Semua orang terkejut dengan apa yang Tian lakukan, terlebih Ardan yang berada di depannya saat ini. Wirma yang baru saja masuk terkejut, belum sempat ia melangkah mendekat sudah lebih dulu Tian menggores nadinya.
"Ratian!"
Tetes demi tetes darah mulai berjatuhan mewarnai lantai, Wirma berlari dan merengkuh tubuh yang limbung itu. Semua orang panik, semua orang terkejut dengan tindakan Tian barusan. Di saat semua orang tengah berusaha menyelamatkan Tian, Ardan hanya terdiam di tempatnya dengan pandangan tak percaya di depannya.
"Bunda, panggil dokter."
"Ti loe kenapa sih, loe harus bertahan," tangis Lecy sembari menekan pergelangan tangan Tian dengan sebuah kain.
"Lihat, lihat apa yang kamu lakukan nak. Ini yang kamu mau?"
Ardan terduduk lemah tak berdaya mendengar teriakan ayahnya, ia tak menyangka jika akan seperti ini kejadiannya. Ia tak berniat menyalahkan Tian atas apa yang terjadi dengan orang tuanya, emosi yang membuat Ardan buta dengan keadaan.
Wirma memindahkan Tian ke atas ranjangnya, sembari menunggu dokter datang Lecy masih terus menekan pergelangan Tian. Tak lama Dewi datang dengan seorang dokter di sebelahnya, semua orang menyingir memberi ruang untuk pengobatan.
"Setelah ini ikut ayah bicara," seru Wirma tanpa menatap putranya.
"Bagaimana putri kami dok?"
"Ibu tenang saja, untung saja goresannya tidak dalam. Pendarahan juga sudah berhenti," ada keraguan saat dokter tersebut hendak mengucap sesuatu.
"Ada apa dok?"
"Maaf sebelumnya pak, tapi menurut saya putri kalian ini sedang dibawah tekanan mental. Saya hanya menyarankan untuk membawanya ke psikiater agar tak membahayakan hidupnya," sarannya.
"Tentu saja dok, besok ketika kondisinya lebih baik akan kami bawa sesuai saran dokter."
Lecy masih terus menangis di sebelah Tian, ia merasa bersalah karena tak ada di sebelah Tian saat semua masalah menimpanya. Hatinya sakit mendengar apa yang sebenarnya tengah terjadi dengan sahabat kecilnya itu, ingin ia menolong namun ia sendiri tak tahu apa yang bisa ditolongnya.
"Lihat tindakan gegabahmu ini, kamu hampir membunuh Tian dengan pernyataan konyolmu itu," marah Wirma ketika hanya ada keluarganya saat ini.
"Kenapa hanya diam saja? Menyesal? Atau nggak menyangka akan seperti ini?" lanjutnya.
"Maaf yah, Ardan hanya terbawa emosi. Ardan nggak nyangkan kalau Tian akan berlaku nekat seperti tadi," tertunduk lesu di depan orang tuanya.
Wirma menuntun putranya untuk duduk di sebelahnya, ia memang marah dengan kecerobohan putranya namun ia juga mengerti dengan kondisi putranya saat mendengar perkataannya tadi.
"Bukan Tian yang meminta pernikahan itu Ar, itu bunda juga ayah yang menginginkan," ucap Dewi yang kini ada di sebelah Tian.
Lecy sempat terkejut mendengar apa yang diucapkan bundanya, namun sebisa mungkin ia memendam rasa ingin tahunya. Saat ini yang paling penting baginya adalah Tian, tak ada yang lebih penting dari itu saat ini.
"Kalau ayah memiliki calon lain pasti ayah tidak akan menyusahkanmu, tapi kami tidak bisa menemukan suami yang pantas untuk Tian saat ini. Hanya kamu yang bisa kami mintai bantuan nak."
Ardan hanya terdiam, ia bimbang dengan apa yang harus dilakukannya. Ia memang menyayangi Tian, namun itu hanya sebatas adik dengan kakaknya dan tak lebih.
"Ini bukan hanya tentang pernikahan, tugas terberat yang kamu emban adalah menyelamatkan nyawa Tian nak," ujar Dewi mengejutkan semuanya.
