Bab 4: Tamu Baru di Kamar Nomor 13
Malam itu, penginapan Gading tampak sunyi seperti biasa. Hanya diterangi oleh lampu-lampu remang di lorong, penginapan itu seolah menyembunyikan misteri yang tak seorang pun ingin tahu. Wanita tua resepsionis itu duduk di meja depan, wajahnya tertutup bayangan, menanti dengan tenang kedatangan tamu-tamu berikutnya. Ia tampak seperti penjaga kesunyian penginapan itu, seolah menjadi saksi bagi semua cerita yang tertinggal di setiap kamar. Ketika jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam, pintu depan terbuka, menimbulkan bunyi derit yang mengisi keheningan. Seorang pria muda berambut acak-acakan dan mengenakan jaket kulit hitam melangkah masuk. Raut wajahnya tampak lelah, namun tatapannya menunjukkan ketidakpedulian, seakan ia tidak memedulikan suasana aneh di sekitar penginapan itu. Wanita tua itu memandangnya dengan tatapan tajam, tetapi senyumnya samar dan penuh misteri. "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan suara serak dan dingin. Pria itu mengangguk. "Saya hanya ingin menginap satu malam. Ada kamar yang kosong?" Wanita tua itu tersenyum tipis. "Kebetulan, hanya ada satu kamar kosong malam ini. Kamar Nomor 13." Pria itu tampak tak peduli. "Baik, saya ambil kamar itu." Tanpa peringatan apa pun, wanita tua itu menyerahkan kunci kamar dengan tangan gemetar samar. "Ingat, jangan keluar kamar setelah tengah malam," katanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. Pria itu tertawa kecil. "Sudah sering saya dengar peringatan seperti itu di tempat-tempat aneh. Terima kasih, Bu, tapi saya bisa menjaga diri." Ia melangkah menaiki tangga dengan langkah mantap, menuju Kamar Nomor 13 di ujung lorong. Setibanya di depan pintu, ia memasukkan kunci dan membuka pintu dengan satu gerakan. Aroma lembap dan dingin segera menyambutnya, dan kamar itu tampak suram dengan pencahayaan redup yang hanya berasal dari lampu kecil di sudut. Pria itu mengabaikan perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba menyeruak dalam dirinya. Ia meletakkan tas di atas meja dan duduk di tepi tempat tidur, memandangi ruangan itu dengan bosan. Pandangannya berhenti pada cermin tua di dinding, yang tampak kusam dan berdebu, seolah menyimpan cerita lama yang tak ingin dibagikan. --- Beberapa jam berlalu, dan keheningan malam semakin tebal. Pria itu sudah terlelap di atas tempat tidurnya, ketika tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang bergerak di dalam kamar. Ia membuka mata perlahan, dan melihat bayangan samar di sudut kamar, dekat cermin. Bayangan itu tampak seperti seorang pria muda, berdiri diam dan memandang ke arahnya dengan tatapan sayu. Rambutnya acak-acakan, dan wajahnya memancarkan kesedihan yang dalam. Pria itu terdiam, mencoba memahami apakah yang ia lihat adalah halusinasi atau mimpi buruk. Namun, ketika bayangan itu melangkah mendekat, perasaan takut mulai merayap dalam diri pria itu. Ia mencoba bangkit, namun tubuhnya terasa kaku, seperti ada sesuatu yang menahannya untuk bergerak. Bayangan itu berbicara dengan suara pelan dan putus asa. "Tolong… keluarkan aku dari sini." Pria itu mengerutkan kening, mencoba mengumpulkan keberanian. "Siapa kamu? Apa yang terjadi di sini?" Bayangan itu berhenti, menatapnya dengan tatapan kosong. "Aku... Damar. Aku dulu tamu di sini, tapi sekarang aku terjebak... Selamanya." Pria itu merasa bulu kuduknya meremang. "Terjebak? Bagaimana bisa?" Damar menghela napas, seolah rasa keputusasaannya semakin dalam. "Tempat ini tidak akan pernah melepaskan siapa pun begitu saja. Setiap orang yang menginap di sini dan melanggar aturan akan terperangkap dalam kutukan. Aku salah satu dari mereka." Pria itu mengingat peringatan wanita tua resepsionis tadi—untuk tidak keluar kamar setelah tengah malam. Ia mulai merasakan ketakutan yang nyata. "Jadi… aku juga akan terjebak