Hari yang di tunggupun akhirnya tiba, rumah sudah rapi dengan hiasan beberapa bunga. Tamu yang di undang juga mulai berdatangan, tak banyak hanya beberapa orang juga kolega milik keluarga Prambu juga keluarga Wirma.
"Saya tidak menyangka jika jawaban dari anda akan secepat ini tuan Wirma," ucap Beno yang tengah berdiri bersama Wirma.
"Buat saya lebih cepat juga lebih baik, sebelum mereka muncul sebaiknya kita dului dengan rencana yang sudah almarhum rencanakan."
"Saya setuju dengan anda tuan, dan mengenai kepulangan nona nantinya kembali ke Jakarta akan saya urus pengawalannya."
"Sebaiknya dari kejauhan saja ketika mengawasi, putra saya tidak suka jika privasinya terlalu diusik."
"Saya akan mengingat itu."
Pembicaraan itu usai ketika penghulu yang ditunggu telah tiba, duduk di tempat yang telah disediakan sembari menunggu kedua pengantinnya.
Di dalam kamar nampak Lecy tak hentinya memandangi calon kakak iparnya itu, cantik dan sungguh cantik dengan polesan make up sederhana. Dewi juga nampak takjub dengan itu, wajah Tian begitu mirip dengan Saci kala itu. Membuat Dewi tak bisa menahan air matanya untuk meluncur membasahi wajahnya.
"Bunda," tegur Lecy yang tak ingin Tian melihat air mata orang tuanya.
"Sudah waktunya, kita turun ya nak."
"Tante, kenapa aku harus menikah dengan kak Ardan?" tanya Tian yang baru membuka suaranya.
Hati Dewi menghangat mendengar kembali suara merdu itu, ingin sekali ia merengkuh dan menangis dalam pelukan Tian namun tatapan Lecy menggagalkan semua niatnya itu.
"Semua demi kamu nak, kamu percaya kan sama tente juga om? Kak Ardan akan menjaga kamu, melindungi kamu dari semua orang yang berniat jahat sama kamu," membelai kepala Tian dengan penuh sayang.
"Udah-udah nanti aja melow-melownya, ini udah waktunya princess cantik aku tampil dan menggemparkan semua tamu undangan," seru Lecy yang tak ingin larut dalam suasana sedih itu.
Benar saja, semua orang memang sudah menunggu. Sudah ada Ardan yang duduk berbincang dengan penghulu, dan ketika melihat calon istrinya turun ia pun segera bangkit dan menyambutnya.
Semua orang terpukau dengan penampilan Tian saat ini, banyak kolega Prambu yang menitikan air matanya melihat Tian yang begitu mirip dengan Prambu. Tak banyak dari mereka yang juga ikut memikirkan keselamatan Tian setelah ini, sebab mereka tahu setelah ijab kabul terucap maka setelah itu pula nyawa Tian bisa hilang kapan saja.
Ardan mengulurkan tangannya, menyambut calon istrinya. Tian menerima uluran tangan itu dengan senang hati, mengikuti langkah Ardan yang membawanya pada kursi pengantinnya.
"Pasangan yang cocok," seru Beno dengan pandangan berkaca-kaca.
Semua siap dan semua telah lengkap. Penghulu menjabat tangan Ardan, dengan sekali nafas Ardan kini telah resmi menyunting Tian sebagai istrinya.
Sah..
Sah..
Sah..
Seru semua orang dengan gembira, tangis pecah melihat keduanya telah resmi menikah. Tak banyak memang undangannya, namun itu adalah semua orang yang ada dipihak Tian kedepannya. Semua kolega Prambu yang setia siap berdisi di belakang Tian dan memperjuangkan hak miliknya.
Acara pasang cincin usai, kini Tian mengambil tangan Ardan dan menciumnya. Hatinya berdesir merasakan bibir Tian melekat dikulitnya secara langsung, hatinya menghangat begitu. Tanpa di duga Ardan juga menggerakkan tangannya, meletakkan tangannya tepat di kepala Tian saat istrinya itu mencium punggung tangannya.
Kini berganti Ardan yang mencium kening istrinya, cukup lama kala bibir itu mengecup langsung kulit istrinya.
"Gadis yang selama ini sudah kuanggap sebagai adikku kini sudah resmi ku nikahi," batin Ardan.
Keduanya terlihat menikmati suasananya dengan sama-sama memejamkan mata. Cukup lama hingga semua orang menanti kapan usainya kecupan itu.
