Pagi itu Andina terbangun lebih pagi dari biasanya. Sebagai anak kost, ia terbiasa untuk mencuci baju terlebih dahulu sebelum membersihkan tubuhnya dan menjemur baju di belakang kost-kostan.
Andina mengeringkan rambutnya dan menyisirnya dengan rapi. Ia mempercantik wajahnya dengan makeup flawless. Selesai bermakeup ria, Andina mengganti piyama handuknya dengan seragam kerja. Ia rindu dengan rutinitasnya, ia rindu menghabiskan sebagian waktunya di restoran.
Dari balik jendela, cahaya matahari mulai membiaskan rona cerianya. Badung, pagi ini sangatlah cerah, secerah hati Andina yang bahagia. Ia menyaut kunci dan tas kerjanya. Sembari menutup pintu kamar, gadis itu bersiul riang.
"Kerja lagi, Din." seru Sinta, SPG rokok itu menguap sesaat lalu menyandarkan tubuhnya di tembok. Rasa kantuk masih merayapi matanya.
"Kerja dong. Badai sudah berlalu!" kata Andina, semangatnya sedang menggebu-gebu. Ia memakai stiletto, lalu meninggalkan Sinta yang menggelengkan kepalanya, "Bisa-bisanya dia masih percaya diri untuk datang ke restoran." gumam Sinta, "Gosipnya bahkan masih tersebar di sosial media." Sinta tak percaya dengan tingkah garang Andina masih berharap bisa bekerja dengan tenang di restoran. Gosip tidak mungkin memudar begitu saja. Entah apa jadinya saat ia tahu bahwa dia dan Daniel menjadi bahan perbincangan hangat seluruh staf dan pegawai hotel.
Andina melajukan motornya dengan kecepatan sedang, ia menikmati setiap panorama indah yang slalu orang-orang agungkan saat berkunjung ke Badung, Bali.
Beruntung Andina mengenal Ni Luh Ayu Sukmawati. Mereka berdua di pertemuan secara tidak sengaja saat keduanya sedang berada di pura. Ni Luh Ayu sembahyang, sedangkan Andina duduk murung sembari menatap orang-orang dengan linglung. Ni Luh Ayu yang merasa kasian dengan Andina mengajaknya pulang ke griya. Secara langsung, Andina berhutang Budi kepada Ni Luh Ayu dan keluarganya.
Andina berhenti di parkiran khusus karyawan. Langkahnya pasti masuk ke dalam restoran melewati lobi hotel. Seperti biasanya, Andina menyapa satpam dan staff lainnya. Tapi yang Andina dapati justru tatapan tidak suka.
Andina tersenyum kikuk, ia melanjutkan langkahnya dengan pandangan yang menerawang. Menerka-nerka apa yang terjadi selama tiga hari yang ia lalui dengan jengah dan gelisah.
Tiba di dalam restoran, Andina langsung menuju ruangan Bli Wijaya.
"Bli..." sapa Andina.
"Ya."Andina menggigit bibirnya, tatapan Bli Wijaya menyiratkan keseriusan. Membuat Andina sulit untuk bernafas normal.
"Kejadian kemarin cukup menghebohkan ya?" tanya Bli Wijaya, "Maaf jika masih berasa imbasnya."
"Saya cukup rasional dengan keadaan ini. Tapi Bli tahu sendiri bagaimana kejadiannya. Bukan saya yang menggoda bos Daniel. Saya di sini hanya korban!" jelas Andina tegas. Gadis itu mengepalkan tangannya. Geram tidak terima.
"Saya tahu. Maka dari itu, kamu harus menjelaskan bahwa kamu memang menjadi korban atas kesalahpahaman antara kamu, Aurelie dan bos Daniel."
Andina berdecih, "Saya tidak salah! Saya tidak mau! Harusnya bos yang klarifikasi untuk membersihkan nama saya!" tukas Andina yang dibalas senyuman oleh Bli Wijaya.