di sini?" Damar mengangguk pelan. "Jika kau ingin bebas, kau harus menemukan jalan keluar sebelum waktu habis. Namun, tidak ada yang berhasil sejauh ini. Kutukan ini membutuhkan jiwa baru untuk terus bertahan." Pria itu mulai berpikir keras, mencoba mencari akal untuk menghindari nasib yang menanti. "Apakah ada cara untuk mengakhiri kutukan ini?" Damar menatapnya dengan tatapan yang penuh harap, namun juga ragu-ragu. "Ada cara... tapi itu berisiko. Kau harus menghadapi penjaga yang menciptakan kutukan ini. Kau harus menghancurkan benda yang mengikat roh-roh terperangkap di kamar ini. Namun, setiap orang yang mencobanya... berakhir seperti aku." Pria itu terdiam, menyadari bahwa satu-satunya harapannya adalah bertaruh dengan hidupnya. "Di mana aku bisa menemukan benda itu?" Damar menatap cermin tua di dinding, seolah-olah benda itu menyimpan kunci dari segala misteri. "Di dalam cermin ini... benda itu tersembunyi. Kau harus menghancurkannya sebelum tengah malam berlalu, atau kau akan terjebak selamanya." Pria itu mendekati cermin dengan hati-hati, tatapannya penuh tekad meski hatinya dipenuhi rasa takut. Ia melihat bayangannya sendiri di dalam cermin, namun bayangan itu tampak berbeda, seolah memiliki kehidupan tersendiri. Bayangan itu tersenyum dingin padanya, seakan mengejek ketidakberdayaannya. Dengan napas yang berat, pria itu mengeluarkan pisau kecil dari sakunya. Ia menatap cermin itu, lalu mengangkat pisaunya dengan tangan yang gemetar. Ketika ia hendak menghancurkan cermin itu, suara wanita tua resepsionis bergema dalam kamar. "Berhenti... Jangan lakukan itu!" Pria itu menoleh ke arah pintu, dan melihat wanita tua itu berdiri di ambang pintu kamar, wajahnya terlihat penuh kemarahan dan kegelapan yang tidak biasa. "Kau akan membangunkan sesuatu yang tak seharusnya kau sentuh," katanya dengan nada mengancam. Namun pria itu sudah terlanjur bulat tekadnya. Ia mengabaikan peringatan itu dan memukul cermin dengan pisaunya. Retakan mulai menyebar di permukaan cermin, dan suara jeritan menyeramkan memenuhi ruangan. Bayangan-bayangan hitam muncul dari cermin, melayang di udara dengan gerakan lambat, namun aura kehadirannya begitu mengerikan. Bayangan-bayangan itu melayang mengelilingi pria itu dan wanita tua resepsionis, yang kini tampak ketakutan. “Tidak! Kau telah membebaskan mereka!” wanita tua itu berteriak, wajahnya berubah pucat seketika. Namun pria itu tetap memukul cermin dengan keras, hingga akhirnya cermin itu pecah berkeping-keping. Asap hitam keluar dari pecahan cermin, melayang-layang sebelum akhirnya menyebar ke seluruh ruangan. Bayangan-bayangan yang selama ini terperangkap kini terbebas, termasuk Damar, yang menatap pria itu dengan pandangan penuh terima kasih sebelum menghilang bersama asap hitam. Wanita tua resepsionis jatuh terduduk di lantai, tubuhnya terlihat lemah dan renta. “Tidak… semua ini tidak seharusnya terjadi…” Pria itu menatapnya dengan tatapan dingin. "Penginapan ini sudah mengambil banyak jiwa, termasuk jiwa Damar. Sudah waktunya kutukan ini berakhir." Wanita tua itu tertunduk, tak lagi memiliki kekuatan untuk melawan. Perlahan, tubuhnya berubah menjadi bayangan yang pudar, lalu lenyap bersama bayangan-bayangan lainnya. Semua suara yang tadi mengisi ruangan itu tiba-tiba menghilang, menyisakan keheningan yang menenangkan. Pria itu menghela napas panjang, merasa beban berat telah terangkat. Ia melangkah keluar dari kamar itu, dan mendapati lorong yang dulu terasa gelap kini tampak terang. Ia menuruni tangga, meninggalkan penginapan yang kini kosong dan tak berpenghuni. Saat ia melangkah keluar dari pintu utama, penginapan itu mulai terlihat semakin usang, seolah-olah sudah tak dihuni selama puluhan tahun. Perlahan, penginapan itu pudar, menghilang dalam kabut malam, seakan tak pernah ada di sana. Pria itu berjalan menjauh, meninggalkan