"Maksud bunda apa?" tanya Ardan mengangkat kepalanya.
Wirma memberitahu semua yang terjadi pada kedua anaknya, semua yang mungkin akan terjadi ke depannya dengan hidup Tian. Ada rasa iba dalam batin Ardan, dan ada luka di hati Lecy memikirkan nasib sahabatnya.
Sejenak semua terdiam, Wirma juga Dewi memberi waktu bagi putranya untuk memikirkan semuanya. Ini tak mudah, terlebih untuk Ardan yang memang masih sangat muda ketika harus mengemban tugas ini.
"Ardan akan menikahi Ratian."
Suara yang mengejutkan sekaligus melegakan akhirnya terdengar juga, Ardan mengikuti keinginan orang tuanya untuk menikahi Ratian. Namun Ardan juga memiliki sebuah syarat untuk semua keluarganya dengan keputusannya itu.
"Katakan," ucap Wirma.
"Aku akan membawa Tian kembali ke Jakarta."
Nampak Wirma terkejut sedang Dewi berusaha menyanggahnya, namun isyarat suaminya menghentikan semua niatnya itu.
"Bagaimana?"
"Baiklah, tapi semua keselamatan Tian kamu yang bertanggung jawab."
"Baiklah."
Dan terjadilah kesepakatan antara mereka, terlihat tangis haru Dewi yang memeluk putrinya Lecy. Ia tak menyangka akan menikahkan putranya dengan cara seperti ini, cara yang terlalu sederhana untuk Tian juga.
**
Esok pagi yang begitu cerah terlihat Tian sudah segar sedang menikmati sinar mentari, Ardan yang baru saja pulang sehabis lari pagi tanpa sengaja menatap kearah calon istrinya itu. Pandangan kosong itu membuat hati Ardan berdesir, ada rasa iba juga rasa bersalah yang menyelimuti hatinya.Hari ini rumah nampak sepi, hanya ada Tian juga Ardan di rumah sebesar itu tentunya dengan beberapa pelayan.
"Bi Darma, kok rumah sepi? Pada kemana?" tanya Ardan pada salah satu pelayan rumahnya,
"Tuan sedang keluar mengurus persiapan pernikahan aden, kalau nyonya keluar juga memesan apa gitu bibi lupa. Nah kalau non Lecy ya sekolah," jawabnya.
"Oh," seru Ardan yang tak menyangka jika kepulangannya kali ini akan menjadi perubahan dalam hidupnya.
"Yaudah bibi mau mastiin non Tian makan dulu ya, kasian dari tadi diam gitu."
"Bibi kembali aja ke dapur, biar saya aja yang pergi ke sana."
Perlahan kaki itu melangkah mendekat, semakin dekat membuat rasa gugup melanda Ardan secara tiba-tiba. Terlihat Ardan sempat menghentikan langkahnya, sesekali ia terlihat menarik nafasnya.
"Kenapa diam saja?" tanyanya ketika berdiri disebelah Tian.
Tian hanya terdiam, pandangannya masih menatap kosong pada hamparan tanaman bunga di depannya. Tanpa diminta Ardan pun mendudukan dirinya di sebelah Tian, memangku piring yang masih utuh isinya itu.
"Bukan mulutmu," mengarahkan sendok berisi makanan.
"Kakak aja yang makan."
"Apa perlu aku suapi kamu dengan mulutku?"
