapa pun di sana. Damar mencoba untuk kembali tidur, tapi bayangan hitam mulai muncul di langit-langit kamar. Bayangan itu turun perlahan, mendekat ke arahnya. Wajah bayangan itu menyerupai seorang wanita dengan rambut panjang, mata hitam kelam, dan senyum menyeramkan. Bayangan itu berbisik, "Kau akan tinggal di sini... selamanya." Tak kuat dengan ketakutan yang melanda, Damar berlari keluar kamar dan segera meninggalkan penginapan. Tapi saat ia keluar dari pintu utama, ia mendapati dirinya kembali di depan Kamar Nomor 13. Ruangan itu terus menariknya kembali, seolah tak membiarkannya pergi. Keesokan harinya, pemilik penginapan menemukan Kamar Nomor 13 terkunci dari dalam, dan tak ada tanda-tanda Damar. Hanya sebuah catatan di atas tempat tidur, bertuliskan, "Aku akan tinggal di sini... selamanya." Sejak saat itu, kamar itu tetap tertutup rapat, dan desas-desus tentang roh penasaran yang menghuni Kamar Nomor 13 semakin berkembang. Konon, mereka yang berani memasuki kamar itu akan menjadi bagian dari penghuni tetapnya—hilang tanpa jejak, dan terperangkap dalam kegelapan yang abadi. Bab 1: Kedatangan Damar Damar mengendarai motornya pelan-pelan menembus kabut tipis yang menyelimuti desa kecil itu. Ia sedang dalam perjalanan pulang setelah menghadiri acara keluarga di kota sebelah, namun, karena hari sudah semakin larut, ia memutuskan untuk mencari tempat menginap. Tiba-tiba, di sudut jalan yang sepi, ia melihat sebuah penginapan tua yang tampak suram namun menarik perhatiannya. Penginapan itu terlihat kumuh dan kusam, dengan papan nama kayu yang sudah lapuk bertuliskan “Penginapan Gading.” Tak ada satu pun kendaraan yang terparkir, hanya beberapa jendela yang masih menyala. "Mungkin saja ini tempat yang murah," pikirnya, sambil menepikan motornya dan menuju pintu depan. Ketika ia membuka pintu, suara bel kecil berbunyi, dan aroma lembap segera menyergapnya. Bagian dalam penginapan itu terasa tua—lantainya terbuat dari kayu yang berderit setiap kali diinjak, dan dinding-dindingnya dipenuhi lukisan pudar dari zaman dahulu. Di balik meja resepsionis, seorang wanita tua dengan wajah pucat menyapanya tanpa ekspresi. “Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?” suara wanita itu terdengar pelan dan serak. “Saya ingin menginap satu malam, Bu,” jawab Damar, masih tak menyadari keanehan suasana di sekitarnya. Wanita itu menatapnya lama, seolah ingin memastikan sesuatu. Setelah beberapa detik hening, ia berkata, “Kami hanya punya satu kamar yang kosong… Kamar Nomor 13.” Damar terdiam sebentar. Nomor 13 memang sering dianggap sebagai angka sial, namun ia menepis semua rasa takut itu. Ia menganggap angka hanyalah angka, tidak lebih. Lagipula, cerita-cerita horor tentang penginapan tua adalah hal yang ia anggap klise dan dilebih-lebihkan. “Tidak masalah, Bu. Saya ambil kamar itu saja,” jawabnya. Wanita tua itu tampak ragu, tapi akhirnya menyerahkan kunci kamar dengan tangan gemetar. "Ingat, jangan keluar kamar setelah lewat tengah malam," bisiknya pelan sebelum Damar berbalik dan naik ke lantai atas. Damar tidak terlalu memikirkan ucapan itu. Menurutnya, mungkin saja wanita tua itu mencoba menakutinya. Tapi saat ia berdiri di depan pintu Kamar Nomor 13, ada perasaan aneh yang merayap di hatinya. Kunci yang berada di tangannya terasa dingin, dan lorong di sekelilingnya terasa sunyi, seolah waktu berhenti. Ia menelan ludah, lalu memasukkan kunci ke lubangnya. Dengan satu putaran, pintu terbuka, mengungkapkan kamar