Bab 2: Terjebak dalam Bayangan
Damar berdiri terpaku di tengah kamar, tubuhnya kaku, mata tertuju pada cermin yang memantulkan bayangan mengerikan itu. Bayangan hitam dengan bentuk samar wanita berambut panjang terus menatapnya dari balik cermin. Sesaat ia berpikir untuk lari keluar, tapi sesuatu seolah menahannya di tempat. Udara di kamar itu terasa semakin dingin, menusuk tulang, membuat tubuhnya menggigil. "Ini pasti hanya imajinasi," pikirnya, berusaha menguatkan hati. Namun, semakin lama ia berpikir demikian, semakin nyata sosok itu terlihat. Bayangan itu tersenyum tipis, memperlihatkan deretan gigi yang kelihatan tidak rata, membuat senyum itu tampak menakutkan. Damar menutup matanya, menarik napas dalam-dalam, berharap saat ia membuka matanya kembali, sosok itu sudah lenyap. Namun ketika ia kembali membuka mata, bayangan itu tak hanya masih ada, tetapi kini semakin dekat. Sosok itu muncul seolah berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan kosong, tanpa suara. Tiba-tiba, sosok itu mengulurkan tangan dengan gerakan lambat. Damar mundur satu langkah, namun bayangan itu tetap mendekat. Tubuhnya gemetar, dan ia tahu satu hal: ia harus keluar dari kamar ini secepat mungkin. Ia berbalik, berlari menuju pintu, dan memutar gagangnya dengan tergesa-gesa. Tapi pintu itu tidak terbuka. Ia memutar kunci, mencoba mendorong, bahkan memukul-mukul pintu, tapi tetap tak ada hasil. Damar mulai panik, ketakutan yang ia rasakan kini tak bisa ia kendalikan. "Dibukakan pintunya! Tolong!" Damar berteriak sekeras mungkin, berharap suara jeritannya terdengar oleh resepsionis atau siapa pun yang mungkin lewat di luar sana. Tapi tak ada balasan. Hanya keheningan yang menyelimuti kamar itu, hening yang begitu mencekam. Ia mengalihkan pandangan ke jendela, satu-satunya harapan untuk keluar. Dengan cepat, ia berlari ke jendela dan menarik tirainya. Tapi ketika jendela itu terbuka, yang ia lihat hanyalah kegelapan pekat, seolah-olah dunia luar tak lagi ada. Dalam keputusasaan, Damar mencoba memukul kaca jendela itu, namun kaca itu terasa keras dan tak bergeming sedikit pun, seolah-olah terbuat dari baja yang tak mungkin dipecahkan. Tangannya mulai sakit, tapi ia terus mencoba, berharap kaca itu bisa pecah dan membiarkannya keluar. Namun tiba-tiba, suara bisikan kembali terdengar, lebih jelas kali ini. "Kau tak akan bisa pergi..." Damar menghentikan pukulannya. Ia berbalik, dan kali ini, sosok itu berdiri tepat di hadapannya, hanya beberapa inci dari wajahnya. Rasa takut yang melanda tubuhnya begitu kuat hingga ia bahkan sulit bernapas. Bayangan hitam itu tersenyum lagi, kali ini senyumnya terlihat lebih sadis. "Kau akan tinggal di sini... selamanya," sosok itu berbisik dengan suara parau yang terdengar jauh di lubuk telinganya, membuat Damar merinding hingga ke puncak kepala. Damar jatuh terduduk, kehabisan tenaga. Di tengah rasa putus asanya, ia mencoba berpikir jernih. Ia mengingat saran neneknya saat kecil dulu, bahwa jika kau merasa dikejar roh jahat, kadang-kadang cara terbaik untuk melawannya adalah dengan bertanya atau berbicara. Dengan sisa keberaniannya, Damar memberanikan diri menatap sosok hitam itu, lalu bertanya dengan suara gemetar, "Siapa... siapa kau?" Sosok itu menatapnya tanpa ekspresi, lalu perlahan membuka mulut. "Aku... dulu... juga seperti dirimu. Datang ke sini, mencari perlindungan, tapi tak pernah bisa pergi. Sekarang aku bagian dari kamar ini, dan kau akan menjadi bagian darinya juga." Damar merasa perutnya mual mendengar jawaban itu. "Tidak... aku tidak ingin tinggal di sini!" Ia berteriak, mencoba menolak takdir yang seolah sudah menjeratnya. Sosok itu hanya menatapnya, lalu berbisik lagi, "Kamar