"Baik. Jika kamu yang meminta bos Daniel untuk bertanggungjawab, kita harus ke ruangannya sekarang untuk membicarakannya. Keadaan akan semakin genting dan kamu semakin di pandang sebelah mata karena Aurelie tidak tinggal diam dengan masalah ini." jelas Bli Wijaya tanpa menanggalkan wajahnya yang serius.
Andina mengangguk mantap, ia hanya menginginkan namanya kembali bersih dan tidak di cap sebagai wanita penggoda.
Supervisor dan pelayan restoran tersebut berjalan menuju lift, mereka menuju lantai enam, tempat dimana Daniel menunggu Andina dengan senang.
Pintu lift terbuka, secara bersamaan Aurelie juga baru saja keluar dari lift yang berbeda. Mereka berdua saling melempar pandang. Pandangan permusuhan.
Dari sisi kecantikan, tinggi badan, otak yang encer dan kemapanan, Andina jelas kalah telak dengan Aurelie. Tapi Andina masa bodoh. Ia tidak ada hubungannya dengan retaknya pertunangan Daniel dan Aurelie.
"Masih berani datang ke sini!" Suara Aurelie menukik tajam. Ia mencengkram lengan kiri Andina.
Andina tersenyum miring, "Siapa yang saya takutkan? Tidak ada!" ujar Andina dengan gegabah.
Hari juga masih pagi, orang sedang semangat-semangatnya memulai aktivitas, begitu juga Andina dan Aurelie. Keduanya terlibat aktivitas fisik yang menyebabkan terjadinya rambut rontok dan bekas cakaran kuku di wajah, lengan, dan leher.
Tak ada yang melerai keduanya. Perkelahian kedua wanita itu justru menjadi tontonan menarik staf dan office boy yang sedang membersihkan lantai. Jarang-jarang ada gulat jalanan perempuan di hotel. Apalagi keduanya tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Andina menumpahkan kekesalannya kepada Aurelie, Aurelie menumpahkan amarahnya kepada Andina.
Bli Wijaya berlari ke kamar Daniel saat keadaan sudah chaos. Kedua wanita itu sama-sama memegang vas keramik. Satu hantaman saja bisa berakibat fatal untuk keduanya.
Bli Wijaya memencet bel pintu. Berkali-kali hingga membuat Daniel yang sedang menyisir rambutnya berdecak kesal.
"Ada apa?" tanya Daniel saat pintu sudah terbuka.
"Andina dan Aurelie berkelahi!" jelas Bli Wijaya, panik.
Daniel melangkahkan kakinya lebar-lebar, ia melihat suasana di depan lift sudah berantakan.
Aurelie menggeram. Amarah, kecewa dan dendam telah membuatnya membabi buta. Ia mengangkat vas keramik untuk menghantam kepala Andina. Dengan cepat Daniel meringkuk, melindungi tubuh Andina yang gemetar ketakutan.
Mata Aurelie terbelalak saat darah merembes keluar dari kepala Daniel. Seketika langkah kakinya berangsur mundur, ia menutup mulutnya.
"Panggil ambulans! Panggil polisi! CEPAT!" teriak Bli Wijaya yang menggema di koridor hotel. Beberapa staf langsung tergopoh-gopoh menuju lift untuk meminta resepsionis menghubungi polisi dan ambulans.
Tubuh Daniel terhuyung lemas ke badan Andina. Dalam ketakutan, Andina berusaha tersadar saat ada laki-laki yang mendekap erat tubuhnya, membebaninya dengan berat.
"BLI..." Tanpa buang waktu, Andina berteriak meminta Bli Wijaya untuk membantunya memapah Daniel.
"Sang Hyang Widhi." gumam Bli Wijaya sembari memapah tubuh Daniel. Sedangkan Andina tertatih-tatih mengikuti mereka masuk ke dalam lift.
Sampai di lobi hotel, suasana begitu menghebohkan saat suara sirene ambulans dan polisi saling bersautan.
Kemeja Daniel berlumuran darah. Andina menangis ketakutan memeluk tubuh Daniel yang mulai tak sadarkan diri.