yang sederhana namun terkesan suram. Jendela kamar itu ditutupi tirai tebal, dan ada cermin tua di dinding yang memantulkan bayangan samar ruangan. Damar masuk dan menutup pintu, mencoba merasa nyaman. Tapi semakin lama ia berada di dalam, semakin dingin udara di kamar itu. Ia menggosok-gosok tangannya, berusaha mengusir dingin yang seolah-olah menusuk sampai ke tulang. Setelah menyiapkan barang-barangnya, Damar berbaring di tempat tidur dan mencoba memejamkan mata. Namun, tak lama kemudian, ia mendengar suara derit dari luar kamar, seakan ada seseorang yang berjalan mondar-mandir di lorong. Ia berpikir, mungkin itu suara dari penghuni kamar sebelah atau wanita tua resepsionis yang sedang memeriksa keadaan. Namun, ketika suara itu berhenti tepat di depan pintu kamarnya, Damar mulai merasa ada yang tidak beres. Ia membuka mata, menatap ke arah pintu, dan menunggu dalam hening yang mencekam. Jantungnya berdetak kencang saat suara ketukan pelan terdengar di pintu kamar. Damar duduk, mencoba mendengarkan lebih jelas. Namun, tak ada suara lagi setelah ketukan itu. Ia menghela napas lega, berpikir bahwa mungkin ia hanya berimajinasi. Tetapi, beberapa menit kemudian, suara ketukan itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras. Damar terdiam, rasa penasarannya bercampur ketakutan mulai menguasai dirinya. Dengan langkah hati-hati, ia bangkit dan mendekati pintu. Namun, saat ia akan meraih gagang pintu, suara ketukan itu berhenti. Ia menahan napas, berharap suara itu tak terdengar lagi. Ketika ia berbalik menuju tempat tidur, suara bisikan pelan menyusup di telinganya. “Kenapa kau datang ke sini?” Damar membeku. Suara itu begitu jelas, terdengar seakan-akan seseorang berbisik tepat di samping telinganya. Tubuhnya merinding, dan ia menatap cermin tua di dinding, berharap tak melihat apa pun di sana. Namun, dalam pantulan cermin, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku—bayangan hitam berdiri di belakangnya, dengan tatapan mata kelam yang kosong. Bayangan itu menatapnya dalam kegelapan, seolah menunggu sesuatu. Damar segera memalingkan wajah, menutup matanya, berharap semua ini hanya mimpi buruk. Tapi ia tahu, malam ini adalah malam panjang yang baru saja dimulai.Bab 2: Terjebak dalam BayanganDamar berdiri terpaku di tengah kamar, tubuhnya kaku, mata tertuju pada cermin yang memantulkan bayangan mengerikan itu. Bayangan hitam dengan bentuk samar wanita berambut panjang terus menatapnya dari balik cermin. Sesaat ia berpikir untuk lari keluar, tapi sesuatu seolah menahannya di tempat. Udara di kamar itu terasa semakin dingin, menusuk tulang, membuat tubuhnya menggigil."Ini pasti hanya imajinasi," pikirnya, berusaha menguatkan hati. Namun, semakin lama ia berpikir demikian, semakin nyata sosok itu terlihat. Bayangan itu tersenyum tipis, memperlihatkan deretan gigi yang kelihatan tidak rata, membuat senyum itu tampak menakutkan.Damar menutup matanya, menarik napas dalam-dalam, berharap saat ia membuka matanya kembali, sosok itu sudah lenyap. Namun ketika ia kembali membuka mata, bayangan itu tak hanya masih ada, tetapi kini semakin dekat. Sosok itu muncul seolah berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan kosong, tanpa suara.Tiba-tiba, soso