ini... adalah tempat kami yang terbuang. Mereka yang datang dengan hati penuh keraguan, atau mereka yang menantang, akan selalu tertinggal di sini. Satu-satunya jalan keluar adalah... menyelesaikan apa yang belum selesai." Damar mengernyit, bingung dengan kata-kata itu. "Apa maksudmu? Apa yang belum selesai?" Namun, sosok itu tidak menjawab. Ia hanya menghilang perlahan, meninggalkan Damar dalam keheningan. Ruangan kembali gelap dan sunyi. Tapi Damar merasa, ada sesuatu di dalam kamar ini yang mengharuskan dia melakukan sesuatu, meski ia tak tahu apa. Dengan ragu, Damar mulai berkeliling kamar, mencari tanda atau petunjuk apa pun yang mungkin bisa membantunya. Ia memeriksa setiap sudut, setiap lemari, bahkan laci-laci kecil yang ada di kamar itu. Di dalam laci meja samping tempat tidur, ia menemukan sebuah buku tua berdebu. Sampulnya kusam dan sudah terkoyak, tanpa tulisan apa pun. Dengan hati-hati, Damar membuka buku itu. Di dalamnya, tertulis sebuah catatan dengan tulisan tangan yang hampir tak terbaca: "Aku tak bisa keluar. Setiap malam, bayangan itu datang, dan aku tahu waktuku semakin dekat. Jika ada yang menemukan ini, ingatlah... hanya mereka yang memenuhi syarat yang bisa keluar. Carilah roh yang tak tenang, bebaskan dia dari penjara abadi ini." Jantung Damar berdetak cepat. Jadi, mungkin ada roh lain yang terjebak di sini, yang harus ia bebaskan agar bisa keluar? Tapi bagaimana caranya? Saat ia merenungkan tulisan itu, terdengar lagi suara ketukan dari arah pintu, kali ini lebih keras dan berulang-ulang. Damar tersentak, kembali merasa ketakutan. Tapi ia sadar, ketakutan hanya akan membuatnya semakin terjebak. Dengan berani, ia menuju pintu dan, dengan napas yang tersengal, ia bertanya, "Siapa yang ada di luar?" Hening. Tak ada jawaban, hanya ketukan yang terus berulang. Ia mengingat catatan di buku tadi—bahwa mungkin ada roh yang juga terperangkap di kamar ini. "Apa kau... membutuhkan bantuan?" tanyanya lagi, mencoba untuk berempati, meski rasa takut terus menggerogotinya. Suara ketukan itu tiba-tiba berhenti. Damar menelan ludah, dan suasana kembali sunyi. Tapi dalam keheningan itu, ia mendengar suara kecil di belakangnya, suara seseorang yang seolah menangis lirih. Damar berbalik dan melihat seorang perempuan muda yang terlihat pucat dan rapuh duduk di sudut ruangan. Perempuan itu mengenakan pakaian lusuh yang sepertinya berasal dari zaman dulu, matanya merah sembab, dan wajahnya terlihat lelah. “Aku... aku tak pernah bisa pergi,” katanya sambil menangis. Damar mendekati perempuan itu dengan hati-hati. "Siapa kamu? Apa yang terjadi padamu?" Perempuan itu mengusap air matanya dan menjawab pelan, "Aku dulu tamu di sini, seperti dirimu. Tapi aku melanggar larangan pemilik penginapan. Aku keluar kamar setelah tengah malam, dan sejak saat itu, aku tak bisa keluar dari tempat ini." Damar tercengang. "Jadi... ada yang mengunci kita di sini?" Perempuan itu mengangguk lemah. "Aku sudah mencoba segalanya. Tapi aku percaya... mungkin, dengan adanya dirimu, kita bisa bebas. Kau bisa membantu membebaskanku, dan aku akan membantumu keluar dari tempat ini." Damar menatap perempuan itu dengan ragu, tapi dalam hatinya, ia merasakan sedikit harapan. Mungkin ini adalah jalan keluarnya.Bab 3: Jalan Keluar yang TersembunyiDamar menatap perempuan itu, perasaan aneh antara iba dan ketakutan berkecamuk dalam hatinya. "Bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa membebaskanmu?" tanyanya dengan nada berbisik, meski tak ada orang lain di kamar itu selain mereka berdua.Perempuan itu menunduk, matanya tampak lelah seolah menahan beban selama bertahun-tahun. "Kamar ini... terkutuk. Mereka yang pernah berani