Semua orang kini tengah berkumpul dalam satu meja makan, nampak Tian masih canggung dengan status barunya yang harus terbiasa melayani Ardan suaminya. Dewi dengan sabar terus mengajari Tian beradaptasi, membiasakan diri dengan Ardan yang akan selalu bersamanya.
Semua orang makan dalam diam, menikmati masing-masing makanan dengan pemikiran berbeda-beda. Usai menikmati makan malam Wirma mengajak semuanya untuk berpindah ke ruang keluarga, di sana ia ingin membahas kelanjutan dari rencana Ardan putranya.
"Jadi gimana?" tanya Wirma.
"Apanya ayah?"
"Gimana rencana kamu setelah ini?"
"Ardan akan membawa Tian kembali ke Jakarta, Ardan nggak bisa ninggalin kuliah di sana terlalu lama."
"Tian, gimana menurut kamu nak?" tanya Dewi yang menggenggam tangan menantunya itu.
Tian masih terdiam, ia masih bimbang dengan rasa takutnya. Ia merasa selalu di awasi hingga membuatnya merasa tak nyaman.
"Om akan sediakan semuanya ketika kalian pindah ke Jakarta kalau begitu," seru Beno membuka suara.
Ardan menatap Beno dengan raut bingungnya, ingin ia menolak namun tak ada kata yang bisa ia utarakan agar tak menyinggung niat baik itu.
"Katakan saja pendapatmu," ucap Beno yang mengerti akan gelagat Ardan.
"Maaf om bukannya aku sombong. Tapi aku bisa menghidupi keluarga kecilku, aku juga ada rumah untuk kami nanti tinggal," ucap Ardan merendah.
"Rumah?"
"Iya yah, rencananya aku bakal jual apartemen dan uangnya bisa digunakan untuk membeli rumah sederhana untuk kami," jelasnya.
Ada rasa bangga pada Wirma dengan pemikiran putranya, sempat menolak bukan berarti Ardan akan mengabaikan tugasnya sebagai suami. Ardan tetaplah laki-laki yang bertanggung jawab dengan semua pilihannya, apapun dan bagaimanapun resikonya ia akan terus bertahan dengan pilihannya.
"Om bangga dengan kamu, usia boleh muda tapi pemikiran begitu dewasa. Kalau kamu butuh apapun kamu bisa datang sama om."
"Makasih om, tapi seperti yang om katakan. Selama bekerja di perusahaan aku juga bakal dapat gaji bukan?"
"Tentu saja dapat, itu hak kamu Ar. Om akan urus itu semua untuk kamu."
"Makasih om, kalau gitu aku nggak terlalu bingung dengan biaya kuliah Tian nantinya."
Semua orang tersenyum mendengar penuturan Ardan barusan, sungguh itu membuat hati mereka tenang dibuatnya. Wirma yang begitu bangga pada putranya terus saja menepuk bahu Ardan di sebelahnya.
"Tapi kamu bisa membawa Tian pergi ketika dia sudah lulus sekolahnya," lanjut Dewi.
"Tian bakal sekolah di sini bun? Sama aku?" seru Lecy kegirangan.
"Maksud bunda apa? Tian istri aku, jadi di mana Ardan berada itu adalah rumahnya."
"Bunda tahu itu nak, bunda sangat paham dengan itu. Tapi bukan itu masalahnya, bunda sudah mendapatkan guru private untuk sekolah istrimu dan formulir untuk paket ujiannya."
Benar pemikiran Dewi, Tian masih dalam kondisi yang tak memungkinkan untuk beraktivitas dengan banyak orang. Belum lagi jadwal terapi Tian yang juga hampir menyita hari-harinya, Ardan memikirkan semua hal itu dengan sebaik-baiknya.
"Kalau memang menurut bunda itu yang terbaik, Ardan nurut aja. Selama Tian di sini aku juga bakal siapin semuanya di sana."
Dan obrolan itupun ditutup dengan canda tawa semua orang, kecuali Tian yang hanya terdiam dengan segala pemikirannya.
Ardan keluar dari toilet dengan baju tidurnya, matanya menatap heran pada Tian yang hanya terdiam di balik jendela kamar. Perlahan kakinya melangkah mendekati Tian, semakin dekat semakin ia menatap heran pada istrinya.
"Sedang apa? Sudah malam, nggak baik angin malam buat badan," serunya menutup jendela yang sengaja Tian buka barusan.
"Tidur," perintahnya, namun Tian masih terdiam.
