Siang itu menjadi siang yang tidak biasa bagi Andina. Menjadi siang yang tak terlupakan saat Daniel menolongnya dari ocehan panjang supervisor yang bernama Putu Wijaya Kusuma. Orang asli Bali yang terkenal dengan panggilan Bli Wijaya. Dedengkot yang di takuti semua karyawannya ataupun orang yang mengenalnya. Tak heran, meskipun Bli Wijaya terlihat berwibawa, ampun-ampunan untuk melunakkan hatinya jika sudah marah.
Andina berhutang budi padanya. Paling tidak ia tidak perlu repot-repot mencari pekerjaan baru dan bersaing dengan para pencari kerja lainnya. Terlebih di Bali, rekrutmen pegawai baru sangat ketat, apalagi bisa bekerja di restoran hotel berbintang harus melewati seleksi ketat. Mati-matian Andina berlatih bahasa Inggris. Usahanya tak mau ia kubur sia-sia hanya karena rasa kantuk yang membebaninya.
Malam ini Andina mendapat shift malam, yang berarti ia bekerja dari jam sembilan malam sampai jam enam pagi.
Dirinya sudah standby, menunggu tamu yang ingin memesan menu makanan atau minuman. Bila tengah malam restoran tidak hanya menyajikan makanan ringan atau camilan sehat tapi juga menyediakan minuman beralkohol.
Dua hari berturut-turut, Andina kerap melihat wajah menawan itu terlihat murung. Bukankah hal aneh jika di telisik lebih jauh, seorang laki-laki mapan, tampan, atletis dan memiliki tunangan seorang model papan atas Indonesia menyendiri dan melamun.
Seperti warga negara +62 saja yang memiliki banyak tanggungan hidup. Daniel, si konglomerat justru terlihat seperti membawa beban hidup yang ia tanggung sendiri, dan tak mau ia bagi-bagi.
Namun lagi-lagi, Andina mendapati Daniel duduk sendiri di kursi yang terletak di ujung ruangan di area free smoking.
Andina memiliki tebakan tentang apa yang sedang Daniel alami. Ia mendekati rekan kerjanya, meskipun tetap menjalankan formalitas dalam bekerja. Bercanda saat menjalani tugas malam adalah hal menyenangkan sekaligus hiburan untuk mengusir rasa kantuk.
Andina bergumam, "Laki-laki menawan dan berusia matang hanya ada dua jenis. Sudah memiliki pasangan atau gay!"
Dean yang menjadi partner kerja Andina malam ini hanya mengangguk setuju.
"Untuk apa ke Bali jika tidak bersenang-senang. Rasanya percuma, galau di surganya dunia hiburan." Andina menunjukkan Daniel dengan dagunya.
"Tunangannya sibuk. Selama satu Minggu ini ada fashion show di pantai Kuta. Ada event yang menjadikannya brand ambassador untuk memperagakan busana pantai." ujar Dean, teman Andina yang berasal dari kota yang sama. Bedanya Dean memang memiliki saudara di Bali.
"Beginilah hidup. Orang kaya sejak lahir memang enak. Tidak harus bersusah-payah dulu untuk menikmati hidup. Beda dengan aku, giat bekerja tapi tetap tidak bergelimang harta." Andina tertawa terbahak-bahak, suaranya yang memecah suasana mengambil atensi Daniel untuk menoleh ke arah Andina. Dalam sekejap, Andina menunduk. Saat Daniel berjalan ke arahnya.
Andina menyumpahi dirinya sendiri selama beberapa detik di dalam hati sampai laki-laki itu tepat berada di depannya.
"Maaf, ada yang lucu?" tanya Daniel.
"Hah." Andina pura-pura linglung. Ia menoleh ke arah Dean untuk memastikan bahwa Daniel, laki-laki yang baru saja ia bicarakan berdiri di depannya.
"Saya tanya, ada yang lucu karena saya mendengar anda tadi tertawa dengan gembira."
Buru-buru Andina menggeleng, "Mohon maaf jika tawa saya mengganggu lamunan Bapak." Andina membungkukkan badannya sopan, menghormati Daniel sebagai atasan dari semua atasan di tempatnya bekerja.