melewatinya setelah tengah malam akan terperangkap dalam siklus kegelapan ini. Aku sudah mencoba segalanya, tapi tak ada yang berhasil. Satu-satunya jalan adalah mencari kunci dari sang penjaga.""Penjaga?" Damar mengernyit bingung. Kata-kata perempuan ini semakin membuatnya bingung dan cemas.Perempuan itu mengangguk. "Penjaga adalah roh yang menghuni tempat ini, menjaga setiap tamu yang masuk agar tak bisa keluar. Dia terikat oleh sumpah, menjebak setiap orang yang melanggar larangan. Namun, jika kita bisa menemukan ‘benda’ miliknya yang tersembunyi, kita mungkin bisa memata
Bab 4: Tamu Baru di Kamar Nomor 13Malam itu, penginapan Gading tampak sunyi seperti biasa. Hanya diterangi oleh lampu-lampu remang di lorong, penginapan itu seolah menyembunyikan misteri yang tak seorang pun ingin tahu. Wanita tua resepsionis itu duduk di meja depan, wajahnya tertutup bayangan, menanti dengan tenang kedatangan tamu-tamu berikutnya. Ia tampak seperti penjaga kesunyian penginapan itu, seolah menjadi saksi bagi semua cerita yang tertinggal di setiap kamar.Ketika jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam, pintu depan terbuka, menimbulkan bunyi derit yang mengisi keheningan. Seorang pria muda berambut acak-acakan dan mengenakan jaket kulit hitam melangkah masuk. Raut wajahnya tampak lelah, namun tatapannya menunjukkan ketidakpedulian, seakan ia tidak memedulikan suasana aneh di sekitar penginapan itu.Wanita tua itu memandangnya dengan tatapan tajam, tetapi senyumnya samar dan penuh misteri. "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan suara serak dan dingi
Bab 5: Tanda-Tanda yang TersisaBeberapa hari setelah malam mengerikan itu, kota kecil tempat penginapan Gading berada kembali tenang. Tak ada lagi desas-desus tentang penginapan berhantu di ujung kota, tak ada cerita tentang kamar Nomor 13 yang terkutuk. Namun, seolah tanpa jejak, penginapan itu benar-benar lenyap dari pandangan dan ingatan orang-orang, seakan tak pernah ada.Namun, bagi pria yang telah berhasil keluar dari penginapan itu, semuanya belum benar-benar berakhir. Namanya Ray, dan sejak kejadian malam itu, ia mulai merasa ada sesuatu yang tidak biasa dalam hidupnya. Setiap kali ia menatap bayangan di cermin, ia melihat sosoknya sendiri, tapi ada yang aneh: tatapan matanya terasa lebih dalam, seakan menyimpan kegelapan yang ia tak mengerti.Suatu malam, Ray duduk di apartemennya yang kecil dan sederhana, menatap cermin di kamar mandi. Saat ia merapikan rambutnya, ia melihat bayangan seseorang di sudut cermin—sesosok bayangan samar yang tampak familiar namun terasa asing. B
Malam itu, hujan turun dengan deras, suara rintiknya menyatu dengan desiran angin yang bertiup kencang di luar. Di dalam hotel tua yang semakin usang, ketegangan terasa semakin mencekam. Meskipun jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, suasana di dalam hotel tetap sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki yang berat di lorong yang gelap.Arya, yang sudah lama penasaran dengan kisah misterius Kamar Nomor 13, berdiri di depan pintu yang dimaksud. Setelah beberapa hari mengumpulkan informasi, ia akhirnya berhasil mengakses kunci kamar tersebut. Pintu itu tampak usang, dengan cat yang mulai mengelupas di beberapa bagian, seolah menandakan bahwa kamar itu telah lama ditinggalkan. Namun, di dalam dirinya, rasa penasaran mengalahkan ketakutan yang perlahan merayap di hatinya.Saat kunci diputar dan pintu terbuka, sebuah aroma lembap menyeruak ke hidungnya. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya samar dari lampu yang ada di luar. Tanpa pikir panjang, Arya melangkah masuk, mengedark
