"Jangan bawa-bawa orang tuaku," teriak Dinda."Nggak usah berteriak seperti itu. Itu akan menandakan betapa rendahnya etikamu. O ya, apakah suamimu, Andrian, tahu kalau kamu berselingkuh?""Jangan sok tahu kamu. Memangnya kamu tahu siapa suamiku," cibir Dinda."Tahu, aku tahu semua tentang keluargamu. Orang tuamu dan mertuamu. Apa perlu foto-foto itu aku kirim ke keluargamu? Wah pasti akan menjadi menarik ya? Sebenarnya kamu itu cantik, masih muda, punya suami dan anak yang masih kecil, tapi sayang kelakuanmu minus. Kamu nggak kasihan dengan anakmu?" ejekku. Aku pun melanjutkan berbicara."Kemarin aku juga sudah ke inspektorat, memberikan kesaksian dan beberapa bukti. Jadi silahkan saja tunggu kehancuran kalian berdua. O ya, mungkin kamu belum tahu ya? Yang melaporkan kalian ke inspektorat itu adalah Andrian, suamimu tercinta. Kemungkinan kalian bisa dilaporkan ke polisi, dugaan perselingkuhan. Pasti asyik tuh kalau kalian berdua dipenjara. Kira-kira satu sel nggak ya? Terus kalau kal
Sayup-sayup aku mendengar suara Arya memanggilku."Ibu... Ibu…" Aku terbangun, ternyata aku tadi ketiduran. "Ibu… Ibu…." Aku segera beranjak dari tidurku dan menuju ke pintu depan.Alangkah terkejutnya aku, di depan pintu ada anak-anak dan ayahnya, yaitu Mas Fahmi. Adiva langsung masuk ke rumah dengan wajah cemberut, Arya masih bisa memperlihatkan wajah ramah. Arya dan Mas Fahmi masuk ke dalam rumah. Arya segera masuk ke kamarnya."Jadi dari tadi ada di rumah ya?" tanya Mas Fahmi dengan kesal."Memangnya Mas sudah dari tadi ya?" Aku pura-pura tidak tahu."Iya, sejam lebih aku nunggu diluar." Ia tampak sangat kesal, dengan wajah dan pakaian yang kusut."Maaf, aku ketiduran. Aku capek. Ada apa Mas kesini?" tanyaku dengan enggan."Memangnya nggak boleh kesini ya? Bertemu istri dan anak-anak.""Calon mantan istri."Mas Fahmi mendengus kasar mendengar ucapanku. Kemudian duduk di karpet."Iya, nggak perlu kamu sebutkan. Sepertinya sudah nggak sabar dengan status janda. Kamu sengaja menghin
Aku mengintip dari jendela, seorang laki-laki dengan pakaian yang rapi, tampak memegang sebuah amplop.Bismillah, akhirnya aku beranikan diri untuk membukanya. Semoga bukan orang jahat."Waalaikumsalam," jawabku sambil membuka pintu. Kemudian aku tersenyum pada laki-laki itu."Ada apa ya, Pak?" tanyaku dengan sopan."Maaf, apa benar ini rumah Bu Hanum?" tanya laki-laki itu."Iya benar. Saya Hanum.""Alhamdulillah, bisa bertemu langsung dengan Ibu Hanum. Saya Irawan dari pengadilan agama. Saya ditugaskan mengantar surat panggilan untuk Ibu Hanum. Diharapkan satu Minggu lagi Ibu ke pengadilan agama. Silahkan Ibu tanda tangan disini ya?" kata laki-laki bernama Irawan itu, sambil menyodorkan semacam buku ekspedisi."Oh, begitu ya, Pak. Saya datang sendiri atau bagaimana? Apa yang harus saya persiapkan? Maklum Pak, saya belum paham.""Maaf, Bu, untuk kasus Ibu, nanti akan diadakan mediasi dulu. Kalau mediasi tidak berhasil baru dilaksanakan sidang.""Oke, Pak. Terima kasih untuk informasin
"Suatu saat Arya dan Adiva akan mempunyai keluarga dan tentunya tinggal Ayah dan Ibu yang hanya berdua saja. Arya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Mungkin Ibu akan tetap bersama dengan Ayah karena keterpaksaan, demi keinginan Arya dan Adiva. Dan Arya yakin, Ibu akan tetap berusaha untuk terlihat bahagia demi kami. Padahal hati Ibu akan semakin tersiksa. Hidup bersama dengan orang yang sudah dua kali mengkhianati Ibu."Arya menghela nafas panjang. Aku dari tadi menatap Arya yang berbicara. Betapa ia sudah sangat dewasa sekarang. Entah darimana ia bisa mendapatkan kata-kata itu. Kata-kata yang sangat menyentuh perasaanku."Arya tidak mau, nanti akan menjadi penyesalan seumur hidup, kalau Arya memaksa Ibu untuk tetap bersama dengan Ayah. Belum lagi Yang Ti yang akhir-akhir ini tidak menyukai Ibu. Selalu mencari kesalahan Ibu. Setelah beberapa bulan kita tinggal disini, Arya menjadi yakin, kalau Ibu ternyata bisa bahagia tanpa Ayah. Kita juga sudah terbiasa hidup tanpa