Beberapa orang perawat membantu Daniel dan Andina masuk ke dalam mobil ambulans. Mereka diberikan pertolongan pertama, sedangkan Bli Wijaya menghampiri polisi untuk menjelaskan kronologi kejadian menyeramkan di lantai enam.
Aurelie masuk ke dalam kamar, ia membanting pintu dan cepat-cepat mengunci pintunya. Kakinya terasa lemas. Tubuhnya gemetar, ia meringkuk ketakutan, ia tidak menyangka bahwa ia bisa menjadi pembunuh jika Daniel tidak terselamatkan. Ia tak tahu harus melarikan diri ke mana, kepalanya hanya berisi dengan kekacauan dan ketakutan.
"Ncus... Ncus Sari!!!" teriak Sarasvati setelah mendengar kabar bahwa Daniel masuk ke unit gawat darurat di RSUD Mangusada. Ibu satu anak yang masih terlihat awet muda itu berjalan menuruni tangga dengan tergesa-gesa.Ncus Sari menoleh, ia mengeringkan tangannya pada celemek masak, lantas menghampiri tuan rumah, "Ada apa Nyonya?" tanya Sari."Bantu packing baju, saya harus ke Bali. Daniel kecelakaan!" ujar Sarasvati. Wajahnya sudah panik dan tak bisa diajak kompromi."APA! Ayang Daniel kecelakaan? Saya harus ikut Nyonya, saya mau merawat Ayang Daniel!" seru Sari, ia ikut panik seperti Sarasvati ketika mendengar kabar dari general manager hotel di Bali.Sarasvati menggeleng, "Kamu dirumah! Ayang Daniel tambah sakit kalau kamu yang mengurusnya!" ujar Sarasvati bercanda."Nyonya." Sari cemberut."Sudah-sudah ayo cepatan ke atas, satu jam lagi saya harus berada di bandara."*Meskipun sebel dengan Daniel, Andina tidak tega me
Suram sepertinya masih senang berada di dekat Andina. Hidupnya kini lebih nelangsa setelah Bli Wijaya memutuskan untuk memecatnya dengan hormat, belum lagi luka-luka cakaran dari kuku panjang Aurelie menimbulkan bekas yang sulit untuk hilang---kecuali dengan perawatan kulit atau laser yang membutuhkan biaya yang cukup banyak.Bli Wijaya sangat menyayangkan keputusannya. Tapi, semua ia lakukan demi keberlangsungan karyawan lainnya yang menggantungkan hidupnya di restoran.Sarasvati merasa lega. Hari ini putranya sudah di perbolehkan untuk keluar dari rumah sakit. Luka di kepalanya sudah cukup membaik, hanya perlu beberapa kali untuk kontrol dan pemeriksaan lanjutan."Ma... Bagaimana perkembangan kasusnya?" tanya Daniel setelah mereka menyelesaikan proses administrasi rumah sakit."Dari bukti-bukti yang di peroleh penyidik, Aurelie bisa di tetapkan sebagai tersangka. Ehm... besok kamu menjadi saksi sekaligus pihak penggugat di pengadilan!" ujar
Andina menekuk kedua lututnya seraya menggerutu kesal karena harus menunggu laki-laki itu terbangun dari tidur siangnya. Ia merasa dibodohi oleh Sarasvati dan putranya. Daniel tertidur setelah Andina memberinya secangkir teh hangat dan menyuruhnya untuk istirahat. Betapa senangnya Daniel, ia bisa menikmati kasur wanita yang membuatnya kesengsem."Semoga mimpi buruk dan terbangun dari tidurnya." batin Andina, ia cekikikan, lalu memutuskan untuk keluar kamar. Andina lapar, menghadapi Daniel dan Sarasvati ternyata membutuhkan energi ekstra.Di dapur, Andina hanya memiliki satu telur ayam dan satu ikat sayur kangkung.Statusnya yang pengangguran membuatnya harus berhemat. Sedangkan untuk beras, Ni Luh Ayu sering memberikan jatah beras dua puluh kilogram perbulan untuk persediaan anak-anak kost-kostan.Andina memutuskan untuk membuat cah kangkung pedas dan satu telur ceplok. Bibirnya melengkung senyum saat kudapan mantap itu selesai ia buat.Ia menyiapk