Bab 3: Jalan Keluar yang TersembunyiDamar menatap perempuan itu, perasaan aneh antara iba dan ketakutan berkecamuk dalam hatinya. "Bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa membebaskanmu?" tanyanya dengan nada berbisik, meski tak ada orang lain di kamar itu selain mereka berdua.Perempuan itu menunduk, matanya tampak lelah seolah menahan beban selama bertahun-tahun. "Kamar ini... terkutuk. Mereka yang pernah berani melewatinya setelah tengah malam akan terperangkap dalam siklus kegelapan ini. Aku sudah mencoba segalanya, tapi tak ada yang berhasil. Satu-satunya jalan adalah mencari kunci dari sang penjaga.""Penjaga?" Damar mengernyit bingung. Kata-kata perempuan ini semakin membuatnya bingung dan cemas.Perempuan itu mengangguk. "Penjaga adalah roh yang menghuni tempat ini, menjaga setiap tamu yang masuk agar tak bisa keluar. Dia terikat oleh sumpah, menjebak setiap orang yang melanggar larangan. Namun, jika kita bisa menemukan ‘benda’ miliknya yang tersembunyi, kita mungkin bisa memata
Bab 4: Tamu Baru di Kamar Nomor 13Malam itu, penginapan Gading tampak sunyi seperti biasa. Hanya diterangi oleh lampu-lampu remang di lorong, penginapan itu seolah menyembunyikan misteri yang tak seorang pun ingin tahu. Wanita tua resepsionis itu duduk di meja depan, wajahnya tertutup bayangan, menanti dengan tenang kedatangan tamu-tamu berikutnya. Ia tampak seperti penjaga kesunyian penginapan itu, seolah menjadi saksi bagi semua cerita yang tertinggal di setiap kamar.Ketika jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam, pintu depan terbuka, menimbulkan bunyi derit yang mengisi keheningan. Seorang pria muda berambut acak-acakan dan mengenakan jaket kulit hitam melangkah masuk. Raut wajahnya tampak lelah, namun tatapannya menunjukkan ketidakpedulian, seakan ia tidak memedulikan suasana aneh di sekitar penginapan itu.Wanita tua itu memandangnya dengan tatapan tajam, tetapi senyumnya samar dan penuh misteri. "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan suara serak dan dingi
Bab 5: Tanda-Tanda yang TersisaBeberapa hari setelah malam mengerikan itu, kota kecil tempat penginapan Gading berada kembali tenang. Tak ada lagi desas-desus tentang penginapan berhantu di ujung kota, tak ada cerita tentang kamar Nomor 13 yang terkutuk. Namun, seolah tanpa jejak, penginapan itu benar-benar lenyap dari pandangan dan ingatan orang-orang, seakan tak pernah ada.Namun, bagi pria yang telah berhasil keluar dari penginapan itu, semuanya belum benar-benar berakhir. Namanya Ray, dan sejak kejadian malam itu, ia mulai merasa ada sesuatu yang tidak biasa dalam hidupnya. Setiap kali ia menatap bayangan di cermin, ia melihat sosoknya sendiri, tapi ada yang aneh: tatapan matanya terasa lebih dalam, seakan menyimpan kegelapan yang ia tak mengerti.Suatu malam, Ray duduk di apartemennya yang kecil dan sederhana, menatap cermin di kamar mandi. Saat ia merapikan rambutnya, ia melihat bayangan seseorang di sudut cermin—sesosok bayangan samar yang tampak familiar namun terasa asing. B
Malam itu, hujan turun dengan deras, suara rintiknya menyatu dengan desiran angin yang bertiup kencang di luar. Di dalam hotel tua yang semakin usang, ketegangan terasa semakin mencekam. Meskipun jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, suasana di dalam hotel tetap sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki yang berat di lorong yang gelap.Arya, yang sudah lama penasaran dengan kisah misterius Kamar Nomor 13, berdiri di depan pintu yang dimaksud. Setelah beberapa hari mengumpulkan informasi, ia akhirnya berhasil mengakses kunci kamar tersebut. Pintu itu tampak usang, dengan cat yang mulai mengelupas di beberapa bagian, seolah menandakan bahwa kamar itu telah lama ditinggalkan. Namun, di dalam dirinya, rasa penasaran mengalahkan ketakutan yang perlahan merayap di hatinya.Saat kunci diputar dan pintu terbuka, sebuah aroma lembap menyeruak ke hidungnya. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya samar dari lampu yang ada di luar. Tanpa pikir panjang, Arya melangkah masuk, mengedark
