Zavian mengerutkan kening. Dalam lift, di depannya, Aurora sedang berdiri sangat dekat dengan Zack. Aurora bahkan menyandarkan tubuhnya pada tubuh Zack.Kemudian, Zavian melirik Zack. Sahabat sekaligus bos-nya itu tampak santai. Tidak ada tanda-tanda risih dan canggung dengan sikap akrab Aurora.Kalau dipikir-pikir, Zavian ingat, mereka mulai dekat saat Zack di penjara. Setiap mengunjungi Zack, Zavian melihat mereka berpelukan. Saat datang maupun pulang.“Kamu bisa donlot permainan itu, Aurora. Jadi, tidak perlu menunggu ponselku.” Zack terkekeh saat Aurora dengan bangga memperlihatkan keberhasilannya.“Tidak mau. Aku mau main dari ponselmu saja.”“Memang kenapa?”“Ponselmu lebih canggih.”Alis Zavian terangkat tinggi saat Zack hanya terkekeh. Bahkan kemudian dengan entengnya, Zack mengusak pelan kepala Aurora. Ada apa dengan kedua mahluk di sampingnya ini? Zavian bertanya dalam hati.“Cewemu.” Tiba-tiba, Aurora menyerahkan ponsel Zack dengan wajah datar saat telepon itu bergetar.Mat
Aurora mengangkat wajahnya. Zack terlihat khawatir. Setelah berada di dekat Aurora, ia mengamati wajah dan tubuh sang adik angkat.“Kenapa memangnya?” Aurora bertanya polos.“Lihat.” Zack memberikan ponselnya.Di layar kecil itu, sebuah rekaman saat Aurora hampir jatuh di kafe terlihat. Belum selesai, ia mnegembalikan ponsel Zack. Tentu ia sudah tau kelanjutannya seperti apa.“Siapa yang memberi rekaman itu? Aku tidak tau kalau di kafe atas ada CCTV.”“Kakekmu meneleponku dan marah-marah. Ia bilang aku tidak becus menjagamu. Lalu, ia mengirimkan rekaman CCTV.”“Oh.” Aurora menjawab singkat. Dalam hati ia senang Kakek Viscout memarahi Zack. Siapa suruh meninggalkannya sendiri di kantor.“Kamu kenapa?” Zack bingung melihat Aurora sangat datar padanya.“Kamu bisa lihat aku tidak apa-apa.”Zavian yang ikut masuk ke dalam ruangan Aurora melirik keduanya. Zack yang tampak khawatir dan Aurora yang seperti merajuk. Tidak mau terlibat, Zavian memilih pamit ke ruang kerjanya.Setelah Zack dan A
"Dokter judes itu menyuruhku ke psikolog. Memangnya aku gila karena mengkhawatirkan kesehatanku?" Zack mengadu pada Louis saat dalam perjalanan kembali ke rumah."Ferina tidak judes, ia baik hati.""Mungkin padamu, iya, karena kamu anak rekannya sesama dokter. Tapi ia sangat ketus padaku barusan."Louis menghela napas berat. Zack masih mengeluh di telinga tentang bagaimana hari ini jantungnya tiba-tiba terasa ingin berhenti. Bahkan kerap kali tangannya berkeringat.Hingga akhirnya Louis berjanji akan memberikan hasil skrining tes jantung itu pada Keyna. Mendengar pernyataan tersebut, Zack baru lebih tenang dan menutup telepon.Sampai di rumah, Zack langsung bertanya pada Jeff tentang Aurora. Saat pelayan setianya itu berkata adik angkatnya sudah makan dan telah beristirahat di kamar, ia pun pergi ke kamarnya."Besok, aku harus merayu Aurora agar tidak kesal lagi padaku. Meskipun aku tidak tau apa salahku," Zack bicara pada dirinya sendiri.***"Mommy Key, selamat pagi," sapa Louis sam
Akhir minggu ini Zack tidak mengajak Aurora ke mana pun. Lelaki itu sedang standby agar jika Keyna menelepon, ia bisa langsung pergi. Sementara itu, Aurora yang merasa bosan mengira Zack lebih senang bermain games dibanding menemani dirinya.“Zack,” panggil Aurora.“Ya?” Zack merespon singkat meski matanya tetap pada layar ponsel.“Aku mau pergi bersama teman, ya.”“June?”“Bukan, teman baru di kantor.”Mendengar ucapan Aurora, Zack menunda permainannya. Ia menatap sang adik angkat yang ternyata sudah rapi untuk pergi.“Siapa?”“Agnes.” Aurora memperlihatkan foto Agnes pada Zack. Lelaki itu menggeleng samar. “Aku tidak kenal.”Aurora menghela napas panjang. Zack memang sering kali melupakan nama ataupun wajah seseorang. Kecuali jika orang tersebut memiliki kesan yang mendalam di memori-nya.“Dia satu-satunya wanita yang tidak kamu pecat pada project A karena tidak terlibat dalam kecurangan.”Mendengar keterangan Aurora, kini Zack mengangguk mengerti. Ia akan ingat setiap peristiwa bu