"Sudah sudah, kalau mau lama-lama nunggu kami semua pulang nanti ya. Sekarang kita lanjut acara berikutnya," seru penghulu yang menyadarkan keduanya dengan situasi saat ini.
Wajah keduanya memerah menahan malu, Ardan merutuki dirinya sendiri karena terlalu menikmati menjadi suami baru.
Dan acarapun usai, Beno juga bersiap untuk kembali ke Jakarta. Namun sebelum itu ia nampak sedikit berbincang dengan Ardan, Beno meminta Ardan untuk mendatanginya ketika sudah di Jakarta.
"Om pulang dulu ya, kamu baik-baik disini sama suami kamu," senyumnya pada Ardan yang ada di sebelah Tian selalu.
"Om," nampak wajah Tian memucat dengan sebelah tangannya mencengkeran kuat ujung baju Ardan.
"Ada apa nak?" nampak semua orang menatap Tian dengan penuh ke khawatiran.
Gadis itu menyembunyikan pandangannya ke bawah, Ardan merasa curiga dengan itu. Ia menatap ke arah Tian sebelumnya menatap, dan disanalah ia merasa curiga. Ada seseorang yang nampak sedang mengawasi, namun ia samar karena tak begitu jelas melihatnya.
"Jangan," cegah Tian saat Ardan hendak melangkah pergi.
"Jangan pergi, biar dia yang pergi. Ku mohon om Beno tetaplah disini, paling tidak untuk hari ini," pinta Tian yang baru banyak bicara.
Tak ingin membuat Tian semakin tertekan akhirnya Wirma menyudahi acaranya, ia dan keluarganya membawa Beno menuju kamar untuknya beristirahat. Namun Ardan masih penasaran dengan siapa yang tengah mengawasinya tadi, melihat ketakutan istrinya membuat Ardan curiga jika orang tersebut berhubungan dengan kecelakaan itu.
"Loh Tian, kok loe ada disini sih," tanya Lecy ketika mendapati sahabatnya itu ada di dalam kamarnya.
"Lalu aku harus di mana? Kamar yang biasanya sedang digunakan om Beno," polosnya.
Lecy menepuk keningnya, kakak iparnya itu sungguh polos dan begitu menggemaskan. Namun Lecy lebih suka seperti ini daripada seperti yang lalu.
"Ikut, aku tunjukin kamar kamu."
Dengan masih mengenakan kebaya lengkap Tian mengikuti langkah kaki Lecy di depannya. Keningnya berkerut saat kakinya ternyata melangkah menuju kamar Ardan kakaknya, ia segera menghempaskan tangan Lecy ketika keduanya tiba di tujuan.
"Kenapa kita ke kamar kak Ardan?"
Tok.. Tokk..
Tanpa menjawab Lecy justru mengetuk pintu kamar Ardan, tak lama pintu terbuka dan menampakan sosok penghuninya. Ardan berdiri dengan menggunakan kaos putihnya. Nampak begitu gagah juga berkarisma.
"Dari mana saja?" tanya Ardan yang melihat Tian hanya menundukkan kepalanya.
"Makanya kalau punya istri itu di jaga dong kak, masa istrinya nyasar ke kamar aku sih,"ledek Lecy.
"Masuk, ganti baju kamu," perintah Ardan.
"Ciee, udah nyuruh ganti baju aja nih. Matahari masih terang noh."
"Anak kecil diam ya, balik dan ganti baju juga."
"Istrinya juga anak kecil loh, lebih kecil malahan," ledek Lecy yang langsung kabur dari pandangan kedua kakaknya saat ini.
"Masuk."
"Ke mana?"
Tak menjawab justru Ardan membuka lebar pintu kamarnya, Tian tahu apa yang dimaksud suaminya. Agak canggung memasuki kamar lak-laki yang seperti kakaknya itu dengan statusnya saat ini .
"Lama."
"Akhhhhhhh."