Arya terperangah, jantungnya berdegup kencang, seolah-olah ingin melompat keluar dari tubuhnya. Suara bisikan itu masih terdengar, meski semakin samar. "Kamu sudah tahu terlalu banyak, Arya..." Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya, seakan terperangkap dalam lingkaran gelap yang semakin menjeratnya. Pintu kamar yang tadi terbuka lebar kini terkunci rapat. Bahkan kunci yang semula ada di tangannya, yang dengan susah payah ia ambil dari meja resepsionis, entah bagaimana hilang begitu saja. Arya mencoba menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya, namun semakin dia mencoba, semakin ketakutan yang datang. Matanya terfokus pada bayangan samar di sudut kamar—sesuatu yang bergerak perlahan, mengarah ke arahnya. Arya memejamkan matanya, berharap itu hanya halusinasi. Tetapi saat dia membuka mata kembali, bayangan itu semakin mendekat. Suara langkah kaki terdengar di lantai kayu yang berderit, semakin nyata, semakin mendekat. Dia menoleh, mencari jalan keluar. Tidak ada. Dinding
Arya merasakan dirinya terombang-ambing dalam kegelapan, seolah-olah seluruh dunia runtuh di sekelilingnya. Suara-suara itu, bisikan yang terdengar begitu jelas di telinganya, semakin menyatu dengan keheningan yang mencekam. Suasana di kamar itu terasa semakin berat, semakin pekat, seolah-olah ada kekuatan yang tidak terlihat mengikatnya, menariknya lebih dalam ke dalam kegelapan.Bayangan-bayangan yang muncul di sudut mata, dengan mata kosong dan wajah tanpa ekspresi, semakin mendekat. Arya bisa merasakan aura yang menekan dari setiap langkah mereka. Tubuhnya terasa lemas, seolah-olah tenaga dan nyawa perlahan-lahan diambil darinya. Kakinya hampir tidak mampu menopang tubuhnya, dan rasa ketakutan yang mendalam mulai merayap ke dalam dirinya, seakan menghancurkan segala bentuk harapan dan logika.Namun, di tengah kegelapan yang menakutkan itu, ada sebuah suara yang terdengar sangat jelas di dalam benaknya—sebuah suara yang asing, namun penuh dengan kekuatan. “Jangan biarkan mereka men
Arya merasakan dirinya terombang-ambing dalam kegelapan, seolah-olah seluruh dunia runtuh di sekelilingnya. Suara-suara itu, bisikan yang terdengar begitu jelas di telinganya, semakin menyatu dengan keheningan yang mencekam. Suasana di kamar itu terasa semakin berat, semakin pekat, seolah-olah ada kekuatan yang tidak terlihat mengikatnya, menariknya lebih dalam ke dalam kegelapan.Bayangan-bayangan yang muncul di sudut mata, dengan mata kosong dan wajah tanpa ekspresi, semakin mendekat. Arya bisa merasakan aura yang menekan dari setiap langkah mereka. Tubuhnya terasa lemas, seolah-olah tenaga dan nyawa perlahan-lahan diambil darinya. Kakinya hampir tidak mampu menopang tubuhnya, dan rasa ketakutan yang mendalam mulai merayap ke dalam dirinya, seakan menghancurkan segala bentuk harapan dan logika.Namun, di tengah kegelapan yang menakutkan itu, ada sebuah suara yang terdengar sangat jelas di dalam benaknya—sebuah suara yang asing, namun penuh dengan kekuatan. “Jangan biarkan mereka men