"Semua kenangan indah dan menyedihkan, tentu suatu saat akan anda ceritakan pada anak cucu, bukan? Ya tentu saja supaya anak cucu tahu, bagaimana perjuangan Pak Fahmi dan Bu Hanum dalam membina rumah tangga. Apakah rumah tangga ini tidak bisa diperbaiki dan dipertahankan?" tanya Pak Akbar."Maaf, Pak. Saya sudah mantap untuk berpisah," jawabku dengan tegas dengan mata masih berkaca-kaca."Disini tertulis karena sudah tidak ada kecocokan. Maksudnya yang seperti apa ya? Saya rasa kalau hanya ketidakcocokan, pasti bisa diperbaiki. Seperti yang saya bilang tadi, saling menerima kekurangan dan kelebihan.""Saya tidak tahu kalau alasan perceraiannya yang tertulis seperti itu," kataku pelan."Tapi Ibu tahu kan kalau Ibu digugat cerai oleh Pak Fahmi?""Istri saya yang menyuruh saya menggugat dan mengurus perceraian ini. Karena status saya sebagai PNS, istri saya tidak mau repot-repot mengurus proses perceraian. Sebenarnya saya tidak mau bercerai, karena anak-anak yang sudah besar. Pasti butuh
Mobil berbelok ke arah sebuah rumah makan, aku langsung menoleh padanya."Ngapain kesini?" tanyaku."Ngisi BBM."Aku mengernyitkan dahi. Mobil pun berhenti di tempat parkir."Namanya ke rumah makan, tentu saja untuk makan. Ngisi BBM untuk perut, biar semakin kuat. Kuat menghadapi kenyataan hidup yang tidak sesuai harapan." Ray berkata dengan ekspresi datar. "Maksudnya?"Ray tidak menjawab pertanyaanku."Ayo turun," ajaknya."Aku nggak mau turun, di mobil saja.""Kamu nggak lapar?"Aku menggelengkan kepala. Tiba-tiba perutku berbunyi, mukaku langsung memanas, mungkin tampak merah karena malu. Ray pun tersenyum."Lain di bibir lain di hati kan? Ayolah, nanti kamu pingsan," bujuk Ray."Biarin." "Atau memang kamu ingin pingsan, biar nanti aku gendong kamu?"Aku mendelik pada Ray yang tampak tersenyum."Aku nggak mau nanti menimbulkan fitnah. Apa kata orang nanti, perempuan bersuami asyik makan berdua dengan laki-laki beristri." Aku berkata dengan hati-hati, takut ia tersinggung."Memang
"Hanum, aku belum selesai berbicara," teriak Dinda.Aku tidak memperdulikan mereka, tetap berjalan bersama Ray menuju ke mobil. Aku baru tersadar, ternyata tanganku masih bergandengan dengan tangan Ray. Aku pun melepaskan tanganku, kebetulan juga sudah ada di dekat mobil Ray. Ray membukakan pintu mobil dan mempersilahkan aku masuk. Kemudian menutup pintu, dan berjalan menuju ke samping.Aku hanya terdiam mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Kesal sekali rasanya."Kalau mau menangis, menangis saja. Nggak usah ditahan," kata Ray."Air mataku terlalu berharga untuk menangisi mereka.""Sip! Buktikan kalau kamu bisa bahagia walaupun berpisah dengan Fahmi. Jangan pernah meladeni perempuan itu. Bukan levelmu. Kamu harus terlihat anggun dan elegan di depan mereka. Pasti suatu saat Fahmi akan menyesal telah melepaskanmu."Aku kaget, bagaimana ia tahu nama suamiku?"Nggak usah kaget gitu. Aku kan sudah bilang kalau aku tahu semua tentangmu.""Pasti Opik yang bercerita.""Bukan.""Untuk a
"Kenapa kaget seperti itu? Kamu nggak mau menjauhinya?""Hanum nggak tahu, Mas.""Kalau kamu tidak mau menjauhinya, kamu harus bisa menerima semua konsekuensinya. Kamu sendiri bilang kalau kamu tidak suka dengan anaknya yang angkuh. Dia cerai hidup atau cerai mati?""Hanum nggak tahu apa-apa tentang Ray. Hanum hanya beberapa kali bertemu dengannya dan sekali bertemu dengan anaknya.""Kalau ia duda cerai, kamu harus bersiap jika mantan istrinya selalu berhubungan dengan Ray karena alasan anak. Apalagi kamu nggak tahu apa alasan perceraian mereka.""Entahlah Mas, Hanum belum memikirkan ke arah situ. Mau fokus dulu dengan perceraian.""Kalau mau fokus dengan perceraian, kamu harus menjaga jarak dengan Ray. Mas nggak mau kamu terluka lagi, Num. Apalagi levelnya tinggi, Mas takut kalau kamu nanti hanya dipermainkan saja oleh Ray. Dia seorang dokter, tampan, kaya, siapa sih perempuan yang tidak tertarik dengannya. Mudah baginya mendapatkan perempuan cantik, muda dan masih gadis."Aku terdia