Daniel mengernyit, "Saya tidak melamun. Saya hanya tidak memiliki teman bicara."
Lagi-lagi Andina hanya meresponnya dengan kalimat gamang. Ia gugup saat Daniel masih menatapnya lekat-lekat.
"Bapak mau makan malam? Atau camilan, atau minuman?" tanya Andina sembari mengambil buku daftar menu masakan.
Daniel tersenyum tipis, terbesit dalam benaknya untuk mencari hiburan di malam yang dingin ini.
"Saya tidak mau apa-apa. Tapi..."
Andina mendongak, menatap wajah Daniel sejenak. Menerka-nerka keinginan tamu kehormatan di depannya. Bagi pelayan restoran, melayani pemilik dan tamu restoran adalah prioritas utama. Kecuali dengan pengunjung restoran yang kurang ajar.
"Tapi saya mau mendengar anda tertawa." lanjut daniel sepersekian detik kemudian.
"Serius?" komentar Andina.
Tegas Daniel mengangguk.
Dari sekian banyak penawaran yang pernah tamu-tamu restoran berikan, baru kali ini ada orang yang memintanya untuk tertawa di jam yang hampir menunjukkan pukul sebelas malam. Bukankah Andina nanti terdengar seperti Kuntilanak yang nyasar ke restoran.
Andina tersenyum kaku, ia gugup mau melakukannya atau tidak. Terlebih Daniel masih menunggunya dengan santai.
"Maaf daftar tertawa tidak ada dalam menu restoran. Bapak bisa meminta yang lain? Saya bukan pelawak soalnya." ujar Andina, menarik salah satu kursi untuk Daniel duduki, "Silahkan duduk, Pak. Nanti kakinya bisa varises jika berdiri terlalu lama."
"Apa kaki anda juga varises karena pekerjaan yang mengharuskan anda berdiri dengan durasi yang cukup lama?" tanya Daniel. Matanya menatap kaki Andina yang berkulit kuning langsat. Apalagi seragam kerja yang di gunakan Andina adalah rok span di atas lutut dengan belahan di bagian depan.
Andina salah tingkah, ia ingin menutupi kakinya. Tapi di dekatnya hanya ada taplak meja, tidak mungkin Andina menarik taplak mejanya untuk menutupi bagian itu. Bisa-bisa ia kena surat peringatan untuk kedua kalinya dari Bli Wijaya.
"Ayo, tunggu apalagi. Saya mau mendengar anda tertawa."
"Siapa yang sinting sebenarnya? Aku yang kurang duit, atau dia yang kebanyakan duit." batin Andina.
Andina menoleh ke arah Dean. Melambai sekilas. Dean tersenyum kikuk, lalu menggeleng cepat. Kebetulan sekali ada tamu restoran yang baru saja datang.
Dean menghela nafas lega, "...untung saja."
Rahang Andina bergerak-gerak, baru kali ini ia merasakan jika tertawa adalah hal yang sulit sekali ia lakukan.
Daniel mengetuk-ngetuk meja, menunggu Andina tertawa.
"Ada permintaan lain selain saya harus tertawa? Saya rasa tertawa jam segini adalah perbuatan yang nista." ujar Andina, kepalanya menunduk. Takut-takut bos besar di depannya malah semakin sinting memintanya untuk melakukan hal yang lebih konyol dari sebuah tawa tanpa guyonan, rasanya pasti garing.
"Jadi anda menawarkan permintaan lain? Padahal saya hanya meminta anda tertawa. Itu hal yang mudah." kata Daniel, enteng.
"Mudah kalau ada yang lucu, kalau enggak. Aku seperti orang gila. Tertawa sendiri di malam hari." Andina berdehem, menelan gerutunya. Semakin ia mengelak, semakin ia tak bisa menjauh dari orang sinting di depannya.
Satu persatu Andina mengeluarkan ocehannya. Entah Daniel terhibur atau tidak, Andina sudah berusaha sebisanya. Toh dia bukan oelawak, dia hanya pegawai restoran yang ketiban sial.
