Setelah mendapat perawatan dari psikiater akhirnya Tian kembali tenang, dokter tersebut juga memberi selembar resep untuk di konsumsi Tian. Tak hanya itu, dokter juga mewanti-wanti untuk tak membahas apapun yang akan memancing emosi Tian.
"Terima kasih, kami akan mengingat semuanya," ucap Wirma yang mengantarkan dokter tersebut keluar dari rumah.
Sedang di dalam kamar nampak Lecy masih terus bertanya tentang apa yang terjadi dengan saudarinya itu. Ia juga bertanya tentang kedatangan Ratian bersama kedua orang tuanya.
"Di mana om Prambu juga tante Saci?"
"Lecy, tolong jangan pernah bahas mereka lagi apalagi di depan Tian."
"Ya tapi kenapa? Kenapa nggak boleh sih Bun?"
"Nanti pasti akan kami ceritakan, tidak sekarang sayang," sahut Wirma yang baru masuk ke dalam kamar.
"Gimana?"
"Aku suruh bibik beli obatnya," jawab Wirma.
Merasa diabaikan membuat Lecy memilih untuk keluar dari dalam kamar, Wirma juga Dewi hanya bisa saling bertukar pandang.
"Ayah, siapa ya yang nantinya pantas mendampingi Tian? Bunda nggak bisa tenang kalau Tian dengan orang asing," sembari membelai rambut Tian yang tengah tertidur pulas.
"Itu yang sedang ayah pikirkan juga, siapa yang harus kita pilih ini?"
Keduanya sempat terdiam dengan pemikiran masing-masing sebelum tiba-tiba bersamaan menyerukan jawabannya.
"Ardan."
"Ardan."
***
Jakarta,
Nampak seorang anak muda sedang bermain dengan bola basketnya, begitu gagah juga sangat tampan. Ardan Sidarta, anak sulung dari pasangan Wirma juga Dewi yang kini tumbuh menjadi laki-laki penuh karisma dan banyak digandrungi teman wanitanya.
Ardan sendiri saat ini menempuh pendidikannya di Jakarta dan jauh dari keluarganya, tak jarang orang yang sering membatunya adalah keluarga Prambu. Saling mengenal lama membuat Prambu juga Saci sudah menganggap semua keturunan Wirma adalah keturunannya juga.
"Ada apa ini, kenapa bunda tiba-tiba minta gue pulang? Tumben," herannya setelah membuka pesan masuk di ponselnya.
"Woy bro, weekend kita main ke apartemen loe ya," ujar Bayu sahabat Ardan.
Bayu, Nico, Wira, Sarah juga Ambar adalah teman satu kampus Ardan. Bisa dibilang jika mereka adalah sahabat yang selalu menemani Ardan selama ini.
"Nggak bisa, gue balik ke Surabaya dulu. Nyokap minta pulang ini," sahut Ardan sembari membereskan pakaiannya.
"Gue boleh ikut nggak," tanya Sarah dengan antusiasnya.
"Lain kali aja ya, lain kali gue bawa kalian ke rumah gue di desa sana."
"Okelah bro, loe udah janji ya," sahut Wira dan diikuti yang lainnya.
Dan disini lah saat ini Ardan berada, di depan rumah yang sudah lama tak ia kunjungi semenjak sibuk dengan tugas kuliahnya. Senyum merekah menghiasi wajah tampannya, baru ingin mengetuk tiba-tiba saja pintu sudah terbuka dengan sendirinya.
"Ardan?"
"Hai bundaku sayang," melambaikan tangannya.
Betapa bahagianya Dewi melihat putra kesayangannya pulang, ia segera merengkuh Ardan dengan begitu erat seakan tak ingin melepaskannya lagi. Sungguh ia sangat merindukan putra sulungnya itu yang semakin dewasa.
"Ayah di mana? Kenapa sepi sekali?"
"Kita langsung ke ruang kerja ayah saja kalau gitu."
