Share

Eps 06

Semua orang kini tengah berkumpul dalam satu meja makan, nampak Tian masih canggung dengan status barunya yang harus terbiasa melayani Ardan suaminya. Dewi dengan sabar terus mengajari Tian beradaptasi, membiasakan diri dengan Ardan yang akan selalu bersamanya.

Semua orang makan dalam diam, menikmati masing-masing makanan dengan pemikiran berbeda-beda. Usai menikmati makan malam Wirma mengajak semuanya untuk berpindah ke ruang keluarga, di sana ia ingin membahas kelanjutan dari rencana Ardan putranya.

"Jadi gimana?" tanya Wirma.

"Apanya ayah?"

"Gimana rencana kamu setelah ini?"

"Ardan akan membawa Tian kembali ke Jakarta, Ardan nggak bisa ninggalin kuliah di sana terlalu lama."

"Tian, gimana menurut kamu nak?" tanya Dewi yang menggenggam tangan menantunya itu.

Tian masih terdiam, ia masih bimbang dengan rasa takutnya. Ia merasa selalu di awasi hingga membuatnya merasa tak nyaman.

"Om akan sediakan semuanya ketika kalian pindah ke Jakarta kalau begitu," seru Beno membuka suara.

Ardan menatap Beno dengan raut bingungnya, ingin ia menolak namun tak ada kata yang bisa ia utarakan agar tak menyinggung niat baik itu. 

"Katakan saja pendapatmu," ucap Beno yang mengerti akan gelagat Ardan.

"Maaf om bukannya aku sombong. Tapi aku bisa menghidupi keluarga kecilku, aku juga ada rumah untuk kami nanti tinggal," ucap Ardan merendah.

"Rumah?"

"Iya yah, rencananya aku bakal jual apartemen dan uangnya bisa digunakan untuk membeli rumah sederhana untuk kami," jelasnya.

Ada rasa bangga pada Wirma dengan pemikiran putranya, sempat menolak bukan berarti Ardan akan mengabaikan tugasnya sebagai suami. Ardan tetaplah laki-laki yang bertanggung jawab dengan semua pilihannya, apapun dan bagaimanapun resikonya ia akan terus bertahan dengan pilihannya.

"Om bangga dengan kamu, usia boleh muda tapi pemikiran begitu dewasa. Kalau kamu butuh apapun kamu bisa datang sama om."

"Makasih om, tapi seperti yang om katakan. Selama bekerja di perusahaan aku juga bakal dapat gaji bukan?"

"Tentu saja dapat, itu hak kamu Ar. Om akan urus itu semua untuk kamu."

"Makasih om, kalau gitu aku nggak terlalu bingung dengan biaya kuliah Tian nantinya."

Semua orang tersenyum mendengar penuturan Ardan barusan, sungguh itu membuat hati mereka tenang dibuatnya. Wirma yang begitu bangga pada putranya terus saja menepuk bahu Ardan di sebelahnya.

"Tapi kamu bisa membawa Tian pergi ketika dia sudah lulus sekolahnya," lanjut Dewi.

"Tian bakal sekolah di sini bun? Sama aku?" seru Lecy kegirangan.

"Maksud bunda apa? Tian istri aku, jadi di mana Ardan berada itu adalah rumahnya."

"Bunda tahu itu nak, bunda sangat paham dengan itu. Tapi bukan itu masalahnya, bunda sudah mendapatkan guru private untuk sekolah istrimu dan formulir untuk paket ujiannya."

Benar pemikiran Dewi, Tian masih dalam kondisi yang tak memungkinkan untuk beraktivitas dengan banyak orang. Belum lagi jadwal terapi Tian yang juga hampir menyita hari-harinya, Ardan memikirkan semua hal itu dengan sebaik-baiknya.

"Kalau memang menurut bunda itu yang terbaik, Ardan nurut aja. Selama Tian di sini aku juga bakal siapin semuanya di sana."

Dan obrolan itupun ditutup dengan canda tawa semua orang, kecuali Tian yang hanya terdiam dengan segala pemikirannya.

Ardan keluar dari toilet dengan baju tidurnya, matanya menatap heran pada Tian yang hanya terdiam di balik jendela kamar. Perlahan kakinya melangkah mendekati Tian, semakin dekat semakin ia menatap heran pada istrinya.

"Sedang apa? Sudah malam, nggak baik angin malam buat badan," serunya menutup jendela yang sengaja Tian buka barusan.

"Tidur," perintahnya, namun Tian masih terdiam.