Ardan menghela nafasnya, tangannya terulur dan merengkuh bahu Tian. Ia perlahan merebahkan tubuh itu untuk tidur disebelahnya. Menutup hari yang lelah ini dan siap menyambut esok hari.
**
Pagi harinya Ardan terkejut ketika mendapati Tian tidur dalam pelukannya, rasanya begitu aneh dengan situasi ini. Ardan hanya terdiam, membiarkan Tian masih lelap dalam tidurnya. Pandangannya terus menerawang, mengingat semua hal yang telah terjadi kemarin.
Dirinya tak menyangka jika kini ia adalah suami dari wanita yang sudah seperti adik baginya. Tapi entah mengapa tak ada rasa menyesal untuk pilihannya itu, namun hanya rasa tak terbiasa dengan itu semua.
"Loe pasti bisa Ar, loe bisa." serunya menyemangati dirinya.
Perlahan ia melepaskan tangan Tian yang memeluk dirinya, menjadikan guling sebagai penggantinya. Selesai membersihkan diri kini Ardan sudah siap dengan pakaian olah raganya, dan sebelum pergi ia sempat menatap kembali Tian yang masih terlelap.
Ardan nampak mengelilingi area perkebunan juga melewati rumah-rumah warga, banyak warga yang mengucapkan selamat atas pernikahannya dan tak sedikit yang menanyakan keberadaan nyonya Ardan padanya.
"Hhehe, istri saya di rumah ibu-ibu. Biasa lagi siapin sarapan buat saya habis ini."
"Wah istrinya nak Ardan pinter banget kalau gitu ya, kami doa ini supaya segera dapat momongan ya nak."
Ardan tersenyum kikuk mendengar doa yang diucapkan para warga. Anak? Menyentuh istrinya saja ia masih berfikir ulang.
Lelah berkeliling hingga akhirnya Ardan memilih kembali pulang, dan di tengah jalan ia melihat om Beno yang juga ternyata sedang berolah raga.
"Tau gitu kita barengan aja om olah raganya," sapa Ardan yang mendekati Beno.
"Bikin kaget aja, om nggak tahu om kira kamu masih di kamar menikmati ehem-ehem," ledeknya.
Wajah Ardan memerah mengerti maksud dari perkataan itu, rasanya cukup malu mendengar ledekan itu langsung dari om Beno. Sedang Beno begitu lucu menatap wajah merah Ardan padahal ia tahu jika keduanya tak mungkin melakukan kewajibannya disaat kondisi Tian masih seperti ini.
"Udah ah om, yuk balik aja. Udah capek."
"Yuk lah."
Tian yang sudah terbangun dari tidurnya sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk semua orang, tangan itu begitu lincah menggerakkan segala macam peralatan dapur.
"Wah, kakak ipar lagi masak apa ini?" seru Lecy yang ternyata turun bersama Dewi.
"Pagi Lecy, pagi tante."
"Kok tante sih sayang, bunda dong. Kan udah jadi anaknya bunda juga," ucap Dewi yang membantu Tian menyiapkan makanannya.
"Wah wangi banget nih," ucap Beno yang baru masuk ke dalam rumah.
"Mandi dulu om, habis itu turun makan," seru Ardan yang sudah lebih dulu naik untuk membersihkan diri.
Kini nampak semua orang sedang menikmati sarapannya, sesekali Wirma menatap semua orang yang sedang dalam diam. Rasanya begitu sedih jika harus mengingat kepergian kedua sahabatnya, namun ia harus kuat untuk menjadi pendukung terkuat Ratian.
"Om, hati-hati ya," ujar Tian yang mengantarkan Beno ke depan rumah bersama yang lainnya.
"Iya, om harap kamu juga bisa kembali semangat dan menata masa depan nyonya Ardan," senyumnya membelai wajah Tian.
Lepas berpamitan kini Beno melesat pergi meninggalkan semuanya, meninggalkan Tian pada keluarga yang bisa dipercayanya. Hatinya sedikit tenang saat melepas Tian dengan laki-laki yang sudah dipastikannya itu.
Hari ini Tian akan melakukan home schooling untuk pertama kali, dan nampak Ardan dengan penuh sabar menemani sang istri melewati sekolahnya.
"Lihatlah, sepertinya kita saja yang terlalu berlebihan." ucap Wirma.
"Benar, Ardan nampaknya juga menerima keadaan ini. Ia nampak enjoy dengan statusnya yang baru."
"Enjoy apa yang kalian maksud? Enjoy dengan keegoisan kalian berdua yang memaksa Ardan menikah?"
"Benar-benar tak bisa dibiarkan!"