Kasus kekerasan yang dilakukan oleh model terkenal Aurelie Cynthia Putri berimbas pada pembatalan sepihak oleh pihak agensi modelling yang dinaungi oleh Aurelie. Meski begitu ia tidak memusingkan diri, kekayaan yang dimiliki keluarga Naladewa cukup membuatnya tenang sampai ia menemukan agensi baru yang ingin menggunakan jasanya.Aurelie hanya butuh kepastian bahwa ia tidak ditetapkan sebagai tersangka setelah ia merendahkan dirinya di hadapan awak media dan menjelaskan bahwa dirinyalah yang melakukan kekerasan terhadap Andina dan Daniel karena cemburu buta. Aurelie mengaku khilaf dan meluruskan jika Daniel tidak melakukan perselingkuhan.Berkat kerendahan hatinya yang ia paksakan, pengadilan memutuskan untuk tidak melanjutkan perkara hukum terkait dengan pihak penggugat yang membatalkan proses penyidikan. Sarasvati dan Daniel kini bisa bernafas lega. Nama besar keluarga Sanjaya sudah bersih dari tuduhan-tuduhan yang membuat nilai saham di perusahaan merek
Sudah lewat tengah malam Andina masih mematut dirinya di depan cermin. Ia melihat bekas luka cakaran yang terlihat berwarna coklat gelap. Andina mendesah lelah, "Butuh waktu bertahun-tahun untuk membuat bekas-bekas luka ini pudar. Sedangkan tabunganku tidak cukup untuk memenuhi kebutuhanku selama bertahun-tahun tersebut. Tidak ada yang mau menerimaku sebagai pegawai kalau wajahku saja terlihat tidak menarik." gumam Andina. Pikirannya kembali lagi pada surat perjanjian yang tergeletak di atas meja. Andina gundah gulana sekarang. Isi surat perjanjian itu menguntungkan semua pihak. Baik Daniel ataupun ia. Ajakan itu seperti kesempatan langka bagi Andina. Namun, ia dibuat bimbang untuk memilih. Ia risau. Tetap di pulau Bali dengan status pengangguran, atau ikut ke Jakarta menjadi bagian hidup Daniel? Sedangkan perasaannya kepada Daniel masih hambar dan belum ada manis-manisnya. Pikirannya kacau. Tapi, keberuntungan tidak terjadi berkal
Kemewahan yang dimiliki keluarga Daniel membuat jiwa miskin Andina meronta-ronta. Ia terpesona dengan lampu gantung yang sangat indah dan aestetik. Sofa-sofa berukuran besar sanggup dijadikan tempat tidur pengganti kasur Andina di kost-kostan. Pernak-pernik dinding di tata sedemikian rupa agar terlihat cantik dan berkelas. Begitu juga guci keramik yang bertengger di atas meja membuat Andina takut untuk menyentuhnya. "Harganya pasti fantastis, melebihi gajiku sebagai pelayan restoran." gumam Andina, ia melihat dengan jeli detail guci tersebut. Belum lagi, aquarium besar berisi ikan arwana merah membuat ruang tamu memiliki kesan menenangkan. Sesampainya di kamar yang berada di lantai dasar, Andina menarik koper dan membukanya. Beberapa baju yang biasa-biasa saja sengaja Andina tinggal di kost-kostan. Gadis itu hanya membawa baju yang layak dipakai di ibu kota. Ia menata baju-bajunya ke dalam almari sembari bersenandung kecil. Kenekatannya me