Tak jauh berbeda dengan Dewi, Wirma juga memeluk erat sang putra yang akhirnya ingat rumahnya. Ia terlalu bahagia dengan kepulangan Ardan hingga sejenak ia lupa dengan tujuannya, hingga Ardan menanyakan tentang alasan ia diminta pulang barulah Wirma tersadar.
"Duduklah," pintanya.
Ardan dengan serius mendengarkan semua cerita dari ayahnya, sesekali bundanya akan menggenggam tangannya saat dirasa anaknya sedang di liputi emosinya.
"Siapa yang melakukan itu Yah? Kenapa mereka kejam sekali," emosinya.
"Tapi bukan ini tujuan kami meminta kamu pulang Ardan."
"Lantas?"
"Ayah mau lusa kamu menikahi Ratian."
Seperti mendengar sebuah candaan, Ardan tertawa dengan begitu kencangnya. Bahkan tawa itu membuat air mata Ardan keluar dari pelupuk matanya.
"Ayah jangan bercanda, Om juga Tante baru saja meninggal. Ayah nggak boleh bercanda begini."
"Ayah serius Ar, ayah nggak main-main."
Seketika tawa itu lenyap dari wajah tampannya, berganti dengan raut marah yang begitu menakutkan. Wirma kembali mencoba menjelaskan alasan dibalik pernikahan ini, namun nampaknya Ardan sama sekali tak dapat menerima itu semua.
"Di mana anak manja itu? Pasti dia kan yang merajuk sama kalian dengan keinginannya ini," tuduh Ardan yang langusung keluar begitu saja mencari keberadaan Ratian.
Tak butuh waktu lama bagi Ardan menemukan Tian, dengan kasarnya ia menarik tangan Tian untuk mengikutinya.
Lecy marah melihat Tian diperlakukan kasar oleh kakaknya, ia pun berteriak memanggil kedua orang tuanya.
"Masuk loe! Loe kan yang merengek sama orang tau gue dengan pernikahan ini," bentaknya setelah melempar Tian diatas ranjanganya.
Tian hanya diam dengan semua tuduhan dari Ardan, ia seakan tak perduli dengan semua yang di ucapkan Ardan padanya. Begitu marahnya hingga tanpa sengaja Ardan memecahkan sebuah vas bunga hingga hancur menjadi kepingan.
Pyar..!
"Loe tuh beneran anak manja ya, nyusahin aja tau nggak! Gara-gara loe juga kan om Prambu sama tante Saci meninggal." tuduh Ardan dengan begitu kejamnya.
Lecy terkejut dengan apa yang di dengarnya, lebih terkejut lagi saat mendapati Tian sudah berdiri dengan pecahan kaca ditangannya.
"Iyakah papa sama mama meninggal gara-gara aku?" tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
"Ya," mantap Ardan menjawab. Nampak Tian tersenyum dengan tatapan kosongnya mendengar jawaban Ardan barusan.
"Ratian!"
Semua orang terkejut dengan apa yang Tian lakukan, terlebih Ardan yang berada di depannya saat ini. Wirma yang baru saja masuk terkejut, belum sempat ia melangkah mendekat sudah lebih dulu Tian menggores nadinya."Ratian!"Tetes demi tetes darah mulai berjatuhan mewarnai lantai, Wirma berlari dan merengkuh tubuh yang limbung itu. Semua orang panik, semua orang terkejut dengan tindakan Tian barusan. Di saat semua orang tengah berusaha menyelamatkan Tian, Ardan hanya terdiam di tempatnya dengan pandangan tak percaya di depannya."Bunda, panggil dokter.""Ti loe kenapa sih, loe harus bertahan," tangis Lecy sembari menekan pergelangan tangan Tian dengan sebuah kain."Lihat, lihat apa yang kamu lakukan nak. Ini yang kamu mau?"Ardan terduduk lemah tak berdaya mendengar teriakan ayahnya, ia tak menyangka jika akan seperti ini kejadiannya. Ia tak berniat menyalahkan Tian atas apa yang terjadi dengan orang tuanya, emosi yang membuat Ardan buta denga