Daniel bertepuk tangan, "Saya terhibur. Saya meminta lagi."
Andina menghirup udara dengan susah payah. Rasanya oksigen menghilang dari sekitarnya. Andina sesak nafas.
"Maaf, Pak. Tapi saya ada pekerjaan lain yang harus saya lakukan." Andina berkelit.
"Kalau begitu, saya akan menyewa anda besok."
"Apa!"
Happy reading šš
Dengan senyum dan sapaan hangat. Laki-laki itu berdiri di depan kost Andina. Ia bertemu dengan Sinta yang sedang membersihkan sesaji di pamerajan yang terletak di pekarangan kost-kostan. Dalam konsep keluarga Hindu Bali, setiap rumah tangga harus memiliki tempat pemujaan. Kebetulan pemilik kost-kostan adalah seorang Hindu. Dan, Sinta sering mengikuti sembahyang bersama keluarga Ni Luh Ayu Sukmawati.Andina berdecak kesal, belum juga rasa kantuk Andina hilang, ia sudah di buat senewen dengan laki-laki yang menyuruhnya melakukan stand up comedy tadi malam. Ia terus memukul-mukul bantalnya saat Sinta terus memanggil namanya."Sekarang aku lebih milih di pecat Bli Wijaya daripada menghadapi orang gila!" gumam Andina. Ia membenamkan kepalanya di bawah bantal. Menutup telinganya rapat."DIN!" teriak Sinta. Ia menoleh ke arah Daniel sembari tersenyum maklum."Maaf kak, Andin susah di bangunin kalau habis kerja malam." ujar Sinta, otaknya membeku hingga ia sulit
Sejak kedua orangtua Andina bercerai, Larasati dan Feri memilih untuk fokus pada pekerjaan masing-masing. Feri memilih untuk tinggal di Surabaya, ia bekerja sebagai satpam di salah satu perbankan swasta. Feri tidak sendiri, melainkan bersama adik perempuan Andina yang bernama Kirana. Feri menikah lagi dengan seorang wanita yang berusia sama dengan Andina, istrinya adalah seorang pemandu lagu. Hal yang menurut Andina riskan, karena bukan hal yang rahasia lagi, wanita yang bekerja sebagai LC pasti pekerjaan tak luput dari godaan syaitan yang terkutuk, terlebih istri Feri pasti tidak bisa menyayangi Kirana layaknya ibu kandungnya. Istri Feri masih memikirkan egonya sendiri. Pernah suatu ketika, Andina berniat untuk tinggal bersama ayahnya. Kala itu, Larasati memutuskan untuk menjadi TKW di Hongkong. Meninggalkan Andina, dengan dalih bahwa menjadi TKW akan memperbaiki ekonomi.Andina sendiri, pada akhirnya Andina memutuskan untuk mencari dan bertemu dengan ayahn
Malam itu, semua kegilaan Daniel masih terjadi. Daniel, tidak hanya meminta Andina untuk menemaninya makan malam. Tapi Daniel juga meminta Andina untuk menemaninya menikmati bintang yang berkerlip riang di atas awan.Duduk di pinggir jalan, di temani hamparan sawah yang begitu luas. Andina mengusap ke dua lengannya. Suasana memang cerah, tapi udara begitu dingin."Besok saya harus kerja!" ujar Andina, ia menguap. Matanya sudah sulit untuk terbuka."Tapi saya belum melihat ada bintang jatuh." balas Daniel, ia masih menengadah menatap langit. Membuat gadis berambut ikal halus itu mendesah lelah."Harus menunggu keajaiban jika ingin melihat bintang jatuh! Sudah ayo pulang!" ajak Andina lagi, kesekian kalinya. Ia merasa berdosa telah menjadi wanita yang pergi dengan laki-laki yang memiliki tunangan."Sebentar lagi, saya belum puas. Saya masih ingin menikmati liburan ini. Jarang-jarang saya menikmati keindahan pedesaan Bali. Lagipula dua hari lagi