Hari yang di tunggupun akhirnya tiba, rumah sudah rapi dengan hiasan beberapa bunga. Tamu yang di undang juga mulai berdatangan, tak banyak hanya beberapa orang juga kolega milik keluarga Prambu juga keluarga Wirma."Saya tidak menyangka jika jawaban dari anda akan secepat ini tuan Wirma," ucap Beno yang tengah berdiri bersama Wirma."Buat saya lebih cepat juga lebih baik, sebelum mereka muncul sebaiknya kita dului dengan rencana yang sudah almarhum rencanakan.""Saya setuju dengan anda tuan, dan mengenai kepulangan nona nantinya kembali ke Jakarta akan saya urus pengawalannya.""Sebaiknya dari kejauhan saja ketika mengawasi, putra saya tidak suka jika privasinya terlalu diusik.""Saya akan mengingat itu."Pembicaraan itu usai ketika penghulu yang ditunggu telah tiba, duduk di tempat yang telah disediakan sembari menunggu kedua pengantinnya.Di dalam kamar nampak Lecy tak hentinya memandangi calon kakak iparnya itu, cantik dan sungguh
Semua orang kini tengah berkumpul dalam satu meja makan, nampak Tian masih canggung dengan status barunya yang harus terbiasa melayani Ardan suaminya. Dewi dengan sabar terus mengajari Tian beradaptasi, membiasakan diri dengan Ardan yang akan selalu bersamanya.Semua orang makan dalam diam, menikmati masing-masing makanan dengan pemikiran berbeda-beda. Usai menikmati makan malam Wirma mengajak semuanya untuk berpindah ke ruang keluarga, di sana ia ingin membahas kelanjutan dari rencana Ardan putranya."Jadi gimana?" tanya Wirma."Apanya ayah?""Gimana rencana kamu setelah ini?""Ardan akan membawa Tian kembali ke Jakarta, Ardan nggak bisa ninggalin kuliah di sana terlalu lama.""Tian, gimana menurut kamu nak?" tanya Dewi yang menggenggam tangan menantunya itu.Tian masih terdiam, ia masih bimbang dengan rasa takutnya. Ia merasa selalu di awasi hingga membuatnya merasa tak nyaman."Om akan sediakan semuanya ketika kalian pindah ke Jakarta kalau begitu," seru Beno membuka suara.Ardan m
"Benar-benar tak bisa dibiarkan!"Suara itu sontak mengejutkan keduanya, suara yang menggelegar dan dihafalnya itu. Siapa lagi jika bukan suara milik nyonya Larasati, ibu kandung dari Wirma yang berarti nenek dari Ardan juga Lecy."Di mana anak tengik itu, siapa dia berani memaksa cucuku menikahinya," ucapnya dengan menggebu-gebu.Terlalu sibuk dengan urusan pernikahan Ardan membuat keduanya lupa dengan nyonya Larasati. Seharusnya mereka mempersiapkan rencana untuk kemarahan Larasati ini, namun nampaknya kali ini mereka melupakan tugas terpenting itu.Larasati adalah wanita dengan ketegasannya, ia sangat menyayangi Ardan dibandingkan dengan Lecy. Baginya Ardan adalah segalanya sebab Ardan lah yang nantinya menjadi penerus keturunan keluarganya.Namun mendengar cucu kesayangannya dipaksa menikah membuatnya mau tak mau harus terbang kembali ke Surabaya. Sudah sejak lama Larasati menikmati masa tuanya di Yogyakarta, jarang sekali berada di Surab
Makan malam terasa begitu dingin, tak seperti sebelumnya. Tian terlihat sedang melayani suaminya saat Larasati tiba-tiba merebut piring itu dan melayani cucunya sendiri."Bu," tegur Wirma melihat kelakuan ibunya.Dewi mengisyaratkan Tian untuk membiarkan Larasarti melakukan apa yang di sukainya. Ia tak ingin melihat Tian kembali mendapat amukan mertuanya itu. Lecy tak suka dengan sikap oma nya itu, sejak dulu oma nya itu selalu pilih kasih membuatnya sedikit tak menyukai perangainya."Kakak ipar, bisa tolong ambilkan aku ayam itu. Jauh," manjanya pada Tian."Jaga ucapanmu, dia bukan kakak iparmu." marah Larasati menatap tajam Lecy di sebrangnya.Lecy hanya bisa memanyunkan bibirkanya melihat reaksi oma nya, ia tak ingin membuat bundanya kembali menjadi bulan-bulanan dari omanya."Ini, mana piringmu." ucap Tian yang menyodorkan ayam pada Lecy.Sedang Lecy yang merasa di perhatikan merasa begitu senang, ia begitu antusias mengangk