Arya terperangah, jantungnya berdegup kencang, seolah-olah ingin melompat keluar dari tubuhnya. Suara bisikan itu masih terdengar, meski semakin samar. "Kamu sudah tahu terlalu banyak, Arya..." Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya, seakan terperangkap dalam lingkaran gelap yang semakin menjeratnya. Pintu kamar yang tadi terbuka lebar kini terkunci rapat. Bahkan kunci yang semula ada di tangannya, yang dengan susah payah ia ambil dari meja resepsionis, entah bagaimana hilang begitu saja. Arya mencoba menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya, namun semakin dia mencoba, semakin ketakutan yang datang. Matanya terfokus pada bayangan samar di sudut kamar—sesuatu yang bergerak perlahan, mengarah ke arahnya. Arya memejamkan matanya, berharap itu hanya halusinasi. Tetapi saat dia membuka mata kembali, bayangan itu semakin mendekat. Suara langkah kaki terdengar di lantai kayu yang berderit, semakin nyata, semakin mendekat. Dia menoleh, mencari jalan keluar. Tidak ada. Dinding
Arya merasakan dirinya terombang-ambing dalam kegelapan, seolah-olah seluruh dunia runtuh di sekelilingnya. Suara-suara itu, bisikan yang terdengar begitu jelas di telinganya, semakin menyatu dengan keheningan yang mencekam. Suasana di kamar itu terasa semakin berat, semakin pekat, seolah-olah ada kekuatan yang tidak terlihat mengikatnya, menariknya lebih dalam ke dalam kegelapan.Bayangan-bayangan yang muncul di sudut mata, dengan mata kosong dan wajah tanpa ekspresi, semakin mendekat. Arya bisa merasakan aura yang menekan dari setiap langkah mereka. Tubuhnya terasa lemas, seolah-olah tenaga dan nyawa perlahan-lahan diambil darinya. Kakinya hampir tidak mampu menopang tubuhnya, dan rasa ketakutan yang mendalam mulai merayap ke dalam dirinya, seakan menghancurkan segala bentuk harapan dan logika.Namun, di tengah kegelapan yang menakutkan itu, ada sebuah suara yang terdengar sangat jelas di dalam benaknya—sebuah suara yang asing, namun penuh dengan kekuatan. “Jangan biarkan mereka men
Di sebuah desa kecil, berdiri sebuah penginapan tua yang konon sudah berusia lebih dari seratus tahun. Penginapan itu hampir selalu sepi, jarang ada tamu yang datang. Namun, ada satu kamar yang paling ditakuti oleh semua orang di desa ituKamar Nomor 13.Cerita tentang kamar itu bermula puluhan tahun lalu, ketika seorang tamu ditemukan tewas dengan wajah penuh ketakutan di sana. Setelah kejadian itu, berbagai insiden aneh terus terjadi. Suara-suara aneh sering terdengar dari kamar tersebut, meski tak ada seorang pun di dalamnya. Cahaya dari dalam kamar sering berkedip-kedip tanpa sebab, dan ada pula yang mengaku melihat bayangan berjalan di balik tirai jendela.Suatu malam, seorang pemuda bernama Damar yang tidak percaya akan cerita-cerita mistis itu memutuskan untuk menyewa Kamar Nomor 13. Dia menganggap cerita tentang kamar itu hanyalah legenda desa yang dibesar-besarkan. Dengan tekad yang bulat, Damar masuk ke kamar tersebut tanpa rasa takut sedikit pun.Di dalam kamar, Damar meras
Arya merasakan dirinya terombang-ambing dalam kegelapan, seolah-olah seluruh dunia runtuh di sekelilingnya. Suara-suara itu, bisikan yang terdengar begitu jelas di telinganya, semakin menyatu dengan keheningan yang mencekam. Suasana di kamar itu terasa semakin berat, semakin pekat, seolah-olah ada kekuatan yang tidak terlihat mengikatnya, menariknya lebih dalam ke dalam kegelapan.Bayangan-bayangan yang muncul di sudut mata, dengan mata kosong dan wajah tanpa ekspresi, semakin mendekat. Arya bisa merasakan aura yang menekan dari setiap langkah mereka. Tubuhnya terasa lemas, seolah-olah tenaga dan nyawa perlahan-lahan diambil darinya. Kakinya hampir tidak mampu menopang tubuhnya, dan rasa ketakutan yang mendalam mulai merayap ke dalam dirinya, seakan menghancurkan segala bentuk harapan dan logika.Namun, di tengah kegelapan yang menakutkan itu, ada sebuah suara yang terdengar sangat jelas di dalam benaknya—sebuah suara yang asing, namun penuh dengan kekuatan. “Jangan biarkan mereka men