masa lalu yang suram dan kutukan yang telah berakhir. Penginapan Gading dan semua yang terjebak di dalamnya telah bebas, dan kisahnya hanya tinggal legenda di tengah kegelapan malam.Bab 5: Tanda-Tanda yang TersisaBeberapa hari setelah malam mengerikan itu, kota kecil tempat penginapan Gading berada kembali tenang. Tak ada lagi desas-desus tentang penginapan berhantu di ujung kota, tak ada cerita tentang kamar Nomor 13 yang terkutuk. Namun, seolah tanpa jejak, penginapan itu benar-benar lenyap dari pandangan dan ingatan orang-orang, seakan tak pernah ada.Namun, bagi pria yang telah berhasil keluar dari penginapan itu, semuanya belum benar-benar berakhir. Namanya Ray, dan sejak kejadian malam itu, ia mulai merasa ada sesuatu yang tidak biasa dalam hidupnya. Setiap kali ia menatap bayangan di cermin, ia melihat sosoknya sendiri, tapi ada yang aneh: tatapan matanya terasa lebih dalam, seakan menyimpan kegelapan yang ia tak mengerti.Suatu malam, Ray duduk di apartemennya yang kecil dan sederhana, menatap cermin di kamar mandi. Saat ia merapikan rambutnya, ia melihat bayangan seseorang di sudut cermin—sesosok bayangan samar yang tampak familiar namun terasa asing. B
Malam itu, hujan turun dengan deras, suara rintiknya menyatu dengan desiran angin yang bertiup kencang di luar. Di dalam hotel tua yang semakin usang, ketegangan terasa semakin mencekam. Meskipun jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, suasana di dalam hotel tetap sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki yang berat di lorong yang gelap.Arya, yang sudah lama penasaran dengan kisah misterius Kamar Nomor 13, berdiri di depan pintu yang dimaksud. Setelah beberapa hari mengumpulkan informasi, ia akhirnya berhasil mengakses kunci kamar tersebut. Pintu itu tampak usang, dengan cat yang mulai mengelupas di beberapa bagian, seolah menandakan bahwa kamar itu telah lama ditinggalkan. Namun, di dalam dirinya, rasa penasaran mengalahkan ketakutan yang perlahan merayap di hatinya.Saat kunci diputar dan pintu terbuka, sebuah aroma lembap menyeruak ke hidungnya. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya samar dari lampu yang ada di luar. Tanpa pikir panjang, Arya melangkah masuk, mengedark
Arya terperangah, jantungnya berdegup kencang, seolah-olah ingin melompat keluar dari tubuhnya. Suara bisikan itu masih terdengar, meski semakin samar. "Kamu sudah tahu terlalu banyak, Arya..." Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya, seakan terperangkap dalam lingkaran gelap yang semakin menjeratnya. Pintu kamar yang tadi terbuka lebar kini terkunci rapat. Bahkan kunci yang semula ada di tangannya, yang dengan susah payah ia ambil dari meja resepsionis, entah bagaimana hilang begitu saja. Arya mencoba menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya, namun semakin dia mencoba, semakin ketakutan yang datang. Matanya terfokus pada bayangan samar di sudut kamar—sesuatu yang bergerak perlahan, mengarah ke arahnya. Arya memejamkan matanya, berharap itu hanya halusinasi. Tetapi saat dia membuka mata kembali, bayangan itu semakin mendekat. Suara langkah kaki terdengar di lantai kayu yang berderit, semakin nyata, semakin mendekat. Dia menoleh, mencari jalan keluar. Tidak ada. Dinding
Arya merasakan dirinya terombang-ambing dalam kegelapan, seolah-olah seluruh dunia runtuh di sekelilingnya. Suara-suara itu, bisikan yang terdengar begitu jelas di telinganya, semakin menyatu dengan keheningan yang mencekam. Suasana di kamar itu terasa semakin berat, semakin pekat, seolah-olah ada kekuatan yang tidak terlihat mengikatnya, menariknya lebih dalam ke dalam kegelapan.Bayangan-bayangan yang muncul di sudut mata, dengan mata kosong dan wajah tanpa ekspresi, semakin mendekat. Arya bisa merasakan aura yang menekan dari setiap langkah mereka. Tubuhnya terasa lemas, seolah-olah tenaga dan nyawa perlahan-lahan diambil darinya. Kakinya hampir tidak mampu menopang tubuhnya, dan rasa ketakutan yang mendalam mulai merayap ke dalam dirinya, seakan menghancurkan segala bentuk harapan dan logika.Namun, di tengah kegelapan yang menakutkan itu, ada sebuah suara yang terdengar sangat jelas di dalam benaknya—sebuah suara yang asing, namun penuh dengan kekuatan. “Jangan biarkan mereka men