Hari yang di tunggupun akhirnya tiba, rumah sudah rapi dengan hiasan beberapa bunga. Tamu yang di undang juga mulai berdatangan, tak banyak hanya beberapa orang juga kolega milik keluarga Prambu juga keluarga Wirma."Saya tidak menyangka jika jawaban dari anda akan secepat ini tuan Wirma," ucap Beno yang tengah berdiri bersama Wirma."Buat saya lebih cepat juga lebih baik, sebelum mereka muncul sebaiknya kita dului dengan rencana yang sudah almarhum rencanakan.""Saya setuju dengan anda tuan, dan mengenai kepulangan nona nantinya kembali ke Jakarta akan saya urus pengawalannya.""Sebaiknya dari kejauhan saja ketika mengawasi, putra saya tidak suka jika privasinya terlalu diusik.""Saya akan mengingat itu."Pembicaraan itu usai ketika penghulu yang ditunggu telah tiba, duduk di tempat yang telah disediakan sembari menunggu kedua pengantinnya.Di dalam kamar nampak Lecy tak hentinya memandangi calon kakak iparnya itu, cantik dan sungguh
Semua orang kini tengah berkumpul dalam satu meja makan, nampak Tian masih canggung dengan status barunya yang harus terbiasa melayani Ardan suaminya. Dewi dengan sabar terus mengajari Tian beradaptasi, membiasakan diri dengan Ardan yang akan selalu bersamanya.Semua orang makan dalam diam, menikmati masing-masing makanan dengan pemikiran berbeda-beda. Usai menikmati makan malam Wirma mengajak semuanya untuk berpindah ke ruang keluarga, di sana ia ingin membahas kelanjutan dari rencana Ardan putranya."Jadi gimana?" tanya Wirma."Apanya ayah?""Gimana rencana kamu setelah ini?""Ardan akan membawa Tian kembali ke Jakarta, Ardan nggak bisa ninggalin kuliah di sana terlalu lama.""Tian, gimana menurut kamu nak?" tanya Dewi yang menggenggam tangan menantunya itu.Tian masih terdiam, ia masih bimbang dengan rasa takutnya. Ia merasa selalu di awasi hingga membuatnya merasa tak nyaman."Om akan sediakan semuanya ketika kalian pindah ke Jakarta kalau begitu," seru Beno membuka suara.Ardan m
"Benar-benar tak bisa dibiarkan!"Suara itu sontak mengejutkan keduanya, suara yang menggelegar dan dihafalnya itu. Siapa lagi jika bukan suara milik nyonya Larasati, ibu kandung dari Wirma yang berarti nenek dari Ardan juga Lecy."Di mana anak tengik itu, siapa dia berani memaksa cucuku menikahinya," ucapnya dengan menggebu-gebu.Terlalu sibuk dengan urusan pernikahan Ardan membuat keduanya lupa dengan nyonya Larasati. Seharusnya mereka mempersiapkan rencana untuk kemarahan Larasati ini, namun nampaknya kali ini mereka melupakan tugas terpenting itu.Larasati adalah wanita dengan ketegasannya, ia sangat menyayangi Ardan dibandingkan dengan Lecy. Baginya Ardan adalah segalanya sebab Ardan lah yang nantinya menjadi penerus keturunan keluarganya.Namun mendengar cucu kesayangannya dipaksa menikah membuatnya mau tak mau harus terbang kembali ke Surabaya. Sudah sejak lama Larasati menikmati masa tuanya di Yogyakarta, jarang sekali berada di Surab