Aurora pulang sebelum Zack datang. Ia langsung berpikir bahwa Zack pergi kencan. Padahal ingin sekali ia menunjukkan hasil karyanya hari ini.Saat makan malam, Zack belum pulang juga. Aurora meminta Jeff menyiapkan makanannya di kamar. Menurutnya lebih baik begitu daripada sendirian di ruang makan."Hai, June." Aurora memekik senang saat sahabatnya menelepon."Aurora, kamu dapat tawaran photoshoot lagi. Bersediakah?"Aurora berpikir sejenak. Ia belum cerita tentang identitas dirinya pada June. Sahabatnya itu masih berceloteh tentang kontrak yang akan didapat Aurora.Jujur, setelah mulai terkenal, Aurora menjadi risih. Terkadang, ada saja yang meminta foto atau mengarahkan kamera padanya dan ia mendapati dirinya tidak suka dengan keadaan itu."Aku harus izin pada keluarga dulu, June.""Keluarga Morgan pasti setuju. Kamu tinggal merayu Zack. Bukankah kalian sudah sangat dekat? Lagipula kamu sudah dewasa, kenapa sih masih izin segala?"June terdengar kesal. Ia juga protes karena Aurora t
Kakek Viscout terbujur lemah di ranjang. Kulitnya yang putih tampak semakin pucat. Sebuah infus tertancap di nadinya.Setelah melewati barisan bangsawan tua maupun muda yang datang menjenguk, Vigor, Aurora dan Zack kini berdiri di samping ranjang. Ketiganyta menatap sosok lelaki tua di sana.Aurora yang kemudian bergerak lebih dulu. Perlahan duduk di sisi ranjang dan mengelus pelan lengan sang kakek. “Kakek, Aurora pulang!” lirihnya.Tidak ada pergerakan. Kakek Viscout tetap terpejam. Hingga akhirnya Aurora menutup wajahnya dan menangis pelan.Zack yang paling tak tahan melihat Aurora menangis menghampiri. Ia memeluk Aurora dan mengelus punggung untuk menenangkannya.“Menurut dokter, Kakek hanya shock yang menyebabkan jantungnya melemah. Pelayan pribadi mengatakan Kakek memang sedang pusing sejak kemarin. Dokter pikir itu yang menyebabkan ia limbung saat menuruni undakan tangga.” Vigor menjelaskan panjang lebar.Aurora menatap sang kakek dengan wajah sendu. “Kakek beberapa kali menele
Zack sadar ia telah salah bicara. Aurora memasang wajah datar. Ia kesal Zack malah memintanya tinggal di kastil.Apa lelaki itu tidak juga mengerti setelah ia terus-terang? Bukankah ia sudah bilang kalau dirinya nyaman dan merasa aman bersama Zack?"Bukan begitu. Jangan salah mengerti." Zack mendekati Aurora."Tidak. Ya, sudah. Kamu pulang saja sana. Aku akan tinggal di sini." Aurora merajuk.Apa-apaan ini? Aurora mendesah dalam hati. Kenapa ia cepat sekali ngambek pada Zack?Tentu saja Zack panik. Aurora memberengut di depannya."Hey. Aku tidak akan pergi. Aku sudah berjanji menemani, bukan?" Zack mengelus kepala Aurora.Sejenak mereka bertatapan. Wajah Aurora mulai bersemu merah jambu mendengar ucapan Zack."Aku nggak akan pergi. Kecuali kamu benar-benar menginginkanku pergi." Zack mengulangi pernyataannya.Kepala Aurora mengangguk. Detik berikutnya ia memeluk Zack."Aku mau sama kamu."Perkataan itu seperti bisikan. Pelan namun terdengar jelas. Zack termangu sambil memeluk Aurora.
Dua hari kemudian, Zack berpamitan. Aurora terlihat berat melepasnya. Namun begitu, ia mengerti Zack harus mengurus perusahaannya."Aku sudah berkordinasi dengan Agnes. Ia bisa dipercaya untuk menjadi wakilku selama aku bekerja online." Aurora berkata saat Zack berkemas."Iya. Aku sudah meminta Zavian mengamati kinerja Agnes dan kami setuju ia menjadi wakilmu."Aurora mengamati Zack yang telah selesai dengan barang bawaannya. Mereka kini berdiri berhadapan.Zack setuju pada pernyataan Kakek Viscout. Ia memang tidak bisa mencintai Aurora. Meyakini diri sendiri bahwa selama ini, ia hanya perhatian karena rasa sesal sudah pernah melecehkan adik angkatnya."Aku pergi, ya." Zack tersenyum, mengusak kepala Aurora.Tanpa pelukan, hanya kecupan singkat yang diberikan Zack pada Aurora sebelum ia naik ke mobil yang akan membawanya ke bandara. Meskipun ia ingin sekali memeluk dan mencium aroma rambut Aurora. Dadanya kini terasa sesak.Kantor menjadi pelampiasan emosi Zack. Ada saja yang tidak be