Beberapa karyawan yang berkumpul di ruang ganti tampak heran mendengar penuturan Andina. Gadis itu dengan gamblang menceritakan tentang kedatangan Daniel di kostnya hingga perjalanan menakjubkan yang membuat sebagian rekan kerja Andina mengelus dada."Beneran, Din? Kamu gak lagi beralih profesi menjadi wanita penggoda kan?" tanya Kencana. Akhir-akhir ini banyak beredar maraknya wanita-wanita penggoda, Kencana bergidik ngeri membayangkan Andina menjadi salah satu diantaranya."Sembarang!" sergah Andina, "Yang jadi penggoda itu pak Daniel! Masak katanya dia kesepian. Gak mungkin kan, tunangannya aja cantik, seksi, cocok di gandeng kemana-mana. Apa jangan-jangan mereka..." Mata Andina menyorot tajam, "mereka marahan!"Dugaan-dugaan Andina yang menyudutkan Daniel sebagai laki-laki penggoda ikut membuat teman kerjanya berpikir keras."Terus-terus, kalian cuma boncengan? Pelukan gak? Atau jangan-jangan kalian?" tanya Kencana curiga Senyumnya cengar-cengir
Pertengkaran-pertengkaran itu terjadi lagi, Aurelie terang-terangan cemburu melihat Daniel yang menaruh perhatian terhadap wanita lain. Daniel terkekeh kecil, ia melonggarkan dasinya. Lama, ia menanti Aurelie marah terhadapnya, hingga ia bisa mengutarakan isi hatinya yang terdalam yang tak pernah ia lontarkan kepada Aurelie. Ia begitu hati-hati mengatakan, bahkan selembut mungkin. Tapi wajah Aurelie berubah menjadi kaku, sudah kesekian kalinya Daniel mengungkit kesalahan yang pernah aureAur lakukan.Daniel slalu memaklumi apa yang Aurelie lakukan, bertahun-tahun ia slalu sabar dengan semua alasan, tingkah, amarah, cemburu, dan semua jejak yang mereka tapaki bersama, tapi ada saatnya hatinya lelah menanti hari bahagia yang slalu ia impikan dengan wanita yang ia cintai.Hingga Daniel sadari, semua penantiannya percuma. Daniel melepas cincin pertunangan mereka dan mengembalikannya kepada Aurelie."Pertunangan selesai, jadikan
"Saya tidak tahu bunga kesukaanmu, tapi saya juga tidak ingin membuatmu kecewa."Andina menunduk saat sekuntum mawar merah Daniel berikan langsung ke tangan Andina. Rasanya Andina ingin meremas-remas kelopak bunga itu dan melemparnya ke wajah Daniel. Tapi, logika mengkhianatinya, Andina justru terbius oleh aroma mawar tersebut."Untuk apa?" tanya Andina. Ia menatap Daniel lekat-lekat, sudah dua hari laki-laki itu berusaha menemuinya di kost-kostan."Maafkan saya." ujar Daniel, "Saya tahu bahwa kamu sangat keberatan atas tindakan yang saya lakukan beberapa hari yang lalu." Dua hari Daniel melalui hari-harinya dengan gelisah, tidak tak tenang, makan pun tak enak. Daniel berusaha untuk membujuk gadis itu, sayangnya gadis itu memilih mengurung diri di kamarnya. Membuatnya semakin gusar tak alang kepalang.Andina bersandar di kusen pintu yang terbuka. Sudah dua hari juga Andina mendapatkan predikat pengangguran. Ia hanya menghabiskan waktu bersama