Di sebuah desa kecil, berdiri sebuah penginapan tua yang konon sudah berusia lebih dari seratus tahun. Penginapan itu hampir selalu sepi, jarang ada tamu yang datang. Namun, ada satu kamar yang paling ditakuti oleh semua orang di desa ituKamar Nomor 13.Cerita tentang kamar itu bermula puluhan tahun lalu, ketika seorang tamu ditemukan tewas dengan wajah penuh ketakutan di sana. Setelah kejadian itu, berbagai insiden aneh terus terjadi. Suara-suara aneh sering terdengar dari kamar tersebut, meski tak ada seorang pun di dalamnya. Cahaya dari dalam kamar sering berkedip-kedip tanpa sebab, dan ada pula yang mengaku melihat bayangan berjalan di balik tirai jendela.Suatu malam, seorang pemuda bernama Damar yang tidak percaya akan cerita-cerita mistis itu memutuskan untuk menyewa Kamar Nomor 13. Dia menganggap cerita tentang kamar itu hanyalah legenda desa yang dibesar-besarkan. Dengan tekad yang bulat, Damar masuk ke kamar tersebut tanpa rasa takut sedikit pun.Di dalam kamar, Damar meras
Bab 2: Terjebak dalam BayanganDamar berdiri terpaku di tengah kamar, tubuhnya kaku, mata tertuju pada cermin yang memantulkan bayangan mengerikan itu. Bayangan hitam dengan bentuk samar wanita berambut panjang terus menatapnya dari balik cermin. Sesaat ia berpikir untuk lari keluar, tapi sesuatu seolah menahannya di tempat. Udara di kamar itu terasa semakin dingin, menusuk tulang, membuat tubuhnya menggigil."Ini pasti hanya imajinasi," pikirnya, berusaha menguatkan hati. Namun, semakin lama ia berpikir demikian, semakin nyata sosok itu terlihat. Bayangan itu tersenyum tipis, memperlihatkan deretan gigi yang kelihatan tidak rata, membuat senyum itu tampak menakutkan.Damar menutup matanya, menarik napas dalam-dalam, berharap saat ia membuka matanya kembali, sosok itu sudah lenyap. Namun ketika ia kembali membuka mata, bayangan itu tak hanya masih ada, tetapi kini semakin dekat. Sosok itu muncul seolah berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan kosong, tanpa suara.Tiba-tiba, soso
Bab 3: Jalan Keluar yang TersembunyiDamar menatap perempuan itu, perasaan aneh antara iba dan ketakutan berkecamuk dalam hatinya. "Bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa membebaskanmu?" tanyanya dengan nada berbisik, meski tak ada orang lain di kamar itu selain mereka berdua.Perempuan itu menunduk, matanya tampak lelah seolah menahan beban selama bertahun-tahun. "Kamar ini... terkutuk. Mereka yang pernah berani melewatinya setelah tengah malam akan terperangkap dalam siklus kegelapan ini. Aku sudah mencoba segalanya, tapi tak ada yang berhasil. Satu-satunya jalan adalah mencari kunci dari sang penjaga.""Penjaga?" Damar mengernyit bingung. Kata-kata perempuan ini semakin membuatnya bingung dan cemas.Perempuan itu mengangguk. "Penjaga adalah roh yang menghuni tempat ini, menjaga setiap tamu yang masuk agar tak bisa keluar. Dia terikat oleh sumpah, menjebak setiap orang yang melanggar larangan. Namun, jika kita bisa menemukan ‘benda’ miliknya yang tersembunyi, kita mungkin bisa memata