Arya terperangah, jantungnya berdegup kencang, seolah-olah ingin melompat keluar dari tubuhnya. Suara bisikan itu masih terdengar, meski semakin samar. "Kamu sudah tahu terlalu banyak, Arya..." Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya, seakan terperangkap dalam lingkaran gelap yang semakin menjeratnya. Pintu kamar yang tadi terbuka lebar kini terkunci rapat. Bahkan kunci yang semula ada di tangannya, yang dengan susah payah ia ambil dari meja resepsionis, entah bagaimana hilang begitu saja. Arya mencoba menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya, namun semakin dia mencoba, semakin ketakutan yang datang. Matanya terfokus pada bayangan samar di sudut kamar—sesuatu yang bergerak perlahan, mengarah ke arahnya. Arya memejamkan matanya, berharap itu hanya halusinasi. Tetapi saat dia membuka mata kembali, bayangan itu semakin mendekat. Suara langkah kaki terdengar di lantai kayu yang berderit, semakin nyata, semakin mendekat. Dia menoleh, mencari jalan keluar. Tidak ada. Dinding
Malam itu, hujan turun dengan deras, suara rintiknya menyatu dengan desiran angin yang bertiup kencang di luar. Di dalam hotel tua yang semakin usang, ketegangan terasa semakin mencekam. Meskipun jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, suasana di dalam hotel tetap sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki yang berat di lorong yang gelap.Arya, yang sudah lama penasaran dengan kisah misterius Kamar Nomor 13, berdiri di depan pintu yang dimaksud. Setelah beberapa hari mengumpulkan informasi, ia akhirnya berhasil mengakses kunci kamar tersebut. Pintu itu tampak usang, dengan cat yang mulai mengelupas di beberapa bagian, seolah menandakan bahwa kamar itu telah lama ditinggalkan. Namun, di dalam dirinya, rasa penasaran mengalahkan ketakutan yang perlahan merayap di hatinya.Saat kunci diputar dan pintu terbuka, sebuah aroma lembap menyeruak ke hidungnya. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya samar dari lampu yang ada di luar. Tanpa pikir panjang, Arya melangkah masuk, mengedark
Bab 5: Tanda-Tanda yang TersisaBeberapa hari setelah malam mengerikan itu, kota kecil tempat penginapan Gading berada kembali tenang. Tak ada lagi desas-desus tentang penginapan berhantu di ujung kota, tak ada cerita tentang kamar Nomor 13 yang terkutuk. Namun, seolah tanpa jejak, penginapan itu benar-benar lenyap dari pandangan dan ingatan orang-orang, seakan tak pernah ada.Namun, bagi pria yang telah berhasil keluar dari penginapan itu, semuanya belum benar-benar berakhir. Namanya Ray, dan sejak kejadian malam itu, ia mulai merasa ada sesuatu yang tidak biasa dalam hidupnya. Setiap kali ia menatap bayangan di cermin, ia melihat sosoknya sendiri, tapi ada yang aneh: tatapan matanya terasa lebih dalam, seakan menyimpan kegelapan yang ia tak mengerti.Suatu malam, Ray duduk di apartemennya yang kecil dan sederhana, menatap cermin di kamar mandi. Saat ia merapikan rambutnya, ia melihat bayangan seseorang di sudut cermin—sesosok bayangan samar yang tampak familiar namun terasa asing. B