Pagi itu Andina terbangun lebih pagi dari biasanya. Sebagai anak kost, ia terbiasa untuk mencuci baju terlebih dahulu sebelum membersihkan tubuhnya dan menjemur baju di belakang kost-kostan.Andina mengeringkan rambutnya dan menyisirnya dengan rapi. Ia mempercantik wajahnya dengan makeup flawless. Selesai bermakeup ria, Andina mengganti piyama handuknya dengan seragam kerja. Ia rindu dengan rutinitasnya, ia rindu menghabiskan sebagian waktunya di restoran.Dari balik jendela, cahaya matahari mulai membiaskan rona cerianya. Badung, pagi ini sangatlah cerah, secerah hati Andina yang bahagia. Ia menyaut kunci dan tas kerjanya. Sembari menutup pintu kamar, gadis itu bersiul riang."Kerja lagi, Din." seru Sinta, SPG rokok itu menguap sesaat lalu menyandarkan tubuhnya di tembok. Rasa kantuk masih merayapi matanya."Kerja dong. Badai sudah berlalu!" kata Andina, semangatnya sedang menggebu-gebu. Ia memakai stiletto, lalu meninggalkan Sinta yang menggelengkan kep
"Ncus... Ncus Sari!!!" teriak Sarasvati setelah mendengar kabar bahwa Daniel masuk ke unit gawat darurat di RSUD Mangusada. Ibu satu anak yang masih terlihat awet muda itu berjalan menuruni tangga dengan tergesa-gesa.Ncus Sari menoleh, ia mengeringkan tangannya pada celemek masak, lantas menghampiri tuan rumah, "Ada apa Nyonya?" tanya Sari."Bantu packing baju, saya harus ke Bali. Daniel kecelakaan!" ujar Sarasvati. Wajahnya sudah panik dan tak bisa diajak kompromi."APA! Ayang Daniel kecelakaan? Saya harus ikut Nyonya, saya mau merawat Ayang Daniel!" seru Sari, ia ikut panik seperti Sarasvati ketika mendengar kabar dari general manager hotel di Bali.Sarasvati menggeleng, "Kamu dirumah! Ayang Daniel tambah sakit kalau kamu yang mengurusnya!" ujar Sarasvati bercanda."Nyonya." Sari cemberut."Sudah-sudah ayo cepatan ke atas, satu jam lagi saya harus berada di bandara."*Meskipun sebel dengan Daniel, Andina tidak tega me
Proses melahirkan sukses membuat Daniel hampir pingsan. Bagaimana tidak? Selama proses terlahirnya manusia kecil yang sedang melakukan inisiasi menyusui dini itu, Andina terus mencengkeram suaminya. Meremas semua yang bisa ia jangkau dari untuk melampiaskan rasa sakitnya, atau tepatnya membagi rasa sakit.Andina bahagia, begitupun Daniel yang sempat menangis haru sepanjang hari kemarin."Masih sakit, yang?" tanya Daniel sambil mengamati sang anak yang masih menyusu dengan mata yang terpejam. Bayi merah yang diberi nama Dayana Dimitri tanpa Putri Adelard Sanjaya itu terlihat menikmati asi eksklusif dari Andina."Masih dong, kamu kira sulap! Di obati langsung sembuh!" seru Andina kesal.Daniel tersenyum seraya mengambil sisir untuk merapikan rambut Andina."Udah jangan marah-marah! Nanti Dayana sedih lho denger suaramu." sindir Daniel."Habis kamu lucu mas! Orang baru melahirkan kemarin kok ditanyain masih sakit apa eng
Di pesawat yang mengudara menuju Jakarta, Andina terus bertahan dengan hati yang begitu ketar-ketir memikirkan kandungannya. Ia takut terjadi apa-apa saat kemarin hasil check up menunjukkan sedikit risiko jika melakukan penerbangan. Namun, Daniel terus mengingatkan bahwa ia akan baik-baik saja asal jangan tegang."Gimana gak tegang, mas! Mama pasti bawel kalau cucunya kenapa-kenapa." sunggut Andina.Daniel mengusap perut Andina dengan pelan selama perjalanan yang hanya memakan waktu satu setengah jam itu."Rilex, sayang. Jangan takut! Aku bakal nyanyiin lagu anak-anak untuk Dayana putri kita. Lagu kita dulu, konyol tapi sampai sekarang aku masih ingat."Andina mengangguk pasrah dan berusaha memejamkan mata saat Daniel mulai menyanyikan lagu Barney."I love you, you love me. We are happy family. With a great big hug. And a kiss from me to you, won't you say you love me too..."Daniel tersenyum lega saat det