Arya merasakan dirinya terombang-ambing dalam kegelapan, seolah-olah seluruh dunia runtuh di sekelilingnya. Suara-suara itu, bisikan yang terdengar begitu jelas di telinganya, semakin menyatu dengan keheningan yang mencekam. Suasana di kamar itu terasa semakin berat, semakin pekat, seolah-olah ada kekuatan yang tidak terlihat mengikatnya, menariknya lebih dalam ke dalam kegelapan.Bayangan-bayangan yang muncul di sudut mata, dengan mata kosong dan wajah tanpa ekspresi, semakin mendekat. Arya bisa merasakan aura yang menekan dari setiap langkah mereka. Tubuhnya terasa lemas, seolah-olah tenaga dan nyawa perlahan-lahan diambil darinya. Kakinya hampir tidak mampu menopang tubuhnya, dan rasa ketakutan yang mendalam mulai merayap ke dalam dirinya, seakan menghancurkan segala bentuk harapan dan logika.Namun, di tengah kegelapan yang menakutkan itu, ada sebuah suara yang terdengar sangat jelas di dalam benaknya—sebuah suara yang asing, namun penuh dengan kekuatan. “Jangan biarkan mereka men
Arya terperangah, jantungnya berdegup kencang, seolah-olah ingin melompat keluar dari tubuhnya. Suara bisikan itu masih terdengar, meski semakin samar. "Kamu sudah tahu terlalu banyak, Arya..." Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya, seakan terperangkap dalam lingkaran gelap yang semakin menjeratnya. Pintu kamar yang tadi terbuka lebar kini terkunci rapat. Bahkan kunci yang semula ada di tangannya, yang dengan susah payah ia ambil dari meja resepsionis, entah bagaimana hilang begitu saja. Arya mencoba menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya, namun semakin dia mencoba, semakin ketakutan yang datang. Matanya terfokus pada bayangan samar di sudut kamar—sesuatu yang bergerak perlahan, mengarah ke arahnya. Arya memejamkan matanya, berharap itu hanya halusinasi. Tetapi saat dia membuka mata kembali, bayangan itu semakin mendekat. Suara langkah kaki terdengar di lantai kayu yang berderit, semakin nyata, semakin mendekat. Dia menoleh, mencari jalan keluar. Tidak ada. Dinding
Malam itu, hujan turun dengan deras, suara rintiknya menyatu dengan desiran angin yang bertiup kencang di luar. Di dalam hotel tua yang semakin usang, ketegangan terasa semakin mencekam. Meskipun jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, suasana di dalam hotel tetap sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki yang berat di lorong yang gelap.Arya, yang sudah lama penasaran dengan kisah misterius Kamar Nomor 13, berdiri di depan pintu yang dimaksud. Setelah beberapa hari mengumpulkan informasi, ia akhirnya berhasil mengakses kunci kamar tersebut. Pintu itu tampak usang, dengan cat yang mulai mengelupas di beberapa bagian, seolah menandakan bahwa kamar itu telah lama ditinggalkan. Namun, di dalam dirinya, rasa penasaran mengalahkan ketakutan yang perlahan merayap di hatinya.Saat kunci diputar dan pintu terbuka, sebuah aroma lembap menyeruak ke hidungnya. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya samar dari lampu yang ada di luar. Tanpa pikir panjang, Arya melangkah masuk, mengedark
Bab 5: Tanda-Tanda yang TersisaBeberapa hari setelah malam mengerikan itu, kota kecil tempat penginapan Gading berada kembali tenang. Tak ada lagi desas-desus tentang penginapan berhantu di ujung kota, tak ada cerita tentang kamar Nomor 13 yang terkutuk. Namun, seolah tanpa jejak, penginapan itu benar-benar lenyap dari pandangan dan ingatan orang-orang, seakan tak pernah ada.Namun, bagi pria yang telah berhasil keluar dari penginapan itu, semuanya belum benar-benar berakhir. Namanya Ray, dan sejak kejadian malam itu, ia mulai merasa ada sesuatu yang tidak biasa dalam hidupnya. Setiap kali ia menatap bayangan di cermin, ia melihat sosoknya sendiri, tapi ada yang aneh: tatapan matanya terasa lebih dalam, seakan menyimpan kegelapan yang ia tak mengerti.Suatu malam, Ray duduk di apartemennya yang kecil dan sederhana, menatap cermin di kamar mandi. Saat ia merapikan rambutnya, ia melihat bayangan seseorang di sudut cermin—sesosok bayangan samar yang tampak familiar namun terasa asing. B