Arya terperangah, jantungnya berdegup kencang, seolah-olah ingin melompat keluar dari tubuhnya. Suara bisikan itu masih terdengar, meski semakin samar. "Kamu sudah tahu terlalu banyak, Arya..." Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya, seakan terperangkap dalam lingkaran gelap yang semakin menjeratnya. Pintu kamar yang tadi terbuka lebar kini terkunci rapat. Bahkan kunci yang semula ada di tangannya, yang dengan susah payah ia ambil dari meja resepsionis, entah bagaimana hilang begitu saja. Arya mencoba menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya, namun semakin dia mencoba, semakin ketakutan yang datang. Matanya terfokus pada bayangan samar di sudut kamar—sesuatu yang bergerak perlahan, mengarah ke arahnya. Arya memejamkan matanya, berharap itu hanya halusinasi. Tetapi saat dia membuka mata kembali, bayangan itu semakin mendekat. Suara langkah kaki terdengar di lantai kayu yang berderit, semakin nyata, semakin mendekat. Dia menoleh, mencari jalan keluar. Tidak ada. Dinding
Malam itu, hujan turun dengan deras, suara rintiknya menyatu dengan desiran angin yang bertiup kencang di luar. Di dalam hotel tua yang semakin usang, ketegangan terasa semakin mencekam. Meskipun jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, suasana di dalam hotel tetap sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki yang berat di lorong yang gelap.Arya, yang sudah lama penasaran dengan kisah misterius Kamar Nomor 13, berdiri di depan pintu yang dimaksud. Setelah beberapa hari mengumpulkan informasi, ia akhirnya berhasil mengakses kunci kamar tersebut. Pintu itu tampak usang, dengan cat yang mulai mengelupas di beberapa bagian, seolah menandakan bahwa kamar itu telah lama ditinggalkan. Namun, di dalam dirinya, rasa penasaran mengalahkan ketakutan yang perlahan merayap di hatinya.Saat kunci diputar dan pintu terbuka, sebuah aroma lembap menyeruak ke hidungnya. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya samar dari lampu yang ada di luar. Tanpa pikir panjang, Arya melangkah masuk, mengedark
Bab 5: Tanda-Tanda yang TersisaBeberapa hari setelah malam mengerikan itu, kota kecil tempat penginapan Gading berada kembali tenang. Tak ada lagi desas-desus tentang penginapan berhantu di ujung kota, tak ada cerita tentang kamar Nomor 13 yang terkutuk. Namun, seolah tanpa jejak, penginapan itu benar-benar lenyap dari pandangan dan ingatan orang-orang, seakan tak pernah ada.Namun, bagi pria yang telah berhasil keluar dari penginapan itu, semuanya belum benar-benar berakhir. Namanya Ray, dan sejak kejadian malam itu, ia mulai merasa ada sesuatu yang tidak biasa dalam hidupnya. Setiap kali ia menatap bayangan di cermin, ia melihat sosoknya sendiri, tapi ada yang aneh: tatapan matanya terasa lebih dalam, seakan menyimpan kegelapan yang ia tak mengerti.Suatu malam, Ray duduk di apartemennya yang kecil dan sederhana, menatap cermin di kamar mandi. Saat ia merapikan rambutnya, ia melihat bayangan seseorang di sudut cermin—sesosok bayangan samar yang tampak familiar namun terasa asing. B
Bab 4: Tamu Baru di Kamar Nomor 13Malam itu, penginapan Gading tampak sunyi seperti biasa. Hanya diterangi oleh lampu-lampu remang di lorong, penginapan itu seolah menyembunyikan misteri yang tak seorang pun ingin tahu. Wanita tua resepsionis itu duduk di meja depan, wajahnya tertutup bayangan, menanti dengan tenang kedatangan tamu-tamu berikutnya. Ia tampak seperti penjaga kesunyian penginapan itu, seolah menjadi saksi bagi semua cerita yang tertinggal di setiap kamar.Ketika jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam, pintu depan terbuka, menimbulkan bunyi derit yang mengisi keheningan. Seorang pria muda berambut acak-acakan dan mengenakan jaket kulit hitam melangkah masuk. Raut wajahnya tampak lelah, namun tatapannya menunjukkan ketidakpedulian, seakan ia tidak memedulikan suasana aneh di sekitar penginapan itu.Wanita tua itu memandangnya dengan tatapan tajam, tetapi senyumnya samar dan penuh misteri. "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan suara serak dan dingi