Butuh waktu hingga satu bulan untuk membujuk Andina agar mau melepas orangtuanya pulang ke rumah masing-masing. Meski berat, Andina tetap mengantar ibunya dan Feng ke Bandara Ngurah Rai setelah beberapa hari yang lalu Feri terlebih dahulu pulang ke Surabaya bersama kedua anaknya. Kirana masih tinggal di hotel untuk mengikuti job training dengan petinggi perusahaan. "Dimana rumah ibu?" tanya Andina setelah cukup puas menangis dan merengek sembari menarik ujung baju ibunya agar tidak pergi darinya lagi."Aku masih kangen, masih mau ibu ada disini!" lanjutnya tetap dengan nada merengek, seolah satu bulan ini tidak cukup untuk melepas kerinduan bersama. Feng yang 'mungkin' menganggap Andina aneh memasang wajah tak acuh. Ia bergumam dengan bahasa Mandarin yang pasti Larasati mengerti jika itu adalah peringatan. "Dina... Ibu harus pulang ke Hongkong. Ibu harus kerja, kalau kamu kangen sama ibu, Daniel sudah tahu dimana rumah ibu. Kamu bisa data
Suasana ballroom hotel terlihat sangat sejuk dengan hiasan bunga-bunga segar berwarna putih, begitu juga dedaunan yang di tata sedemikian rupa agar terlihat rapi dan indah. Balon-balon bertuliskan inisial DAYANA bergoyang-goyang diterpa angin dan kue tart penuh cream pandan buatan master chef Bisma menjadi pelengkap suasana pagi ini.Nuansa hijau dan putih masih menjadi pilihan Daniel untuk merayakan pesta kecil penyambutan calon bayi yang di kandung Andina. Begitupun seragam pesta hari ini.Hijau? Mungkin menjadi pilihan warna yang tidak biasa untuk gaun pesta. Namun, ya sudahlah. Daniel hanya menuruti keinginan sang istri. Beruntung Sarasvati mendapatkan desainer gaun pesta yang bagus, jadi gaun berwarna hijau itu bisa terlihat elegan dan mewah.Di kamar, Daniel memperhatikan penampilan Andina yang terlihat seperti gitar spanyol. Lekukan tubuhnya depan belakang begitu menonjol.Daniel menahan senyum saat Andina merengut dengan wa
Pesawat itu terbang semakin rendah di selatan, Bali. Lalu, mendarat dengan mulus di landasan pacu yang terletak tak jauh dari tepi laut itu. Seluruh keluarga Sanjaya tersenyum lega saat menginjakkan kaki di atas dasar bumi. Terlebih-lebih Daniel, bapak posesif itu benar-benar cerewet selama perjalanan ke pulau Dewata itu. Pulau yang mengubah hidupnya."Aku baik-baik saja, Mas! Dayana juga! Dia bilang, ibu kita naik burung ya? Aku jawab iya! Jadi yang tenang ya!" urai Andina menenangkan suaminya.Marco yang tak habis pikir mengapa Daniel bisa sekeren itu dalam mencintai istrinya menggelengkan kepalanya."Ayo gays... Kita harus ke hotel, istirahat sebelum pesta baby shower dan proses nikahan gue!" seru Marco penuh semangat.Sarasvati dan Sanjaya yang mendengar anak-anaknya berdebat sambil mengiringi langkah kaki mereka menuju gerbang kedatangan tersenyum lebar."Udahlah, Co! Jangan ganggu, Abangmu. Dia lagi bahagia sekali kare