Andina menoleh, "Iya..." balas Andina."Siapa kamu?" tanya Sari penasaran. Ia memincingkan matanya, meneliti tubuh Andina dari atas ke bawah."Kamu cacat, ya? Wajahmu jelek banget!"Andina tersenyum, dan menggeleng."Enggak cacat. Ini hanya bekas luka cakaran seorang macan betina!" jelas Andina, ia ingin berkelakar dengan seseorang yang masih menggunakan baju tidur dengan rambut yang tak kalah berantakan dengan dirinya."Siapa kamu? Pembantu baru? Kamu mau saingan dengan ku?" Suara Sari tampak menantang.Andina ingin menyeletuk. Tapi ia masih menghormati orang-orang di rumah ini.Sari terlihat gusar sekaligus tidak suka dengan wanita di depannya. Sari menyipitkan mata. Nyonya besar tidak pernah membicarakan soal perekrutan asisten rumah tangga baru dengan dirinya. Sekarang ia seakan terancam dengan hadirnya Andina di rumah Sanjaya."Jawab siapa kamu!" bentak Ncus Sari.Dari tangga paling atas, Sarasvati menggelindi
Hari kedua di rumah Sanjaya, tak ada bedanya dengan hari pertama. Andina masih di buat senewen dengan kelakuan Daniel. Laki-laki itu tidak mau bangun sebelum Andina mengucapkan selamat pagi dengan kalimat mesra.Mulut Andina terasa kelu, jantungnya terpompa dengan cepat. Wajahnya tampak seperti penderita flu ketimbang seperti gadis tengil nan galak.Daniel membuka matanya sedikit, ia ingin tertawa melihat wajah Andina seperti ingin terkencing-kencing. Padahal yang ia minta bukanlah sesuatu yang sulit, melainkan hanya untuk membiasakan diri agar Andina tidak terlihat seperti patung selamat datang.Andina menghela nafas panjang, "Akan saya permudah urusan saya!" ujar Andina sembari menarik selimut yang menutupi tubuh Daniel.Ia terbelalak... Hampir saja mulutnya mengumpat kata-kata kotor saat melihat Daniel hanya menggunakan boxer briefs yang justru mempertontonkan kakinya yang jenjang, berotot dan berbulu."Uh.... sabar. Masih empa
Proses melahirkan sukses membuat Daniel hampir pingsan. Bagaimana tidak? Selama proses terlahirnya manusia kecil yang sedang melakukan inisiasi menyusui dini itu, Andina terus mencengkeram suaminya. Meremas semua yang bisa ia jangkau dari untuk melampiaskan rasa sakitnya, atau tepatnya membagi rasa sakit.Andina bahagia, begitupun Daniel yang sempat menangis haru sepanjang hari kemarin."Masih sakit, yang?" tanya Daniel sambil mengamati sang anak yang masih menyusu dengan mata yang terpejam. Bayi merah yang diberi nama Dayana Dimitri tanpa Putri Adelard Sanjaya itu terlihat menikmati asi eksklusif dari Andina."Masih dong, kamu kira sulap! Di obati langsung sembuh!" seru Andina kesal.Daniel tersenyum seraya mengambil sisir untuk merapikan rambut Andina."Udah jangan marah-marah! Nanti Dayana sedih lho denger suaramu." sindir Daniel."Habis kamu lucu mas! Orang baru melahirkan kemarin kok ditanyain masih sakit apa eng
Di pesawat yang mengudara menuju Jakarta, Andina terus bertahan dengan hati yang begitu ketar-ketir memikirkan kandungannya. Ia takut terjadi apa-apa saat kemarin hasil check up menunjukkan sedikit risiko jika melakukan penerbangan. Namun, Daniel terus mengingatkan bahwa ia akan baik-baik saja asal jangan tegang."Gimana gak tegang, mas! Mama pasti bawel kalau cucunya kenapa-kenapa." sunggut Andina.Daniel mengusap perut Andina dengan pelan selama perjalanan yang hanya memakan waktu satu setengah jam itu."Rilex, sayang. Jangan takut! Aku bakal nyanyiin lagu anak-anak untuk Dayana putri kita. Lagu kita dulu, konyol tapi sampai sekarang aku masih ingat."Andina mengangguk pasrah dan berusaha memejamkan mata saat Daniel mulai menyanyikan lagu Barney."I love you, you love me. We are happy family. With a great big hug. And a kiss from me to you, won't you say you love me too..."Daniel tersenyum lega saat det