Ardan menghela nafasnya, tangannya terulur dan merengkuh bahu Tian. Ia perlahan merebahkan tubuh itu untuk tidur disebelahnya. Menutup hari yang lelah ini dan siap menyambut esok hari.

**

Pagi harinya Ardan terkejut ketika mendapati Tian tidur dalam pelukannya, rasanya begitu aneh dengan situasi ini. Ardan hanya terdiam, membiarkan Tian masih lelap dalam tidurnya. Pandangannya terus menerawang, mengingat semua hal yang telah terjadi kemarin. 

Dirinya tak menyangka jika kini ia adalah suami dari wanita yang sudah seperti adik baginya. Tapi entah mengapa tak ada rasa menyesal untuk pilihannya itu, namun hanya rasa tak terbiasa dengan itu semua.

"Loe pasti bisa Ar, loe bisa." serunya menyemangati dirinya.

Perlahan ia melepaskan tangan Tian yang memeluk dirinya, menjadikan guling sebagai penggantinya. Selesai membersihkan diri kini Ardan sudah siap dengan pakaian olah raganya, dan sebelum pergi ia sempat menatap kembali Tian yang masih terlelap.

Ardan nampak mengelilingi area perkebunan juga melewati rumah-rumah warga, banyak warga yang mengucapkan selamat atas pernikahannya dan tak sedikit yang menanyakan keberadaan nyonya Ardan padanya.

"Hhehe, istri saya di rumah ibu-ibu. Biasa lagi siapin sarapan buat saya habis ini."

"Wah istrinya nak Ardan pinter banget kalau gitu ya, kami doa ini supaya segera dapat momongan ya nak."

Ardan tersenyum kikuk mendengar doa yang diucapkan para warga. Anak? Menyentuh istrinya saja ia masih berfikir ulang.

Lelah berkeliling hingga akhirnya Ardan memilih kembali pulang, dan di tengah jalan ia melihat om Beno yang juga ternyata sedang berolah raga.

"Tau gitu kita barengan aja om olah raganya," sapa Ardan yang mendekati Beno.

"Bikin kaget aja, om nggak tahu om kira kamu masih di kamar menikmati ehem-ehem," ledeknya.

Wajah Ardan memerah mengerti maksud dari perkataan itu, rasanya cukup malu mendengar ledekan itu langsung dari om Beno. Sedang Beno begitu lucu menatap wajah merah Ardan padahal ia tahu jika keduanya tak mungkin melakukan kewajibannya disaat kondisi Tian masih seperti ini.

"Udah ah om, yuk balik aja. Udah capek."

"Yuk lah."

Tian yang sudah terbangun dari tidurnya sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk semua orang, tangan itu begitu lincah menggerakkan segala macam peralatan dapur. 

"Wah, kakak ipar lagi masak apa ini?" seru Lecy yang ternyata turun bersama Dewi.

"Pagi Lecy, pagi tante."

"Kok tante sih sayang, bunda dong. Kan udah jadi anaknya bunda juga," ucap Dewi yang membantu Tian menyiapkan makanannya.

"Wah wangi banget nih," ucap Beno yang baru masuk ke dalam rumah.

"Mandi dulu om, habis itu turun makan," seru Ardan yang sudah lebih dulu naik untuk membersihkan diri.

Kini nampak semua orang sedang menikmati sarapannya, sesekali Wirma menatap semua orang yang sedang dalam diam. Rasanya begitu sedih jika harus mengingat kepergian kedua sahabatnya, namun ia harus kuat untuk menjadi pendukung terkuat Ratian.

"Om, hati-hati ya," ujar Tian yang mengantarkan Beno ke depan rumah bersama yang lainnya.

"Iya, om harap kamu juga bisa kembali semangat dan menata masa depan nyonya Ardan," senyumnya membelai wajah Tian.

Lepas berpamitan kini Beno melesat pergi meninggalkan semuanya, meninggalkan Tian pada keluarga yang bisa dipercayanya. Hatinya sedikit tenang saat melepas Tian dengan laki-laki yang sudah dipastikannya itu.

Hari ini Tian akan melakukan home schooling untuk pertama kali, dan nampak Ardan dengan penuh sabar menemani sang istri melewati sekolahnya. 

"Lihatlah, sepertinya kita saja yang terlalu berlebihan." ucap Wirma.

"Benar, Ardan nampaknya juga menerima keadaan ini. Ia nampak enjoy dengan statusnya yang baru."

"Enjoy apa yang kalian maksud? Enjoy dengan keegoisan kalian berdua yang memaksa Ardan menikah?" 

"Benar-benar tak bisa dibiarkan!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bayu Wicaksono
keep it up
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status