Semua orang kini tengah berkumpul dalam satu meja makan, nampak Tian masih canggung dengan status barunya yang harus terbiasa melayani Ardan suaminya. Dewi dengan sabar terus mengajari Tian beradaptasi, membiasakan diri dengan Ardan yang akan selalu bersamanya.Semua orang makan dalam diam, menikmati masing-masing makanan dengan pemikiran berbeda-beda. Usai menikmati makan malam Wirma mengajak semuanya untuk berpindah ke ruang keluarga, di sana ia ingin membahas kelanjutan dari rencana Ardan putranya."Jadi gimana?" tanya Wirma."Apanya ayah?""Gimana rencana kamu setelah ini?""Ardan akan membawa Tian kembali ke Jakarta, Ardan nggak bisa ninggalin kuliah di sana terlalu lama.""Tian, gimana menurut kamu nak?" tanya Dewi yang menggenggam tangan menantunya itu.Tian masih terdiam, ia masih bimbang dengan rasa takutnya. Ia merasa selalu di awasi hingga membuatnya merasa tak nyaman."Om akan sediakan semuanya ketika kalian pindah ke Jakarta kalau begitu," seru Beno membuka suara.Ardan m
"Benar-benar tak bisa dibiarkan!"Suara itu sontak mengejutkan keduanya, suara yang menggelegar dan dihafalnya itu. Siapa lagi jika bukan suara milik nyonya Larasati, ibu kandung dari Wirma yang berarti nenek dari Ardan juga Lecy."Di mana anak tengik itu, siapa dia berani memaksa cucuku menikahinya," ucapnya dengan menggebu-gebu.Terlalu sibuk dengan urusan pernikahan Ardan membuat keduanya lupa dengan nyonya Larasati. Seharusnya mereka mempersiapkan rencana untuk kemarahan Larasati ini, namun nampaknya kali ini mereka melupakan tugas terpenting itu.Larasati adalah wanita dengan ketegasannya, ia sangat menyayangi Ardan dibandingkan dengan Lecy. Baginya Ardan adalah segalanya sebab Ardan lah yang nantinya menjadi penerus keturunan keluarganya.Namun mendengar cucu kesayangannya dipaksa menikah membuatnya mau tak mau harus terbang kembali ke Surabaya. Sudah sejak lama Larasati menikmati masa tuanya di Yogyakarta, jarang sekali berada di Surab
Makan malam terasa begitu dingin, tak seperti sebelumnya. Tian terlihat sedang melayani suaminya saat Larasati tiba-tiba merebut piring itu dan melayani cucunya sendiri."Bu," tegur Wirma melihat kelakuan ibunya.Dewi mengisyaratkan Tian untuk membiarkan Larasarti melakukan apa yang di sukainya. Ia tak ingin melihat Tian kembali mendapat amukan mertuanya itu. Lecy tak suka dengan sikap oma nya itu, sejak dulu oma nya itu selalu pilih kasih membuatnya sedikit tak menyukai perangainya."Kakak ipar, bisa tolong ambilkan aku ayam itu. Jauh," manjanya pada Tian."Jaga ucapanmu, dia bukan kakak iparmu." marah Larasati menatap tajam Lecy di sebrangnya.Lecy hanya bisa memanyunkan bibirkanya melihat reaksi oma nya, ia tak ingin membuat bundanya kembali menjadi bulan-bulanan dari omanya."Ini, mana piringmu." ucap Tian yang menyodorkan ayam pada Lecy.Sedang Lecy yang merasa di perhatikan merasa begitu senang, ia begitu antusias mengangk
Lecy begitu menikmati makan malamnya, sederhana hanya di sebuah angkringan jalan namun banyak peminatnya. Ardan merasa takjub sebab baru kali ini melihat Tian duduk santai di tempat yang tak selevel untuknya."Kalau nggak nyaman kita pulang aja," ucap Ardan pada Tian yang tengah menikmati nasi kucingnya."Nyaman kok.""Baru pertama kali ya ke tempat kayak gini?" tanya Lecy yang mengerti maksud dari kakaknya itu.Tian menggelengkan kepalanya, "Enggak, udah sering sama Papa Mama kalau malam lapar pasti cari angkringan di Jakarta."Semua kembali menikmati makan malamnya, entah kapan lagi akan ada kesempatan seperti ini untuk ketiganya. Namun kali ini hanya ingin menikmati waktu dengan segala ketenangan di hati.Larasati tak bisa memejamkan matanya, ia berulang kali menatap jam dinding di rumahnya. Ia begitu geram dan sangat kesal, ia merasa Tian sengaja membuat cucunya pulang larut malam."Emang ya, nggak tahu aturan. Nggak ada orang tua