Butuh waktu hingga satu bulan untuk membujuk Andina agar mau melepas orangtuanya pulang ke rumah masing-masing. Meski berat, Andina tetap mengantar ibunya dan Feng ke Bandara Ngurah Rai setelah beberapa hari yang lalu Feri terlebih dahulu pulang ke Surabaya bersama kedua anaknya. Kirana masih tinggal di hotel untuk mengikuti job training dengan petinggi perusahaan. "Dimana rumah ibu?" tanya Andina setelah cukup puas menangis dan merengek sembari menarik ujung baju ibunya agar tidak pergi darinya lagi."Aku masih kangen, masih mau ibu ada disini!" lanjutnya tetap dengan nada merengek, seolah satu bulan ini tidak cukup untuk melepas kerinduan bersama. Feng yang 'mungkin' menganggap Andina aneh memasang wajah tak acuh. Ia bergumam dengan bahasa Mandarin yang pasti Larasati mengerti jika itu adalah peringatan. "Dina... Ibu harus pulang ke Hongkong. Ibu harus kerja, kalau kamu kangen sama ibu, Daniel sudah tahu dimana rumah ibu. Kamu bisa data
Suasana ballroom hotel terlihat sangat sejuk dengan hiasan bunga-bunga segar berwarna putih, begitu juga dedaunan yang di tata sedemikian rupa agar terlihat rapi dan indah. Balon-balon bertuliskan inisial DAYANA bergoyang-goyang diterpa angin dan kue tart penuh cream pandan buatan master chef Bisma menjadi pelengkap suasana pagi ini.Nuansa hijau dan putih masih menjadi pilihan Daniel untuk merayakan pesta kecil penyambutan calon bayi yang di kandung Andina. Begitupun seragam pesta hari ini.Hijau? Mungkin menjadi pilihan warna yang tidak biasa untuk gaun pesta. Namun, ya sudahlah. Daniel hanya menuruti keinginan sang istri. Beruntung Sarasvati mendapatkan desainer gaun pesta yang bagus, jadi gaun berwarna hijau itu bisa terlihat elegan dan mewah.Di kamar, Daniel memperhatikan penampilan Andina yang terlihat seperti gitar spanyol. Lekukan tubuhnya depan belakang begitu menonjol.Daniel menahan senyum saat Andina merengut dengan wa
Pesawat itu terbang semakin rendah di selatan, Bali. Lalu, mendarat dengan mulus di landasan pacu yang terletak tak jauh dari tepi laut itu. Seluruh keluarga Sanjaya tersenyum lega saat menginjakkan kaki di atas dasar bumi. Terlebih-lebih Daniel, bapak posesif itu benar-benar cerewet selama perjalanan ke pulau Dewata itu. Pulau yang mengubah hidupnya."Aku baik-baik saja, Mas! Dayana juga! Dia bilang, ibu kita naik burung ya? Aku jawab iya! Jadi yang tenang ya!" urai Andina menenangkan suaminya.Marco yang tak habis pikir mengapa Daniel bisa sekeren itu dalam mencintai istrinya menggelengkan kepalanya."Ayo gays... Kita harus ke hotel, istirahat sebelum pesta baby shower dan proses nikahan gue!" seru Marco penuh semangat.Sarasvati dan Sanjaya yang mendengar anak-anaknya berdebat sambil mengiringi langkah kaki mereka menuju gerbang kedatangan tersenyum lebar."Udahlah, Co! Jangan ganggu, Abangmu. Dia lagi bahagia sekali kare