Makan malam terasa begitu dingin, tak seperti sebelumnya. Tian terlihat sedang melayani suaminya saat Larasati tiba-tiba merebut piring itu dan melayani cucunya sendiri."Bu," tegur Wirma melihat kelakuan ibunya.Dewi mengisyaratkan Tian untuk membiarkan Larasarti melakukan apa yang di sukainya. Ia tak ingin melihat Tian kembali mendapat amukan mertuanya itu. Lecy tak suka dengan sikap oma nya itu, sejak dulu oma nya itu selalu pilih kasih membuatnya sedikit tak menyukai perangainya."Kakak ipar, bisa tolong ambilkan aku ayam itu. Jauh," manjanya pada Tian."Jaga ucapanmu, dia bukan kakak iparmu." marah Larasati menatap tajam Lecy di sebrangnya.Lecy hanya bisa memanyunkan bibirkanya melihat reaksi oma nya, ia tak ingin membuat bundanya kembali menjadi bulan-bulanan dari omanya."Ini, mana piringmu." ucap Tian yang menyodorkan ayam pada Lecy.Sedang Lecy yang merasa di perhatikan merasa begitu senang, ia begitu antusias mengangk
Lecy begitu menikmati makan malamnya, sederhana hanya di sebuah angkringan jalan namun banyak peminatnya. Ardan merasa takjub sebab baru kali ini melihat Tian duduk santai di tempat yang tak selevel untuknya."Kalau nggak nyaman kita pulang aja," ucap Ardan pada Tian yang tengah menikmati nasi kucingnya."Nyaman kok.""Baru pertama kali ya ke tempat kayak gini?" tanya Lecy yang mengerti maksud dari kakaknya itu.Tian menggelengkan kepalanya, "Enggak, udah sering sama Papa Mama kalau malam lapar pasti cari angkringan di Jakarta."Semua kembali menikmati makan malamnya, entah kapan lagi akan ada kesempatan seperti ini untuk ketiganya. Namun kali ini hanya ingin menikmati waktu dengan segala ketenangan di hati.Larasati tak bisa memejamkan matanya, ia berulang kali menatap jam dinding di rumahnya. Ia begitu geram dan sangat kesal, ia merasa Tian sengaja membuat cucunya pulang larut malam."Emang ya, nggak tahu aturan. Nggak ada orang tua
Tubuh Tian bergetar menatap tiga laki-laki asing di depannya saat ini, terlebih kini salah satu tangannya di cekal dengan begitu kuat oleh salah satu laki-laki itu. Semakin ia memberontak dan menolak, semakin laki-laki itu dengan kuat mencengkeram tangannya.Tian yang semula kalut dengan emosinya kini berusaha setenang mungkin, ia tak mungkin menghadapi mereka dengan keadaan kalut seperti tadi. Ketiga laki-laki itu terlihat tertawa melihat Tian yang sudah tak memberikan perlawanan, mereka berfikir saat ini Tian sudah bersedia mengikuti keinginannya."Nah gitu dong cantik, nurut. Tenang, nggak akan sakit kok. Yakan coy," serunya tertawa bersama teman-temannya."Oh ya?""Tentu saja.""Sakit tidaknya hanya saya yang boleh menentukan itu," serunya. Kini tatapan mata Tian begitu tajam menatap semua laki-laki itu.Entah bagaimana ceritanya sebab yang pasti saat ini Tian tengah memelintir tangan yang sedari tadi mencengkeramnya. Tak hanya itu
Tak terasa kini sudah satu minggu pernikahan keduanya, sudah waktunya bagi Ardan untuk kembali ke Jakarta dan menempuh kembali pendidikannya. Ada rasa berat saat ia harus meninggalkan istrinya bersama dengan omanya yang terang-terangan membencinya."Oma, " panggilnya ketika kini sedang duduk bersantai di halaman belakang."Ya, ada apa nak? Kamu membutuhkan sesuatu?""Tidak, hanya saja besok Ar sudah harus kembali lagi ke Jakarta—"Bagus kalau begitu, lebih cepat lebih bagus nak kamu balik ke Jakartanya.""Oma, tolong dengerin dulu Ar sampai selesai." pintanya dengan nada rendahnya.Larasati hanya bisa mengikuti keinginan cucunya, ia menunggu Ardan membuka suaranya. Tentang apa yang akan di sampaikannya kali ini dengan raut wajah begitu seriusnya."Ar mau ketikan Ar kembali ke Jakarta oma juga kembali ke Jogja.""Tentu saja, dengan senang hati oma akan mengabulkan hal itu." serunya begitu saja.Dan keduanya me