"Benar-benar tak bisa dibiarkan!"Suara itu sontak mengejutkan keduanya, suara yang menggelegar dan dihafalnya itu. Siapa lagi jika bukan suara milik nyonya Larasati, ibu kandung dari Wirma yang berarti nenek dari Ardan juga Lecy."Di mana anak tengik itu, siapa dia berani memaksa cucuku menikahinya," ucapnya dengan menggebu-gebu.Terlalu sibuk dengan urusan pernikahan Ardan membuat keduanya lupa dengan nyonya Larasati. Seharusnya mereka mempersiapkan rencana untuk kemarahan Larasati ini, namun nampaknya kali ini mereka melupakan tugas terpenting itu.Larasati adalah wanita dengan ketegasannya, ia sangat menyayangi Ardan dibandingkan dengan Lecy. Baginya Ardan adalah segalanya sebab Ardan lah yang nantinya menjadi penerus keturunan keluarganya.Namun mendengar cucu kesayangannya dipaksa menikah membuatnya mau tak mau harus terbang kembali ke Surabaya. Sudah sejak lama Larasati menikmati masa tuanya di Yogyakarta, jarang sekali berada di Surab
Makan malam terasa begitu dingin, tak seperti sebelumnya. Tian terlihat sedang melayani suaminya saat Larasati tiba-tiba merebut piring itu dan melayani cucunya sendiri."Bu," tegur Wirma melihat kelakuan ibunya.Dewi mengisyaratkan Tian untuk membiarkan Larasarti melakukan apa yang di sukainya. Ia tak ingin melihat Tian kembali mendapat amukan mertuanya itu. Lecy tak suka dengan sikap oma nya itu, sejak dulu oma nya itu selalu pilih kasih membuatnya sedikit tak menyukai perangainya."Kakak ipar, bisa tolong ambilkan aku ayam itu. Jauh," manjanya pada Tian."Jaga ucapanmu, dia bukan kakak iparmu." marah Larasati menatap tajam Lecy di sebrangnya.Lecy hanya bisa memanyunkan bibirkanya melihat reaksi oma nya, ia tak ingin membuat bundanya kembali menjadi bulan-bulanan dari omanya."Ini, mana piringmu." ucap Tian yang menyodorkan ayam pada Lecy.Sedang Lecy yang merasa di perhatikan merasa begitu senang, ia begitu antusias mengangk
Lecy begitu menikmati makan malamnya, sederhana hanya di sebuah angkringan jalan namun banyak peminatnya. Ardan merasa takjub sebab baru kali ini melihat Tian duduk santai di tempat yang tak selevel untuknya."Kalau nggak nyaman kita pulang aja," ucap Ardan pada Tian yang tengah menikmati nasi kucingnya."Nyaman kok.""Baru pertama kali ya ke tempat kayak gini?" tanya Lecy yang mengerti maksud dari kakaknya itu.Tian menggelengkan kepalanya, "Enggak, udah sering sama Papa Mama kalau malam lapar pasti cari angkringan di Jakarta."Semua kembali menikmati makan malamnya, entah kapan lagi akan ada kesempatan seperti ini untuk ketiganya. Namun kali ini hanya ingin menikmati waktu dengan segala ketenangan di hati.Larasati tak bisa memejamkan matanya, ia berulang kali menatap jam dinding di rumahnya. Ia begitu geram dan sangat kesal, ia merasa Tian sengaja membuat cucunya pulang larut malam."Emang ya, nggak tahu aturan. Nggak ada orang tua
Tubuh Tian bergetar menatap tiga laki-laki asing di depannya saat ini, terlebih kini salah satu tangannya di cekal dengan begitu kuat oleh salah satu laki-laki itu. Semakin ia memberontak dan menolak, semakin laki-laki itu dengan kuat mencengkeram tangannya.Tian yang semula kalut dengan emosinya kini berusaha setenang mungkin, ia tak mungkin menghadapi mereka dengan keadaan kalut seperti tadi. Ketiga laki-laki itu terlihat tertawa melihat Tian yang sudah tak memberikan perlawanan, mereka berfikir saat ini Tian sudah bersedia mengikuti keinginannya."Nah gitu dong cantik, nurut. Tenang, nggak akan sakit kok. Yakan coy," serunya tertawa bersama teman-temannya."Oh ya?""Tentu saja.""Sakit tidaknya hanya saya yang boleh menentukan itu," serunya. Kini tatapan mata Tian begitu tajam menatap semua laki-laki itu.Entah bagaimana ceritanya sebab yang pasti saat ini Tian tengah memelintir tangan yang sedari tadi mencengkeramnya. Tak hanya itu