"Satu burung... Dua burung... Tiga burung."Suara berhitung itu berasal dari kamar bernuansa hijau dan putih. Beraroma khas cat baru yang baru saja melapis tembok itu. Kamar yang disiapkan untuk Dayana setelah satu bulan lamanya mempersiapkan begitu banyak printilannya termasuk baju-baju bayi yang baru saja kering setelah dicuci oleh Mbak Piah.Dan sekarang, kandungan Andina sudah berusia tujuh bulan lebih. Sudah terlihat tambah besar dari sebelumnya. Sudah sering kali berkata lelah dan semakin manja."Kenapa burungnya hanya tiga, mas?" tanya Andina."Gak tau, sayang! Tanya aja sama tulang catnya. Aku kan hanya terima beres.""Bisa gak mas kalau burungnya ditambah satu, biar genap. Jadi tidak seperti cinta segitiga gitu! Atau cinta dalam diam. Kasian!"Daniel memasang cengiran bodoh seperti biasanya saat Andina berkata sesuka hati lengkap dengan asumsinya sendiri."Tukangnya sudah pulang, sayang. Su
Keesokan harinya di kediaman Sanjaya. Daniel menemani Andina yang diperiksa oleh bidan di ruangan obygn. Ruang paling istimewa di ruang Sanjaya sekarang."Bagaimana, Bu bidan? Semua baik-baik saja kan?" tanya Daniel karena semalam Andina mengaduh sakit setelah kebanyakan makan.Sang bidan tersenyum sembari menutup baju Andina."Detak jantungnya normal, air ketubannya pas, hanya saja. Bapak Daniel sepertinya sudah mengajak Bu Dina berlelah-lelahan."Daniel tersenyum miring seraya mengecup jari-jemari Andina yang sedaritadi ia genggam."Saya kangen kok! Tidak boleh kalau istri saya lelah?"Sungguh wajah Andina langsung tersipu malu. Begitukah suaminya dan seluruh keluarganya. Bertanya tanpa tedeng aling-aling dan gak disortir."Boleh bapak, boleh sekali! Asal jangan setiap hari karena terlalu sering orgasme bisa membuat bayi lahir prematur. Bapak Daniel mau kan bayinya sehat walafiat sampai lahi
Malam ini, bintang begitu cantik di langit Jakarta. Berkerlip ria seakan mengisyaratkan bahwa bintang-bintang itu seperti dirinya. Ada binar senang yang terpancar diwajahnya setelah menyaksikan satu manusia paling berharga dalam hidupnya, paling ia rindukan selama satu bulan ini.Daniel melabuhkan kecupan di kening Andina. "Aku pulang, sayang." ucapnya dengan lirih sebelum mengelus-elus perut istrinya yang membuncit. Ia tersenyum lebar ketika menyadari jika sang putri memahami kedatangannya."Tidurlah sayang, daddy hanya menyapamu sebentar!" gumam Daniel.Namun, tendangan-tendangan kecil terus ia rasakan saat ia melabuhkan berkali-kali kecupan dan mengelus perut tersebut. Hingga Andina mulai bergerak-gerak seperti terganggu oleh kehadirannya."Oh sayang. Santai dong... Kamu akan membuat ibumu bangun!" ujar Daniel gusar sembari mematung kan diri. Ia takut, takut istrinya akan marah-marah karena ia sudah melanggar janji untuk tidak pergi terlalu l
Kehamilan Andina yang sudah menginjak trimester kedua membuat Daniel bernafas lega. Bukan hanya soal nyidam sang istri yang terbilang cukup ribet dalam mencarinya, namun juga mintanya slalu dijam-jam kerja atau ditengah malam buta. Namun bukan itu saja yang membuat Daniel tersenyum senang, karena sang jabang bayi yang sudah terlihat jenis kelaminnya. "Cap... Cip... Cup... Nama lengkap mana yang paling bagus." ujar Andina sembari mengocok botol arisan dan mengeluarkan secarik kertas yang digulung dengan nama-nama anak perempuan yang sudah Daniel tulis. Marco yang menjadi teman main Andina menghirup nafas dalam-dalam. Bukan soal keanehan nyidam yang seharusnya sudah berhenti, namun Andina slalu meminta hal-hal aneh kepada adik angkat suaminya tersebut. Daniel tentu setuju, setengah mati ia akan tertawa terbahak-bahak saat Marco menceritakan semua kegiatan 'nyidam' yang dilakukan Andina. Marco mendengus tapi ia senang-senang saja saat bisa diru