Tubuh Tian bergetar menatap tiga laki-laki asing di depannya saat ini, terlebih kini salah satu tangannya di cekal dengan begitu kuat oleh salah satu laki-laki itu. Semakin ia memberontak dan menolak, semakin laki-laki itu dengan kuat mencengkeram tangannya.Tian yang semula kalut dengan emosinya kini berusaha setenang mungkin, ia tak mungkin menghadapi mereka dengan keadaan kalut seperti tadi. Ketiga laki-laki itu terlihat tertawa melihat Tian yang sudah tak memberikan perlawanan, mereka berfikir saat ini Tian sudah bersedia mengikuti keinginannya."Nah gitu dong cantik, nurut. Tenang, nggak akan sakit kok. Yakan coy," serunya tertawa bersama teman-temannya."Oh ya?""Tentu saja.""Sakit tidaknya hanya saya yang boleh menentukan itu," serunya. Kini tatapan mata Tian begitu tajam menatap semua laki-laki itu.Entah bagaimana ceritanya sebab yang pasti saat ini Tian tengah memelintir tangan yang sedari tadi mencengkeramnya. Tak hanya itu
Tak terasa kini sudah satu minggu pernikahan keduanya, sudah waktunya bagi Ardan untuk kembali ke Jakarta dan menempuh kembali pendidikannya. Ada rasa berat saat ia harus meninggalkan istrinya bersama dengan omanya yang terang-terangan membencinya."Oma, " panggilnya ketika kini sedang duduk bersantai di halaman belakang."Ya, ada apa nak? Kamu membutuhkan sesuatu?""Tidak, hanya saja besok Ar sudah harus kembali lagi ke Jakarta—"Bagus kalau begitu, lebih cepat lebih bagus nak kamu balik ke Jakartanya.""Oma, tolong dengerin dulu Ar sampai selesai." pintanya dengan nada rendahnya.Larasati hanya bisa mengikuti keinginan cucunya, ia menunggu Ardan membuka suaranya. Tentang apa yang akan di sampaikannya kali ini dengan raut wajah begitu seriusnya."Ar mau ketikan Ar kembali ke Jakarta oma juga kembali ke Jogja.""Tentu saja, dengan senang hati oma akan mengabulkan hal itu." serunya begitu saja.Dan keduanya me
Larasati melampiaskan semua kemarahannya pada Tian saat itu juga, ia melempar gelas yang ada di depannya mengarahkan tepat pada Tian. Beruntung ada Ardan yang menghalau gelas tersebut hingga mengenai punggungnya."Ibu," seru Wirma yang juga terkejut seperti semuanya.Keadaan semakin kacau ketika Ardan membela Tian di hadapan omanya, Larasati tak terima itu semua ia merasa Ardan sudah berubah dan tak seperti cucunya yang dulu. Dengan emosi yang masih begitu kalut Larasati keluar dengan koper di tangannya."Ibu mau ke mana?"Dan Larasati memutuskan untuk kembali ke Jogja saat itu juga, ia sudah benar-benar marah dan tak bisa menerima kehadiran Tian sebagai istri dari cucu kesayangannya. Dan saat itu juga Ardan memutuskan untuk kembali ke Jakarta.***Jakarta,Hari terasa begitu cepat berputar, pagi ini Ardan sudah kembali ke kampusnya untuk beraktivitas kembali. Mata Sarah berbinar ketika melihat kembali wajah yang selalu di rindu
Hari ini Tian berada di kebun bersama Wirma, selesai melakukan home schooling Tian yang merasa bosan meminta ijin Dewi untuk menyusul Wirma di perkebunan. Dewi mengijinkan, ia sendiri juga ikut datang menemani Tian menyusul suaminya, dan di sana di lihatnya Wirma tengah mengobrol dengan beberapa orang pekerjanya."Iya, jadi nanti pas kita panen semua harus maksimal." ucap Wirma sebelum membubarkan pekerjanya.Saat berbalik Wirma merasa terkejut melihat istri juga menantunya ada di sana, dengan senyum manisnya Wirma berjalan menghampiri keduanya."Kenapa nggak bilang-bilang?" tanya Wirma pada keduanya."Tian bosen di rumah habis sekolah tadi, ngajak ke sini tuh anaknya." jawab Dewi yang mengajak suaminya duduk di sebuah saung."Maaf ya ayah, Tian cuma bosen di rumah nggak ngapa-ngapain. Lecy habisnya lama belum pulang sekolah.""Hhehe, iya gpp. Ayah seneng malah kalau di samperin sama wanita cantik-cantik gini, jadi semangat kerjanya." candan