"Satu burung... Dua burung... Tiga burung."Suara berhitung itu berasal dari kamar bernuansa hijau dan putih. Beraroma khas cat baru yang baru saja melapis tembok itu. Kamar yang disiapkan untuk Dayana setelah satu bulan lamanya mempersiapkan begitu banyak printilannya termasuk baju-baju bayi yang baru saja kering setelah dicuci oleh Mbak Piah.Dan sekarang, kandungan Andina sudah berusia tujuh bulan lebih. Sudah terlihat tambah besar dari sebelumnya. Sudah sering kali berkata lelah dan semakin manja."Kenapa burungnya hanya tiga, mas?" tanya Andina."Gak tau, sayang! Tanya aja sama tulang catnya. Aku kan hanya terima beres.""Bisa gak mas kalau burungnya ditambah satu, biar genap. Jadi tidak seperti cinta segitiga gitu! Atau cinta dalam diam. Kasian!"Daniel memasang cengiran bodoh seperti biasanya saat Andina berkata sesuka hati lengkap dengan asumsinya sendiri."Tukangnya sudah pulang, sayang. Su
Keesokan harinya di kediaman Sanjaya. Daniel menemani Andina yang diperiksa oleh bidan di ruangan obygn. Ruang paling istimewa di ruang Sanjaya sekarang."Bagaimana, Bu bidan? Semua baik-baik saja kan?" tanya Daniel karena semalam Andina mengaduh sakit setelah kebanyakan makan.Sang bidan tersenyum sembari menutup baju Andina."Detak jantungnya normal, air ketubannya pas, hanya saja. Bapak Daniel sepertinya sudah mengajak Bu Dina berlelah-lelahan."Daniel tersenyum miring seraya mengecup jari-jemari Andina yang sedaritadi ia genggam."Saya kangen kok! Tidak boleh kalau istri saya lelah?"Sungguh wajah Andina langsung tersipu malu. Begitukah suaminya dan seluruh keluarganya. Bertanya tanpa tedeng aling-aling dan gak disortir."Boleh bapak, boleh sekali! Asal jangan setiap hari karena terlalu sering orgasme bisa membuat bayi lahir prematur. Bapak Daniel mau kan bayinya sehat walafiat sampai lahi
Malam ini, bintang begitu cantik di langit Jakarta. Berkerlip ria seakan mengisyaratkan bahwa bintang-bintang itu seperti dirinya. Ada binar senang yang terpancar diwajahnya setelah menyaksikan satu manusia paling berharga dalam hidupnya, paling ia rindukan selama satu bulan ini.Daniel melabuhkan kecupan di kening Andina. "Aku pulang, sayang." ucapnya dengan lirih sebelum mengelus-elus perut istrinya yang membuncit. Ia tersenyum lebar ketika menyadari jika sang putri memahami kedatangannya."Tidurlah sayang, daddy hanya menyapamu sebentar!" gumam Daniel.Namun, tendangan-tendangan kecil terus ia rasakan saat ia melabuhkan berkali-kali kecupan dan mengelus perut tersebut. Hingga Andina mulai bergerak-gerak seperti terganggu oleh kehadirannya."Oh sayang. Santai dong... Kamu akan membuat ibumu bangun!" ujar Daniel gusar sembari mematung kan diri. Ia takut, takut istrinya akan marah-marah karena ia sudah melanggar janji untuk tidak pergi terlalu l
Kehamilan Andina yang sudah menginjak trimester kedua membuat Daniel bernafas lega. Bukan hanya soal nyidam sang istri yang terbilang cukup ribet dalam mencarinya, namun juga mintanya slalu dijam-jam kerja atau ditengah malam buta. Namun bukan itu saja yang membuat Daniel tersenyum senang, karena sang jabang bayi yang sudah terlihat jenis kelaminnya. "Cap... Cip... Cup... Nama lengkap mana yang paling bagus." ujar Andina sembari mengocok botol arisan dan mengeluarkan secarik kertas yang digulung dengan nama-nama anak perempuan yang sudah Daniel tulis. Marco yang menjadi teman main Andina menghirup nafas dalam-dalam. Bukan soal keanehan nyidam yang seharusnya sudah berhenti, namun Andina slalu meminta hal-hal aneh kepada adik angkat suaminya tersebut. Daniel tentu setuju, setengah mati ia akan tertawa terbahak-bahak saat Marco menceritakan semua kegiatan 'nyidam' yang dilakukan Andina. Marco mendengus tapi ia senang-senang saja saat bisa diru