Bab 3: Jalan Keluar yang TersembunyiDamar menatap perempuan itu, perasaan aneh antara iba dan ketakutan berkecamuk dalam hatinya. "Bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa membebaskanmu?" tanyanya dengan nada berbisik, meski tak ada orang lain di kamar itu selain mereka berdua.Perempuan itu menunduk, matanya tampak lelah seolah menahan beban selama bertahun-tahun. "Kamar ini... terkutuk. Mereka yang pernah berani melewatinya setelah tengah malam akan terperangkap dalam siklus kegelapan ini. Aku sudah mencoba segalanya, tapi tak ada yang berhasil. Satu-satunya jalan adalah mencari kunci dari sang penjaga.""Penjaga?" Damar mengernyit bingung. Kata-kata perempuan ini semakin membuatnya bingung dan cemas.Perempuan itu mengangguk. "Penjaga adalah roh yang menghuni tempat ini, menjaga setiap tamu yang masuk agar tak bisa keluar. Dia terikat oleh sumpah, menjebak setiap orang yang melanggar larangan. Namun, jika kita bisa menemukan ‘benda’ miliknya yang tersembunyi, kita mungkin bisa memata
Bab 2: Terjebak dalam BayanganDamar berdiri terpaku di tengah kamar, tubuhnya kaku, mata tertuju pada cermin yang memantulkan bayangan mengerikan itu. Bayangan hitam dengan bentuk samar wanita berambut panjang terus menatapnya dari balik cermin. Sesaat ia berpikir untuk lari keluar, tapi sesuatu seolah menahannya di tempat. Udara di kamar itu terasa semakin dingin, menusuk tulang, membuat tubuhnya menggigil."Ini pasti hanya imajinasi," pikirnya, berusaha menguatkan hati. Namun, semakin lama ia berpikir demikian, semakin nyata sosok itu terlihat. Bayangan itu tersenyum tipis, memperlihatkan deretan gigi yang kelihatan tidak rata, membuat senyum itu tampak menakutkan.Damar menutup matanya, menarik napas dalam-dalam, berharap saat ia membuka matanya kembali, sosok itu sudah lenyap. Namun ketika ia kembali membuka mata, bayangan itu tak hanya masih ada, tetapi kini semakin dekat. Sosok itu muncul seolah berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan kosong, tanpa suara.Tiba-tiba, soso
Di sebuah desa kecil, berdiri sebuah penginapan tua yang konon sudah berusia lebih dari seratus tahun. Penginapan itu hampir selalu sepi, jarang ada tamu yang datang. Namun, ada satu kamar yang paling ditakuti oleh semua orang di desa ituKamar Nomor 13.Cerita tentang kamar itu bermula puluhan tahun lalu, ketika seorang tamu ditemukan tewas dengan wajah penuh ketakutan di sana. Setelah kejadian itu, berbagai insiden aneh terus terjadi. Suara-suara aneh sering terdengar dari kamar tersebut, meski tak ada seorang pun di dalamnya. Cahaya dari dalam kamar sering berkedip-kedip tanpa sebab, dan ada pula yang mengaku melihat bayangan berjalan di balik tirai jendela.Suatu malam, seorang pemuda bernama Damar yang tidak percaya akan cerita-cerita mistis itu memutuskan untuk menyewa Kamar Nomor 13. Dia menganggap cerita tentang kamar itu hanyalah legenda desa yang dibesar-besarkan. Dengan tekad yang bulat, Damar masuk ke kamar tersebut tanpa rasa takut sedikit pun.Di dalam kamar, Damar meras