Bab 4: Tamu Baru di Kamar Nomor 13Malam itu, penginapan Gading tampak sunyi seperti biasa. Hanya diterangi oleh lampu-lampu remang di lorong, penginapan itu seolah menyembunyikan misteri yang tak seorang pun ingin tahu. Wanita tua resepsionis itu duduk di meja depan, wajahnya tertutup bayangan, menanti dengan tenang kedatangan tamu-tamu berikutnya. Ia tampak seperti penjaga kesunyian penginapan itu, seolah menjadi saksi bagi semua cerita yang tertinggal di setiap kamar.Ketika jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam, pintu depan terbuka, menimbulkan bunyi derit yang mengisi keheningan. Seorang pria muda berambut acak-acakan dan mengenakan jaket kulit hitam melangkah masuk. Raut wajahnya tampak lelah, namun tatapannya menunjukkan ketidakpedulian, seakan ia tidak memedulikan suasana aneh di sekitar penginapan itu.Wanita tua itu memandangnya dengan tatapan tajam, tetapi senyumnya samar dan penuh misteri. "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan suara serak dan dingi
Bab 3: Jalan Keluar yang TersembunyiDamar menatap perempuan itu, perasaan aneh antara iba dan ketakutan berkecamuk dalam hatinya. "Bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa membebaskanmu?" tanyanya dengan nada berbisik, meski tak ada orang lain di kamar itu selain mereka berdua.Perempuan itu menunduk, matanya tampak lelah seolah menahan beban selama bertahun-tahun. "Kamar ini... terkutuk. Mereka yang pernah berani melewatinya setelah tengah malam akan terperangkap dalam siklus kegelapan ini. Aku sudah mencoba segalanya, tapi tak ada yang berhasil. Satu-satunya jalan adalah mencari kunci dari sang penjaga.""Penjaga?" Damar mengernyit bingung. Kata-kata perempuan ini semakin membuatnya bingung dan cemas.Perempuan itu mengangguk. "Penjaga adalah roh yang menghuni tempat ini, menjaga setiap tamu yang masuk agar tak bisa keluar. Dia terikat oleh sumpah, menjebak setiap orang yang melanggar larangan. Namun, jika kita bisa menemukan ‘benda’ miliknya yang tersembunyi, kita mungkin bisa memata
Bab 2: Terjebak dalam BayanganDamar berdiri terpaku di tengah kamar, tubuhnya kaku, mata tertuju pada cermin yang memantulkan bayangan mengerikan itu. Bayangan hitam dengan bentuk samar wanita berambut panjang terus menatapnya dari balik cermin. Sesaat ia berpikir untuk lari keluar, tapi sesuatu seolah menahannya di tempat. Udara di kamar itu terasa semakin dingin, menusuk tulang, membuat tubuhnya menggigil."Ini pasti hanya imajinasi," pikirnya, berusaha menguatkan hati. Namun, semakin lama ia berpikir demikian, semakin nyata sosok itu terlihat. Bayangan itu tersenyum tipis, memperlihatkan deretan gigi yang kelihatan tidak rata, membuat senyum itu tampak menakutkan.Damar menutup matanya, menarik napas dalam-dalam, berharap saat ia membuka matanya kembali, sosok itu sudah lenyap. Namun ketika ia kembali membuka mata, bayangan itu tak hanya masih ada, tetapi kini semakin dekat. Sosok itu muncul seolah berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan kosong, tanpa suara.Tiba-tiba, soso
Di sebuah desa kecil, berdiri sebuah penginapan tua yang konon sudah berusia lebih dari seratus tahun. Penginapan itu hampir selalu sepi, jarang ada tamu yang datang. Namun, ada satu kamar yang paling ditakuti oleh semua orang di desa ituKamar Nomor 13.Cerita tentang kamar itu bermula puluhan tahun lalu, ketika seorang tamu ditemukan tewas dengan wajah penuh ketakutan di sana. Setelah kejadian itu, berbagai insiden aneh terus terjadi. Suara-suara aneh sering terdengar dari kamar tersebut, meski tak ada seorang pun di dalamnya. Cahaya dari dalam kamar sering berkedip-kedip tanpa sebab, dan ada pula yang mengaku melihat bayangan berjalan di balik tirai jendela.Suatu malam, seorang pemuda bernama Damar yang tidak percaya akan cerita-cerita mistis itu memutuskan untuk menyewa Kamar Nomor 13. Dia menganggap cerita tentang kamar itu hanyalah legenda desa yang dibesar-besarkan. Dengan tekad yang bulat, Damar masuk ke kamar tersebut tanpa rasa takut sedikit pun.Di dalam kamar, Damar meras