Bab 4: Tamu Baru di Kamar Nomor 13Malam itu, penginapan Gading tampak sunyi seperti biasa. Hanya diterangi oleh lampu-lampu remang di lorong, penginapan itu seolah menyembunyikan misteri yang tak seorang pun ingin tahu. Wanita tua resepsionis itu duduk di meja depan, wajahnya tertutup bayangan, menanti dengan tenang kedatangan tamu-tamu berikutnya. Ia tampak seperti penjaga kesunyian penginapan itu, seolah menjadi saksi bagi semua cerita yang tertinggal di setiap kamar.Ketika jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam, pintu depan terbuka, menimbulkan bunyi derit yang mengisi keheningan. Seorang pria muda berambut acak-acakan dan mengenakan jaket kulit hitam melangkah masuk. Raut wajahnya tampak lelah, namun tatapannya menunjukkan ketidakpedulian, seakan ia tidak memedulikan suasana aneh di sekitar penginapan itu.Wanita tua itu memandangnya dengan tatapan tajam, tetapi senyumnya samar dan penuh misteri. "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan suara serak dan dingi
Bab 3: Jalan Keluar yang TersembunyiDamar menatap perempuan itu, perasaan aneh antara iba dan ketakutan berkecamuk dalam hatinya. "Bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa membebaskanmu?" tanyanya dengan nada berbisik, meski tak ada orang lain di kamar itu selain mereka berdua.Perempuan itu menunduk, matanya tampak lelah seolah menahan beban selama bertahun-tahun. "Kamar ini... terkutuk. Mereka yang pernah berani melewatinya setelah tengah malam akan terperangkap dalam siklus kegelapan ini. Aku sudah mencoba segalanya, tapi tak ada yang berhasil. Satu-satunya jalan adalah mencari kunci dari sang penjaga.""Penjaga?" Damar mengernyit bingung. Kata-kata perempuan ini semakin membuatnya bingung dan cemas.Perempuan itu mengangguk. "Penjaga adalah roh yang menghuni tempat ini, menjaga setiap tamu yang masuk agar tak bisa keluar. Dia terikat oleh sumpah, menjebak setiap orang yang melanggar larangan. Namun, jika kita bisa menemukan ‘benda’ miliknya yang tersembunyi, kita mungkin bisa memata
Bab 2: Terjebak dalam BayanganDamar berdiri terpaku di tengah kamar, tubuhnya kaku, mata tertuju pada cermin yang memantulkan bayangan mengerikan itu. Bayangan hitam dengan bentuk samar wanita berambut panjang terus menatapnya dari balik cermin. Sesaat ia berpikir untuk lari keluar, tapi sesuatu seolah menahannya di tempat. Udara di kamar itu terasa semakin dingin, menusuk tulang, membuat tubuhnya menggigil."Ini pasti hanya imajinasi," pikirnya, berusaha menguatkan hati. Namun, semakin lama ia berpikir demikian, semakin nyata sosok itu terlihat. Bayangan itu tersenyum tipis, memperlihatkan deretan gigi yang kelihatan tidak rata, membuat senyum itu tampak menakutkan.Damar menutup matanya, menarik napas dalam-dalam, berharap saat ia membuka matanya kembali, sosok itu sudah lenyap. Namun ketika ia kembali membuka mata, bayangan itu tak hanya masih ada, tetapi kini semakin dekat. Sosok itu muncul seolah berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan kosong, tanpa suara.Tiba-tiba, soso
Di sebuah desa kecil, berdiri sebuah penginapan tua yang konon sudah berusia lebih dari seratus tahun. Penginapan itu hampir selalu sepi, jarang ada tamu yang datang. Namun, ada satu kamar yang paling ditakuti oleh semua orang di desa ituKamar Nomor 13.Cerita tentang kamar itu bermula puluhan tahun lalu, ketika seorang tamu ditemukan tewas dengan wajah penuh ketakutan di sana. Setelah kejadian itu, berbagai insiden aneh terus terjadi. Suara-suara aneh sering terdengar dari kamar tersebut, meski tak ada seorang pun di dalamnya. Cahaya dari dalam kamar sering berkedip-kedip tanpa sebab, dan ada pula yang mengaku melihat bayangan berjalan di balik tirai jendela.Suatu malam, seorang pemuda bernama Damar yang tidak percaya akan cerita-cerita mistis itu memutuskan untuk menyewa Kamar Nomor 13. Dia menganggap cerita tentang kamar itu hanyalah legenda desa yang dibesar-besarkan. Dengan tekad yang bulat, Damar masuk ke kamar tersebut tanpa rasa takut sedikit pun.Di dalam kamar, Damar meras