Tak terasa kini sudah satu minggu pernikahan keduanya, sudah waktunya bagi Ardan untuk kembali ke Jakarta dan menempuh kembali pendidikannya. Ada rasa berat saat ia harus meninggalkan istrinya bersama dengan omanya yang terang-terangan membencinya."Oma, " panggilnya ketika kini sedang duduk bersantai di halaman belakang."Ya, ada apa nak? Kamu membutuhkan sesuatu?""Tidak, hanya saja besok Ar sudah harus kembali lagi ke Jakarta—"Bagus kalau begitu, lebih cepat lebih bagus nak kamu balik ke Jakartanya.""Oma, tolong dengerin dulu Ar sampai selesai." pintanya dengan nada rendahnya.Larasati hanya bisa mengikuti keinginan cucunya, ia menunggu Ardan membuka suaranya. Tentang apa yang akan di sampaikannya kali ini dengan raut wajah begitu seriusnya."Ar mau ketikan Ar kembali ke Jakarta oma juga kembali ke Jogja.""Tentu saja, dengan senang hati oma akan mengabulkan hal itu." serunya begitu saja.Dan keduanya me
Larasati melampiaskan semua kemarahannya pada Tian saat itu juga, ia melempar gelas yang ada di depannya mengarahkan tepat pada Tian. Beruntung ada Ardan yang menghalau gelas tersebut hingga mengenai punggungnya."Ibu," seru Wirma yang juga terkejut seperti semuanya.Keadaan semakin kacau ketika Ardan membela Tian di hadapan omanya, Larasati tak terima itu semua ia merasa Ardan sudah berubah dan tak seperti cucunya yang dulu. Dengan emosi yang masih begitu kalut Larasati keluar dengan koper di tangannya."Ibu mau ke mana?"Dan Larasati memutuskan untuk kembali ke Jogja saat itu juga, ia sudah benar-benar marah dan tak bisa menerima kehadiran Tian sebagai istri dari cucu kesayangannya. Dan saat itu juga Ardan memutuskan untuk kembali ke Jakarta.***Jakarta,Hari terasa begitu cepat berputar, pagi ini Ardan sudah kembali ke kampusnya untuk beraktivitas kembali. Mata Sarah berbinar ketika melihat kembali wajah yang selalu di rindu
Hari ini Tian berada di kebun bersama Wirma, selesai melakukan home schooling Tian yang merasa bosan meminta ijin Dewi untuk menyusul Wirma di perkebunan. Dewi mengijinkan, ia sendiri juga ikut datang menemani Tian menyusul suaminya, dan di sana di lihatnya Wirma tengah mengobrol dengan beberapa orang pekerjanya."Iya, jadi nanti pas kita panen semua harus maksimal." ucap Wirma sebelum membubarkan pekerjanya.Saat berbalik Wirma merasa terkejut melihat istri juga menantunya ada di sana, dengan senyum manisnya Wirma berjalan menghampiri keduanya."Kenapa nggak bilang-bilang?" tanya Wirma pada keduanya."Tian bosen di rumah habis sekolah tadi, ngajak ke sini tuh anaknya." jawab Dewi yang mengajak suaminya duduk di sebuah saung."Maaf ya ayah, Tian cuma bosen di rumah nggak ngapa-ngapain. Lecy habisnya lama belum pulang sekolah.""Hhehe, iya gpp. Ayah seneng malah kalau di samperin sama wanita cantik-cantik gini, jadi semangat kerjanya." candan
Hari terus berlalu, waktu terus berjalan. Hari menuju ujian kelulusan sudah semakin dekat, Ardan kini lebih sering menghubungi Tian untuk memberinya semangat dan sesekali menanyakan tentang terapinya.Seperti hal nya malam ini, walau jarak mereka jauh namun Ardan tetap menemani Tian belajar dan bahkan mengajari Tian yang terkadang bertanya padanya."Kak, kalau ini gimana ya selesainnya?" tanya Tian menunjukkan soal di bukunya."Kirim ke ponsel kakak dulu, biar lebih jelas."Tak butuh waktu lama Ardan sudah menerima salinan soal dari istirnya, lewat video call itu Ardan mengajari Tian dengan begitu sabar. Ardan menunjukkan pada Tian cara cepat jika saja Tian mendapat soal yang sama nantinya.Senyum manis itu merekah ketika dapat menyelesaikan soalnya, Tian merasa senang dan tak henti berterima kasih pada suaminya. Wajahnya yang kegirangan itu kini bersemu merah saat menyadari jika suaminya kini tengah menatapnya dengan berpangku tangan."Ekhm