Lecy begitu menikmati makan malamnya, sederhana hanya di sebuah angkringan jalan namun banyak peminatnya. Ardan merasa takjub sebab baru kali ini melihat Tian duduk santai di tempat yang tak selevel untuknya."Kalau nggak nyaman kita pulang aja," ucap Ardan pada Tian yang tengah menikmati nasi kucingnya."Nyaman kok.""Baru pertama kali ya ke tempat kayak gini?" tanya Lecy yang mengerti maksud dari kakaknya itu.Tian menggelengkan kepalanya, "Enggak, udah sering sama Papa Mama kalau malam lapar pasti cari angkringan di Jakarta."Semua kembali menikmati makan malamnya, entah kapan lagi akan ada kesempatan seperti ini untuk ketiganya. Namun kali ini hanya ingin menikmati waktu dengan segala ketenangan di hati.Larasati tak bisa memejamkan matanya, ia berulang kali menatap jam dinding di rumahnya. Ia begitu geram dan sangat kesal, ia merasa Tian sengaja membuat cucunya pulang larut malam."Emang ya, nggak tahu aturan. Nggak ada orang tua
Tubuh Tian bergetar menatap tiga laki-laki asing di depannya saat ini, terlebih kini salah satu tangannya di cekal dengan begitu kuat oleh salah satu laki-laki itu. Semakin ia memberontak dan menolak, semakin laki-laki itu dengan kuat mencengkeram tangannya.Tian yang semula kalut dengan emosinya kini berusaha setenang mungkin, ia tak mungkin menghadapi mereka dengan keadaan kalut seperti tadi. Ketiga laki-laki itu terlihat tertawa melihat Tian yang sudah tak memberikan perlawanan, mereka berfikir saat ini Tian sudah bersedia mengikuti keinginannya."Nah gitu dong cantik, nurut. Tenang, nggak akan sakit kok. Yakan coy," serunya tertawa bersama teman-temannya."Oh ya?""Tentu saja.""Sakit tidaknya hanya saya yang boleh menentukan itu," serunya. Kini tatapan mata Tian begitu tajam menatap semua laki-laki itu.Entah bagaimana ceritanya sebab yang pasti saat ini Tian tengah memelintir tangan yang sedari tadi mencengkeramnya. Tak hanya itu
Tak terasa kini sudah satu minggu pernikahan keduanya, sudah waktunya bagi Ardan untuk kembali ke Jakarta dan menempuh kembali pendidikannya. Ada rasa berat saat ia harus meninggalkan istrinya bersama dengan omanya yang terang-terangan membencinya."Oma, " panggilnya ketika kini sedang duduk bersantai di halaman belakang."Ya, ada apa nak? Kamu membutuhkan sesuatu?""Tidak, hanya saja besok Ar sudah harus kembali lagi ke Jakarta—"Bagus kalau begitu, lebih cepat lebih bagus nak kamu balik ke Jakartanya.""Oma, tolong dengerin dulu Ar sampai selesai." pintanya dengan nada rendahnya.Larasati hanya bisa mengikuti keinginan cucunya, ia menunggu Ardan membuka suaranya. Tentang apa yang akan di sampaikannya kali ini dengan raut wajah begitu seriusnya."Ar mau ketikan Ar kembali ke Jakarta oma juga kembali ke Jogja.""Tentu saja, dengan senang hati oma akan mengabulkan hal itu." serunya begitu saja.Dan keduanya me
Larasati melampiaskan semua kemarahannya pada Tian saat itu juga, ia melempar gelas yang ada di depannya mengarahkan tepat pada Tian. Beruntung ada Ardan yang menghalau gelas tersebut hingga mengenai punggungnya."Ibu," seru Wirma yang juga terkejut seperti semuanya.Keadaan semakin kacau ketika Ardan membela Tian di hadapan omanya, Larasati tak terima itu semua ia merasa Ardan sudah berubah dan tak seperti cucunya yang dulu. Dengan emosi yang masih begitu kalut Larasati keluar dengan koper di tangannya."Ibu mau ke mana?"Dan Larasati memutuskan untuk kembali ke Jogja saat itu juga, ia sudah benar-benar marah dan tak bisa menerima kehadiran Tian sebagai istri dari cucu kesayangannya. Dan saat itu juga Ardan memutuskan untuk kembali ke Jakarta.***Jakarta,Hari terasa begitu cepat berputar, pagi ini Ardan sudah kembali ke kampusnya untuk beraktivitas kembali. Mata Sarah berbinar ketika melihat kembali wajah yang selalu di rindu